“Marsel…” Mulutku terbuka saking terkejutnya.
“Iya, Kelana, ini aku.”
Marsel, sosok laki-laki yang pernah menjadi cinta monyetku semasa SMP, kini berdiri di hadapanku dengan rambut basah dan bertelanjang dada, mengapa dia ada di sini?
“Hai,” sapanya seraya tersenyum.
Aku masih membisu, belum percaya sepenuhnya akan kehadiran sosok itu. Bagiku ini seperti mimpi. Bagaimana tidak, Marsel yang dulu berpamitan akan pindah ke luar negeri, tiba-tiba ada di hadapanku saat ini.
“Kok bengong? Gak mau peluk?” godanya.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali, memastikan apa yang kulihat ini nyata. Ternyata benar, sosok tinggi menjulang dengan tubuh atletis tersebut benar-benar berdiri di hadapanku sambil tersenyum jenaka.
“Papa, Siapa yang dateng? Daren kayak denger suara Tante Kelana.” Teriakan Daren mengembalikan fokusku. Tunggu? Apa katanya tadi? Papa? Jangan-jangan …
Selang sehari setelah pertemuan dengan wali kelas Delia, Heru menemui Rachel yang sedang bersantai sembari menatap layar. Jelas sekali, wanita itu tengah menunggu pesan balasan dari seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Daffa. “Bales dong, Daff,” gerutunya. Rachel belum menyadari kehadiran Heru. Saat ponselnya ditarik paksa, barulah ia sadar Heru tengah menatapnya penuh amarah. “Ada apa? Bukannya gue udah bilang untuk gak saling mengusik?! Balikin HP gue!” pintanya dengan nada ketus. Heru sangat menyesal sudah meninggalkan Kelana. Memang benar kata orang, selingkuhan hampir selalu tidak lebih baik dari pasangan sah, dan sekarang ia bisa melihat kebenaran itu. Kelana dan Rachel jauh berbeda, Rachel terlalu fokus pada diri sendiri, hing
Pukul sebelas malam, kami kembali ke kediaman masing-masing. Aku merebahkan diri di samping Lintang yang sudah siap dengan setelan tidurnya, seraya menimbang-nimbang, haruskah mengatakan perihal rencana pindah sekolah sekarang? Atau nanti saja? Namun, lebih cepat lebih baik bukan, aku perlu mendengar pendapat Lintang tentang rencana tersebut. “Lintang sudah tidur, Nak?” tanyaku mengawali obrolan. “Belum, Bun.” “Bunda mau bicara.” Lintang membalik badan, menatapku penuh tanya. Aku tersenyum simpul, sembari mencium keningnya singkat. “Belum lama ini Bunda dipanggil sama wali kelas Lintang.” Lintang terlihat terkejut,
“Gak mungkin, Daff, lo udah sama Rachel,” batin Kelana. Lagi, Kelana berusaha membentengi hatinya, menolak rasa yang kian tumbuh subur. Ia belum menyadari, bahwa semakin ditepis rasa tersebut akan merekah indah. Tak peduli seberapa kuat pun ia berusaha menekan semuanya, suara hati tak bisa dibohongi. Cepat atau lambat, hatinya akan menuntun Kelana untuk menemukan pelabuhan terakhir. “Bunda, kata Om Daffa laper,” teriak Lintang dari arah ruang tamu. Teriakan itu membuyarkan lamunan Kelana. Waktu menunjukkan pukul sebelas siang, ia bergegas menggoreng tempe dan membuat sambal goreng.Sembari memasak, Kelana dapat mendengar gelak tawa Lintang. Gelak tawa itu menjadi melodi yang begitu indah di telinganya. Kalau dipikir-pikir, sudah lama
Siang ini, aku terlibat pembicaraan cukup serius dengan Kelana. Kulihat wanitu itu terdiam setelah mendengar pengakuanku beberapa detik lalu. Benar adanya, jika setelah obrolan tadi aku tak berharap Kelana percaya, karena aku tahu, percaya pada seseorang setelah merasakan sakitnya dikhianati bukan hal yang mudah, butuh waktu dan proses yang panjang. Aku hanya ingin diberi ruang dan kesempatan untuk berusaha, agar menjadi seseorang yang memiliki arti sendiri dalam hidupnya. “Kenapa diem?” tanyaku saat Kelana tak kunjung membuka suara. “Enggak.” “Kasih saya kesempatan, ya,” pintaku. Tak ada gelengan maupun anggukan, yang kulihat sekarang hanyalah diamnya Kelana. Jika biasanya aku bisa membaca pikiran wanita itu, maka kali ini semuanya gelap. Kelana hanya mematung tanpa ekspresi. Mungkinkah semua kesempatan yang kuharap tak bisa lagi kudapat? “Daff, sebaiknya lo pulang, gak enak dilihat orang.” Lagi-lagi seperti ini. Kelana selalu mengalihkan pembicaraan, padahal aku berharap dia me
“Selamat pagi. Kusut amat tu muka kayak baju belum disetrika,” sapa Mona dengan raut cerianya. Aku yang sedang tidak mood hanya menatapnya sebentar, kemudian mengalihkan pandangan. Wajah masam dengan mata panda terlihat jelas cukup membuat Mona mengerti, jika ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiranku.Dia berlalu setelah meletakkan kotak makanan berwarna merah muda di atas meja. “Tumben banget bawain bekel, pasti ada maunya,” batinku. Benar saja, selang beberapa menit dia kembali menggangguku yang sedang fokus dengan pekerjaan. “Kelana,” panggilnya setengah berbisik. “Hmmm.” Aku menjawab panggilan itu dengan deheman singkat. “Malam ini gue nginep di tempat lo, ya.” Berteman cukup dekat dengan Mona membuat aku sedikit banyak paham tabiatnya. Dia tidak akan melakukan sesuatu di luar kebiasaan jika tidak ada alasan tertentu. “Lo kan tahu, Mbak, kontrakan gue kecil.” “Gak apa-apa, gue cuma l
Aku tercengang, mulutku sedikit terbuka saking terkejutnya. Wanita paruh baya berpenampilan modis yang berdiri tepat di hadapanku tersenyum lembut. Aku tak mengerti sedang berada di situasi seperti apa saat ini, yang jelas perasaanku tidak enak, dan aku yakin ini semua ulah Daffa. Dialah dalang di balik kemunculan wanita paruh baya yang mengira aku adalah calon istrinya.“Ibu siapa?” Aku yang bingung harus bereaksi seperti apa memberanikan diri bertanya. Tak berapa lama, Daffa keluar dari pintu kemudi, dia tersenyum lebar seraya merangkul pundakku.“Iya, Oma, ini calon istri Daffa. Kenalin, namanya Kelana.”Wajah Daffa terlihat begitu segar dengan senyum sumringah, membuatku ingin sekali mencakar wajah itu. Brengsek! Bahkan setelah aku menolak membantunya, dia menjebakku. Kurang ajar, benar-benar kurang ajar, aku tak akan tinggal diam!“Bukan, saya bukan …”“Nama yang cantik, secantik orangnya. Perke
“Daffa, malam ini kamu ajak Kelana ke rumah besar, ya, ada hal penting yang perlu Oma bicarakan sama dia,” ucap Meira di meja makan. Pagi ini, mereka sedang sarapan bersama. Risya begitu bahagia karena kedatangan omanya yang sudah lama menetap di luar negeri. Berbanding terbalik dengan Daffa yang sedari tadi ketar-ketir, khawatir sang oma meminta ia melakukan sesuatu yang tak terduga.“Kelana sibuk, Oma, lain kali aja, ya,” elak Daffa. Bagaimana mau mengajak Kelana ke rumah besar, kalau saat ini saja wanita itu tak mau diajak bicara.“Oma yakin dia mau meluangkan waktu. Jangan buat kedatangan Oma ke Indonesia sia-sia, Daffa!” tegas Meira.“Tolong jangan melakukan apa pun tanpa sepengetahuan Daffa, Oma,” pinta Daffa dengan suara lirih. Ia yakin, Meira sedang merencanakan sesuatu, apalagi sampai mengundang Kelana ke rumah besar.“Mau sampai kapan kamu menunda pernikahan?!”Suara Meira begitu
Permainan terus berlanjut. Kelana mengabaikan pertanyaan Daffa yang baginya sangat tidak penting. Apakah Daffa harus menanyakan sesuatu yang sudah jelas jawabannya? Sementara Daffa, ia menganggap diamnya Kelana pertanda wanita itu juga mencintainya.“Diam berarti iya,” ujar Daffa.Kelana tak menggubris, tubuhnya terus menuntut agar Daffa tak berhenti. Daffa tersenyum lebar, sekarang ia tahu bahwa Kelana juga menginginkan dirinya. Dari sekian banyak peristiwa yang terjadi di antara mereka, pagi ini menjadi yang paling berkesan. Daffa kembali optimis, bahwa dirinya dan Kelana layak bersama.“Kenapa nanya terus, sih?” Kelana frustrasi saat Daffa bertanya dan menghentikan permainan mereka.“Karena malu bertanya sesat di …”Belum sempat Daffa menyelesaikan ucapannya, Kelana membungkam bibir pria itu. Daffa tak menyangka Kelana bisa seagresif ini. Bayang-bayang mereka m
—PoV KelanaSatu bulan kemudian“Sayang, masuk, yuk, kita istirahat,” ajakku pada Lintang yang masih duduk di teras rumah dengan pandangan kosong. Meskipun mengenakan pakaian berbahan tebal, aku tak mau dia kedinginan, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, ditambah hujan yang baru saja reda beberapa menit lalu.“Lintang masih mau di sini, Bun.”Aku mengambil tempat di sampingnya, mengamati wajah ayu putriku yang terlihat sendu. Satu bulan ini aku benar-benar memaksimalkan waktu bersama Lintang, menemaninya setiap hari, mengantarnya ke mana pun dia ingin pergi. Meskipun apa yang aku lakukan tidak bisa mengembalikan tangan Lintang, aku tetap bersyukur karena Tuhan memberi kesempatan berkali-kali untuk memperbaiki diri, dan yang terpenting Lintang masih di sini.“Bunda temenin, ya.”“Bunda belum ngantuk?”Aku menggeleng sebagai jawaban. Saat itulah Lintang tersenyum simpul dan menyandarkan kepalanya di pundakku. Tidak ada yang kami lakukan, hanya diam seraya menatap lang
—PoV Kelana “Apa maksud kamu?”Lututku bergetar mendengar penuturan Mas Heru. Entah apa maksud lelaki itu mengatakan hal tersbut, padahal aku tahu betul Lintang sedang berlibur dengan Omanya. Tapi, mengapa tiba-tiba dia datang dan bilang Lintang sudah tidak ada? Jelas, aku tak bisa diam saja menanggapi omong kosong tersebut. "Jangan asal bicara!" tekanku.“Mas akan ceritakan di jalan, sekarang Lana ikut Mas ke rumah sakit, please,” balas Mas Heru.Rumah sakit? Untuk apa? Demi menjawab rasa penasaran tersebut, aku mengangguk setuju. Lagipula, aku pun merasa tak tenang, seperti ada yang janggal, tapi tidak tahu apa.Saat hendak menaiki mobil Mas Heru, Angga menghalangi langkahku. “Mau ke mana?”“Saya harus ke rumah sakit.”“Dengan dia?”“Ya.”“Mohon maaf, tapi Pak Daff berpesan supaya Anda tidak lagi berhubu
—PoV Kelana Aku bergerak gelisah, tidurku terasa berbeda malam ini. Aku berpikir, mungkin karena tak ada Lintang. Ya, pasalnya ini kali pertama kami berjauhan. Tepat pukul dua dini hari, mataku terbuka sempurna. Entah karena alasan apa, keringat dingin membasahi tubuhku, ditambah tenggorokan yang terasa kering, padahal aku tak merasa demam. Hal pertama yang kulakukan adalah meraba tempat di sebelahku, ternyata tak ada siapa pun di sana. Sembari mengelap keringat yang terus mengucur, aku bergerak mencari Daffa. Ruangan pertama yang kusambangi adalah kamar mandi, kemudian ruang kerja, dan terakhir dapur. Namun, tak kutemukan sosok itu. Ke mana dia pergi dini hari begini? Apa menemui Nisha lagi? Lihat saja, kalau sampai itu terjadi, jangankan memberi maaf, melihat wajahnya saja aku tak sudi. Langkah kakiku bergerak menuju paviliun belakang, melihat apakah suamiku berada di sana atau tidak. Malam menjelang pagi yang dingin dan sepi, tak m
—PoV Author“Selesaikan!” titah Rachel pada sosok laki-laki yang sejak tadi mengamatinya sambil bersandar di dinding dengan tangan terlipat di depan dada. Marsel mengangkat sudut bibirnya, tampak puas dengan kinerja Rachel yang tak pernah mengecewakan.“Tentu sayang, istirahatlah, bersihkan dirimu, tunggu aku di kamar,” sahut Marsel.Tanpa memedulikan percikan darah yang mengenai baju dan wajah Rachel, Marsel memeluk mesra wanita itu, disusul kecupan singkat di bibirnya. Keduanya saling berbalas senyum lebar, merasa bangga dengan apa yang sudah mereka lewati hingga sampai di titik ini.“Aku harus menemui tua bangka itu dulu,” ucap Rachel.“Baiklah,” jawab Marsel. “Kau bahagia, hmm?” sambungnya.“Tentu, aku sangat bahagia, apalagi jika menyaksikan Kelana meraung-raung karena putri tercintanya tewas ditanganku,” balas Rachel seakan tak peduli dan tak
–PoV Author Sret, bugh!Lintang didorong sampai jatuh terjerembab. Ia meringis saat tubuh mungilnya bersentuhan langsung dengan dinginnya keramik malam ini. Lintang bingung, seingatnya tadi ia masih berada di depan mansion, mengapa sekarang di ruangan pengap dan gelap ini? Di mana Oma, Risya, dan Daren?Lintang menatap sekeliling, mencari keberadaan mereka. Namun, sejauh mata memandang ia tak menemukan siapapun di sana, selain dirinya dan manusia yang tadi mendorong tubuhnya dengan kasar.“Si-siapa ka-kamu?” tanya Lintang. Suaranya terbata-bata, ia merasakan aura mencekam dan tatapan tajam dari sosok di depannya.“Hai, Lintang, sudah lama tak bertemu, masih ingat Tante?”Deg!Lintang tahu pemilik suara itu tanpa perlu melihat wajahnya. Hanya saja, ia bingung mengapa mereka harus bertemu dengan cara seperti ini? Padahal, Rachel bisa datang ke rumahnya dan menemui ia, Pap
--PoV Heru“Lana, ayo dong jawab,” ucapku seraya berjalan kesana-kemari. Sudah lebih dari tiga kali aku menghubungi Kelana, namun tak ada satupun panggilanku yang dijawab. Padahal, ada hal penting yang ingin kuberitahu pada mantan istriku itu. “Ahs! Sial! Aku harus ke rumahnya sekarang!”Aku bergegas menuju rumah Kelana dan Daffa yang berjarak cukup jauh, memakan waktu kurang lebih empat puluh menit untuk sampai di sana.Tepat pukul sepuluh malam, aku tiba di rumah itu. Namun, ada yang aneh menurutku, penjagaan di sana sangat ketat, entah apa yang membuat Daffa sampai mengerahkan lebih dari lima pengawal untuk menjaga rumah mereka.“Saya mau bertemu Daffa dan istrinya!” ucapku pada salah satu penjaga berbadan tegap dengan kepala plontos dan tatapan tajamnya.“Mereka sedang istirahat, Tuan, silakan kembali lagi besok,” balas penjaga itu.“Tidak bisa, ada hal penting yang h
—Flashback On“Good Job, boy.”Daren tersenyum bahagia saat Oma Meira mengangkat ibu jarinya, pertanda wanita itu puas dengan hasil kerja dirinya selama ini. Ya, sejak Risya tinggal sendiri, ia sering menyambangi rumah gadis itu untuk sekadar menemani atau mengajak Risya jalan-jalan.Sebelum mengenal Risya lebih dekat, beberapa kali Daren pernah melihatnya melamun dengan tatapan kosong. Daren ingat betul, sore itu ia tengah berjalan-jalan seorang diri, dan mendapati Risya menangis dalam diam. Saat itulah Daren mendekat dan duduk di samping kakak sahabatnya tersebut.“Kak Risya?”Risya yang menyadari kehadiran orang lain, segera menghapus air matanya. “Daren? Ngapain di sini?”“Jalan-jalan sore. Kakak ngapain? Kok sendirian? Lintang mana?”Mendengar nama Lintang disebut, tatapan Risya menajam, dan berniat pergi dari sana. Suasana hatinya menjadi lebih buruk
—PoV Kelana Daffa? Apa yang sedang dia lakukkan? Ah, sepertinya dia sedang membalasku karena kesalah-pahaman waktu itu. Tak dapat dipungkiri, hatiku terasa pedih melihat pemandangan tersebut. Namun, aku sama sekali tak ada niat menghampiri mereka, yang kulakukan saat ini adalah berjalan menjauh dengan perasaan hancur berantakan. Daffa, rupanya dia juga sama seperti lelaki kebanyakan—tak merasa cukup dengan satu wanita. Aku masuk kamar dan berbaring menyamping, mengabaikan suara pintu yang baru saja terbuka. Tak lama kemudian, aku merasakan seseorang berbaring di sampingku. Namun, aku memilih memejamkan mata dan mengabaikan kehadirannya. Di tengah temaramnya cahaya, air mataku kembali menetes. Kuakui, aku melakukan kesalahan dengan mencurigainya dan berdekatan dengan Mas Heru. Tapi, semua bisa diselesaikan baik-baik, bukan seperti ini—bermesraan dengan wanita lain untuk membalasku. Posisi tidurku yang berada di ujung dan membelakanginya membuat Daffa bergerak mendekat, ia memeluk pi
PoV Author Lintang, Daren, Risya dan Oma sudah berangkat menuju tempat yang hanya diketahui oleh Daren, Risya, dan wanita paruh baya itu. Sementara Lintang, ia tidak tahu akan dibawa ke mana, namun wajahnya tampak berseri, mengingat ini adalah pertama kali baginya pergi bersama mereka setelah sekian lama menjadi keluarga. Meskipun tidak tahu akan ke mana, itu tidak mengurangi rasa bahagia Lintang. Dalam benaknya, sebentar lagi ia akan bersenang-senang dengan sahabat, kakak dan sang oma. “Kak Icha, masih lama, ya?” tanya Lintang yang duduk di kursi paling belakang. Risya menoleh sekilas pada Lintang kemudian mengangguk singkat. “Iya. Kamu tidur dulu aja, nanti kita bangunin kalau sudah sampe.” Lintang tak bertanya lagi, ia menatap jalanan yang tampak asing. Terdapat pepohonan besar dan rimbun di sekelilingnya, Lintang mengernyitkan kening saat tak mendapati satu pun kendaraan yang lewat selain milik mereka. “Memangnya kita mau ke mana, Kak?” tanya Lintang lagi. Ia merasa penasaran,