Aku terhenyak, melihat lelaki berbadan tegap berdiri di belakang Mas Heru dengan kedua tangan berada di saku celana. Daffa? Apa yang dia lakukan di tempat ini? Reflek, kudorong tubuh Mas Heru, layaknya kekasih yang tertangkap sedang berselingkuh.
“Sayang…” panggil Daffa lagi.
Mas Heru berbalik, memberikan tatapan tajam pada Daffa. Daffa hanya menanggapinya dengan santai, seraya menarikku agar berada di dekatnya. “Aku cariin ke rumah, gak tahunya di sini.
“Daff!” bisikku seraya membelalakkan mata. Daffa merespon dengan anggukan dan senyum lembut, seolah memintaku percaya padanya.
“Lana, dia siapa?” Suara Mas Heru mengalihkan fokusku.
“Kenalin, saya Daffa Mahendra. Calon suami Kelana,” jawabnya mantap.
Sebelum aku mengenalkan Daffa pada Mas Heru, dia memperkenalkan diri lebih dulu. Senyum penuh kemenangan tersungging di bibirnya, berbanding terbalik dengan Mas Heru yang menatapnya de
Namaku Rachel Tanisha Quilla, janda beranak satu yang belum lama ini memenangkan sebuah kompetisi. Ya, aku menyebutnya kompetisi. Kompetisi memenangkan hati Heru, lelaki yang merupakan mantan kekasihku dulu. Aku berhasil membuat Heru meninggalkan istrinya. Itu menjadi kebanggaan tersendiri bagiku. Entah mengapa, rasanya menyenangkan saat berhasil mendapatkan apa yang aku inginkan.Akan tetapi, belakangan Heru menjadi sangat menyebalkan, tak sehangat sebelumnya. Ia juga terlampau pelit. Bagaimana tidak, dia marah padaku hanya karena uang lima ratus juta. Padahal aku sangat yakin, untuk ukuran pengusaha seperti Heru, uang segitu tidak ada apa-apanya. Lagipula, dia pernah berjanji akan memenuhi semua kebutuhanku.Pertengkaran pertama kami terjadi, dan pemicunya tak lain adalah uang lima ratus juta. Aku tidak merasa bersalah sama sekali, karena dia pernah mengatakan bahwa uangnya, uangku juga. Namun, ada satu hal yang tak bisa kutoleransi, yakni caranya memperlakukan Delia
"Jadi istri saya, ya. Mau, kan?"Astaga, pertanyaan nyeleneh macam apa itu? Sepertinya, Daffa salah sasaran, dia bercanda dengan orang yang sangat amat tidak tepat."Hahahaha." Aku terbahak hingga sakit perut, sedangkan dia mengedarkan pandangan, menatap ke arah lain. "Lo yang bener aja, Daff. Mau tutor ngelamar cewek? Jangan ke gue lah, gagal romantis nanti," imbuhku menahan tawa sambil berusaha mencairkan suasana.Perlahan tapi pasti, Daffa mendekat dan berbisik tepat di telingaku. "Sebelumnya, saya gak pernah seserius ini," ungkapnya.Aku tertegun, bibirku yang tadi dengan lancarnya berkata-kata mendadak kelu. Apa ini? Kalau serius, berarti barusan dia melamarku?"Kenapa gue? Kita bahkan gak terlalu deket," tanyaku setelah berhasil menguasai diri."Kenapa bukan lo?" Balasnya.Tatapan Daffa begitu hangat. Aku mundur beberapa langkah seraya menggeleng. "Gak, Daff. Jangan gue," tolakku.Aku tak mau, hatiku belum siap menerima k
Bertepatan dengan pertanyaan itu, mobil yang dikemudikan Daffa menepi di rumah sakit tempat Mas Heru dirawat. Kesempatan tersebut kupergunakan untuk mengajak Lintang ke luar dari mobil, kami pergi meninggalkan Daffa sebelum anakku sempat menjawab pertanyaannya. "Bun, kita gak nunggu Om Daffa?" tanya Lintang. Dia tampak heran dengan langkahku yang tergesa, seperti dikejar setan. "Gak usah, Sayang, Om Daffa ada urusan," jawabku. Lintang nyaris tak percaya, kalau aku tak menunjukkan pesan singkat yang dikirim Daffa satu detik setelahnya. "Lan, sori saya gak bisa nemenin, mendadak ada hal penting yang perlu saya urus." Bagus, lah, aku jadi tak perlu berbohong dan mencari banyak alasan untuk menanggapi pertanyaan lanjutan Lintang. "Gimana? Percaya, kan, sama Bunda?" Lintang mengangguk. "Kapan kita ketemu Om Daffa lagi?" "Nanti kalau Om Daffa gak sibuk. Sekarang kita lihat Ayah, Ayah mau ketemu Lintang," ucapku sembari mengga
Pukul sebelas malam, Daffa baru menginjakkan kaki di rumah. Seperti biasa, kondisi rumahnya sudah gelap. Ia ingin segera merebahkan diri. Tubuhnya cukup lelah karena beraktivitas seharian. Namun, niat itu harus tertunda saat ponselnya berdering, menampilkan nomor tak dikenal di layar. "Siapa, sih, ganggu banget," sungutnya seraya menolak panggilan itu. Bukannya berhenti, pemilik nomor tersebut terus mengganggunya, membuat Daffa kesal dan mau tak mau mengangkat juga. "Halo," ucap Daffa ketus. "Om Daffa, ini Lintang." Daffa heran. Lintang? Darimana Lintang mendapat nomornya? Dan mengapa bocah itu menghubunginya di malam yang sudah hampir larut? "Lintang? Ada apa, Sayang? Ada masalah?" Daffa tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. "Om Daffa mau temenin Lintang?" lirih Lintang. "Lintang mau ke mana malam-malam begini?" Daffa tak menyangka, Lintang akan menghubungi dan meminta bantuannya. Tapi, apa Kelana tahu? Ah,
"Saya nginep di sini?""Hah? Nginep?"Aku terperangah, seraya memberikan tatapan tak suka pada Daffa. Barusan dia bilang apa? Menginap? Tidak, tidak, aku tidak akan mengizinkannya. Jangakan menginap, melihatnya di sekitar sini saja aku malas. Bukan apa-apa, hanya saja takut menjadi fitnah, karena statusku saat ini."Lo gila? Gak, gak! Mending pulang sekarang. Udah malem, gak enak dilihat orang," usirku.Daffa mengernyitkan kening, menatapku heran. Tak lama kemudian ia mengeluarkan kunci dari saku celana. "Di kamar sebelah, bukan di kamar kamu," ujarnya sembari tersenyum tipis. Aku terdiam, antara lega dan malu. Bisa-bisanya aku punya pikiran akan tinggal satu atap dengannya."Oh yaudah, terserah lo!" balasku."Kenapa? Kamu mau saya tidur di dalam? Saya sih gak keberatan," ucapnya dengan tatapan menggoda.Ck! Bicara apa Daffa ini? Ngawur sekali. "Gak usah ngaco!" elakku.Aku meninggalkannya tanpa berucap sepatah-katapun, bergega
Mataku perlahan terbuka. Langit-langit kamar dan dinding putih menjadi pemandangan pertama yang kulihat, disusul aroma khas rumah sakit menyeruak, memenuhi indera penciuman."Di mana ini?" batinku."Kelana, syukurlah kamu udah bangun," ucap seorang pria yang tak lain adalah Daffa.Aku menatap sekeliling. Setelah beberapa menit, barulah aku sadar bahwa ruangan serba putih ini adalah rumah sakit."Kenapa gue di sini?" tanyaku lemah."Tadi kamu pingsan."Aku mencoba mengingat-ingat. Bayangan sosok Rachel yang menjambak dan menamparku terekam jelas, panas di pipi dan kulit kepalaku pun masih terasa."Jangan berpikir terlalu keras, kondisi kamu masih belum stabil," ujar Daffa."Di mana Lintang?"Jam dinding rumah sakit menunjukkan pukul 17.00 WIB. Artinya, sudah cukup lama aku terbaring di sini."Lintang di tempat yang aman, kamu tenang aja."Jawaban Daffa sontak membuatku menatap tajam ke arahnya. Bagaimana bis
Satu bulan berlalu sejak kejadian di mana Rachel bertemu Daffa. Aku tak bertanya apa pun, begitupun Daffa yang seperti acuh tak acuh saja. Ya sudahlah, aku tak mau pusing memikirkan sesuatu yang bukan urusanku.Hari-hariku sudah kembali normal, bekerja dari pagi hingga sore, dan malamnya menghabiskan waktu bersama Lintang. Bagaimana dengan Mas Heru dan Rachel? Beberapa kali Mas Heru menghubungi, mengajakku untuk sekadar minum kopi. Tentu saja kutolak, kami sudah bukan suami istri. Rachel? Aku tak tahu dan tak mau tahu. Selagi dia tak mengusikku, aku pun tak akan mengusiknya.Waktu menujukkan pukul 11.40 WIB. Aku bergegas membereskan meja, guna menjemput Lintang. Hari ini aku ingin mengajaknya makan siang bersama."Lan, kantin yuk," ajak Mona."Enggak deh, Mbak, saya ada urusan," tolakku."Yaelah, urusan apa sih? Urusan sama Pak Daffa?" tebaknya seraya mencolek daguku.Aku memutar bola mata malas. Satu-satunya orang yang senang sekali menggod
"Kalau Om Daffa jadi Ayah Lintang, mau gak?"Pertanyaan Lintang saat makan siang tadi mengalihkan fokusku. Kalau saja Kelana tak mengalihkan pembicaraan, tentu sudah kuiyakan permintaan bocah tersebut."Susah banget ngeyakinin kamu, Lan," batinku.Ah! Aku tak bisa tinggal diam. Satu bulan lagi masa iddah Kelana berakhir, dan saat itu tiba aku harus lebih memaksimalkan usaha, agar ia percaya pada niat baikku.Tok tok tok… Suara ketukan pintu mengembalikanku pada realita."Masuk."Derap langkah kaki mendekat. Livia─sekretarisku menghampiri. "Pak, ada yang ingin bertemu.""Siapa?" Aku merasa tak punya janji apa pun hari ini. Siapa gerangan yang datang?"Laki-laki, Pak, namanya Heru," jelas Livia.Heru? Heru siapa? Aku merasa tak mengenalnya. Mau apa dia menemuiku? Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepala."Suruh masuk saja," titahku."Baik, Pak."Tak lama setelah Livia pergi, seorang pria berdiri
—PoV KelanaSatu bulan kemudian“Sayang, masuk, yuk, kita istirahat,” ajakku pada Lintang yang masih duduk di teras rumah dengan pandangan kosong. Meskipun mengenakan pakaian berbahan tebal, aku tak mau dia kedinginan, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, ditambah hujan yang baru saja reda beberapa menit lalu.“Lintang masih mau di sini, Bun.”Aku mengambil tempat di sampingnya, mengamati wajah ayu putriku yang terlihat sendu. Satu bulan ini aku benar-benar memaksimalkan waktu bersama Lintang, menemaninya setiap hari, mengantarnya ke mana pun dia ingin pergi. Meskipun apa yang aku lakukan tidak bisa mengembalikan tangan Lintang, aku tetap bersyukur karena Tuhan memberi kesempatan berkali-kali untuk memperbaiki diri, dan yang terpenting Lintang masih di sini.“Bunda temenin, ya.”“Bunda belum ngantuk?”Aku menggeleng sebagai jawaban. Saat itulah Lintang tersenyum simpul dan menyandarkan kepalanya di pundakku. Tidak ada yang kami lakukan, hanya diam seraya menatap lang
—PoV Kelana “Apa maksud kamu?”Lututku bergetar mendengar penuturan Mas Heru. Entah apa maksud lelaki itu mengatakan hal tersbut, padahal aku tahu betul Lintang sedang berlibur dengan Omanya. Tapi, mengapa tiba-tiba dia datang dan bilang Lintang sudah tidak ada? Jelas, aku tak bisa diam saja menanggapi omong kosong tersebut. "Jangan asal bicara!" tekanku.“Mas akan ceritakan di jalan, sekarang Lana ikut Mas ke rumah sakit, please,” balas Mas Heru.Rumah sakit? Untuk apa? Demi menjawab rasa penasaran tersebut, aku mengangguk setuju. Lagipula, aku pun merasa tak tenang, seperti ada yang janggal, tapi tidak tahu apa.Saat hendak menaiki mobil Mas Heru, Angga menghalangi langkahku. “Mau ke mana?”“Saya harus ke rumah sakit.”“Dengan dia?”“Ya.”“Mohon maaf, tapi Pak Daff berpesan supaya Anda tidak lagi berhubu
—PoV Kelana Aku bergerak gelisah, tidurku terasa berbeda malam ini. Aku berpikir, mungkin karena tak ada Lintang. Ya, pasalnya ini kali pertama kami berjauhan. Tepat pukul dua dini hari, mataku terbuka sempurna. Entah karena alasan apa, keringat dingin membasahi tubuhku, ditambah tenggorokan yang terasa kering, padahal aku tak merasa demam. Hal pertama yang kulakukan adalah meraba tempat di sebelahku, ternyata tak ada siapa pun di sana. Sembari mengelap keringat yang terus mengucur, aku bergerak mencari Daffa. Ruangan pertama yang kusambangi adalah kamar mandi, kemudian ruang kerja, dan terakhir dapur. Namun, tak kutemukan sosok itu. Ke mana dia pergi dini hari begini? Apa menemui Nisha lagi? Lihat saja, kalau sampai itu terjadi, jangankan memberi maaf, melihat wajahnya saja aku tak sudi. Langkah kakiku bergerak menuju paviliun belakang, melihat apakah suamiku berada di sana atau tidak. Malam menjelang pagi yang dingin dan sepi, tak m
—PoV Author“Selesaikan!” titah Rachel pada sosok laki-laki yang sejak tadi mengamatinya sambil bersandar di dinding dengan tangan terlipat di depan dada. Marsel mengangkat sudut bibirnya, tampak puas dengan kinerja Rachel yang tak pernah mengecewakan.“Tentu sayang, istirahatlah, bersihkan dirimu, tunggu aku di kamar,” sahut Marsel.Tanpa memedulikan percikan darah yang mengenai baju dan wajah Rachel, Marsel memeluk mesra wanita itu, disusul kecupan singkat di bibirnya. Keduanya saling berbalas senyum lebar, merasa bangga dengan apa yang sudah mereka lewati hingga sampai di titik ini.“Aku harus menemui tua bangka itu dulu,” ucap Rachel.“Baiklah,” jawab Marsel. “Kau bahagia, hmm?” sambungnya.“Tentu, aku sangat bahagia, apalagi jika menyaksikan Kelana meraung-raung karena putri tercintanya tewas ditanganku,” balas Rachel seakan tak peduli dan tak
–PoV Author Sret, bugh!Lintang didorong sampai jatuh terjerembab. Ia meringis saat tubuh mungilnya bersentuhan langsung dengan dinginnya keramik malam ini. Lintang bingung, seingatnya tadi ia masih berada di depan mansion, mengapa sekarang di ruangan pengap dan gelap ini? Di mana Oma, Risya, dan Daren?Lintang menatap sekeliling, mencari keberadaan mereka. Namun, sejauh mata memandang ia tak menemukan siapapun di sana, selain dirinya dan manusia yang tadi mendorong tubuhnya dengan kasar.“Si-siapa ka-kamu?” tanya Lintang. Suaranya terbata-bata, ia merasakan aura mencekam dan tatapan tajam dari sosok di depannya.“Hai, Lintang, sudah lama tak bertemu, masih ingat Tante?”Deg!Lintang tahu pemilik suara itu tanpa perlu melihat wajahnya. Hanya saja, ia bingung mengapa mereka harus bertemu dengan cara seperti ini? Padahal, Rachel bisa datang ke rumahnya dan menemui ia, Pap
--PoV Heru“Lana, ayo dong jawab,” ucapku seraya berjalan kesana-kemari. Sudah lebih dari tiga kali aku menghubungi Kelana, namun tak ada satupun panggilanku yang dijawab. Padahal, ada hal penting yang ingin kuberitahu pada mantan istriku itu. “Ahs! Sial! Aku harus ke rumahnya sekarang!”Aku bergegas menuju rumah Kelana dan Daffa yang berjarak cukup jauh, memakan waktu kurang lebih empat puluh menit untuk sampai di sana.Tepat pukul sepuluh malam, aku tiba di rumah itu. Namun, ada yang aneh menurutku, penjagaan di sana sangat ketat, entah apa yang membuat Daffa sampai mengerahkan lebih dari lima pengawal untuk menjaga rumah mereka.“Saya mau bertemu Daffa dan istrinya!” ucapku pada salah satu penjaga berbadan tegap dengan kepala plontos dan tatapan tajamnya.“Mereka sedang istirahat, Tuan, silakan kembali lagi besok,” balas penjaga itu.“Tidak bisa, ada hal penting yang h
—Flashback On“Good Job, boy.”Daren tersenyum bahagia saat Oma Meira mengangkat ibu jarinya, pertanda wanita itu puas dengan hasil kerja dirinya selama ini. Ya, sejak Risya tinggal sendiri, ia sering menyambangi rumah gadis itu untuk sekadar menemani atau mengajak Risya jalan-jalan.Sebelum mengenal Risya lebih dekat, beberapa kali Daren pernah melihatnya melamun dengan tatapan kosong. Daren ingat betul, sore itu ia tengah berjalan-jalan seorang diri, dan mendapati Risya menangis dalam diam. Saat itulah Daren mendekat dan duduk di samping kakak sahabatnya tersebut.“Kak Risya?”Risya yang menyadari kehadiran orang lain, segera menghapus air matanya. “Daren? Ngapain di sini?”“Jalan-jalan sore. Kakak ngapain? Kok sendirian? Lintang mana?”Mendengar nama Lintang disebut, tatapan Risya menajam, dan berniat pergi dari sana. Suasana hatinya menjadi lebih buruk
—PoV Kelana Daffa? Apa yang sedang dia lakukkan? Ah, sepertinya dia sedang membalasku karena kesalah-pahaman waktu itu. Tak dapat dipungkiri, hatiku terasa pedih melihat pemandangan tersebut. Namun, aku sama sekali tak ada niat menghampiri mereka, yang kulakukan saat ini adalah berjalan menjauh dengan perasaan hancur berantakan. Daffa, rupanya dia juga sama seperti lelaki kebanyakan—tak merasa cukup dengan satu wanita. Aku masuk kamar dan berbaring menyamping, mengabaikan suara pintu yang baru saja terbuka. Tak lama kemudian, aku merasakan seseorang berbaring di sampingku. Namun, aku memilih memejamkan mata dan mengabaikan kehadirannya. Di tengah temaramnya cahaya, air mataku kembali menetes. Kuakui, aku melakukan kesalahan dengan mencurigainya dan berdekatan dengan Mas Heru. Tapi, semua bisa diselesaikan baik-baik, bukan seperti ini—bermesraan dengan wanita lain untuk membalasku. Posisi tidurku yang berada di ujung dan membelakanginya membuat Daffa bergerak mendekat, ia memeluk pi
PoV Author Lintang, Daren, Risya dan Oma sudah berangkat menuju tempat yang hanya diketahui oleh Daren, Risya, dan wanita paruh baya itu. Sementara Lintang, ia tidak tahu akan dibawa ke mana, namun wajahnya tampak berseri, mengingat ini adalah pertama kali baginya pergi bersama mereka setelah sekian lama menjadi keluarga. Meskipun tidak tahu akan ke mana, itu tidak mengurangi rasa bahagia Lintang. Dalam benaknya, sebentar lagi ia akan bersenang-senang dengan sahabat, kakak dan sang oma. “Kak Icha, masih lama, ya?” tanya Lintang yang duduk di kursi paling belakang. Risya menoleh sekilas pada Lintang kemudian mengangguk singkat. “Iya. Kamu tidur dulu aja, nanti kita bangunin kalau sudah sampe.” Lintang tak bertanya lagi, ia menatap jalanan yang tampak asing. Terdapat pepohonan besar dan rimbun di sekelilingnya, Lintang mengernyitkan kening saat tak mendapati satu pun kendaraan yang lewat selain milik mereka. “Memangnya kita mau ke mana, Kak?” tanya Lintang lagi. Ia merasa penasaran,