Amarahku makin kesini makin berkecamuk.
Andai saja aku bisa menguntit dirinya sampai aku memergoki kegiatan gelapnya di luar, mungkin semua pertanyaanku akan segera terjawab.
Tapi aneh. Kalau suamiku selingkuh dia punya uang darimana? Apakah mau wanita centil di luar sana menggoda laki-laki yang sudah berumah tangga namun tak memiliki uang?
Selama ini uangnya selalu di berikan padaku. Berapapun itu.
Jelas aku tahu betul gajinya di kantor hanya sedikit. Dan itu semua dia berikan padaku.
Jangan-jangan benar. Mas Dani punya bisnis lain yang amat menguntungkan di luar sana. Dan dari uang itulah ia bisa berbuat hal yang tidak pernah ku sangka.
Apa mungkin jatah uangku darinya lebih sedikit dibanding yang ia kasih pada wanita-wanita di luar sana?
Ah, Mas, kamu membuat batinku makin mengamuk.
Malam ini susah sekali mata terpejam. Selalu saja kuingin melihat dan memastikan bekas merah di leher kamu yang membuatku makin hancur.
Rasa ngantuk yang tak kunjung datang membuat emosiku makin meluap-luap. Ingin rasanya ku membangunkannya dan membudalkan amarah atas apa yang aku lihat.
Tapi, bisa saja itu hanya bekas gigitan serangga, bukan?
Kalau aku terus-terusan hanya curiga, rasanya aku hanya semakin dibuat gila.
Karena tak ada rasa ngantuk aku pun hengkang dari kasur dan mengacak-acak rambut atas keadaanku yang tidak bisa berbuat sesuatu. Aku memang wanita yang bodoh, tak bisa mencari jalan keluar saat terpentok karena sudah punya anak seperti ini.
Semakin lama pradugaku ini tak kunjung mereda.
Melihat jam di dinding sudah mulai menunjukkan pukul dua belas malam tepat. Suara detikkannya itu seperti terus memacu getaran emosi di dada.
Malam ini emosiku mengalahkan semuanya.
Tak ada ide-ide yang muncul karena otakku kini makin memanas. Memikirkan suami yang terus-menerus membuatku gila menduga, dan memikirkan diriku yang seperti amat bodoh sekali.
Di pukul setengah satu tepat aku merasakan emosi yang mulai mereda.
Segera aku bergegas keluar kamar dan mengambil air wudhu. Berharap pikiranku bisa menjadi jernih untuk memikirkan rencana-rencana yang akan aku lakukan.
Seusai wudhu kuraih kain berwarna putih-putih yang biasa kupakai. Itu pun adalah alat sholat yang dijadikan maskawin oleh Mas Dani untukku.
Warnanya masih putih dan bagus. Ya walaupun sudah ada sedikit bercak-bercak kotoran endapan air dan keringat, namun masih selalu kupakai. Karena mukenah ini menjadi saksi ijab dan qabul dulu.
Rasanya sayang kalau harus menggantinya. Biar saja terus kupakai karena kalau harus membeli lagi mukena ini pasti tidak lagi kupakai.
Sebelum melaksanakan ibadah malam, kepalaku menoleh ke arah samping. Menoleh ke arah anak dan suami yang telah bersamaku selama empat setengah tahun ini.
Mataku memandang sayup mereka. Rasanya tak mungkin suamiku berkhianat membagi hatinya untuk wanita lain. Karena selama ini sikap dan perhatiannya tak sedikitpun berubah. Ya hanya itu. Lebih sering pulang malam di waktu-waktu tertentu.
Pandanganku segera kualihkan pada sehelai sejadah yang kudapat dari mas kawin saat ijab qobul pula. Sejadah yang agak lebar dan tebal. Warnanya pun masih sangat bagus dan lembut.
Segera ku pasrahkan diri ini pada-Nya. Berharap semua pertanyaan ini segera terjawab.
Harus ku tinggalkan sejenak rasa kacau ini ketika bersujud. Dan menyerahkan seluruh diri dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan ikhlas pada-Nya.
***
Pagi ini nampaknya Mas Dani belum bangun. Padahal dia kan harus pergi ke kantor. Aku berniat membangunkannya. Karena tidak seperti biasa dia belum bangun.
Dona sudah selesai kumandikan dan sekarang dia di bawa oleh Siva anak tetangga. Katanya Siva ingin membawa Dona main di rumahnya. Lantas aku perbolehkan saja, karena ini bukan kali pertama Dona di bawa Siva. Lagi pula Dona suka anteng saat di ajak main oleh Siva yang sudah berusia empat belas tahun.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan namun Mas Dani tak juga bangun.
Segera aku menuju ke kamarnya, karena kalau aku tak kerja, mau makan apa keluarga ini. Aku kerja juga tak boleh, tapi dia malah malas-malasan. Karena aku seperti lebih nyaman menerima gaji bulanan dari kantor di bandingkan uang dari bisnis-bisnis yang tidak pernah ku ketahui.
Biarlah aku sebentar menjadi wanita bodoh dulu. Sembari aku mengikutinya diam-diam.
"Mas, bangun. Sudah siang, kamu kan harus ngantor."
Aku bergegas ke kamar membangunkannya. Menarik sedikit selimut yang masih membalut tubuh kekarnya.
"Hemh!"
Dia malah menggeram seperti kerbau sambil menggeliat.
"Apaan sih! Aku libur hari ini. Jangan ganggu!" hentaknya.
Kembali menarik selimut sampai ujung kepala. Dan kini badannya semua tertutupi oleh selimut yang sudah mulai pudar warnanya. Tapi sayang kalau harus diganti, selimut itu adalah selimut yang dibawa waktu seserahan.
Walaupun warnanya sudah mulai pudar, namun kehangatannya tidak pernah pudar sampai saat ini. Bahkan rasanya sangat nyaman sekali di banding selimut-selimut baru yang tersimpan di lemari.
Bibirku sedikit monyong.
Lalu kembali ke luar karena tak ingin berdebat. Mungkin dia sedang malas.
Hukh...
Aku kangen ibu sama bapak di kampung kalau begini. Rasanya aku ingin sekali memeluk mereka, curhat pada ibu.
Tapi yang ada mereka malah semakin cemas.
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu tiga kali tiba-tiba terdengar.
Kualihkan pandangan ini ke arah pintu keluar masuk. Dan menduga-duga siapa yang datang pagi-pagi seperti ini.
Kusimpan sejenak gelas yang sudah kuisi air minum karena aku sedikit haus. Mungkin karena kesal.
Perlahan kumelangkahkan kaki menuju pintu. Terlihat bayangan di jendela yang sedikit terhalang oleh gorden siang malam.
Mereka berdua. Tapi belum jelas wajahnya.
Segera kuraih gagang pintu dan membukanya.
Ckrek!
Pandanganku sedikit dibuat terkejut.
"Ibu, Bapak?" ucapku menyalami punggung tangan mereka dengan takzim.
Mereka tersenyum padaku dengan sumringah.
Aku kaget namun bahagia melihat kedatangan mereka, ibu dan ayah mertua yang datang dari luar kota.
"Sehat, Nak?" tanya mereka sambil kupersilahkan masuk.
"Alhamdulillah, Bu, Pak. Yuk silahkan duduk," jawabku sopan.
Mereka langsung duduk dan segera kusuguhi air minum. Air mineral untuk menyambut kedatangan mereka sebelum ku suguhi mereka hidangan lain.
"Silahkan, Bu, Pak, diminum dulu. Pasti kalian kehausan."
Mereka pun menganggukkan kepala dan langsung menyeruput minuman masing-masing satu gelas air mineral yang kusuguhkan.
Nampaknya mereka amat kehausan. Karena perjalanan mereka dari rumah kesini bisa sampai dua setengah jam.
Kedatangan kedua mertuaku sontak membuatku kaget. Karena tak ada pesan atau telepon sebelumnya kalau mereka akan datang berkunjung.
Aku masih belum membuka mulut. Biar ibu atau bapak yang bicara terlebih dahulu.
"Cucu Ibu mana?" ucapnya menanyakan keberadaan Dona.
"Oh, Dona sedang ada di rumah tetangga, Bu. Tadi Siva, anak tetangga membawanya untuk bermain," jawabku lembut.
Lantas aku masih belum tahu apa maksud dan tujuan mereka datang kesini. Apakah ada perlu sesuatu atau hanya ingin sekedar menginap saja. Kami sangat jarang bertemu karena jarak tempat tinggal yang saling berjauhan. Terakhir aku dan mas Dani ke rumah mertua lima bulan yang lalu. Itupun saat lebaran.
Akhirnya kami saling basa-basi.
Mengobrol saling bertanya kabar.
Ibu dan bapak akhirnya menjelaskan maksud dan tujuan mereka datang. Dan ... tujuan mereka datang sangat membuatku terkejut.
–––
"Ibu dan Bapak akan tinggal disini?" tanyaku kaget sambil memastikan."Ya, Nak. Ibu dan Bapak berencana akan tinggal disini. Tapi kami akan mnyewa rumah, bukan tinggal bersama kamu," jelas ibu.Aku masih tak menyangka, kalau bapak dan ibu malah akan tinggal dekat denganku. Tapi ada bagusnya juga. Siapa tahu mas Dani bisa merubah sikapnya jika bapak dan ibu berada dekat dengannya.Tak sehelaipun kulihat baju yang mereka bawa. Kalau mereka akan pindah kesini, mana barang bawaan mereka?"Oh, ya. Dani yang menyuruh kami untuk pindah kesini. Dan Dani juga sudah menyewakan rumah untuk kami. Ya kan, Pak?"Hah?"Ya Diandra. Dani yang menyuruh kami pindah. Lagipula di kampung, Bapak dan Ibu hanya tukang kebun. Jadi Dani katanya lebih baik membawa Ibu dan Bapak ke kota, bersama kalian."Jawaban bapak membuatku menelan ludah.Aku tersenyum sedi
Hari ini aku berniat mengikuti Mas Dani sesuai apa yang di katakan Ibu. Aku bersyukur sekali, Ibu sangat mengerti keadaan dan posisiku. Mungkin karena ibu merasa bahwa dirinya juga wanita. Tak ingin terus-menerus dibuat tanda tanya oleh sikap mas Dani yang terlihat tak biasa. Apalagi penghasilannya."Diandra, sore nanti tolong siapkan baju yang paling bagus untukku," katanya menyuruhku.Posisi kami saat ini sedang sarapan. Aku makan sambil menyuapi Dona."Hm," anggukku sambil menyuapi putri tercantik."Memangnya kamu mau kemana sih, Mas?" tanyaku lagi berbasa-basi."Aku nanti sore ada pertemuan bersama rekan-rekan bisnis di restoran mewah. Membahas kelanjutan bisnis kita," jawabnya sambil terus menyuapkan makanan satu sendok satu sendok dengan cepat ke mulut. Sarapan nasi goreng pakek telur mata sapi sesuai keinginannya.Tingkahnya benar-benar rusuh.Aku m
Aku membuntuti suamiku yang masuk ke dalam restoran.Langkahnya cepat sekali. Mencurigakan.Kususuri kemana ia berjalan. Ke sebuah ruangan VVIP ternyata.Aku melihat suamiku menghampiri tempat duduk wanita-wanita yang kupikir mereka adalah wanita-wanita kaya.Tapi ..."Dia mau pergi kemana?" cecarku dalam pikiran ini.Mata ini jelas melihat Mas Dani menghampiri meja para wanita-wanita dewasa berpenampilan glamor dengan perhiasan.Apa yang akan di lakukannya?Aku menguntitnya dari kejauhan. Dan kini semakin mendekat."Permisi, Bu. Boleh saya pinjam asbaknya!"Hah?Itulah yang dikatakan suamiku.Dia menghampiri ibu-ibu itu hanya untuk meminjam asbak.Lalu dia membalikan lagi badannya ke meja kursi yang lain.Kususuri
Siang ini aku baru saja pulang belanja bersama Dona. Niatnya seusai zuhur aku akan singgah ke rumah Ibu. Membawakannya makanan dan kue yang baru saja ku beli"Alhamdulillah, sampai juga di rumah ya, Nak," seruku pada Dona yang sedang memainkan boneka kecil di aisan kangguru.Tadi aku belanja keluar karena disuruh Mas Dani, katanya aku harus membelikannya beberapa baju dan aksesoris-aksesoris pula. Dia memberikan uangnya.Baju suamiku sekarang hampir penuh satu lemari. Baju-bajunya bagus dan menarik. Sekalian juga aku beli beberapa baju untuk Dona dan sisanya aku belikan untuk kebutuhan rumah tangga. Biar sekalian pergi.Sekarang pikiranku tentang suami tak lagi buruk, apalagi setelah aku mengikutinya kemarin. Bahkan sepertinya aku tak pantas untuk suudzon, yang harus aku lakukan adalah berpikir baik dan berdoa.
Seusai menunaikan kewajiban lima waktu empat rakaat di pukul tujuh malam, aku, Mas Dani dan Dona bersenda gurau di kamar.Bermain bersama Dona sebelum tidur.Dona anak kami yang cantik itu kini makin cerdas saja. Kami makin gemas dan bangga padanya.Tiba-tiba.[ Dering Panggilan ]Sebuah panggilan masuk terdengar dari gawai Mas Dani."Mas, ada telepon masuk ke hp kamu," ucapku.Dia langsung diam dan hengkang mengambil gawai barunya. Sebuah gawai yang sedang trendi dimasa kini.Aku lihat gelagat dan gerak-geriknya.Matanya menyorot ke arah sebuah nama yang tertampil di layar. Pandangannya nampak biasa saja namun seperti penting.Alisku meninggi bersikap acuh saja. Toh itu panggilan untuknya.Aku masih melanjutkan bercanda dengan Dona. Sekaligus mengajarkan Dona mengh
Siang ini Ibu datang ke rumah. Sekedar mampir dan bermain. Apalagi kan rumah kami sekarang sangat berdekatan.Ibu menghampiriku yang sedang duduk-duduk santai berdua dengan Dona."Aduh Cucu Nenek. Lagi ngapain nih?" katanya yang tiba-tiba datang.Aku sudah melihat langkah kakinya dari kejauhan. Namun aku belum menyapanya karena jaraknya masih belum terlalu dekat.Ibu membuka pagar dan mulai menginjak bagian teras rumah.Senyumku mulai keluar menyambutnya."Bu."Aku mencium punggung tangannya. Meskipun kami sering bertemu namun rasa hormat dengan mencium punggung tangan Ibu tak hilang dari akalku."Dona, ada Nenek, Sayang!" kataku manja pada Dona.Dona yang masih ada di pangkuanku perlahan berpindah ke pangkuan ibu.Kulihat ibu tidak habis pulang dari manapun. Dia mungkin sengaja mampir dan bermain ke rumah
Aku masih bingung dan kelabakan dengan sifat Ibu yang sekarang.Ibu seperti bunglon.Saat pertama kesini Ibu sangat terlihat bijak dan baik. Makin ke sini aku makin sanksi dengan Ibu."Kamu kenapa?"Mas Dani menghampiri dan bertanya padaku yang sedang duduk di ranjang sendiri setelah menidurkan Dona.Nampaknya ia melihat lamunanku."Enggak, aku hanya sedikit lemas saja," jawabku singkat."Oh, mau aku pijat?" tawarnya manis.Aku hanya tersenyum yang dipaksakan. Menolak halus tawarannya."Enggak usah, kamu tahu kan aku geli kalau dipijit."Aku menjawab sambil tersenyum lalu mengalihkan pikiran dengan mengambil beberapa helai baju untuk dilipat.Kebetulan ada baju Dona yang belum sempat kulipat tadi.Mas Dani masih berada di kamar."Katanya lemas. Kok malah lipat baju?" ujarnya lembut.Tubuhku sengaja kulemas-lemaskan."Tak apa, ini kan cuma sedikit," jawabku lagi dengan tubuh lemas
Aku tak habis fikir, suami yang selama ini menjadi imam hidupku telah tega melakukan hal memalukan di belakangku.Aku menangis di samping Dona. Meratapi nasibnya yang memiliki Ayah semurahan suamiku.Tidak, aku tidak bisa hidup lama-lama dengan laki-laki dan keluarga macam mereka.Dada ini makin lama makin sesak.Itulah pekerjaan suamiku setiap keluar malam. Menjadi santapan para wanita-wanita kaya kesepian.Bodohnya aku selama ini.Bisa-bisanya aku tertipu olehnya. Pasti Mas Dani sudah sedari dulu menjadi laki-laki jalang seperti itu.Astaghfirullah, kenapa batinku terus menerus berkecamuk membayangkan sikap suamiku yang sudah benar-benar tak pantas untuk ditangisi dan dirindukan lagi.Sifatnya macam hewan saja. Benar-benar di luar nalar.Tubuh ini benar-benar makin lemas, apalagi saat kedua bola mataku meneteskan air mata di samping Dona yang sedang terlelap tidur.Kuusap dengan penuh emosi air mata yang sudah t
"Mbak, selamat ya, sebentar lagi Mbak akan menikah. Tinggal beberapa jam lagi." Nessia memberiku ucapan kala aku baru saja selesai di make up oleh Mbak Intan. Tukang make up profesional yang semuanya di rekomendasi oleh Nessia dan Radit."Makasih ya, Ness. Dan maaf. Mungkin Mbak terkesan mengkhianati kakak kamu." Bagaimanapun juga Nessia adalah adik almarhum suamiku. Tapi dia yang mendukungku, menyiapkan segalanya untukku. Tak terkecuali."Mbak, enggak, gak ada pengkhianatan disini. Aku tahu, Mbak wanita yang baik. Dan aku tahu gimana cinta Mbak pada mereka. Tapi, aku juga ingin Mbak mendapatkan pria yang bisa menemani Mbak, yang bisa lindungi, Mbak. Aku gak mau Mbak terus-menerus menjanda. Masa depan Mbak itu masih panjang. Dan aku yakin, mas Rizky bisa jadi jodoh Mbak sampai akhir nanti. Sampai kalian kakek nenek. Sampai maut sendiri yang memisahkan kalian." Nessia kembali mengungkapkan. Telapak tangannya sedari tadi me
"Mas Dani? Mas Reza? Kalian mau kemana?" Aku melihat dua pria bersaudara itu bergandengan tangan mengenakan pakaian serba putih. Lalu mereka diam dan berbalik badan menyemai senyuman."Diandra, aku pergi. Kamu jangan lupa bahagia. Jaga anak kita," kata Mas Reza. Jelas air mataku menetes."Ta, tapi kalian mau kemana?" Aku mulai menangis. Air mata ini menghujan. Mas Dani mendekat. Dan Mas Reza diam tetap di tempatnya. Mas Dani makin mendekat ke arahku berdiri. Senyuman dan lesung pipinya amat membuat syahdu penglihatanku. Mereka tampan sekali."Diandra. Kamu jangan nangis. Kamu harus ingat, kamu punya dua anak. Dan kamu harus menjaganya." Kalimat Mas Dani. Dia juga meraih telapak tangan kiriku. Ia memberiku sebuah benda. Benda berwujud sepasang merpati. Ia berikan padaku. Dan ia simpan di telapak tanganku.Mas Dani menatapku. "Jangan lupa pula, kamu itu seorang wanita yang butuh pelindung. Kembalilah, kamu j
"Maaf, Ky. Tapi, nyatanya aku belum bisa melupakan almarhum suami aku. Aku belum bisa terima cinta kamu." Itulah jawabanku. Yang kujawab dengan penuh kesenduan. Aku bukan tahan harga, tapi inilah kenyataannya.Rizky yang tadinya bersimpuh. Kini ia bangkit perlahan dan duduk lagi di sampingku. Raut wajahnya amat datar. Namun lebih condong ke kecewa. Tarikan nafasnya pun lemas sekali. Baru kali ini aku melihat Rizky yang energik menampakkan wajah seperti ini."Tapi kenapa?" selidiknya lirih.Kami terdiam. Dan aku mulai mengatur nafas untuk menjawab pertanyaan Rizky. Aku tak mau dia tersinggung dan merasa di rendahkan. Hingga kutolehkan tubuh ini menghadap ke arahnya."Aku minta maaf. Bukan maksud aku merendahkan kamu dengan menolak niat baik kamu. Jujur, kamu itu pria yang tampan, mapan, baik. Kamu bisa mendapatkan wanita single terutama gadis. Bukan seorang janda yang sudah memiliki putra dan putri sepertik
"Mbak, saya mau pelamiannya nanti bernuansa putih bak musim salju. Dan putih itu melambangkan kesucian." Aku memberi masukan."Enggak bisa. Saya mau pelaminan adik saya bernuansa rustic. Keren kan, Mbak, Mas. Apalagi pas malam dipakaikan lampu-lampu terang natural. Pokoknya semuanya sudah tergambar di otak saya." Rizky memberi masukan.Entah mengapa, hati ini tak merasa setuju dengan apa yang ia katakan."Gak bisa, Mbak. Menurut saya, nuansa putih itu lebih keren. Kesannya itu simple tapi modern. Tidak terlalu full color, tapi satu warna itu sudah mewakilkan keindahan." Aku kembali mengusulkan. Mas dan Mbak yang kini menghadapi kami lumayan agak bingung. Tapi mereka mencatat apa yang kami inginkan."Oh, sekalian saja semuanya putih. Gak usah ada warna lain. Kayak kain kafan," cetus Rizky. Dia malah membuatku kesal. Tapi aku tak menghiraukannya."Ah, dasar! Gak tahu indah sok-sokan bilang i
PoV Diandra***"Non? Non? Bangun, Non. Ini sudah adzan Maghrib." Suara terdengar samar-samar. Mataku mulai membuka. Kukucek sebentar."Mbok?"Aku terperanjat melihat si Mbok membangunkanku dari mimpi buruk tadi. Aku memimpikan hal buruk yang pernah kualami."Maaf, Non. Udah Maghrib. Bukan tak sopan Mbok bangunin," kata si Mbok. Aku masih sedikit pusing. Namun aku memang tadi seusai pulang dari kantor langsung menonoton televisi dan ketiduran ternyata."Ya ampun, makasih ya, Mbok. Fathan sama Dona mana?" tanyaku mencari kedua anakku."Non Dona lagi di kamarnya belajar. Den Fathan lagi main mobil-mobilan. Tuh!" tunjuk Mbok Arum ke arah anakku Fathan."Ibu?" Dia memanggilku. Karena dia sudah bisa bicara. Bahkan sudah bisa bicara sempurna di usianya yang ke-dua tahun ini."Sayang, Ibu tidur ya!" ujarku padanya sambil mendekat. Dia
PoV Diandra***"Nessia? Kamu kenapa?" tanyaku pada Nessia dengan cemas saat Nessia mengangakan mulut seusai melacak lokasi Mas Dani."Mbak, Mah, Mas Dani udah deket. Tapi kayaknya dia kena macet di jalan satu arah dekat rumah sakit," jelas Nessia dengan terharu. Wajah Nessia sumringah.Alhamdulillah, aku tenang.Pecah sudah rasa khawatir terhadap Mas Dani. Syukurlah dia sudah sampi lagi. Ini sudah dinihari. Dan kami bahagia Mas Dani telah kembali."Kamu beneran?" tanyaku memastikan. Aku akan berterima kasih banyak pada Mas Dani. Karena dia berhasil kembali dengan membawa kantung darah untuk Mas Reza.Tiba-tiba pintu ruangan Mas Reza membuka lagi.Krek.Aku, mama dan Nessia panik namun penuh harap. Aku menyergap dokter. Kuharap ada kabar baik untukku."Dokter? Gimana suami saya?" sergapku pada
PoV Diandra***"Maaf, Pak, Bu, stok darah untuk saudara Reza sudah habis." Ujar Dokter yang tiba-tiba membuka pintu ruangan."Ya Allah, lalu gimana Dokter? Apa yang harus kami lakukan?" Aku sangat panik."Dokter, dokter bisa ambil darah saya. Sebanyak yang kakak saya butuhkan, Dokter," ujar Mas Dani lantang. Bola matanya pun masih terus berkaca-kaca. Aku sangat terharu."Kami bisa saja mengambil darah dari anda," jawab dokter atas usulan Mas Dani."Tapi, rasanya tak mungkin bila kami harus mengambil terlalu banyak darah untuk pasien. Karena itu bisa membahayakan kesehatan anda," imbuh dokter lagi.Aku, Mama dan Nessia hanya bisa diam dalam kegelisahan. Karena diantara kami tak ada darah yang cocok. Selain Mas Dani, tak ada lagi di keluarga kami. Apalagi darah mereka terbilang langka. Tapi aku yakin, dokter pasti bisa menangani seperti sebelum-sebelumnya."Dok, ambil saja darah saya. Saya rela walau nyawa saya taruhannya,"
PoV Author***"Toloooong! Toloooong!"Dani terus melambaikan tangan sambil berteriak. Dimana Reza saat itu sudah pingsan kembali."Haaaarkh! Toloooong!"Akhirnya, cahaya itu makin mendekat. Dan mereka adalah tim SAR yang mencari keberadaan korban kecelakaan pesawat."Toloooong! Toloooong! Kami disini, Pak!" Dani terus berteriak meminta bantuan. Dan mereka pun mendekat.Tubuh Dani bukan tak sakit. Tapi dia masih mampu berusaha meminta pertolongan."Pak, tolong, Pak, Kakak saya sudah kehabisan banyak darah sejak tadi. Tolong kami, Pak!" Dani beteriak histeris pada beberapa orang yang sudah datang dalam dua perahu karet."Ayok, ayok bantu!" Para tim SAR sibuk di posisi masing-masing. Yang menangani Reza dan menangani Dani. Mareka juga tak lupa memasangkan alat pelampung. Karena mereka akan menaiki perahu untuk sampai di dermaga.
PoV 3***"Ness!" Diandra meraih lembaran yang Nessia baca. Ia menyelidik cemas. Pipinya sudah basah kuyup sejak tadi.Mata Diandra menyidik setiap nama korban yang sudah ditemukan. Dan banyak dari mereka yang sudah tak bernyawa. Dan itu makin membuat Diandra putus harapan. Tapi dia terus berdoa. Semoga ada keajaiban bagi korban-korban pesawat itu."Nessia? Kedua Abang kamu dimana?" tanya Diandra. Karena dia tak menemukan nama Reza ataupun Dani di daftar korban yang sudah ditemukan. Ia yakin, mereka benar-benar tidak ada di daftar korban ditemukan."Iya, Mbak. Beberapa korban masih dinyatakan hilang," jawab Nessia dengan sendu.Diandra hanya bisa menganga dengan penuh doa. Penumpang pesawat yang berjumlah 132 orang itu baru 123 orang yang ditemukan. Dan 70% sudah tak bernyawa akibat ledakan pesawat di udara.Astaghfirullah aladzim!"M-Mah, mas Reza dan mas Dani, mereka belum ditemukan, Mah. Aku yakin, mereka masih h