Selamat datang di cerita baru. Jangan lupa like, komen dan di follow
Selamat Membaca
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu pukul sepuluh malam kudengar. Pasti itu Mas Dani. Dia baru pulang kerja selarut ini? Tidak mengabari pula.
Segera aku hengkang dari kursi dan membuka pintu. Sedikit mengucek mata karena sempat tertidur saat menunggunya pulang. Rambut yang sedikit berantakan kurapikan pula terlebih dahulu.
Dona telah tertidur pulas di kasurnya, sedangkan aku masih menunggu Mas Dani sampai akhirnya ketiduran. Dan akhirnya, pulang juga dia sekarang.
"Hukh, akhirnya pulang juga, selarut ini tanpa kabar pula," gerutuku dalam hati. Sambil melangkahkan kaki hendak meraih gagang pintu.
Tok tok tok!
"Ya sebentar, Mas!" jawabku. Sedikit menaikan nada supaya terdengar olehnya.
Ckrek!
Kubuka pintu dengan cepat. Seokan angin malam begitu terdengar. Sapuan anginnya pun amat terasa dingin dan menembus dengan cepat ke dasar kulit.
Kutengok wajahnya sambil memegangi kedua sikut lengan yang saling bersilangan di bawah dada karena dingin.
"Waalaikum salam," ucapku lebih dulu karena dia malah melongok tanpa ucapan salam. Mata ini sudah amat mengantuk. Namun sengaja memberi jawaban salam supaya dia mengucap salam ketika pulang hendak masuk rumah.
"Eh, Assalammualaikum, Sayang." Mas Dani sedikit malu. Dan barulah mengucap salam.
"Waalaikum salam," jawabku kembali.
Langsung mencium punggung tangannya dengan takzim dan menutup kembali pintu rapat-rapat. Takutnya si angin memaksa masuk dan membuat Dona yang sudah tertidur pulas menjadi kedinginan.
Blugk!
Segera aku membuka mulut ini. Walaupun rasanya malas sekali. Ngantuk, dingin dan pusing bercampur aduk.
"Akhir-akhir ini kamu sering pulang malam, Mas? Memangnya di kantor sibuk banget?" tanyaku lembut. Menyusuri langkahnya menuju kursi. Berniat ingin bersikap sinis tapi takut ia malah marah dan risi.
Mas Dani menarik nafas. Suara tarikan nafasnya pun sedikit terdengar.
"Em, ya, tadi ada sedikit masalah di kantor."
Jawabannya hanya itu. Kemudian duduk dan membuka dasi. Itupun setelah tas kopernya kubawakan.
Satu persatu Mas Dani membuka sepatu dan kaos kaki yang tercium aroma keringatnya. Padahal setiap hari ganti kaos kaki. Tapi baunya masih saja sedikit tercium. Badannya juga, keringatan sekali, padahal dia 'kan bukan tukang kuli bangunan. Apa karena dinginnya naik kendaraan bermotor membuat dia berkeringat? Hah, memangnya berkendara siang bolong?
"Kok kamu enggak ngabarin, Mas? Nomor kamu juga tidak bisa di hubungi," protesku sedikit kesal.
"Tadi batreinya habis. Karena sibuk jadi lupa untuk mengisi dayanya," alasannya.
Ya sudahlah, yang penting ia sudah pulang. Kekhawatiran dan kecemasanku kini telah sirna.
"Oh, begitu. Kamu mau teh, Mas, atau kopi?" tanyaku kemudian basa-basi. Padahal hati ini kesal sekali. Menunggunya sampai larut sampai ketiduran pula. Tapi wajahnya tanpa ada dosa sama sekali.
"Enggak usah, aku mau langsung tidur saja. Capek," tembalnya.
Mas Dani langsung berdiri menuju kamar mandi. Bersih-bersih badan dan menyuruhku mengambilkan handuk.
"Ini handuknya," ucapku.
Dia langsung masuk ke kamar mandi dan aku langsung menuju kamar tidur. Hendak menyimpan tas, setelah sebelumnya meletakan sepatu pada tempatnya.
Mata ini seperti ingin menutup saja, melihat jam sudah pukul sepuluh, belum lagi besok aku harus bangun pagi-pagi. Memang kalau kantor ada masalah dia juga ikut-ikutan amat sibuk? Mas Dani kan hanya karyawan biasa, itupun baru beberapa bulan dia bekerja.
Kerja di kantor baru karena ia keseringan di pecat.
Ah, aku tak mengerti. Mungkin, ya. Semoga saja apapun itu semuanya baik-baik saja.
Tak lama kemudian.
Mas Dani selesai bersih-bersih. Dia menghampiriku ke kamar dan duduk di ranjang.
Aku fikir dia akan mencumbu atau berbasa-basi denganku, tapi dia malah langsung tidur. Secapek itukah?
Aku mengharap perkataan maaf atau sejenisnya keluar dari mulutnya itu, namun, ah sudahlah. Mungkin dia masih malas karena terlalu capek.
Aku masih di depan cermin. Menyisir rambut amat pelan karena sudah mulai rontok, padahal usiaku baru kepala dua, namun buntutnya sembilan. Ya, tahun ini usiaku genap dua puluh sembilan tahun. Mempunyai satu anak, Dona yang baru berusia tiga tahun.
Aku sekarang jarang pergi ke salon, karena uang dari suami harus benar-benar kuhemat, apalagi untuk masa depan si kecil kelak. Aku tak ingin kelak masa depannya terganggu karena kekurangan biaya.
Mas Dani sekarang berusia tiga puluh tahun. Dulu dia menikahiku karena dia terpincut saat sedang masa-masa orientasi di kampus. Dia senior sedangkan aku juniornya.
Ya, begitulah perjalanan kami. Setelah dia lulus strata satu, mungkin niatnya untuk menikahiku muncul tiba-tiba. Apa dayaku sebagai perempuan. Takut jadi fitnah dan apalah-apalah. Maka dari itu sebelum lulus kuliah aku sudah dinikahi oleh Mas Dani. Dan beberapa bulan setelahnya langsung di bawa ke rumah ini.
Dulu rumah ini masih kami cicil, namun seiring berjalannya waktu, akhirnya rumah ini sukses dan telah resmi menjadi atas nama kami. Atas nama suamiku.
Dulu aku sempat bekerja setelah lulus kuliah, namun karena sifat Mas Dani yang kurang mengenakan setiap melihatku pulang, jadi dengan terpaksa aku resign dari kantor. Katanya dia tak ingin aku menjadi seorang wanita karir. Biar dia saja yang mencari nafkah sendiri. Ya sudahlah, Alhamdulillah kalau begitu.
Setelah beberapa tahun menikah kami tidak percaya kalau kami akan segera di karuniai momongan. Dan Alhamdulillah sampai saat ini aku telah membesarkan putriku selama tiga tahun.
Kupandangi wajah ini di cermin. Terlihat garis-garis halus mulai menyemai di kulit wajahku. Perlahan kuraba dan kuusap, semoga saja sampai raut wajah ini benar-benar menua, aku masih tetap bisa berkumpul dengan anak juga suamiku kini.
Pakaian tidur tipis sudah kupakai. Berniat tampil seksi dan memukau seperti malam-malam biasanya. Membersihkan seluruh badan pun sudah dari tadi. Namun Mas Dani sama sekali tidak melirikku. Dia langsung tidur terlentang dan ngorok pula. Huh, pasti dia capek sekali. Kasihan juga.
Karena IQ suamiku mungkin tidak terlalu bagus jadi dengan berserah hati Mas Dani hanya bisa diterima sebagai karyawan biasa. Tapi aku yakin, seiring berjalannya waktu, posisinya akan semakin membaik. Aku tidak tahu entah esok atau nanti dia bisa naik jabatan mungkin? Semoga saja prestasinya di kantor selalu meningkat.
Perlahan akupun mulai mendekat ke arah ranjang. Menduduki ranjang dan berbaring di samping Mas Dani.
Kulihat keringatnya keluar banyak sekali, padahal baru saja dia bersih-bersih. Memang tadi dia kerja apa? Bukannya hanya duduk-duduk saja. Hanya otak saja yang memutar sedikit. Aneh.
Biasanya Mas Dani selalu merayu dan mencumbuku sebelum tidur. Ya bukan berarti melakukan hubungan setiap malam. Namun aku dan dia bagaikan teman main saja. Ketawa ketiwi, ngoceh sana ngoceh sini. Makanya, sekarang aku jadi merasa aneh.
Tadi mataku seperti di lem saja. Inginnya terpejam terus. Tapi setelah melihat kondisi Mas Dani yang amat kecapekan, pikiranku malah kemana-mana. Mata ini terus saja melek. Rasa ngantuk kini malah hilang.
Beberapa jam kemudian
Akhirnya setelah beberapa lama tak di sadari mata inipun mulai kembali lengket. Ngantuk sekali dan tertidur sambil tangan sebelah memeluk suami.
***
Pagi harinya, seperti biasa aku menyiapkan sarapan. Kali ini aku menghidangkan nasi goreng dengan telur mata sapi sebagai temannya.
Dona sedang asyik bermain di lantai yang dialasi tikar permadani. Memain-mainkan boneka pemberian neneknya, Ibu suamiku.
Tiba-tiba Mas Dani menghampiri.
"Wah wangi banget," ucapnya sedikit manja. Memuji-muji masakanku yang hanya memasak nasi goreng tambah telur. Tapi memang itu adalah kesukaan Mas Dani setiap pagi. Tidak bosan-bosannya.
"Iya, yuk sarapan dulu, Mas," ajakku.
Aku segera mengambil Dona dan mendudukkannya di kursi meja makan bersebelahan denganku. Karena dia lebih suka duduk dan sesekali tidak ingin disuapi makan.
Piring dan sendok telah kuberikan pada Mas Dani. Supaya dia cepat makan karena harus berangkat kerja.
"Diandra, aku punya sesuatu buat kamu."
Mas Dani tiba-tiba berkata demikian. Lantas aku terkejut, sesuatu apa? Kalau uang gajihan kan masih beberapa minggu lagi?
Sejenak aku menyimpan sendok yang hendak mengambil teman nasi.
"Ini, aku ada uang lebih buat kamu," katanya sambil memberikan sebuah amplop berwarna coklat kekuning-kuningan. Jelas itu adalah amplop yang biasa di gunakan untuk mewadahi uang.
Jelas aku terkejut.
Sebelum aku menampannya.
"Lho, kamu sudah gajihan, Mas?" tanyaku heran. Ya, memang ini bukan jadwal dia mendapatkan upah dari kantor."Kamu terima saja. Ini adalah bonus dari bos."
Keningku hanya mengernyit heran dan bingung. Hadiah?
"Ayok ambil. Buat nambah-nambah kebutuhan dapur," katanya lagi.
Alasannya memang cukup masuk akal.
Perlahan uang itu Mas Dani simpan di telapak tanganku yang belum mengambil amplop dengan sendirinya.
Mataku menoleh ke arahnya.
Perlahan membuka amplop itu dan kulihat dalamnya.
"Mas, kok ini nominalnya sama dengan upah kamu sebulan?" tanyaku masih amat heran dan penasaran.
Bagaimana tidak penasaran, Mas Dani baru bekerja sekitar empat bulan, karena dia telah resign dari kantornya dulu. Eh sekarang sudah dapat bonus saja. Bukan tidak bersyukur, tapi ...
"Kamu kenapa? Itu namanya rezeki," sambungnya lagi.
"Hm, Alhamdulillah ya, Mas. Bos kamu baik banget. Padahal kamu hanya karyawan biasa. Tapi dia sudah ngasih kamu bonus dalam jangka waktu yang sebentar pula," syukurku namun masih amat heran.
"Ya, aku memang tidak bisa kerja seperti kamu dulu, yang langsung di terima sebagai sekretaris di perusahaan besar. Dengan gaji yang besar pula. Aku sebagai karyawan ya, hanya bisa memberi kamu seminimnya," cutusnya.
Tiba-tiba hatiku merasa tak enak. Aduh, apa ucapanku menyakiti hati Mas Dani?
"Bukan begitu, Mas. Maaf ya. Malah aku senang sekali, kamu kerjanya rajin. Prestasi kamu pasti juga semakin bagus. Ya, kalau aku sedikit heran wajar 'kan? Ya, sudah, yuk lanjutkan makanan kamu. Uangnya aku terima dan kusimpan ya, Mas."
Akhirnya kami pun sarapan bersama. Sesekali kami memanjakan Dona juga mengisenginya. Alhamdulillah, rasanya kebahagiaan ini selalu saja bertambah setiap waktu.
Fikiran ini masih belum berhenti suudzon. Kenapa suamiku bisa mendapat bonus sebesar dan secepat itu? Memang apa yang ia perbuat?
Lalu setelah beberapa lama aku baru menyadari. Mas Dani memakai jam tangan agak mewah, ya meskipun tidak begitu mahal, tapi kapan ia membelinya? Kemarin rasanya aku belum melihat arloji itu?
Apa kutanya saja? Tapi ... ah sudahlah, biar kutanya nanti. Lebih baik aku lanjut makan saja. Semoga prasangka di dalam hati ini benar-benar salah.
āāā
Sudah genap satu bulan. Mas Dani sering pulang larut setiap malam Senin dan malam Kamis. Sekarang pun dia memberiku kabar kembali, bahwa malam ini dia akan pulang terlambat.Malam ini adalah malam Senin ke sekian kalinya mas Dani sering pulang larut. Memang kerjaannya di kantor kan setiap hari Minggu itu libur. Namun ia bilang sedang mencoba merintis usaha baru bersama rekannya. Makanya mereka menggunakan waktu luang yaitu hari ini, hari Minggu.Setiap ku tanya alasannya memang selalu masuk akal. Tapi yang tidak masuk akal itu adalah penampilannya. Semakin wangi, semakin kece pula. Aku memang tidak masalah, karena ada peran istri dalam penampilan keren suami. Yang aku heran, kenapa setiap hari Rabu dan Minggu dia selalu berpenampilan menarik. Tapi hari-hari lainnya biasa-biasa saja. Malah dia jarang keluar rumah. Pulang ngantor pun pukul empat sudah di rumah.
Akhirnya tiba juga di hari Minggu. Pasti suamiku sekarang akan pamit pergi kembali. Seperti biasa sore-sore.Memang tadi kami menghabiskan waktu bersama dengan berjalan-jalan ke taman kota. Sempat kecurigaanku hilang atas sikapnya. Namun, tetap saja batin ini berkecamuk merasa ada yang ganjal.Mas Dani memang tiba-tiba banyak uang. Katanya itu adalah hasil dari bisnis yang sedang ia rintis bersama teman-temannya.Mas Dani membelikan baju untukku dan untuk anak kami pula. Ah, aku benar-benar kalap dengan kebingungan ini. Mungkin aku tak akan curiga jikalau dia terbuka, memberitahuku di mana ia berbisnis dengan jelas.Semoga saja suamiku tidak memperjual belikan barang haram."Amit-amit, amit-amit."Bibirku mengucap sambil mengetuk-ngetuk kepala oleh jari, dan diketukan pula ke atas meja.Oke, mulai hari ini kecurigaanku harus segera diluruskan. Aku tak mau
Malam ini tepat pukul sebelas malam suamiku akhirnya pulang.Seperti biasa dia seperti kecapekan dan lesu. Mengetuk pintu rumah dan langsung masuk. Karena aku memang tak menguncinya supaya pas aku ketiduran dia tidak membangunkanku.Namun borok-borok ketiduran, batin ini terus berkecamuk menduga-duga sesuatu hal buruk tentang Mas Dani.Kini aku tidak menunggunya di sofa. Sengaja aku pura-pura sudah terlelap di samping Dona. Padahal pas kudengar suara kendaraan roda duanya berhenti mataku sontak melihat jam dinding. Jelas waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam tepat.Dia seperti tak punya istri dan anak saja. Pulang selarut itu tanpa rasa bersalah."Diandra, kamu sudah tidur!" ucapnya sambil nyelonong masuk ke dalam kamar. Menghampiriku dan juga Dona.Entah itu basa-basinya atau apa.Sama sekali aku tidak bisa berpura-pura
Bekas merah di leher suamiku membuat malam ini terasa panas sekali. Ingin rasanya aku merobek lehernya, membelah otaknya mengeluarkan seluruh rekaman, apa yang ia lakukan tadi.Amarahku makin kesini makin berkecamuk.Andai saja aku bisa menguntit dirinya sampai aku memergoki kegiatan gelapnya di luar, mungkin semua pertanyaanku akan segera terjawab.Tapi aneh. Kalau suamiku selingkuh dia punya uang darimana? Apakah mau wanita centil di luar sana menggoda laki-laki yang sudah berumah tangga namun tak memiliki uang?Selama ini uangnya selalu di berikan padaku. Berapapun itu.Jelas aku tahu betul gajinya di kantor hanya sedikit. Dan itu semua dia berikan padaku.Jangan-jangan benar. Mas Dani punya bisnis lain yang amat menguntungkan di luar sana. Dan dari uang itulah ia bisa berbuat hal yang tidak pernah ku sangka.Apa mungkin jatah uangku darinya lebih
"Ibu dan Bapak akan tinggal disini?" tanyaku kaget sambil memastikan."Ya, Nak. Ibu dan Bapak berencana akan tinggal disini. Tapi kami akan mnyewa rumah, bukan tinggal bersama kamu," jelas ibu.Aku masih tak menyangka, kalau bapak dan ibu malah akan tinggal dekat denganku. Tapi ada bagusnya juga. Siapa tahu mas Dani bisa merubah sikapnya jika bapak dan ibu berada dekat dengannya.Tak sehelaipun kulihat baju yang mereka bawa. Kalau mereka akan pindah kesini, mana barang bawaan mereka?"Oh, ya. Dani yang menyuruh kami untuk pindah kesini. Dan Dani juga sudah menyewakan rumah untuk kami. Ya kan, Pak?"Hah?"Ya Diandra. Dani yang menyuruh kami pindah. Lagipula di kampung, Bapak dan Ibu hanya tukang kebun. Jadi Dani katanya lebih baik membawa Ibu dan Bapak ke kota, bersama kalian."Jawaban bapak membuatku menelan ludah.Aku tersenyum sedi
Hari ini aku berniat mengikuti Mas Dani sesuai apa yang di katakan Ibu. Aku bersyukur sekali, Ibu sangat mengerti keadaan dan posisiku. Mungkin karena ibu merasa bahwa dirinya juga wanita. Tak ingin terus-menerus dibuat tanda tanya oleh sikap mas Dani yang terlihat tak biasa. Apalagi penghasilannya."Diandra, sore nanti tolong siapkan baju yang paling bagus untukku," katanya menyuruhku.Posisi kami saat ini sedang sarapan. Aku makan sambil menyuapi Dona."Hm," anggukku sambil menyuapi putri tercantik."Memangnya kamu mau kemana sih, Mas?" tanyaku lagi berbasa-basi."Aku nanti sore ada pertemuan bersama rekan-rekan bisnis di restoran mewah. Membahas kelanjutan bisnis kita," jawabnya sambil terus menyuapkan makanan satu sendok satu sendok dengan cepat ke mulut. Sarapan nasi goreng pakek telur mata sapi sesuai keinginannya.Tingkahnya benar-benar rusuh.Aku m
Aku membuntuti suamiku yang masuk ke dalam restoran.Langkahnya cepat sekali. Mencurigakan.Kususuri kemana ia berjalan. Ke sebuah ruangan VVIP ternyata.Aku melihat suamiku menghampiri tempat duduk wanita-wanita yang kupikir mereka adalah wanita-wanita kaya.Tapi ..."Dia mau pergi kemana?" cecarku dalam pikiran ini.Mata ini jelas melihat Mas Dani menghampiri meja para wanita-wanita dewasa berpenampilan glamor dengan perhiasan.Apa yang akan di lakukannya?Aku menguntitnya dari kejauhan. Dan kini semakin mendekat."Permisi, Bu. Boleh saya pinjam asbaknya!"Hah?Itulah yang dikatakan suamiku.Dia menghampiri ibu-ibu itu hanya untuk meminjam asbak.Lalu dia membalikan lagi badannya ke meja kursi yang lain.Kususuri
Siang ini aku baru saja pulang belanja bersama Dona. Niatnya seusai zuhur aku akan singgah ke rumah Ibu. Membawakannya makanan dan kue yang baru saja ku beli"Alhamdulillah, sampai juga di rumah ya, Nak," seruku pada Dona yang sedang memainkan boneka kecil di aisan kangguru.Tadi aku belanja keluar karena disuruh Mas Dani, katanya aku harus membelikannya beberapa baju dan aksesoris-aksesoris pula. Dia memberikan uangnya.Baju suamiku sekarang hampir penuh satu lemari. Baju-bajunya bagus dan menarik. Sekalian juga aku beli beberapa baju untuk Dona dan sisanya aku belikan untuk kebutuhan rumah tangga. Biar sekalian pergi.Sekarang pikiranku tentang suami tak lagi buruk, apalagi setelah aku mengikutinya kemarin. Bahkan sepertinya aku tak pantas untuk suudzon, yang harus aku lakukan adalah berpikir baik dan berdoa.
"Mbak, selamat ya, sebentar lagi Mbak akan menikah. Tinggal beberapa jam lagi." Nessia memberiku ucapan kala aku baru saja selesai di make up oleh Mbak Intan. Tukang make up profesional yang semuanya di rekomendasi oleh Nessia dan Radit."Makasih ya, Ness. Dan maaf. Mungkin Mbak terkesan mengkhianati kakak kamu." Bagaimanapun juga Nessia adalah adik almarhum suamiku. Tapi dia yang mendukungku, menyiapkan segalanya untukku. Tak terkecuali."Mbak, enggak, gak ada pengkhianatan disini. Aku tahu, Mbak wanita yang baik. Dan aku tahu gimana cinta Mbak pada mereka. Tapi, aku juga ingin Mbak mendapatkan pria yang bisa menemani Mbak, yang bisa lindungi, Mbak. Aku gak mau Mbak terus-menerus menjanda. Masa depan Mbak itu masih panjang. Dan aku yakin, mas Rizky bisa jadi jodoh Mbak sampai akhir nanti. Sampai kalian kakek nenek. Sampai maut sendiri yang memisahkan kalian." Nessia kembali mengungkapkan. Telapak tangannya sedari tadi me
"Mas Dani? Mas Reza? Kalian mau kemana?" Aku melihat dua pria bersaudara itu bergandengan tangan mengenakan pakaian serba putih. Lalu mereka diam dan berbalik badan menyemai senyuman."Diandra, aku pergi. Kamu jangan lupa bahagia. Jaga anak kita," kata Mas Reza. Jelas air mataku menetes."Ta, tapi kalian mau kemana?" Aku mulai menangis. Air mata ini menghujan. Mas Dani mendekat. Dan Mas Reza diam tetap di tempatnya. Mas Dani makin mendekat ke arahku berdiri. Senyuman dan lesung pipinya amat membuat syahdu penglihatanku. Mereka tampan sekali."Diandra. Kamu jangan nangis. Kamu harus ingat, kamu punya dua anak. Dan kamu harus menjaganya." Kalimat Mas Dani. Dia juga meraih telapak tangan kiriku. Ia memberiku sebuah benda. Benda berwujud sepasang merpati. Ia berikan padaku. Dan ia simpan di telapak tanganku.Mas Dani menatapku. "Jangan lupa pula, kamu itu seorang wanita yang butuh pelindung. Kembalilah, kamu j
"Maaf, Ky. Tapi, nyatanya aku belum bisa melupakan almarhum suami aku. Aku belum bisa terima cinta kamu." Itulah jawabanku. Yang kujawab dengan penuh kesenduan. Aku bukan tahan harga, tapi inilah kenyataannya.Rizky yang tadinya bersimpuh. Kini ia bangkit perlahan dan duduk lagi di sampingku. Raut wajahnya amat datar. Namun lebih condong ke kecewa. Tarikan nafasnya pun lemas sekali. Baru kali ini aku melihat Rizky yang energik menampakkan wajah seperti ini."Tapi kenapa?" selidiknya lirih.Kami terdiam. Dan aku mulai mengatur nafas untuk menjawab pertanyaan Rizky. Aku tak mau dia tersinggung dan merasa di rendahkan. Hingga kutolehkan tubuh ini menghadap ke arahnya."Aku minta maaf. Bukan maksud aku merendahkan kamu dengan menolak niat baik kamu. Jujur, kamu itu pria yang tampan, mapan, baik. Kamu bisa mendapatkan wanita single terutama gadis. Bukan seorang janda yang sudah memiliki putra dan putri sepertik
"Mbak, saya mau pelamiannya nanti bernuansa putih bak musim salju. Dan putih itu melambangkan kesucian." Aku memberi masukan."Enggak bisa. Saya mau pelaminan adik saya bernuansa rustic. Keren kan, Mbak, Mas. Apalagi pas malam dipakaikan lampu-lampu terang natural. Pokoknya semuanya sudah tergambar di otak saya." Rizky memberi masukan.Entah mengapa, hati ini tak merasa setuju dengan apa yang ia katakan."Gak bisa, Mbak. Menurut saya, nuansa putih itu lebih keren. Kesannya itu simple tapi modern. Tidak terlalu full color, tapi satu warna itu sudah mewakilkan keindahan." Aku kembali mengusulkan. Mas dan Mbak yang kini menghadapi kami lumayan agak bingung. Tapi mereka mencatat apa yang kami inginkan."Oh, sekalian saja semuanya putih. Gak usah ada warna lain. Kayak kain kafan," cetus Rizky. Dia malah membuatku kesal. Tapi aku tak menghiraukannya."Ah, dasar! Gak tahu indah sok-sokan bilang i
PoV Diandra***"Non? Non? Bangun, Non. Ini sudah adzan Maghrib." Suara terdengar samar-samar. Mataku mulai membuka. Kukucek sebentar."Mbok?"Aku terperanjat melihat si Mbok membangunkanku dari mimpi buruk tadi. Aku memimpikan hal buruk yang pernah kualami."Maaf, Non. Udah Maghrib. Bukan tak sopan Mbok bangunin," kata si Mbok. Aku masih sedikit pusing. Namun aku memang tadi seusai pulang dari kantor langsung menonoton televisi dan ketiduran ternyata."Ya ampun, makasih ya, Mbok. Fathan sama Dona mana?" tanyaku mencari kedua anakku."Non Dona lagi di kamarnya belajar. Den Fathan lagi main mobil-mobilan. Tuh!" tunjuk Mbok Arum ke arah anakku Fathan."Ibu?" Dia memanggilku. Karena dia sudah bisa bicara. Bahkan sudah bisa bicara sempurna di usianya yang ke-dua tahun ini."Sayang, Ibu tidur ya!" ujarku padanya sambil mendekat. Dia
PoV Diandra***"Nessia? Kamu kenapa?" tanyaku pada Nessia dengan cemas saat Nessia mengangakan mulut seusai melacak lokasi Mas Dani."Mbak, Mah, Mas Dani udah deket. Tapi kayaknya dia kena macet di jalan satu arah dekat rumah sakit," jelas Nessia dengan terharu. Wajah Nessia sumringah.Alhamdulillah, aku tenang.Pecah sudah rasa khawatir terhadap Mas Dani. Syukurlah dia sudah sampi lagi. Ini sudah dinihari. Dan kami bahagia Mas Dani telah kembali."Kamu beneran?" tanyaku memastikan. Aku akan berterima kasih banyak pada Mas Dani. Karena dia berhasil kembali dengan membawa kantung darah untuk Mas Reza.Tiba-tiba pintu ruangan Mas Reza membuka lagi.Krek.Aku, mama dan Nessia panik namun penuh harap. Aku menyergap dokter. Kuharap ada kabar baik untukku."Dokter? Gimana suami saya?" sergapku pada
PoV Diandra***"Maaf, Pak, Bu, stok darah untuk saudara Reza sudah habis." Ujar Dokter yang tiba-tiba membuka pintu ruangan."Ya Allah, lalu gimana Dokter? Apa yang harus kami lakukan?" Aku sangat panik."Dokter, dokter bisa ambil darah saya. Sebanyak yang kakak saya butuhkan, Dokter," ujar Mas Dani lantang. Bola matanya pun masih terus berkaca-kaca. Aku sangat terharu."Kami bisa saja mengambil darah dari anda," jawab dokter atas usulan Mas Dani."Tapi, rasanya tak mungkin bila kami harus mengambil terlalu banyak darah untuk pasien. Karena itu bisa membahayakan kesehatan anda," imbuh dokter lagi.Aku, Mama dan Nessia hanya bisa diam dalam kegelisahan. Karena diantara kami tak ada darah yang cocok. Selain Mas Dani, tak ada lagi di keluarga kami. Apalagi darah mereka terbilang langka. Tapi aku yakin, dokter pasti bisa menangani seperti sebelum-sebelumnya."Dok, ambil saja darah saya. Saya rela walau nyawa saya taruhannya,"
PoV Author***"Toloooong! Toloooong!"Dani terus melambaikan tangan sambil berteriak. Dimana Reza saat itu sudah pingsan kembali."Haaaarkh! Toloooong!"Akhirnya, cahaya itu makin mendekat. Dan mereka adalah tim SAR yang mencari keberadaan korban kecelakaan pesawat."Toloooong! Toloooong! Kami disini, Pak!" Dani terus berteriak meminta bantuan. Dan mereka pun mendekat.Tubuh Dani bukan tak sakit. Tapi dia masih mampu berusaha meminta pertolongan."Pak, tolong, Pak, Kakak saya sudah kehabisan banyak darah sejak tadi. Tolong kami, Pak!" Dani beteriak histeris pada beberapa orang yang sudah datang dalam dua perahu karet."Ayok, ayok bantu!" Para tim SAR sibuk di posisi masing-masing. Yang menangani Reza dan menangani Dani. Mareka juga tak lupa memasangkan alat pelampung. Karena mereka akan menaiki perahu untuk sampai di dermaga.
PoV 3***"Ness!" Diandra meraih lembaran yang Nessia baca. Ia menyelidik cemas. Pipinya sudah basah kuyup sejak tadi.Mata Diandra menyidik setiap nama korban yang sudah ditemukan. Dan banyak dari mereka yang sudah tak bernyawa. Dan itu makin membuat Diandra putus harapan. Tapi dia terus berdoa. Semoga ada keajaiban bagi korban-korban pesawat itu."Nessia? Kedua Abang kamu dimana?" tanya Diandra. Karena dia tak menemukan nama Reza ataupun Dani di daftar korban yang sudah ditemukan. Ia yakin, mereka benar-benar tidak ada di daftar korban ditemukan."Iya, Mbak. Beberapa korban masih dinyatakan hilang," jawab Nessia dengan sendu.Diandra hanya bisa menganga dengan penuh doa. Penumpang pesawat yang berjumlah 132 orang itu baru 123 orang yang ditemukan. Dan 70% sudah tak bernyawa akibat ledakan pesawat di udara.Astaghfirullah aladzim!"M-Mah, mas Reza dan mas Dani, mereka belum ditemukan, Mah. Aku yakin, mereka masih h