"Kamu menguping pembicaraan Ayah?" desis Darma, rahangnya mengetat keras.
Starla diam tidak menjawab. Sebenarnya ia tidak bermaksud untuk menguping pembicaraan Darma dengan Pak Danu, atasan Darma yang terjadi melalui telpon. Tapi saat itu, Starla baru pulang kerja. Seperti biasa, gadis itu akan mencari Darma untuk memberitahukan bahwa ia sudah sampai di rumah dengan selamat. Tapi yang didapati oleh Starla justru pembicaraan itu.
"Ayah tidak pernah mengajari kamu menguping, Starla!" tegas Darma murka. "Sejak kamu pacaran dengan Bima, dia memberikan pengaruh-pengaruh yang buruk buat kamu! Kamu jadi sering pulang terlambat! Telepon sampai larut malam hingga pagi harinya bagun kesiangan. Dan kamu bahkan ..." Darma menggelengkan kepala. "Kamu mengabaikan semua adat istiadat dan budaya asli kita, mengabaikan didikan Ayah selama ini dengan cara merusak kehormatanmu sebagai perempuan pada laki-laki yang bukan suami kamu!"
"Jangan salahkan Bima!" seru Starla. "Dia tidak bersalah!"
"Oh ya? Berarti selama ini yang kamu lakukan adalah sifat asli kamu? Kamu mau menegaskan jika selama ini kamu anak yang pembangkang?!" nada Darma mulai meninggi.
Starla tidak sanggup berkata-kata. Ia bingung dengan semua ini. Sebenarnya apa yang sekarang diperdebatkan antara dia dan sang ayah?
"Bukan itu, Ayah," geleng Starla pelan. "Starla cuma ..."
"Cuma apa?!" potong Darma. Ia menatap putri semata wayangnya dari ujung rambut hingga kaki. Wajah Starla masih merah akibat menangis dalam waktu yang cukup lama. Hati Darma sakit, tapi apa yang diperbuat anaknya tidak termaafkan bagi dirinya.
"Kamu membuat Ayah malu!" tukas Darma.
Hati Starla menjerit, mengatakan bahwa ia tidak ingin mendengar kalimat-kalimat menusuk dari Darma lagi. Tenggorokannya sakit, matanya berkaca-kaca menahan tangis.
"Jika saja Ayah juga memikirkan perasaan Starla, mungkin Starla nggak akan berbuat hal seperti ini," suara Starla serak.
"Apa maksud kamu?"
Starla menatap Darma, air mata yang tadi dia bendung agar tidak keluar kini menetes kembali membasahi pipinya yang masih sembab.
"Pak Danu, Ayah. Apa maksud Ayah ingin menikahkan aku dengan dia?! Ayah mau aku jadi istrinya yang keempat?"
"Danu lebih baik daripada Bima!"
Jawaban Darma membuat bibir Starla menganga. Ia menatap tidak percaya pada sang ayah. "Starla nggak tau jalan pikiran Ayah."
"Kamu tidak perlu tau karena Ayah melakukan semua ini untuk masa depan kamu!"
"Masa depanku?!" Starla berseru murka. "Nggak ada masa depan jika aku harus tinggal di neraka!"
"Starla!"
"Jika Ibu masih hidup, dia pasti akan kecewa sama Ayah."
Darma menggeram. "Tidak usah bawa-bawa Ibu kamu!"
Starla mengangguk lalu mengusap pipinya kasar. "Asal Ayah tau, Starla tidak pernah menyesal melakukan itu semua. Karena bagi Starla, lebih baik Starla menjual diri daripada harus menikah dengan pria beristri!"
"Danu sudah menceraikan tiga istrinya dan kamu akan menjadi satu-satunya!"
"Starla nggak peduli! Pria macam apa yang dengan mudah menceraikan istri-istrinya? Oh, apa Ayah mau Starla jadi janda dengan cepat? Ayah mau Starla mati saja menyusul Ibu?"
PLAK!!
Tamparan itu terjadi begitu cepat. Starla melirik tidak percaya pada Darma. Seumur-umur, baru kali ini ayahnya menampar pipinya. Sebenarnya apa yang salah? Siapa? Starla benar-benar tidak mengerti.
"Mulai sekarang kamu bukan putri Ayah! Pergi dari sini dan lakukan semua yang kamu mau!"
Setelah berkata demikian, pria bertubuh tegap di usia yang sudah hampir kepala lima itu meninggalkan kamar Starla. Tak lupa, ia menutup pintunya keras, tanda jika ia benar-benar marah dan kecewa pada Starla.
Starla menatap pintu putih kamarnya dengan perasaan campur aduk. Marah, kecewa, frustasi. Tubuh Starla pun meluruh ke lantai. Ia menutup wajah dan berteriak. Sekali lagi Starla menangis demi meluapkan rasa sesak di dadanya.
***
"Maafin aku. Seharusnya aku nggak pernah ngelakuin hal itu sama kamu."
Bima bersimpuh di depan Starla yang duduk di atas sofa. Pria beriris mata hitam itu mendongak, menatap wajah Starla dengan perasaan bersalah campur menyesal. Bima tidak menyangka jika kebodohannya semalam membuat sang kekasih diusir dari rumah.
"Ini bukan salah kamu," lirih Starla sembari memaksakan sebuah senyum di wajahnya.
"Tapi tetap saja. Jika aku bisa menahan diri buat nggak nyentuh kamu lebih...,"
"Bima,"
" ...mungkin ini semua nggak akan terjadi sama kamu."
Starla menghela napas. Wajahnya menunduk karena posisinya jauh lebih tinggi daripada pria itu. Tangan Starla bergerak untuk mengelus rambut Bima yang disemir merah dan dikuncir gulung di belakang kepala.
Perbuatan Starla membuat Bima menutup mata karena merasa nyaman. Menggeser lutut agar lebih dekat dengan Starla, Bima merebahkan kepalanya di atas paha Starla.
"Maaf," gumam Bima.
Starla diam, tangannya tetap mengelus lembut kepala Bima.
"Boleh aku tinggal di sini?" tanya Starla setelah beberapa saat.
Mendengar hal itu, sontak Bima mengangkat kepala. Ia mengerjab. "Maksud kamu tinggal sama aku?"
Starla mengangguk. "Seenggaknya sampai aku dapat kos yang murah. Mungkin sekitar satu minggu."
Bima berdiri, lalu mengambil tempat duduk di samping Starla. "Kamu nggak perlu cari kos. Kamu bisa tinggal di sini selama yang kamu mau." Bima mengambil tangan Starla dan meremasnya lembut. "Karena yang sekarang terjadi sama kamu adalah tanggung jawabku."
Starla tersenyum lalu menyandarkan kepalanya di dada bidang Bima. Matanya menyapu rumah kontrakan yang terbilang sangat kecil itu. Banyak barang-barang yang berkaitan dengan fotografi berserakan di mana-mana. Kamera, lensa, lampu sorot dan apapun itu yang Starla tidak tau nama barangnya. Bima memang menggunakan rumah ini sebagai tempat tinggal sekaligus studio pribadinya.
"Terima kasih," gumam Starla.
Bima tersenyum, mengelus kepala Starla penuh kasih sayang. "Apapun buat kamu," jawabnya. "Dan maaf aku nggak bisa memberikan kamu lebih dari ini."
"Ini sudah lebih dari cukup."
Perasaan Starla yang kacau sejak ia meninggalkan rumah kini menjadi lebih baik. Starla yakin bahwa keputusan yang ia buat tidak salah. Bima adalah pria baik hati, hanya saja Darma belum melihat sosok tersebut dari pacarnya ini.
Jika waktu bisa diputar kembali, Starla yakin akan melakukan hal yang sama. Gadis itu akan tetap pada prinsip awal yang meskipun mungkin orang lain akan mengatakan dia bodoh, Starla tidak peduli. Yang dia tau, dia berhasil keluar dari perjodohan yang akan diatur oleh Darma untuknya.
"Oke, kalau gitu, ayo bawa masuk koper kamu ke kamar." Bima berdiri, menarik tangan Starla. "Kalau kamu nggak mau tidur sekamar sama aku aku bisa tidur di...,"
"Nggak apa-apa," sela Starla cepat. Kontrakan Bima memang hanya punya satu kamar. "Kita tidur satu kamar aja."
Sudut bibir Bima terangkat miring, tatapannya berubah menjadi tatapan menggoda.
"Terdengar lebih baik."
Starla tertawa.
Benar, ia yakin keputusannya tidak salah karena telah memilih Bima.
***
Hai, sekedar pemberitahuan kalau cerita ini beralur lambat banget alias bisa jadi sampai lebih dari 100 - 200 bab! Jadi siapkan mental kalian yak! Aku sungguh berharap para pembaca dewasa OBSESSED tidak kena serangan jantung dan hanya menikmati cerita ini sebagai hiburan semata dan teman di kala malam yang sepi dengan suara jangkrik dan kucing yang sedang berantem di genteng rumah.
Akhir kata, sekian. Makasih!
Sudah dua bulan lamanya Starla tinggal bersama Bima. Ia merasa cukup bahagia. Dulu mungkin hanya panggilan telepon dan pertukaran chat yang bisa menjadi pengobat rindu. Tapi sekarang, setiap hari Starla bisa selalu melihatnya, menyentuhnya, dan menciumnya...Starla tidak tau jika tinggal berdua bersama seorang yang amat ia cintai bisa menyebabkan hari-harinya menjadi seindah ini."Selamat pagi," sapa Bima serak. Tangannya memeluk tubuh telanjang Starla yang berada di balik selimut. Tadi malam merupakan satu dari sekian banyak malam penuh gairah yang telah dihabiskan Starla bersama Bima."Pagi," jawab Starla."Jam berapa ini?" tanya Bima saat ia merasa Starla mencoba untuk beringsut bangun. Matanya mengerjab tipis, mencari-cari di mana letak jam dinding berada."Sudah jam tujuh. Aku harus bangun dan siap-siap berangkat kerja sekarang," jawab Starla.Bima mendesah, mengubah posisi ti
Sudah sekitar satu jam lamanya Starla berdiri di depan gerbang kantor. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, di mana banyak kendaraan berlalu lalang. Awan yang tadinya cerah sudah berubah gelap diiringi kilat dan gemuruh petir yang sesekali menyambar di angkasa. Angin yang bertiup semakin kencang dari menit ke menit membuat Starla memeluk tubuhnya sendiri karena rasa dingin yang menusuk kulit."Neng masih di sini?" Pak Tarjo, satpam yang berjaga di gerbang bertanya pada Starla. Ia mendongak menatap langit yang kian menggelap karena selain sudah masuk jam setengah 6 sore, mendung tebal juga bergelayut siap menjatuhkan titik-titik air hujan kapan saja."Iya, Pak.""Nunggu siapa, Neng? Jemputan?" tanya Pak Tarjo lagi, sesekali mengusap kedua telapak tangannya sebab ia juga merasa kedinginan setelah keluar dari ruang pos jaga demi menghampiri Starla. "Mending pulang aja sekarang, Neng. Mau hujan ini," saran Pak Tarjo.
Starla duduk bersandar di kusen kasur sembari menatap kosong kamar bercat putih yang sebenarnya adalah kamar Bima. Rambut yang setengah basah setelah habis mandi ia biarkan terurai. Melirik jam dinding, Starla semakin terdiam tak bisa berkata-kata.Ini sudah lewat tengah malam dan belum ada tanda-tanda jika Bima akan pulang.Kecewa? Tentu saja.Karena sesakit apapun perasaannya tadi saat mengetahui perbuatan Bima, diam-diam Starla masih ingin percaya. Gadis itu mengharap sebuah penjelasan dari bibir Bima, yang menyatakan bahwa apa yang ia lihat tidak seperti yang ia bayangkan.Starla menunduk lelah.Bukankah sudah jelas jika Bima sama sekali tidak berniat mengklarifikasi?Jika Starla ingat, pria itu bahkan tidak berusaha mengejarnya dari motel tadi.Ingat semua hal itu, dada Starla kembali sesak. Tanpa sadar, Starla bahkan sudah kembali menangis.Entah sudah berapa lama
N O T E :Wahai pembaca yang budiman, part ini mengandung adegan kekerasan dan adegan dewasa. Bagi kalian yang benar-benar masih di bawah umur dan tidak menyukai segala bentuk jenis kekerasan apapun, jangan dibaca!Happy Reading!* * *"Tch," dengus Lion. Tangannya menyentuh dagu Starla, membuat gadis itu mendongak paksa. Lion pun mendekatkan wajah hingga Starla mampu mencium bau asap rokok dari napas yang keluar dari hidung Lion."Kau pikir aku tertarik dengan uangmu?" bisik Lion. Sementara satu tangan yang lain bergerak, menelusuri kancing dress piyama berbahan satin yang Starla pakai.Lion menyeringai. "... Aku hanya mau tubuhmu."Refleks, Starla mendorong tubuh Lion hingga pria itu jatuh terduduk tepat di atas meja. Gadis itu berdiri dan segera berlari menuju pintu terdekat.Pintu keluar. Starla harus segera
Episode paling drama dan fenomenal di layar kaca Indosi*ar :"Pergi dari sini! Aku jijik sama kamu, Mas! Aku jijik! Jangan sentuh aku! Pergi, pergiiiI!!"Wkwkwkwk :PSelamat membaca!***Pagi ini menjadi sangat berbeda bagi Starla. Dalam semalam saja kehidupannya sudah berubah 180 derajat. Jika biasanya di jam ini Starla sudah selesai mandi dan sedang bersiap-siap berangkat, kali ini gadis tersebut sedang meringkuk lemah dibalik selimut tebal yang dia tarik dengan sisa tenaganya.Pandangan Starla kosong, menatap jendela yang masih tertutup tirai berwarna putih. Matanya terasa panas dan bengkak karena semalaman menangis. Mungkin baru beberapa jam yang lalu air mata itu berhenti dan berubah menjadi sebuah tatapan tak berarti.Starla, meskipun dia merasa kepalanya mulai berdenyut karena tidak bisa tidur dan memikirkan banyak hal, masih berusaha tetap sadar.Suara-suara keributan dari luar kamar tidak mengusik Starla sama sekali. Dia justru mengeratkan selimut untuk menutupi tubuh telan
Waktu berjalan cepat hari itu. Starla telah selesai meratapi nasip.Di batas kehancurannya, Starla mengingat jika dia tidak boleh menyerah. Darma akan sangat kecewa jika tau putri semata wayangnya mudah menyerah pada keadaan.Mengingat nama sang ayah, hati Starla menjerit keras. Mungkin karena dia menentang keputusan Darma, maka dari itu sekarang dia terkena karma.Starla ingat jika Darma pernah mengatakan Bima bukan pria baik. Saat itu Starla memang sangatlah naif dan egois. Dengan pikiran pendek, dia menentang Darma dan pergi dari rumah karena lebih memilih Bima.Sekarang, jika dia pulang ke rumah, apakah Darma akan menerimanya? Akankah ayah yang tegas itu memberikan dukungan yang dia butuhkan saat dirinya tengah mengalami hal gila ini? Dirinya merasa kotor dan tidak pantas untuk pulang. Tapi dia harus ke mana lagi jika tidak kembali ke rumah?Starla menghela napas. Pipinya masih lembab karena bekas air mata. Hidung dan matanya bahkan masih sedikit merah."Aku harus pergi," putusnya
NOTE :Part ini mengandung adegan kekerasan dan kata-kata kasar. Sekali lagi, author ingatkan. JIKA anda berusia kurang dari 21 tahun, jangan membaca cerita ini dulu ya.Selamat membaca!***Semua terlambat, saat Starla menyadari bahwa itu bukanlah mobil abang grab yang dia pesan. Gadis itu otomatis melepaskan pegangannya pada koper dan berbalik untuk berlari. Perasaan takut muncul begitu saja kala melihat pria tua itu.Namun, tepat saat itu juga tangannya sudah dicekal dengan cepat. "Kamu pikir kamu mau lari ke mana jalang* kecil?"Starla memberontak, berusaha melepas tangannya. Dia mulai berteriak tapi Lion dengan cepat menamparnya keras sampai pandangan Starla terasa berkunang-kunang. Ia bahkan bisa merasakan asin darah yang keluar dari sudut bibirnya."Apa yang kamu lakukan?! Lepasin dia!" teriak Bima murka, dia tidak terima pada perlakuan kasar Lion pada Starla."Aku? Aku hanya akan membawa wanita ini bersamaku," jawab Lion santai. Dia tersenyum miring menatap Bima yang berusaha
"Kau yakin kau tak ingin mengobati lukamu?"Pertanyaan itu membuat Starla melirik sekilas pada sosok pria yang baru saja masuk ke dalam kamarnya.Cahaya temaram yang berasal dari lampu kuning 5 watt membuat gadis itu sempat menerka-nerka, kali ini pria seperti apa yang mengantarkan makanannya ke ruangan ini.Karena tidak ada jawaban yang keluar dari bibir gadis yang tengah duduk di ranjang kecil sudut ruangan, pria itu tersenyum tipis. Dia meletakkan makan malam Starla di atas meja kecil yang ada di sana.Sekilas, pria berbadan tegap dan memakai jas hitam itu mengamati ruangan berukuran 3x3 meter tersebut. Tampak sangat menyedihkan dan suram. Bahkan dia pikir, akan lebih baik tidur di kamar para preman lantai satu. Setidaknya, kamar mereka lebih terang dan lebih lebar dari tempat ini.Tidak ada apapun di kamar Starla melainkan hanya sebuah ranjang lengkap dengan sebuah bantal dan selimut, dan meja kecil yang menempel di tembok. Tidak ada jendela dan sirkulasi udara yang cukup, melaink
Luna sudah menyeberang jalan ketika iris mata hitam Yuda menangkap sesuatu di atas tanah yang berkilauan. Ia mengernyit, lantas menunduk dan mengambil benda tersebut.Sebuah kalung emas dengan bandul huruf L yang di kedua sisinya terdapat ukiran sayap mungil, tak lain dan tak bukan adalah milik Luna. Yuda ingat pernah melihatnya di leher Luna. Berniat ingin mengembalikan, Yuda sempat berlari mengejar Luna. Akan tetapi tidak berlanjut sebab ia kehilangan jejak Luna.Yuda pun kembali ke bawah pohon, memasukkan kalung tersebut ke dalam tas. Ia pikir besok akan langsung mengembalikannya pada Luna.Yuda mengambil selimut yang dibawakan oleh Luna, berikut dengan tas ransel pink bergambar princess. Satu kotak yang berisi buah juga ditinggalkan Luna, katanya untuk makan malam Yuda.Bocah lelaki umur 7 tahun itu tersenyum tipis. Merogoh saku di mana ada uang 15 ribu dari sana. Yuda tidak mengemis, hanya saja kemarin ada kakak-kakak baik hati yang memberi uan
Luna bersiap pergi ke taman kota sekitar pukul 9 pagi seperti biasa. Dengan rambut dikuncir dua, Luna pamit pada Starla.“Mom sudah menyiapkan banyak bekal makanan untukmu. Semuanya sudah Mom masukkan dalam tas,” ucap Starla, mengelus rambut hitam Luna. “Masih tidak mau menceritakan pada Mom siapa temanmu itu?”Luna menggeleng polos. Sebenarnya dia ingin, namun Yuda melarangnya entah karena alasan apa.Starla menghela napas, mengecup kedua pipi Luna. “Baiklah jika kau masih menyimpan rahasia tentang temanmu itu. Tapi ingat pesan Mom, tetap hati-hati. Kau tidak tau dia punya niat jahat atau tidak.”“Dia baik, Mom,” kekeh Luna kecil.“Tetap saja kau harus berhati-hati. Ini Indonsesia, bukan Belanda di mana ayahmu mempunyai kekuasaan. Mengerti?”Lun
Seperti bocah 5 tahun pada umumnya, Luna masih suka sekali bermain di luar rumah. Seperti siang hari ini, ia meminta ijin pada Starla untuk mengelilingi komplek perumahan, dan mampir ke taman bermain jika ia pulang agak lama.“Hati-hati, okay? Jangan menyeberang sembarangan. Jika ada orang asing yang memberimu makanan apapun, kau tidak boleh menerima. Masih ingat bukan, apa yang kau pelajari dari Mom dan Dad dulu tentang bagaimana menghadapi orang asing yang tidak kau kenal?” tanya Sivia sambil memasangkan sebuah tas ransel di punggung Luna.“Yes, Mommy. Aku tidak boleh mempercayai siapa pun,” jawab Luna sambil mengangguk-anggukkan kepala.“Good! Kau juga ingat bukan, jika beberapa hari yang lalu ada yang mencuri tasmu?”Luna meringis hingga barisan gigi putihnya terlihat s
Tidak pernah sekalipun dalam bayangan Yuda bahwa ia akan mengalami nasib seperti ini. Dulu, ibu yang selalu ada untuknya telah tiada, karena penyakit yang dokter sebut sebagai kangker perut. Saat itu usia Yuda tepat 5 tahun.Selama hidup bersama ibu, Yuda tidak pernah mengenal ayah. Ibu tidak pernah bercerita apapun tentang pria itu. Pun Yuda tidak pernah bertanya. Entah kenapa ia merasa Ibu akan merasa sedih jika ia membahas tentang ayah.Namun, tepat 7 hari setelah ibu meninggal dan membuat Yuda hidup sebatang kara, datang seorang pria yang mengaku sebagai ayahnya. Namanya Heru.Heru memiliki penampilan bak preman, sesuai dengan siapa dirinya. Ia sering mabuk dan bermain judi. Tak jarang, ia juga membawa perempuan-perempuan asing ke rumah, menidurinya di setiap sudut rumah dan sama sekali tidak masalah jika Yuda melihat.Tak
“Luna! Ayo!” Darma berseru pada cucu perempuannya sambil menggandeng tangan kecil Ken.Kemarin, ia telah berjanji pada dua cucunya untuk mengajak mereka jalan-jalan. Dan sejak pagi tadi, Luna sudah merengek pada Darma, menuntut janji tersebut.Namun sekarang lihatlah siapa yang malah terlambat keluar dari kamar dan membuat Darma menunggu?“Iya, Kakek! Tunggu sebentar!” sahut Luna.Benar saja, tak lama kemudian gadis cilik itu keluar dari kamar. Dengan rambut hitam dikuncir dua, Luna juga membawa sebuah tas ransel.“Wah, cantik sekali cucuku!” puji Darma. Ia mengambil sepatu Luna dari rak kemudian menyuruh Luna untuk memakainya sendiri.“Ayo!” seru Luna setelah selesai memakai sepatu. Ia menggandeng tangan kiri Darma, sementara Ken menggandeng tangan kanan.
Pesisir putih di sebuah pantai Malaysia tengah didekorasi sedemikian rupa dengan nuansa warna putih. Terdapat altar kecil dengan hiasan bunga-bunga, beberapa kursi yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, juga sebuah meja panjang berisi beberapa makanan sederhana.Matahari baru saja muncul sekitar satu jam yang lalu, namun karena termasuk salah satu negara tropis, hawa dingin yang terasa bukan menjadi masalah bagi Isaac. Seorang pria yang sudah rapi dengan balutan jas berwarna hitam. Rambutnya disisir rapi ke belakang, hal yang sangat jarang ia lakukan bahkan ke undangan-undangan pesta sekalipun.Tapi hari ini hari spesial untuk Isaac. Dengan hati berdegup kencang, matanya terus mengawasi dengan cemas ke arah karpet merah terbentang.“Ehem! Jadi, di mana mempelai wanitanya?” seorang kepala pastur bertanya dengan tidak sabar.
5 Pria bawahan Abdul maju, menarik dan menyeret tubuh Isaac paksa keluar dari kamar. Pun dengan Rueben yang kakinya sudah terluka karena tertembak.Abdul mendengus, merapikan kemejanya yang sedikit lecek akibat perkelahian tadi. Ia menatap Samantha sambil tersenyum miring.“Sorry, Sweetheat. Ternyata kita kedatangan tamu tidak diundang. Sepertinya aku terlalu remeh dalam hal persembunyian.” Abdul menarik tubuh Samantha, memaksanya berdiri. Ia mencekal lengan kurus Sam keluar dari kamar, bergabung dengan para bawahannya.“Aku berjanji setelah ini aku akan memberikanmu malam indah tak terlupakan,” lanjut Abdul. Mengeluarkan pistol sembari menodongkannya di kepala Sam.“Jika kalian melawan, aku akan menembak gadis ini!” ancam Abdul pada Isaac dan Rueben yang masih mencoba memberontak.
Samantha selalu bertanya-tanya akan seperti apa akhir hidupnya dan di mana ia akan menghembuskan napas terakhir. Apakah ia akan meninggal di tanah kelahiran sang ibu, Belanda, Malaysia atau negara lain yang belum pernah ia kunjungi. Apakah ketika saat terakhirnya nanti akan ada seseorang di sampingnya atau dia akan sendirian. Dan yang lebih penting lagi kapan? Berapa tahun, bulan, hari atau jam lagi?Sekarang itu semua sudah terjawab. Bahwa ia akan meninggal di Malaysia, di sebuah apartemen karena ditembak oleh seorang pria bernama Abdul Razak, adik dari istri sah ayahnya. Dan itu akan terjadi beberapa jam lagi.Takut? Tentu. Panik? Jelas. Gemetaran? Tidak juga.Abdul Razak tengah mengiris steiknya dengan lihai, kemudian memakannya dengan penuh tata krama pria bangsawan. Sementara Samantha yang duduk di seberang meja menatap steiknya den
DOR!Suara tembakan itu membuat kedua mata Samantha terpejam erat. Jantungnya berdentum teramat kencang sehingga tubuhnya menegang. Jika sejak awal ia lemah, sudah pasti sekarang ia sudah pingsan.Terjadi keheningan beberapa saat sampai akhirnya Samantha berani membuka mata, menatap sosok pria dengan pistol yang ia arahkan pada atap. Dia menyeringai kejam melihat Samantha.“Itu sebagai peringatan saja,” ucap si pria. Kemudian ia mengarahkan pistolnya pada Samantha lagi, menyusuri wajah tersebut dengan ujungnya, membuat Sam mendongak. “Tapi next time, aku akan benar-benar melubangi kepalamu jika kau menolak.”Tersenyum, pria itu menyimpan kembali senjatanya ke dalam jas. Ia melirik arloji di tangan kemudian menatap Samantha lagi.“Sekarang aku harus pergi. Ada pekerjaan lain yan