Sudah genap satu bulan. Mas Dani sering pulang larut setiap malam Senin dan malam Kamis. Sekarang pun dia memberiku kabar kembali, bahwa malam ini dia akan pulang terlambat.
Malam ini adalah malam Senin ke sekian kalinya mas Dani sering pulang larut. Memang kerjaannya di kantor kan setiap hari Minggu itu libur. Namun ia bilang sedang mencoba merintis usaha baru bersama rekannya. Makanya mereka menggunakan waktu luang yaitu hari ini, hari Minggu.
Setiap ku tanya alasannya memang selalu masuk akal. Tapi yang tidak masuk akal itu adalah penampilannya. Semakin wangi, semakin kece pula. Aku memang tidak masalah, karena ada peran istri dalam penampilan keren suami. Yang aku heran, kenapa setiap hari Rabu dan Minggu dia selalu berpenampilan menarik. Tapi hari-hari lainnya biasa-biasa saja. Malah dia jarang keluar rumah. Pulang ngantor pun pukul empat sudah di rumah.
Keganjalan ini berdasarkan fakta yang ku perhatikan selama satu bulan terakhir.
Setiap aku tanya bisnisnya apa, dia selalu bilang investasi. Bertemu calon klien untuk membangun usaha mereka. Ya suamiku dan rekannya.
Ah, aku pusing. Ingin rasanya meremas-remas rambut sambil berteriak aku benar-benar dibuat bingung. Hukh.
Hening.
Dona sudah tertidur seperti biasa. Dan seperti biasa pula, aku masih menunggu dan berbaring di sofa. Tepatnya ini adalah sofa baru. Kalau kemarin di rumah ini masih ada kursi minimalis yang tempat duduknya sudah hampir jebol, kini kursi itu telah kami simpan di gudang dan di ganti dengan sofa. Uangnya di kasih langsung oleh mas Dani.
Sejak beberapa bulan terakhir, suamiku sering sekali mendapatkan bonus. Kalau di bilang dia simpanan bosnya tak mungkin. Karena jelas-jelas bos suamiku di kantor itu laki-laki. Pak Harun Widyatmoko. Berharap sih itu benar-benar karena prestasinya. Dan semoga dia bisa segera naik jabatan.
Tak lama kemudian.
Akhirnya rambut ini benar-benar ku remas. Tak tahan otak ini memutar dan berfikir. Kok rasanya ada yang aneh dari mas Dani.
"Berfikir Diandra, kamu itu bukan wanita bodoh," tegurku pada diri sendiri.
"Kamu itu seorang ibu rumah tangga lulusan sarjana," gerutu batinku.
Hah, sejak aku menikah sepenuhnya ku abdikan diri ini. Di larang bekerja, dan kini aku benar-benar pasif di rumah. Tak tahu apapun.
Aku harus susun rencana untuk membuktikan kecurigaan ini secepatnya.
Menghembuskan nafas kasar.
Kalau untuk kasih sayang dan uang bulanan jelas tak ada sedikitpun yang berubah. Hanya yang di permasalahkan olehku adalah melihat penampilannya. Itu pula hanya di hari-hari tertentu. Hem, apa mungkin benar. Setiap hari Rabu dan Minggu suamiku mencari-cari calon klien. Balik sana balik sini mengurusi sesuatu? Dengan pakaian non formalnya?
Rambutku mulai berantakan karena sering ku remas.
"Hukh. Memangnya usaha apa seperti itu? Benar-benar mencurigakan."
Jam dinding masih terus memutar. Jarum pendeknya sudah menunjuk ke angka sepuluh, sedang jarum panjangnya menuju angka empat. Jelas sebentar lagi akan tepat pukul setengah sebelas malam.
Hengkang dari sofa empuk. Berdiri dan bolak balik. Kadang melihat-lihat ke arah jendela, kadang pula melihat ke kamar dimana Dona tertidur. Takutnya dia terbangun dan terjatuh. Namun sepertinya Dona tidur pulas sekali. Bahkan setiap malam. Apalagi segelas susu putih selalu menjadi penghangat badannya setiap malam sebelum tidur.
Detikan jam terdengar berisik sekali di telinga. Apalagi jam dinding di rumah amat besar, karena suamiku baru membelinya lusa lewat jalur online. Sampai-sampai merogoh kocek hingga jutaan rupiah. Memang uangnya sendiri, tapi rasanya sayang sekali. Toh yang kemarin juga masih bagus. Tidak terlalu berisik pula. Yang ini, sudah besar berisik pula. Padahal yang namanya jam pasti semuanya sama. Angkanya dari satu sampai dua belas. Satu jarum pendek, satu jarum panjang untuk menitan dan satu lagi jarum panjang untuk menghitung detikan.
Memang beberapa bulan terakhir ini banyak sekali barang-barang baru masuk rumah. Padahal harganya juga lumayan pada mahal. Aku sih bersyukur sekali karena mas Dani mengalami kemajuan yang amat pesat.
Tapi tetap saja aku belum mengetahui apa bisnis sampingannya. Setiap ku tanya dia bilang akan memberitahuku jika usahanya sudah membesar.
Bukan tak ingin aku mencaritahunya sekarang, tapi dengan usia Dona saat ini ... Mana jauh pula dengan rumah orang tua kami. Tak mungkin aku menitipkannya pada mereka yang masing-masing berada di luar kota. Menitip pada tetangga juga rasanya kurang enak.
Aduh, kok aku seperti orang bodoh seperti ini sih?
Jeda sebentar.
Mengambil gawai dan berharap ada pesan masuk. Namun tak ada sama sekali. Hanya ada pesan chat jam tujuh malam tadi. Itupun waktu terakhir dia membuka aplikasinya. Berarti, sejak dia mengirim pesan W******p tadi gawainya langsung ia matikan.
Aduh, kok aku makin suudzon saja.
Mencoba menelepon ke nomornya juga selalu saja tidak di angkat. Saat aku menanyakannya ketika ia pulang, dia bilang memang tidak bisa mengangkat telepon karena membuat meetingnya tak nyaman. Se formal itukah? Perasaan meeting formal di kantor pun tidak segitunya?
Kembali ku lihat jam di dinding. Aduh, detik demi detik berlalu sangat cepat sekali. Sudah hampir pukul sebelas mas Dani belum juga pulang.
Terdiam kesal. Komat kamit sendirian seperti sedang membaca jampi-jampi. Ya, jampi-jampi kapan suami pulang.
Dor dor dor!
"Mas Dani!"
Segera aku bergegas. Menengok ke arah pintu dan berjalan dengan cepat.
Ku raih gagang pintu dan membukanya.
"Assalammualaikum," ucap salamnya.
Huh, nafasku terbuang lega. Benar saja, mas Dani pulang dengan wajah yang senyam-senyum.
Tanpa berfikir lagi ku balas salamnya. Seraya meraih tangannya dan mencium punggung tangannya dengan khidmat nan takzim.
"Bau parfumnya kok beda?" kejutku dalam hati saat mencium punggung tangan suami.
"Kamu kenapa?" tanya mas Dani heran.
Segera aku berbasa-basi.
"Enggak, Mas. Ini seperti ada kotoran sedikit," jawabku sambil tersenyum.
Berbalik arah menuju sofa setelah kembali menutup pintu.
Ku perhatikan langkah mas Dani yang sedikit lesu. Lalu dia duduk sambil membuka dua kancing bajunya.
"Huh, malam ini capek sekali," katanya dengan wajah lelah, letih dan lesu.
Segera aku mendekat.
Duduk di sampingnya dengan perasaan kesal.
"Memangnya kerja apa, Mas? Kelihatannya memang capek banget," ketusku.
Kedua tangannya melipat di belakang kepala sambil memandangi atap-atap rumah yang warnanya kini sudah mulai kusam.
"Itu, tadi aku harus bolak-balik menemui klien. Sampai tiga orang."
Begitulah jawabannya.
Hah? Tiga orang dalam satu malam? Eh tapi dia berangkat setelah adzan Ashar.
Memang meeting harus sampai malam? Entahlah, aku tak ingin menjadi wanita bodoh yang tak tahu apa-apa. Besok-besok harus ku selidiki, apa usaha suamiku? Jangan-jangan dia jual beli barang ilegal. Astaghfirullah aladzim!
"Ya, bagus dong, Mas. Tapi, kenapa harus sampai malam? Siang saja enggak bisa gitu?" tungkasku.
Dia kembali menarik nafas.
Membuangnya dengan kasar.
"Pagi sampai sore aku kan ngantor. Makanya aku kerja sepulang ngantor bersama teman-teman. Merintis usaha dari bawah. Ya, memang sulit sekali ternyata. Lebih baik kamu nunggu hasil dan berdoa saja," jawabnya santai.
"Kalau itu selalu, Mas. Setiap waktu doaku selalu menyertaimu," ulasku.
Mataku memandang sayup melihat lantai keramik berwarna putih. Menunduk dan masih bingung. Apa salahnya kalau dia memberitahuku tentang bisnisnya sejak dini. Mungkin aku juga bisa membantu!
Kalau aku tanya bertele-tele pasti dia mengiraku tidak percayaan. Ini, lah. Itu, lah, dan ujung-ujungnya saling emosi.
Dengan berat hati inipun harus berusaha percaya. Tak ingin aku menambah fikiran suamiku dengan omongan-omongan juga pertanyaan-pertanyaan yang bisa membuatnya makin pusing.
"Ya sudah, kita tidur, yuk!" ajakku padanya.
Mas Dani malah tak menjawab. Eh setelah ku lihat dia malah sudah tertidur di sofa. Kepalanya menyender lipatan kedua lengan.
"Mas, mas! kasihan sekali kamu. Kerja banting tulang sendiri. Tapi memang ini kemauan kamu juga, makanya waktu aku kerja dulu kamu tak menyetujuinya."
Belum reda rasa penasaran ini. Belum ingin juga aku hengkang dari sampingnya.
Wajahnya amat kusam apalagi dengan cucuran bulir-bulir keringat. Aroma tubuhnya menyengat sekali seperti selesai bercumbu dan melakukan hubungan badan.
"Ya Tuhan, jangan-jangan ...?"
"Oh, tidak, tidak."
Ah, fikiranku makin semrawut.
Suamiku berkulit sawo matang lebih cenderung kuning langsat. Tampan dan menawan. Gaya rambut barunya menambah ketampanannya kali ini. Membuatku terlena memandang. Suamiku memang tampan, tapi wajahku juga tak kalah cantik.
Apa mungkin dia selingkuh? Aroma parfumnya ...? Kalau benar ...?
Parfum wanita ini sangat menyengat sekali di tubuhnya. Ini benar-benar harus di selidiki.
Tadi saat ia pulang juga wajahnya sumringah namun lesu. Ada apa ini?
–––
Akhirnya tiba juga di hari Minggu. Pasti suamiku sekarang akan pamit pergi kembali. Seperti biasa sore-sore.Memang tadi kami menghabiskan waktu bersama dengan berjalan-jalan ke taman kota. Sempat kecurigaanku hilang atas sikapnya. Namun, tetap saja batin ini berkecamuk merasa ada yang ganjal.Mas Dani memang tiba-tiba banyak uang. Katanya itu adalah hasil dari bisnis yang sedang ia rintis bersama teman-temannya.Mas Dani membelikan baju untukku dan untuk anak kami pula. Ah, aku benar-benar kalap dengan kebingungan ini. Mungkin aku tak akan curiga jikalau dia terbuka, memberitahuku di mana ia berbisnis dengan jelas.Semoga saja suamiku tidak memperjual belikan barang haram."Amit-amit, amit-amit."Bibirku mengucap sambil mengetuk-ngetuk kepala oleh jari, dan diketukan pula ke atas meja.Oke, mulai hari ini kecurigaanku harus segera diluruskan. Aku tak mau
Malam ini tepat pukul sebelas malam suamiku akhirnya pulang.Seperti biasa dia seperti kecapekan dan lesu. Mengetuk pintu rumah dan langsung masuk. Karena aku memang tak menguncinya supaya pas aku ketiduran dia tidak membangunkanku.Namun borok-borok ketiduran, batin ini terus berkecamuk menduga-duga sesuatu hal buruk tentang Mas Dani.Kini aku tidak menunggunya di sofa. Sengaja aku pura-pura sudah terlelap di samping Dona. Padahal pas kudengar suara kendaraan roda duanya berhenti mataku sontak melihat jam dinding. Jelas waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam tepat.Dia seperti tak punya istri dan anak saja. Pulang selarut itu tanpa rasa bersalah."Diandra, kamu sudah tidur!" ucapnya sambil nyelonong masuk ke dalam kamar. Menghampiriku dan juga Dona.Entah itu basa-basinya atau apa.Sama sekali aku tidak bisa berpura-pura
Bekas merah di leher suamiku membuat malam ini terasa panas sekali. Ingin rasanya aku merobek lehernya, membelah otaknya mengeluarkan seluruh rekaman, apa yang ia lakukan tadi.Amarahku makin kesini makin berkecamuk.Andai saja aku bisa menguntit dirinya sampai aku memergoki kegiatan gelapnya di luar, mungkin semua pertanyaanku akan segera terjawab.Tapi aneh. Kalau suamiku selingkuh dia punya uang darimana? Apakah mau wanita centil di luar sana menggoda laki-laki yang sudah berumah tangga namun tak memiliki uang?Selama ini uangnya selalu di berikan padaku. Berapapun itu.Jelas aku tahu betul gajinya di kantor hanya sedikit. Dan itu semua dia berikan padaku.Jangan-jangan benar. Mas Dani punya bisnis lain yang amat menguntungkan di luar sana. Dan dari uang itulah ia bisa berbuat hal yang tidak pernah ku sangka.Apa mungkin jatah uangku darinya lebih
"Ibu dan Bapak akan tinggal disini?" tanyaku kaget sambil memastikan."Ya, Nak. Ibu dan Bapak berencana akan tinggal disini. Tapi kami akan mnyewa rumah, bukan tinggal bersama kamu," jelas ibu.Aku masih tak menyangka, kalau bapak dan ibu malah akan tinggal dekat denganku. Tapi ada bagusnya juga. Siapa tahu mas Dani bisa merubah sikapnya jika bapak dan ibu berada dekat dengannya.Tak sehelaipun kulihat baju yang mereka bawa. Kalau mereka akan pindah kesini, mana barang bawaan mereka?"Oh, ya. Dani yang menyuruh kami untuk pindah kesini. Dan Dani juga sudah menyewakan rumah untuk kami. Ya kan, Pak?"Hah?"Ya Diandra. Dani yang menyuruh kami pindah. Lagipula di kampung, Bapak dan Ibu hanya tukang kebun. Jadi Dani katanya lebih baik membawa Ibu dan Bapak ke kota, bersama kalian."Jawaban bapak membuatku menelan ludah.Aku tersenyum sedi
Hari ini aku berniat mengikuti Mas Dani sesuai apa yang di katakan Ibu. Aku bersyukur sekali, Ibu sangat mengerti keadaan dan posisiku. Mungkin karena ibu merasa bahwa dirinya juga wanita. Tak ingin terus-menerus dibuat tanda tanya oleh sikap mas Dani yang terlihat tak biasa. Apalagi penghasilannya."Diandra, sore nanti tolong siapkan baju yang paling bagus untukku," katanya menyuruhku.Posisi kami saat ini sedang sarapan. Aku makan sambil menyuapi Dona."Hm," anggukku sambil menyuapi putri tercantik."Memangnya kamu mau kemana sih, Mas?" tanyaku lagi berbasa-basi."Aku nanti sore ada pertemuan bersama rekan-rekan bisnis di restoran mewah. Membahas kelanjutan bisnis kita," jawabnya sambil terus menyuapkan makanan satu sendok satu sendok dengan cepat ke mulut. Sarapan nasi goreng pakek telur mata sapi sesuai keinginannya.Tingkahnya benar-benar rusuh.Aku m
Aku membuntuti suamiku yang masuk ke dalam restoran.Langkahnya cepat sekali. Mencurigakan.Kususuri kemana ia berjalan. Ke sebuah ruangan VVIP ternyata.Aku melihat suamiku menghampiri tempat duduk wanita-wanita yang kupikir mereka adalah wanita-wanita kaya.Tapi ..."Dia mau pergi kemana?" cecarku dalam pikiran ini.Mata ini jelas melihat Mas Dani menghampiri meja para wanita-wanita dewasa berpenampilan glamor dengan perhiasan.Apa yang akan di lakukannya?Aku menguntitnya dari kejauhan. Dan kini semakin mendekat."Permisi, Bu. Boleh saya pinjam asbaknya!"Hah?Itulah yang dikatakan suamiku.Dia menghampiri ibu-ibu itu hanya untuk meminjam asbak.Lalu dia membalikan lagi badannya ke meja kursi yang lain.Kususuri
Siang ini aku baru saja pulang belanja bersama Dona. Niatnya seusai zuhur aku akan singgah ke rumah Ibu. Membawakannya makanan dan kue yang baru saja ku beli"Alhamdulillah, sampai juga di rumah ya, Nak," seruku pada Dona yang sedang memainkan boneka kecil di aisan kangguru.Tadi aku belanja keluar karena disuruh Mas Dani, katanya aku harus membelikannya beberapa baju dan aksesoris-aksesoris pula. Dia memberikan uangnya.Baju suamiku sekarang hampir penuh satu lemari. Baju-bajunya bagus dan menarik. Sekalian juga aku beli beberapa baju untuk Dona dan sisanya aku belikan untuk kebutuhan rumah tangga. Biar sekalian pergi.Sekarang pikiranku tentang suami tak lagi buruk, apalagi setelah aku mengikutinya kemarin. Bahkan sepertinya aku tak pantas untuk suudzon, yang harus aku lakukan adalah berpikir baik dan berdoa.
Seusai menunaikan kewajiban lima waktu empat rakaat di pukul tujuh malam, aku, Mas Dani dan Dona bersenda gurau di kamar.Bermain bersama Dona sebelum tidur.Dona anak kami yang cantik itu kini makin cerdas saja. Kami makin gemas dan bangga padanya.Tiba-tiba.[ Dering Panggilan ]Sebuah panggilan masuk terdengar dari gawai Mas Dani."Mas, ada telepon masuk ke hp kamu," ucapku.Dia langsung diam dan hengkang mengambil gawai barunya. Sebuah gawai yang sedang trendi dimasa kini.Aku lihat gelagat dan gerak-geriknya.Matanya menyorot ke arah sebuah nama yang tertampil di layar. Pandangannya nampak biasa saja namun seperti penting.Alisku meninggi bersikap acuh saja. Toh itu panggilan untuknya.Aku masih melanjutkan bercanda dengan Dona. Sekaligus mengajarkan Dona mengh
"Mbak, selamat ya, sebentar lagi Mbak akan menikah. Tinggal beberapa jam lagi." Nessia memberiku ucapan kala aku baru saja selesai di make up oleh Mbak Intan. Tukang make up profesional yang semuanya di rekomendasi oleh Nessia dan Radit."Makasih ya, Ness. Dan maaf. Mungkin Mbak terkesan mengkhianati kakak kamu." Bagaimanapun juga Nessia adalah adik almarhum suamiku. Tapi dia yang mendukungku, menyiapkan segalanya untukku. Tak terkecuali."Mbak, enggak, gak ada pengkhianatan disini. Aku tahu, Mbak wanita yang baik. Dan aku tahu gimana cinta Mbak pada mereka. Tapi, aku juga ingin Mbak mendapatkan pria yang bisa menemani Mbak, yang bisa lindungi, Mbak. Aku gak mau Mbak terus-menerus menjanda. Masa depan Mbak itu masih panjang. Dan aku yakin, mas Rizky bisa jadi jodoh Mbak sampai akhir nanti. Sampai kalian kakek nenek. Sampai maut sendiri yang memisahkan kalian." Nessia kembali mengungkapkan. Telapak tangannya sedari tadi me
"Mas Dani? Mas Reza? Kalian mau kemana?" Aku melihat dua pria bersaudara itu bergandengan tangan mengenakan pakaian serba putih. Lalu mereka diam dan berbalik badan menyemai senyuman."Diandra, aku pergi. Kamu jangan lupa bahagia. Jaga anak kita," kata Mas Reza. Jelas air mataku menetes."Ta, tapi kalian mau kemana?" Aku mulai menangis. Air mata ini menghujan. Mas Dani mendekat. Dan Mas Reza diam tetap di tempatnya. Mas Dani makin mendekat ke arahku berdiri. Senyuman dan lesung pipinya amat membuat syahdu penglihatanku. Mereka tampan sekali."Diandra. Kamu jangan nangis. Kamu harus ingat, kamu punya dua anak. Dan kamu harus menjaganya." Kalimat Mas Dani. Dia juga meraih telapak tangan kiriku. Ia memberiku sebuah benda. Benda berwujud sepasang merpati. Ia berikan padaku. Dan ia simpan di telapak tanganku.Mas Dani menatapku. "Jangan lupa pula, kamu itu seorang wanita yang butuh pelindung. Kembalilah, kamu j
"Maaf, Ky. Tapi, nyatanya aku belum bisa melupakan almarhum suami aku. Aku belum bisa terima cinta kamu." Itulah jawabanku. Yang kujawab dengan penuh kesenduan. Aku bukan tahan harga, tapi inilah kenyataannya.Rizky yang tadinya bersimpuh. Kini ia bangkit perlahan dan duduk lagi di sampingku. Raut wajahnya amat datar. Namun lebih condong ke kecewa. Tarikan nafasnya pun lemas sekali. Baru kali ini aku melihat Rizky yang energik menampakkan wajah seperti ini."Tapi kenapa?" selidiknya lirih.Kami terdiam. Dan aku mulai mengatur nafas untuk menjawab pertanyaan Rizky. Aku tak mau dia tersinggung dan merasa di rendahkan. Hingga kutolehkan tubuh ini menghadap ke arahnya."Aku minta maaf. Bukan maksud aku merendahkan kamu dengan menolak niat baik kamu. Jujur, kamu itu pria yang tampan, mapan, baik. Kamu bisa mendapatkan wanita single terutama gadis. Bukan seorang janda yang sudah memiliki putra dan putri sepertik
"Mbak, saya mau pelamiannya nanti bernuansa putih bak musim salju. Dan putih itu melambangkan kesucian." Aku memberi masukan."Enggak bisa. Saya mau pelaminan adik saya bernuansa rustic. Keren kan, Mbak, Mas. Apalagi pas malam dipakaikan lampu-lampu terang natural. Pokoknya semuanya sudah tergambar di otak saya." Rizky memberi masukan.Entah mengapa, hati ini tak merasa setuju dengan apa yang ia katakan."Gak bisa, Mbak. Menurut saya, nuansa putih itu lebih keren. Kesannya itu simple tapi modern. Tidak terlalu full color, tapi satu warna itu sudah mewakilkan keindahan." Aku kembali mengusulkan. Mas dan Mbak yang kini menghadapi kami lumayan agak bingung. Tapi mereka mencatat apa yang kami inginkan."Oh, sekalian saja semuanya putih. Gak usah ada warna lain. Kayak kain kafan," cetus Rizky. Dia malah membuatku kesal. Tapi aku tak menghiraukannya."Ah, dasar! Gak tahu indah sok-sokan bilang i
PoV Diandra***"Non? Non? Bangun, Non. Ini sudah adzan Maghrib." Suara terdengar samar-samar. Mataku mulai membuka. Kukucek sebentar."Mbok?"Aku terperanjat melihat si Mbok membangunkanku dari mimpi buruk tadi. Aku memimpikan hal buruk yang pernah kualami."Maaf, Non. Udah Maghrib. Bukan tak sopan Mbok bangunin," kata si Mbok. Aku masih sedikit pusing. Namun aku memang tadi seusai pulang dari kantor langsung menonoton televisi dan ketiduran ternyata."Ya ampun, makasih ya, Mbok. Fathan sama Dona mana?" tanyaku mencari kedua anakku."Non Dona lagi di kamarnya belajar. Den Fathan lagi main mobil-mobilan. Tuh!" tunjuk Mbok Arum ke arah anakku Fathan."Ibu?" Dia memanggilku. Karena dia sudah bisa bicara. Bahkan sudah bisa bicara sempurna di usianya yang ke-dua tahun ini."Sayang, Ibu tidur ya!" ujarku padanya sambil mendekat. Dia
PoV Diandra***"Nessia? Kamu kenapa?" tanyaku pada Nessia dengan cemas saat Nessia mengangakan mulut seusai melacak lokasi Mas Dani."Mbak, Mah, Mas Dani udah deket. Tapi kayaknya dia kena macet di jalan satu arah dekat rumah sakit," jelas Nessia dengan terharu. Wajah Nessia sumringah.Alhamdulillah, aku tenang.Pecah sudah rasa khawatir terhadap Mas Dani. Syukurlah dia sudah sampi lagi. Ini sudah dinihari. Dan kami bahagia Mas Dani telah kembali."Kamu beneran?" tanyaku memastikan. Aku akan berterima kasih banyak pada Mas Dani. Karena dia berhasil kembali dengan membawa kantung darah untuk Mas Reza.Tiba-tiba pintu ruangan Mas Reza membuka lagi.Krek.Aku, mama dan Nessia panik namun penuh harap. Aku menyergap dokter. Kuharap ada kabar baik untukku."Dokter? Gimana suami saya?" sergapku pada
PoV Diandra***"Maaf, Pak, Bu, stok darah untuk saudara Reza sudah habis." Ujar Dokter yang tiba-tiba membuka pintu ruangan."Ya Allah, lalu gimana Dokter? Apa yang harus kami lakukan?" Aku sangat panik."Dokter, dokter bisa ambil darah saya. Sebanyak yang kakak saya butuhkan, Dokter," ujar Mas Dani lantang. Bola matanya pun masih terus berkaca-kaca. Aku sangat terharu."Kami bisa saja mengambil darah dari anda," jawab dokter atas usulan Mas Dani."Tapi, rasanya tak mungkin bila kami harus mengambil terlalu banyak darah untuk pasien. Karena itu bisa membahayakan kesehatan anda," imbuh dokter lagi.Aku, Mama dan Nessia hanya bisa diam dalam kegelisahan. Karena diantara kami tak ada darah yang cocok. Selain Mas Dani, tak ada lagi di keluarga kami. Apalagi darah mereka terbilang langka. Tapi aku yakin, dokter pasti bisa menangani seperti sebelum-sebelumnya."Dok, ambil saja darah saya. Saya rela walau nyawa saya taruhannya,"
PoV Author***"Toloooong! Toloooong!"Dani terus melambaikan tangan sambil berteriak. Dimana Reza saat itu sudah pingsan kembali."Haaaarkh! Toloooong!"Akhirnya, cahaya itu makin mendekat. Dan mereka adalah tim SAR yang mencari keberadaan korban kecelakaan pesawat."Toloooong! Toloooong! Kami disini, Pak!" Dani terus berteriak meminta bantuan. Dan mereka pun mendekat.Tubuh Dani bukan tak sakit. Tapi dia masih mampu berusaha meminta pertolongan."Pak, tolong, Pak, Kakak saya sudah kehabisan banyak darah sejak tadi. Tolong kami, Pak!" Dani beteriak histeris pada beberapa orang yang sudah datang dalam dua perahu karet."Ayok, ayok bantu!" Para tim SAR sibuk di posisi masing-masing. Yang menangani Reza dan menangani Dani. Mareka juga tak lupa memasangkan alat pelampung. Karena mereka akan menaiki perahu untuk sampai di dermaga.
PoV 3***"Ness!" Diandra meraih lembaran yang Nessia baca. Ia menyelidik cemas. Pipinya sudah basah kuyup sejak tadi.Mata Diandra menyidik setiap nama korban yang sudah ditemukan. Dan banyak dari mereka yang sudah tak bernyawa. Dan itu makin membuat Diandra putus harapan. Tapi dia terus berdoa. Semoga ada keajaiban bagi korban-korban pesawat itu."Nessia? Kedua Abang kamu dimana?" tanya Diandra. Karena dia tak menemukan nama Reza ataupun Dani di daftar korban yang sudah ditemukan. Ia yakin, mereka benar-benar tidak ada di daftar korban ditemukan."Iya, Mbak. Beberapa korban masih dinyatakan hilang," jawab Nessia dengan sendu.Diandra hanya bisa menganga dengan penuh doa. Penumpang pesawat yang berjumlah 132 orang itu baru 123 orang yang ditemukan. Dan 70% sudah tak bernyawa akibat ledakan pesawat di udara.Astaghfirullah aladzim!"M-Mah, mas Reza dan mas Dani, mereka belum ditemukan, Mah. Aku yakin, mereka masih h