Sudah dua bulan lamanya Starla tinggal bersama Bima. Ia merasa cukup bahagia. Dulu mungkin hanya panggilan telepon dan pertukaran chat yang bisa menjadi pengobat rindu. Tapi sekarang, setiap hari Starla bisa selalu melihatnya, menyentuhnya, dan menciumnya...
Starla tidak tau jika tinggal berdua bersama seorang yang amat ia cintai bisa menyebabkan hari-harinya menjadi seindah ini.
"Selamat pagi," sapa Bima serak. Tangannya memeluk tubuh telanjang Starla yang berada di balik selimut. Tadi malam merupakan satu dari sekian banyak malam penuh gairah yang telah dihabiskan Starla bersama Bima.
"Pagi," jawab Starla.
"Jam berapa ini?" tanya Bima saat ia merasa Starla mencoba untuk beringsut bangun. Matanya mengerjab tipis, mencari-cari di mana letak jam dinding berada.
"Sudah jam tujuh. Aku harus bangun dan siap-siap berangkat kerja sekarang," jawab Starla.
Bima mendesah, mengubah posisi tidurnya menjadi telentang. Ia mengusap wajah yang masih setengah mengantuk.
"Oke," tukas Bima kemudian.
"Kamu nggak bangun buat kerja?" tanya Starla mengernyit heran. Ia ingat jika sudah dua minggu ini ia selalu mendapati Bima ada di rumah.
Bima menghela napas dan beringsut duduk. Rambut gondrong merahnya acak-acakan. "Aku bakal nyari. Kamu tau kan aku seorang fotografer lepas? Akhir-akhir ini belum ada yang sewa jasaku lagi," jelas Bima. Wajahnya terlihat sedikit tertekan karena hal ini.
"Kamu pasti bakal dapat orderan lagi secepatnya," tukas Starla menenangkan. Gadis itu menyentuh bahu Bima dan bergerak mendekat. Bima pun langsung menariknya dalam pelukan.
"Ya, semoga," do'a Bima sungguh-sungguh.
"Bagaimana kalau kamu mulai dari pesta pernikahan? Ulang tahun anak-anak? Foto random buat wisuda siswa-siswi yang baru lulus?" saran Starla menyebutkan tempat-tempat yang mungkin sangat membutuhkan jasa fotografer.
Bima terkekeh. "Ide bagus. Hari ini aku akan ke rumah salah satu temanku. Kebetulan dia menikah hari ini."
"Benarkah?"
"Hmmm," angguk Bima.
"Kamu mau aku ikut?" tawar Starla sembari menaik turunkan alis. Membuat Bima mengacak gemas rambut Starla.
"Acaranya jam 10 dan kamu masih kerja, Sayang."
Oh, iya benar, batin Starla. Diam-diam mengutuk perusahaannya yang memiliki peraturan tegas.
"Oke, aku mandi dulu sebelum terlambat." Starla mengecup sekilas bibir Bima, lalu dengan melilitkan selimut tebal untuk menutupi badannya yang telanjang Starla segera pergi ke kamar mandi.
Sepeninggal Starla, Bima menjatuhkan tubuh kembali di atas kasur. Ia hampir kembali terlelap tetapi sebuah suara handphone membuatnya urung.
Dengan malas, tangan Bima meraba nakas. Ia sempat mengernyit saat melihat nomor baru yang masuk.
"Halo," ucap Bima setelah menggeser tombol hijau di layar.
Dari seberang, Bima sempat mendengar suara grasak-grusuk, benda-benda yang dibanting dan kekacauan lainnya. Kernyitan Bima semakin dalam, ia merasa bahwa panggilan telepon iu hanyalah salah sambung. Tapi baru saja ia hendak memutuskan sambungan telepon tersebut, sebuah suara familiar menyapa.
"Bima ...,"
Tubuh Bima menegang. Matanya terbelalak lebar. Jantung Bima pun berdebar kencang. Rasa kantuk yang tadi menyerang pun langsung menghilang digantikan rasa campur aduk yang sulit untuk Bima jelaskan.
Bima tau suara ini. Terlalu mengenal malah. Suara seorang gadis yang sudah bertahun-tahun hilang tanpa kabar.
"Intan?" gumam Bima. Buru-buru ia berdiri untuk keluar menuju ruang tamu.
"Intan? Kamu Intan, bukan?" tanya Bima lagi, tanpa sanggup menutupi suara cemasnya.
Jeda beberapa detik, hingga suara wanita itu kembali lagi. Meski dengan lemah, Bima masih bisa menangkap kalimatnya.
"Iya. Ini aku Bima... Intan."
Bima menutup mulut dengan sebelah tangan. Tubuhnya menjadi gusar hingga ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Bahkan ia lupa sama sekali jika ia masih dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun menutup tubuh.
"Kamu... di mana saja kamu? Aku cari kamu ke mana-mana!" seru Bima dengan suara setengah bergetar.
Intan terisak melalui seberang telepon, dan Bima menghembuskan nafas frustasi. "Intan, jawab aku! Di mana kamu sekarang?"
"Aku ...,"
Belum selesai Intan menjawab, suara piring dibanting dari telepon terdengar. Membuat Bima menjadi semakin gusar dan khawatir.
"Katakan padaku apa yang terjadi?!"
"Tolong aku, Bima... hiks ... hiks ... Tolong...," jawab Intan sebelum sambungan telepon itu tiba-tiba tertutup.
"Intan! Intan! Halo?! Intan!" panggil Bima berulang kali. Ia pun menekan kembali nomor tadi tapi sia-sia saja. Nomor itu sudah tidak aktif lagi.
"Sial!" umpat Bima. Ia melempar handphone-nya ke atas sofa, lalu mengusap wajah dengan kasar. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Intan? Bertahun-tahun lamanya dia menghilang dan sekarang tiba-tiba menelpon dan meminta tolong.
Demi menjaga kewarasan, Bima pun segera kembali ke kamar. Ia mengambil kaus dan celananya yang tergeletak di lantai. Bima berpakaian dengan cepat lalu segera keluar dari kamar. Mungkin menyiapkan sarapan bisa sedikit menjernihkan pikiran yang sedikit kacau pagi itu karena kekasih masa lalunya.
***
Sementara Bima di dapur, Starla keluar dari kamar mandi. Ia bersiap-siap dengan cepat. Memakai kemeja merah, blouse putih dan rok span selutut. Starla mengoleskan make-up tipis ke wajahnya. Ia memang tidak suka dandanan yang terlalu menor.
Dirasa sudah cukup, Starla mengambil tas kulit kerjanya dan segera keluar dari kamar. Tak lupa sebelumnya ia juga merapikan kasur agar tidak lagi tampak berantakan. Rutinitas ini memang selalu ia lakukan setiap hari. Dan jujur saja kontrakan Bima jauh lebih bersih dan tertata rapi sejak ia tinggal di sana.
"Sarapan dulu, Sayang." Bima menegur Starla yang melewati dapur. Starla menoleh dan langsung mencium bau harum masakan yang berasal dari meja.
Tidak ada meja makan di kontrakan kecil mereka, jadi setiap mereka makan, mereka melakukannya di ruang tamu.
"Tumben masak?" tanya Starla heran setengah geli. Ia yang tadi berniat sarapan di depan kantor seperti hari-hari sebelumnya jadi urung.
"Yah, cuma mie instan sama telur doang, kok!" jawab Bima, mengajak Starla duduk di sofa. Ia sudah meletakkan hasil masakannya di atas meja berikut dengan sendok dan piring.
Starla mengangguk. Memang sarapan ini terbilang sangat sederhana, namun tetap saja yang memasak adalah Bima. Dan Starla menyukai hal apapun yang Bima lakukan untuknya.
"Terima kasih," tukas Starla yang langsung memakan sarapan dengan lahap. Bima mengikuti kemudian.
"Aku jemput kamu di jam biasa. Oke?" Bima berkata setelah Starla selesai mencuci piring bekas sarapan. Ia memeluk tubuh Starla dari belakang. Hidungnya ia tempelkan ke leher jenjang Starla yang berbau harum lavender. Bima selalu menyukai bau tubuh Starla.
Starla tersenyum.
"Oke," jawabnya. Ia meraih lap yang tergantung dekat wastafel untuk mengeringkan tangannya yang basah lalu berbalik. Saat itu juga, bibir Bima langsung menemukan bibir Starla.
Bima mencium Starla, menggigit bibir bawah Starla dan menyusupkan lidahnya dalam mulut Starla yang sudah terbuka. Mereka berciuman cukup lama, hingga terdengar bunyi kecipak yang nyata. Lidah mereka saling menggoda dan membelit satu sama lain.
"Kita harus berhenti di sini sebelum kita berbuat lebih jauh lagi," kata Starla saat Bima melepas ciuman demi memasok udara kembali ke paru-paru.
Napas Bima terdengar berat, matanya pun sudah berkabut menatap Starla penuh gairah.
"Bagaimana dengan sex 15 menit? Aku akan melakukannya dengan cepat. Aku janji."
Sejujurnya, Starla sempat tergoda. Namun saat ia melirik arloji di tangannya, ia tau ia harus menolak atau ia akan terlambat dan beresiko diberi SP 3 oleh perusahaan tempat ia bekerja.
Mungkin Darma memang benar. Sejak ia kenal dengan Bima, Starla jadi sering terlambat ke kantor. Kali terakhir adalah satu minggu yang lalu. Bosnya marah besar karena ia sering terlambat dan memberikan SP 2 setelah SP pertama yang ia terima dua bulan lalu.
"Mungkin jam 5, setelah kita sampai rumah. Itu pun jika kamu nggak keberatan dengan bau keringatku setelah seharian bekerja," goda Starla. Tangannya bermain-main di rahang Bima. Mengelus bulu-bulu kasar yang mulai tumbuh setelah satu minggu yang lalu tercukur bersih.
"Kamu tau aku tidak pernah keberatan dengan hal itu." Bima mencium Starla lagi. Namun di saat tangannya mulai meraba dada Starla, Starla segera mendorong Bima menjauh.
"Sabar, Tuan Bima yang terhormat. Aku harus berangkat sekarang juga," tukas Starla, membuat Bima refleks mengerang kecewa.
"Please? Hanya 5 menit?"
Starla tertawa lalu menggeleng tegas. "Jika aku terlambat lagi, aku akan dipecat."
Dengan berat hati akhirnya Bima mundur ke belakang. Memberi ruang bagi Starla untuk pergi dari dapur.
"Hati-hati di jalan!" ucap Darma berpesan.
"Iya."
Setelah itu Starla meninggalkan rumah. Selama perjalanan ke kantor dengan naik bis, sebuah senyum tipis tak pernah lepas dari bibir gadis berambut hitam tersebut. Hubungannya dan Bima sejauh ini baik-baik saja, dan ia berdoa agar selalu bisa baik-baik saja.
Menatap langit biru yang cerah, Starla mulai berani bermimpi.
Jika nanti ia dan Bima akhirnya siap untuk menikah, mungkin kebahagiaan mereka akan lebih besar dari ini.
Mungkin ...
Sudah sekitar satu jam lamanya Starla berdiri di depan gerbang kantor. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, di mana banyak kendaraan berlalu lalang. Awan yang tadinya cerah sudah berubah gelap diiringi kilat dan gemuruh petir yang sesekali menyambar di angkasa. Angin yang bertiup semakin kencang dari menit ke menit membuat Starla memeluk tubuhnya sendiri karena rasa dingin yang menusuk kulit."Neng masih di sini?" Pak Tarjo, satpam yang berjaga di gerbang bertanya pada Starla. Ia mendongak menatap langit yang kian menggelap karena selain sudah masuk jam setengah 6 sore, mendung tebal juga bergelayut siap menjatuhkan titik-titik air hujan kapan saja."Iya, Pak.""Nunggu siapa, Neng? Jemputan?" tanya Pak Tarjo lagi, sesekali mengusap kedua telapak tangannya sebab ia juga merasa kedinginan setelah keluar dari ruang pos jaga demi menghampiri Starla. "Mending pulang aja sekarang, Neng. Mau hujan ini," saran Pak Tarjo.
Starla duduk bersandar di kusen kasur sembari menatap kosong kamar bercat putih yang sebenarnya adalah kamar Bima. Rambut yang setengah basah setelah habis mandi ia biarkan terurai. Melirik jam dinding, Starla semakin terdiam tak bisa berkata-kata.Ini sudah lewat tengah malam dan belum ada tanda-tanda jika Bima akan pulang.Kecewa? Tentu saja.Karena sesakit apapun perasaannya tadi saat mengetahui perbuatan Bima, diam-diam Starla masih ingin percaya. Gadis itu mengharap sebuah penjelasan dari bibir Bima, yang menyatakan bahwa apa yang ia lihat tidak seperti yang ia bayangkan.Starla menunduk lelah.Bukankah sudah jelas jika Bima sama sekali tidak berniat mengklarifikasi?Jika Starla ingat, pria itu bahkan tidak berusaha mengejarnya dari motel tadi.Ingat semua hal itu, dada Starla kembali sesak. Tanpa sadar, Starla bahkan sudah kembali menangis.Entah sudah berapa lama
N O T E :Wahai pembaca yang budiman, part ini mengandung adegan kekerasan dan adegan dewasa. Bagi kalian yang benar-benar masih di bawah umur dan tidak menyukai segala bentuk jenis kekerasan apapun, jangan dibaca!Happy Reading!* * *"Tch," dengus Lion. Tangannya menyentuh dagu Starla, membuat gadis itu mendongak paksa. Lion pun mendekatkan wajah hingga Starla mampu mencium bau asap rokok dari napas yang keluar dari hidung Lion."Kau pikir aku tertarik dengan uangmu?" bisik Lion. Sementara satu tangan yang lain bergerak, menelusuri kancing dress piyama berbahan satin yang Starla pakai.Lion menyeringai. "... Aku hanya mau tubuhmu."Refleks, Starla mendorong tubuh Lion hingga pria itu jatuh terduduk tepat di atas meja. Gadis itu berdiri dan segera berlari menuju pintu terdekat.Pintu keluar. Starla harus segera
Episode paling drama dan fenomenal di layar kaca Indosi*ar :"Pergi dari sini! Aku jijik sama kamu, Mas! Aku jijik! Jangan sentuh aku! Pergi, pergiiiI!!"Wkwkwkwk :PSelamat membaca!***Pagi ini menjadi sangat berbeda bagi Starla. Dalam semalam saja kehidupannya sudah berubah 180 derajat. Jika biasanya di jam ini Starla sudah selesai mandi dan sedang bersiap-siap berangkat, kali ini gadis tersebut sedang meringkuk lemah dibalik selimut tebal yang dia tarik dengan sisa tenaganya.Pandangan Starla kosong, menatap jendela yang masih tertutup tirai berwarna putih. Matanya terasa panas dan bengkak karena semalaman menangis. Mungkin baru beberapa jam yang lalu air mata itu berhenti dan berubah menjadi sebuah tatapan tak berarti.Starla, meskipun dia merasa kepalanya mulai berdenyut karena tidak bisa tidur dan memikirkan banyak hal, masih berusaha tetap sadar.Suara-suara keributan dari luar kamar tidak mengusik Starla sama sekali. Dia justru mengeratkan selimut untuk menutupi tubuh telan
Waktu berjalan cepat hari itu. Starla telah selesai meratapi nasip.Di batas kehancurannya, Starla mengingat jika dia tidak boleh menyerah. Darma akan sangat kecewa jika tau putri semata wayangnya mudah menyerah pada keadaan.Mengingat nama sang ayah, hati Starla menjerit keras. Mungkin karena dia menentang keputusan Darma, maka dari itu sekarang dia terkena karma.Starla ingat jika Darma pernah mengatakan Bima bukan pria baik. Saat itu Starla memang sangatlah naif dan egois. Dengan pikiran pendek, dia menentang Darma dan pergi dari rumah karena lebih memilih Bima.Sekarang, jika dia pulang ke rumah, apakah Darma akan menerimanya? Akankah ayah yang tegas itu memberikan dukungan yang dia butuhkan saat dirinya tengah mengalami hal gila ini? Dirinya merasa kotor dan tidak pantas untuk pulang. Tapi dia harus ke mana lagi jika tidak kembali ke rumah?Starla menghela napas. Pipinya masih lembab karena bekas air mata. Hidung dan matanya bahkan masih sedikit merah."Aku harus pergi," putusnya
NOTE :Part ini mengandung adegan kekerasan dan kata-kata kasar. Sekali lagi, author ingatkan. JIKA anda berusia kurang dari 21 tahun, jangan membaca cerita ini dulu ya.Selamat membaca!***Semua terlambat, saat Starla menyadari bahwa itu bukanlah mobil abang grab yang dia pesan. Gadis itu otomatis melepaskan pegangannya pada koper dan berbalik untuk berlari. Perasaan takut muncul begitu saja kala melihat pria tua itu.Namun, tepat saat itu juga tangannya sudah dicekal dengan cepat. "Kamu pikir kamu mau lari ke mana jalang* kecil?"Starla memberontak, berusaha melepas tangannya. Dia mulai berteriak tapi Lion dengan cepat menamparnya keras sampai pandangan Starla terasa berkunang-kunang. Ia bahkan bisa merasakan asin darah yang keluar dari sudut bibirnya."Apa yang kamu lakukan?! Lepasin dia!" teriak Bima murka, dia tidak terima pada perlakuan kasar Lion pada Starla."Aku? Aku hanya akan membawa wanita ini bersamaku," jawab Lion santai. Dia tersenyum miring menatap Bima yang berusaha
"Kau yakin kau tak ingin mengobati lukamu?"Pertanyaan itu membuat Starla melirik sekilas pada sosok pria yang baru saja masuk ke dalam kamarnya.Cahaya temaram yang berasal dari lampu kuning 5 watt membuat gadis itu sempat menerka-nerka, kali ini pria seperti apa yang mengantarkan makanannya ke ruangan ini.Karena tidak ada jawaban yang keluar dari bibir gadis yang tengah duduk di ranjang kecil sudut ruangan, pria itu tersenyum tipis. Dia meletakkan makan malam Starla di atas meja kecil yang ada di sana.Sekilas, pria berbadan tegap dan memakai jas hitam itu mengamati ruangan berukuran 3x3 meter tersebut. Tampak sangat menyedihkan dan suram. Bahkan dia pikir, akan lebih baik tidur di kamar para preman lantai satu. Setidaknya, kamar mereka lebih terang dan lebih lebar dari tempat ini.Tidak ada apapun di kamar Starla melainkan hanya sebuah ranjang lengkap dengan sebuah bantal dan selimut, dan meja kecil yang menempel di tembok. Tidak ada jendela dan sirkulasi udara yang cukup, melaink
Starla tidak tau sudah berapa lama dia berada di tempat ini, yang jelas cukup lama Lion tidak datang berkunjung untuk menyentuhnya dan itu membuat dia lega.Luka-luka lebam yang dia derita pun sudah berangsur membaik dan hampir hilang sama sekali. Salep yang selalu diberikan Xander ternyata sangat manjur untuk menyembuhkan dan menghilangkan bekas lebam di kulit putihnya.Terdiam dalam sunyi lampu temaram, rasanya sungguh membosankan. Starla rindu sinar terik matahari, rindu melihat bulan dan kemerlap bintang, suara klakson mobil dan bau asap motor, bahkan Starla rindu pada hembusan angin di bawah pohon.Menarik selimut karena tidak ingin membiarkan harapannya membumbung tinggi, Starla memejamkan mata. Bersamaan dengan itu, pintu kamarnya didobrak dengan keras dari luar, membuat Starla otomatis langsung duduk tegak."Starla!"Itu Xander. Dia berjalan cepat menghampirinya dan menarik tangan Starla hingga berdiri."Kita harus pergi dari sini segera," ucapnya.Sebelum Starla memberi respo
Luna sudah menyeberang jalan ketika iris mata hitam Yuda menangkap sesuatu di atas tanah yang berkilauan. Ia mengernyit, lantas menunduk dan mengambil benda tersebut.Sebuah kalung emas dengan bandul huruf L yang di kedua sisinya terdapat ukiran sayap mungil, tak lain dan tak bukan adalah milik Luna. Yuda ingat pernah melihatnya di leher Luna. Berniat ingin mengembalikan, Yuda sempat berlari mengejar Luna. Akan tetapi tidak berlanjut sebab ia kehilangan jejak Luna.Yuda pun kembali ke bawah pohon, memasukkan kalung tersebut ke dalam tas. Ia pikir besok akan langsung mengembalikannya pada Luna.Yuda mengambil selimut yang dibawakan oleh Luna, berikut dengan tas ransel pink bergambar princess. Satu kotak yang berisi buah juga ditinggalkan Luna, katanya untuk makan malam Yuda.Bocah lelaki umur 7 tahun itu tersenyum tipis. Merogoh saku di mana ada uang 15 ribu dari sana. Yuda tidak mengemis, hanya saja kemarin ada kakak-kakak baik hati yang memberi uan
Luna bersiap pergi ke taman kota sekitar pukul 9 pagi seperti biasa. Dengan rambut dikuncir dua, Luna pamit pada Starla.“Mom sudah menyiapkan banyak bekal makanan untukmu. Semuanya sudah Mom masukkan dalam tas,” ucap Starla, mengelus rambut hitam Luna. “Masih tidak mau menceritakan pada Mom siapa temanmu itu?”Luna menggeleng polos. Sebenarnya dia ingin, namun Yuda melarangnya entah karena alasan apa.Starla menghela napas, mengecup kedua pipi Luna. “Baiklah jika kau masih menyimpan rahasia tentang temanmu itu. Tapi ingat pesan Mom, tetap hati-hati. Kau tidak tau dia punya niat jahat atau tidak.”“Dia baik, Mom,” kekeh Luna kecil.“Tetap saja kau harus berhati-hati. Ini Indonsesia, bukan Belanda di mana ayahmu mempunyai kekuasaan. Mengerti?”Lun
Seperti bocah 5 tahun pada umumnya, Luna masih suka sekali bermain di luar rumah. Seperti siang hari ini, ia meminta ijin pada Starla untuk mengelilingi komplek perumahan, dan mampir ke taman bermain jika ia pulang agak lama.“Hati-hati, okay? Jangan menyeberang sembarangan. Jika ada orang asing yang memberimu makanan apapun, kau tidak boleh menerima. Masih ingat bukan, apa yang kau pelajari dari Mom dan Dad dulu tentang bagaimana menghadapi orang asing yang tidak kau kenal?” tanya Sivia sambil memasangkan sebuah tas ransel di punggung Luna.“Yes, Mommy. Aku tidak boleh mempercayai siapa pun,” jawab Luna sambil mengangguk-anggukkan kepala.“Good! Kau juga ingat bukan, jika beberapa hari yang lalu ada yang mencuri tasmu?”Luna meringis hingga barisan gigi putihnya terlihat s
Tidak pernah sekalipun dalam bayangan Yuda bahwa ia akan mengalami nasib seperti ini. Dulu, ibu yang selalu ada untuknya telah tiada, karena penyakit yang dokter sebut sebagai kangker perut. Saat itu usia Yuda tepat 5 tahun.Selama hidup bersama ibu, Yuda tidak pernah mengenal ayah. Ibu tidak pernah bercerita apapun tentang pria itu. Pun Yuda tidak pernah bertanya. Entah kenapa ia merasa Ibu akan merasa sedih jika ia membahas tentang ayah.Namun, tepat 7 hari setelah ibu meninggal dan membuat Yuda hidup sebatang kara, datang seorang pria yang mengaku sebagai ayahnya. Namanya Heru.Heru memiliki penampilan bak preman, sesuai dengan siapa dirinya. Ia sering mabuk dan bermain judi. Tak jarang, ia juga membawa perempuan-perempuan asing ke rumah, menidurinya di setiap sudut rumah dan sama sekali tidak masalah jika Yuda melihat.Tak
“Luna! Ayo!” Darma berseru pada cucu perempuannya sambil menggandeng tangan kecil Ken.Kemarin, ia telah berjanji pada dua cucunya untuk mengajak mereka jalan-jalan. Dan sejak pagi tadi, Luna sudah merengek pada Darma, menuntut janji tersebut.Namun sekarang lihatlah siapa yang malah terlambat keluar dari kamar dan membuat Darma menunggu?“Iya, Kakek! Tunggu sebentar!” sahut Luna.Benar saja, tak lama kemudian gadis cilik itu keluar dari kamar. Dengan rambut hitam dikuncir dua, Luna juga membawa sebuah tas ransel.“Wah, cantik sekali cucuku!” puji Darma. Ia mengambil sepatu Luna dari rak kemudian menyuruh Luna untuk memakainya sendiri.“Ayo!” seru Luna setelah selesai memakai sepatu. Ia menggandeng tangan kiri Darma, sementara Ken menggandeng tangan kanan.
Pesisir putih di sebuah pantai Malaysia tengah didekorasi sedemikian rupa dengan nuansa warna putih. Terdapat altar kecil dengan hiasan bunga-bunga, beberapa kursi yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, juga sebuah meja panjang berisi beberapa makanan sederhana.Matahari baru saja muncul sekitar satu jam yang lalu, namun karena termasuk salah satu negara tropis, hawa dingin yang terasa bukan menjadi masalah bagi Isaac. Seorang pria yang sudah rapi dengan balutan jas berwarna hitam. Rambutnya disisir rapi ke belakang, hal yang sangat jarang ia lakukan bahkan ke undangan-undangan pesta sekalipun.Tapi hari ini hari spesial untuk Isaac. Dengan hati berdegup kencang, matanya terus mengawasi dengan cemas ke arah karpet merah terbentang.“Ehem! Jadi, di mana mempelai wanitanya?” seorang kepala pastur bertanya dengan tidak sabar.
5 Pria bawahan Abdul maju, menarik dan menyeret tubuh Isaac paksa keluar dari kamar. Pun dengan Rueben yang kakinya sudah terluka karena tertembak.Abdul mendengus, merapikan kemejanya yang sedikit lecek akibat perkelahian tadi. Ia menatap Samantha sambil tersenyum miring.“Sorry, Sweetheat. Ternyata kita kedatangan tamu tidak diundang. Sepertinya aku terlalu remeh dalam hal persembunyian.” Abdul menarik tubuh Samantha, memaksanya berdiri. Ia mencekal lengan kurus Sam keluar dari kamar, bergabung dengan para bawahannya.“Aku berjanji setelah ini aku akan memberikanmu malam indah tak terlupakan,” lanjut Abdul. Mengeluarkan pistol sembari menodongkannya di kepala Sam.“Jika kalian melawan, aku akan menembak gadis ini!” ancam Abdul pada Isaac dan Rueben yang masih mencoba memberontak.
Samantha selalu bertanya-tanya akan seperti apa akhir hidupnya dan di mana ia akan menghembuskan napas terakhir. Apakah ia akan meninggal di tanah kelahiran sang ibu, Belanda, Malaysia atau negara lain yang belum pernah ia kunjungi. Apakah ketika saat terakhirnya nanti akan ada seseorang di sampingnya atau dia akan sendirian. Dan yang lebih penting lagi kapan? Berapa tahun, bulan, hari atau jam lagi?Sekarang itu semua sudah terjawab. Bahwa ia akan meninggal di Malaysia, di sebuah apartemen karena ditembak oleh seorang pria bernama Abdul Razak, adik dari istri sah ayahnya. Dan itu akan terjadi beberapa jam lagi.Takut? Tentu. Panik? Jelas. Gemetaran? Tidak juga.Abdul Razak tengah mengiris steiknya dengan lihai, kemudian memakannya dengan penuh tata krama pria bangsawan. Sementara Samantha yang duduk di seberang meja menatap steiknya den
DOR!Suara tembakan itu membuat kedua mata Samantha terpejam erat. Jantungnya berdentum teramat kencang sehingga tubuhnya menegang. Jika sejak awal ia lemah, sudah pasti sekarang ia sudah pingsan.Terjadi keheningan beberapa saat sampai akhirnya Samantha berani membuka mata, menatap sosok pria dengan pistol yang ia arahkan pada atap. Dia menyeringai kejam melihat Samantha.“Itu sebagai peringatan saja,” ucap si pria. Kemudian ia mengarahkan pistolnya pada Samantha lagi, menyusuri wajah tersebut dengan ujungnya, membuat Sam mendongak. “Tapi next time, aku akan benar-benar melubangi kepalamu jika kau menolak.”Tersenyum, pria itu menyimpan kembali senjatanya ke dalam jas. Ia melirik arloji di tangan kemudian menatap Samantha lagi.“Sekarang aku harus pergi. Ada pekerjaan lain yan