Hari ini aku berniat mengikuti Mas Dani sesuai apa yang di katakan Ibu. Aku bersyukur sekali, Ibu sangat mengerti keadaan dan posisiku. Mungkin karena ibu merasa bahwa dirinya juga wanita. Tak ingin terus-menerus dibuat tanda tanya oleh sikap mas Dani yang terlihat tak biasa. Apalagi penghasilannya.
"Diandra, sore nanti tolong siapkan baju yang paling bagus untukku," katanya menyuruhku.
Posisi kami saat ini sedang sarapan. Aku makan sambil menyuapi Dona.
"Hm," anggukku sambil menyuapi putri tercantik.
"Memangnya kamu mau kemana sih, Mas?" tanyaku lagi berbasa-basi.
"Aku nanti sore ada pertemuan bersama rekan-rekan bisnis di restoran mewah. Membahas kelanjutan bisnis kita," jawabnya sambil terus menyuapkan makanan satu sendok satu sendok dengan cepat ke mulut. Sarapan nasi goreng pakek telur mata sapi sesuai keinginannya.
Tingkahnya benar-benar rusuh.
Aku menengadah dan mendudukkan Dona di kursi sebelah.
"Kamu itu sebenarnya bisnis apa sih, Mas?" tanyaku greget.
Dia langsung diam. Tangannya masih memegangi sendok dan berhenti di tengah-tengah dada. Makanannya belum ia masukkan.
"Aku itu, aku, aku sedang menggeluti bisnis di bidang properti. Aku ikut semacam investasi. Kamu lihat sendiri hasilnya, kan? Uangnya juga selalu aku kasih sama kamu," jawabnya tergagap di awal.
"Oh, begitu. Lalu kenapa kamu enggak bilang dari awal kalau kamu investasi, Mas? Kan aku enggak bakalan suudzon," tuturku.
Sebenarnya masih ragu dengan gelagat jawabannya yang seperti terbata-bata dan tak fokus.
"Ah, sudahlah. Aku berangkat ke kantor dulu. Dadah Dona Sayang!"
Mas Dani langsung hengkang sehabis makan dan meminum segelas susu putih kesukaannya.
Dia menyodorkan tangannya untuk dicium oleh Dona. Selanjutnya aku yang mencium punggung tangannya.
Mas Dani pun pergi menuju kantor dengan baju berwarna merah ati, dasi hitam, sepatu kinclong dan sebuah tas koper kecil.
Oh, ya. Kini dia telah memakai sebuah mobil. Meskipun mobil bekas dan tidak begitu mewah. Katanya uangnya ia dapat dari keuntungan investasi selama tiga bulan terakhir.
Aku sih mengerti kalau dia akan mendapat keuntungan. Tapi secepat dan sebesar itu?
Ya Tuhan, Mas, kok hati ini rasanya masih tak bisa percaya seratus persen sama kamu.
Kupandangi Mas Dani sampai ia masuk ke dalam mobil barunya. Yang baru ia beli kemarin sore.
Suamiku itu memang tampan dan gagah. Kulitnya sawo matang dengan bola mata yang amat putih mempesona. Bibirnya yang tipis dan merah seperti memakai gincu membuatku terlena dengan ketampanannya dulu. Apalagi Mas Dani orangnya sangat baik dan perhatian.
Aku jadi cemas. Pasti banyak sekali kaum hawa yang naksir padanya. Tapi kalau iman Mas Dani kuat mana mungkin ia tergoda oleh wanita di luar sana.
Hatiku masih bergemuruh memikirkan keadaan ekonomi kami yang makin membaik namun dipenuhi ribuan tanda tanya. Apalagi dengan gelagat Mas Dani yang kadang-kadang aneh.
Kini tatapanku beralih kembali pada Dona yang sudah duduk di atas karpet permadani.
Apa mungkin ayah kamu merahasiakan sesuatu, Nak?
Batinku berkecamuk tak karuan.
Dona yang sangat cantik dengan rambut sedikit ikal, membuat wajahnya makin lucu saja di pandangan. Membuatku dan tetangga makin gemes. Apalagi Dona tumbuh menjadi seorang anak yang aktif namun penurut.
***
Sore harinya.
"Diandra? mana baju yang kuminta?" tanya mas Dani sedikit berteriak dari dalam kamar.
Aku yang saat itu sedang berada di dapur tengah membuang sampah plastik bekas cemilan Dona langsung bergegas menuju kamar. Menghampiri Mas Dani yang teriak-teriak seperti di hutan.
"Ya, Mas. Ini bajunya," jawabku sambil masuk ke kamar.
Membuka lemari dan memberikannya baju yang sangat bagus dan menarik. Entah itu sesuai dengan yang ia inginkan atau tidak.
Mas Dani nampaknya suka dengan baju yang telah ku pilihkan. Tak lupa juga sepatu dan jaket.
"Mas, kenapa kamu enggak pernah ajak aku ketemu rekan-rekan kamu. Kamu suruh saja mereka juga bawa istri-istrinya atau pacar-pacarnya!" seruku mulai memancing.
Mas Dani masih merapikan pakaiannya.
"Ya, nanti aku kan coba bilang sama mereka. Lagipula kebanyakan dari mereka itu istrinya wanita karier juga, jadi pasti enggak banyak waktu mereka untuk bersama-sama. Makanya aku nyuruh kamu untuk diam di rumah, suapaya kamu enggak sibuk kerja kayak mereka," jawabnya santai.
"Hm, gitu ya, Mas!" seruku sedikit sinis nan pelan. Meninggikan alis tanda tak puas dengan jawaban.
"Ya sudah, aku akan pergi dulu. Kamu jangan terlalu cemaskan aku kalau aku pulang agak larut lagi. Aku akan baik-baik saja," tuturnya lagi.
Selesai merapikan pakaian yang ia pakai dan memakai gesper, mas Dani langsung memakai sepatu yang sudah aku pilihkan sambil berkata seperti tadi.
Dia mendekat ke arahku. Memandang kedua bola mataku dengan gombal.
Lalu dia mencium keningku.
Kulihat ketampanan suamiku makin nampak saja. Wajahnya yang bersih tanpa jerawat sedikitpun pasti membuat kaum hawa di luar sana mengaguminya.
Dari ujung kaki sampai ujung kepala dia sangat perfeksionis. Sangat berbeda dengan gayanya di awal-awal waktu kita bertemu.
Tapi aku bersyukur, kini suamiku bisa di pandang lebih baik.
Mas Dani pergi setelah pamit dan mencium keningku. Begitupun aku yang mencium punggung tangannya dengan takzim pula.
Di sini tak ada Dona. Dia juga sempat bertanya.
Aku bilang saja kalau Dona berada di rumah ibunya. Karena memang benar, tadi ibu kesini mengambil Dona sewaktu mas Dani belum pulang dari kantor. Dan mas Dani tidak tahu, kalau maksud Ibu membawa Dona adalah, supaya aku bisa mengikutinya.
Aku tak menyangka Ibu akan bereaksi sepertiku. Mencurigai anaknya dengan gelagat dia yang tak biasa. Alhamdulillah, tak perlu aku ceritakan pun, Ibu benar-benar mengerti.
Mas Dani tadi baru pulang dari kantor dan sekarang seperti biasa harus terburu-buru berdandan rapi lalu pergi. Begitulah setiap hari-hari tertentu.
Diapun langsung melangkah pergi setelah mendengar alasan dimana Dona dari mulutku.
Aku mengantarnya sampai ke depan pintu. Melihat ia masuk mobil baru berwarna hitam. Mobil mereka Avanza Veloz bekas, namun masih bagus.
Diapun pergi. Dan sudah luput dari pandangan.
Segera akupun mengganti baju. Baju yang baru kubeli. Baju baru supaya mas Dani tidak mengenaliku. Aku juga akan dandan berbeda dari biasanya. Supaya ia tak mengenaliku.
Tak lama setelah berdandan, aku pergi. Mengunci rumah dan menyimpannya di bawah pot bunga janda bolong yang sedang tren di masa kini.
Aku mendapatkan bunga itu dari tetangga yang baik hati. Bunga janda bolong itu beranak dan aku memintanya. Dengan baik hati bu Ridwan pun memberikannya padaku. Padahal dia membelinya dengan harga yang lumayan fantastis. Hampir merogoh kocek uang bulanannya senilai puluhan juta rupiah.
Tapi tak kusangka, dengan rendah hati Bu Ridwan, maksudnya bu Ami istri dari pak Ridwan memberikannya padaku. Padahal orang lain yang memintanya tak ia kasih. Entah mengapa, dia sangat baik sekali padaku.
Kami lebih akrab memanggil namanya dengan sebutan bu Ridwan. Orangnya memang tajir dan sedikit sombong. Tapi ketika kita bisa membuat dirinya tersanjung, bu Ridwan pun dengan senang hati memberikan apapun yang pada mereka yang bisa menyanjung dirinya.
Dan setelah aku menyimpan kunci di bawah pot janda bolong tadi, aku segera pergi.
Menancap gas mengikuti kemana arah suamiku pergi. Kalaupun ketinggalan jejak juga tak mengapa, karena aku bisa memantaunya lewat aplikasi.
Kini aku seperti detektif saja. Memakai pakaian serba hitam berkacamata hitam pula.
Tak kusangka, setelah aku membuntuti mas Dani ternyata ia pergi ke restoran yang kemarin aku kunjungi. Restoran kemarin yang ia kunjungi pula.
"Hah, kesini lagi?" kejutku dalam hati.
Aku masih berada jauh dari posisinya yang sedang memarkir mobil dengan rapi.
Mas Dani mulai keluar dari mobil. Masuk ke dalam restoran setelah menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya.
Sangat mencurigakan. Dari rumah aroma tubuhnya masih belum hilang, dan kini ia semprotkan kembali. Benar-benar tak masuk akal. Apalagi namanya kalau bukan untuk bertemu dengan wanita?
Dengan menghembuskan nafas perlahan, aku segera masuk. Mengikuti kemana Mas Dani melangkah.
Aku bersikap seperti biasa tanpa membuat orang lain curiga.
Sebelumnya aku sudah bercermin. Kalau suamiku jelas tak akan mengenaliku sama sekali dengan pakaian ini.
Kini aku mulai masuk dan mengikuti kemana arahnya melangkah.
Tak lama kemudian.
Aku benar-benar dibuat syok.
Apa yang kulihat?
Suamiku Mas Dani tidak menghampiri rumunan laki-laki. Tapi dia malah menghampiri rumunan perempuan.
Bahkan ... ?
Oh, tidak. Bahkan perempuan-perempuan itu seusia dengan ibunya?
Hah? Aku makin syok melihatnya sembari duduk dari kejauhan.
Apa maksudnya?
–––
Aku membuntuti suamiku yang masuk ke dalam restoran.Langkahnya cepat sekali. Mencurigakan.Kususuri kemana ia berjalan. Ke sebuah ruangan VVIP ternyata.Aku melihat suamiku menghampiri tempat duduk wanita-wanita yang kupikir mereka adalah wanita-wanita kaya.Tapi ..."Dia mau pergi kemana?" cecarku dalam pikiran ini.Mata ini jelas melihat Mas Dani menghampiri meja para wanita-wanita dewasa berpenampilan glamor dengan perhiasan.Apa yang akan di lakukannya?Aku menguntitnya dari kejauhan. Dan kini semakin mendekat."Permisi, Bu. Boleh saya pinjam asbaknya!"Hah?Itulah yang dikatakan suamiku.Dia menghampiri ibu-ibu itu hanya untuk meminjam asbak.Lalu dia membalikan lagi badannya ke meja kursi yang lain.Kususuri
Siang ini aku baru saja pulang belanja bersama Dona. Niatnya seusai zuhur aku akan singgah ke rumah Ibu. Membawakannya makanan dan kue yang baru saja ku beli"Alhamdulillah, sampai juga di rumah ya, Nak," seruku pada Dona yang sedang memainkan boneka kecil di aisan kangguru.Tadi aku belanja keluar karena disuruh Mas Dani, katanya aku harus membelikannya beberapa baju dan aksesoris-aksesoris pula. Dia memberikan uangnya.Baju suamiku sekarang hampir penuh satu lemari. Baju-bajunya bagus dan menarik. Sekalian juga aku beli beberapa baju untuk Dona dan sisanya aku belikan untuk kebutuhan rumah tangga. Biar sekalian pergi.Sekarang pikiranku tentang suami tak lagi buruk, apalagi setelah aku mengikutinya kemarin. Bahkan sepertinya aku tak pantas untuk suudzon, yang harus aku lakukan adalah berpikir baik dan berdoa.
Seusai menunaikan kewajiban lima waktu empat rakaat di pukul tujuh malam, aku, Mas Dani dan Dona bersenda gurau di kamar.Bermain bersama Dona sebelum tidur.Dona anak kami yang cantik itu kini makin cerdas saja. Kami makin gemas dan bangga padanya.Tiba-tiba.[ Dering Panggilan ]Sebuah panggilan masuk terdengar dari gawai Mas Dani."Mas, ada telepon masuk ke hp kamu," ucapku.Dia langsung diam dan hengkang mengambil gawai barunya. Sebuah gawai yang sedang trendi dimasa kini.Aku lihat gelagat dan gerak-geriknya.Matanya menyorot ke arah sebuah nama yang tertampil di layar. Pandangannya nampak biasa saja namun seperti penting.Alisku meninggi bersikap acuh saja. Toh itu panggilan untuknya.Aku masih melanjutkan bercanda dengan Dona. Sekaligus mengajarkan Dona mengh
Siang ini Ibu datang ke rumah. Sekedar mampir dan bermain. Apalagi kan rumah kami sekarang sangat berdekatan.Ibu menghampiriku yang sedang duduk-duduk santai berdua dengan Dona."Aduh Cucu Nenek. Lagi ngapain nih?" katanya yang tiba-tiba datang.Aku sudah melihat langkah kakinya dari kejauhan. Namun aku belum menyapanya karena jaraknya masih belum terlalu dekat.Ibu membuka pagar dan mulai menginjak bagian teras rumah.Senyumku mulai keluar menyambutnya."Bu."Aku mencium punggung tangannya. Meskipun kami sering bertemu namun rasa hormat dengan mencium punggung tangan Ibu tak hilang dari akalku."Dona, ada Nenek, Sayang!" kataku manja pada Dona.Dona yang masih ada di pangkuanku perlahan berpindah ke pangkuan ibu.Kulihat ibu tidak habis pulang dari manapun. Dia mungkin sengaja mampir dan bermain ke rumah
Aku masih bingung dan kelabakan dengan sifat Ibu yang sekarang.Ibu seperti bunglon.Saat pertama kesini Ibu sangat terlihat bijak dan baik. Makin ke sini aku makin sanksi dengan Ibu."Kamu kenapa?"Mas Dani menghampiri dan bertanya padaku yang sedang duduk di ranjang sendiri setelah menidurkan Dona.Nampaknya ia melihat lamunanku."Enggak, aku hanya sedikit lemas saja," jawabku singkat."Oh, mau aku pijat?" tawarnya manis.Aku hanya tersenyum yang dipaksakan. Menolak halus tawarannya."Enggak usah, kamu tahu kan aku geli kalau dipijit."Aku menjawab sambil tersenyum lalu mengalihkan pikiran dengan mengambil beberapa helai baju untuk dilipat.Kebetulan ada baju Dona yang belum sempat kulipat tadi.Mas Dani masih berada di kamar."Katanya lemas. Kok malah lipat baju?" ujarnya lembut.Tubuhku sengaja kulemas-lemaskan."Tak apa, ini kan cuma sedikit," jawabku lagi dengan tubuh lemas
Aku tak habis fikir, suami yang selama ini menjadi imam hidupku telah tega melakukan hal memalukan di belakangku.Aku menangis di samping Dona. Meratapi nasibnya yang memiliki Ayah semurahan suamiku.Tidak, aku tidak bisa hidup lama-lama dengan laki-laki dan keluarga macam mereka.Dada ini makin lama makin sesak.Itulah pekerjaan suamiku setiap keluar malam. Menjadi santapan para wanita-wanita kaya kesepian.Bodohnya aku selama ini.Bisa-bisanya aku tertipu olehnya. Pasti Mas Dani sudah sedari dulu menjadi laki-laki jalang seperti itu.Astaghfirullah, kenapa batinku terus menerus berkecamuk membayangkan sikap suamiku yang sudah benar-benar tak pantas untuk ditangisi dan dirindukan lagi.Sifatnya macam hewan saja. Benar-benar di luar nalar.Tubuh ini benar-benar makin lemas, apalagi saat kedua bola mataku meneteskan air mata di samping Dona yang sedang terlelap tidur.Kuusap dengan penuh emosi air mata yang sudah t
Tangis pedih dengan tubuh gemetar masih kurasakan sembari menatapi Dona yang masih tertidur pulas."Aku akan jelaskan sama kamu. Aku hanya ingin merubah nasib kita saja!" katanya.Mulutku mencengkram sambil menggelengkan kepala."Oh, jadi benar, kamu telah menjadi seorang laki-laki ....""Sungguh aku benar-benar tak habis fikir. Otak kamu dimana, Mas Dani!" Emosiku kembali meluap menatapi seluruh tubuhnya yang sekarang mulai tak indah lagi karena noda yang telah ia torehkan.Dan dengan jawabannya tadi membuktikan, kalau dia benar-benar melakukan apa yang aku tuduhkan padanya."Tapi itu semua Aku lakukan demi kita!" ulasnya. Tanpa rasa malu sedikitpun.Kalimatnya mengundang emosi yang benar-benar menggejolak sejak tadi."Astaghfirullah! Apa tidak bisa kamu bekerja semampu kamu, kerja yang halal dan tekun, Mas! Kamu itu, arkh! Aku benar-benar kecewa berat sama kamu!"Wajahnya makin dibuat bingung dan serba salah. Dia telah
Ya Tuhan, kenapa imam yang selama ini kudambakan malah menjadi sesuatu yang tak kuharapkan sama sekali.Aku malah merasa takut olehnya.Apalagi dia telah memperlihatkan sifat asli dirinya yang sebenarnya.Dia mengurungku dan Dona di kamar.Entah ke mana ia pergi sekarang.Ibu dan Bapak, ternyata mereka berdua ikut andil dengan apa yang suamiku lakukan.Orang tua macam apa mereka.Sejak tadi Dona terus menangis setelah ia melihat perlakuan ayahnya padaku yang kasar dan membuatnya takut.Kini Dona perlahan menjadi lebih tenang setelah aku bujuk ia untuk istirahat kembali dan mencoba berbagai cara supaya ia tak merasa ketakutan.Kini Dona sudah tertidur pulas kembali.Dadaku benar-benar sesak memikirkan semuanya.Aku layaknya wanita bodoh yang hanya bisa diperdaya dan dibohongi oleh mereka.Air mata yang sempat kuhapus tadi kini keluar kembali. Tak tahan rasanya meratapi nasib diriku dan juga Dona yang
"Mbak, selamat ya, sebentar lagi Mbak akan menikah. Tinggal beberapa jam lagi." Nessia memberiku ucapan kala aku baru saja selesai di make up oleh Mbak Intan. Tukang make up profesional yang semuanya di rekomendasi oleh Nessia dan Radit."Makasih ya, Ness. Dan maaf. Mungkin Mbak terkesan mengkhianati kakak kamu." Bagaimanapun juga Nessia adalah adik almarhum suamiku. Tapi dia yang mendukungku, menyiapkan segalanya untukku. Tak terkecuali."Mbak, enggak, gak ada pengkhianatan disini. Aku tahu, Mbak wanita yang baik. Dan aku tahu gimana cinta Mbak pada mereka. Tapi, aku juga ingin Mbak mendapatkan pria yang bisa menemani Mbak, yang bisa lindungi, Mbak. Aku gak mau Mbak terus-menerus menjanda. Masa depan Mbak itu masih panjang. Dan aku yakin, mas Rizky bisa jadi jodoh Mbak sampai akhir nanti. Sampai kalian kakek nenek. Sampai maut sendiri yang memisahkan kalian." Nessia kembali mengungkapkan. Telapak tangannya sedari tadi me
"Mas Dani? Mas Reza? Kalian mau kemana?" Aku melihat dua pria bersaudara itu bergandengan tangan mengenakan pakaian serba putih. Lalu mereka diam dan berbalik badan menyemai senyuman."Diandra, aku pergi. Kamu jangan lupa bahagia. Jaga anak kita," kata Mas Reza. Jelas air mataku menetes."Ta, tapi kalian mau kemana?" Aku mulai menangis. Air mata ini menghujan. Mas Dani mendekat. Dan Mas Reza diam tetap di tempatnya. Mas Dani makin mendekat ke arahku berdiri. Senyuman dan lesung pipinya amat membuat syahdu penglihatanku. Mereka tampan sekali."Diandra. Kamu jangan nangis. Kamu harus ingat, kamu punya dua anak. Dan kamu harus menjaganya." Kalimat Mas Dani. Dia juga meraih telapak tangan kiriku. Ia memberiku sebuah benda. Benda berwujud sepasang merpati. Ia berikan padaku. Dan ia simpan di telapak tanganku.Mas Dani menatapku. "Jangan lupa pula, kamu itu seorang wanita yang butuh pelindung. Kembalilah, kamu j
"Maaf, Ky. Tapi, nyatanya aku belum bisa melupakan almarhum suami aku. Aku belum bisa terima cinta kamu." Itulah jawabanku. Yang kujawab dengan penuh kesenduan. Aku bukan tahan harga, tapi inilah kenyataannya.Rizky yang tadinya bersimpuh. Kini ia bangkit perlahan dan duduk lagi di sampingku. Raut wajahnya amat datar. Namun lebih condong ke kecewa. Tarikan nafasnya pun lemas sekali. Baru kali ini aku melihat Rizky yang energik menampakkan wajah seperti ini."Tapi kenapa?" selidiknya lirih.Kami terdiam. Dan aku mulai mengatur nafas untuk menjawab pertanyaan Rizky. Aku tak mau dia tersinggung dan merasa di rendahkan. Hingga kutolehkan tubuh ini menghadap ke arahnya."Aku minta maaf. Bukan maksud aku merendahkan kamu dengan menolak niat baik kamu. Jujur, kamu itu pria yang tampan, mapan, baik. Kamu bisa mendapatkan wanita single terutama gadis. Bukan seorang janda yang sudah memiliki putra dan putri sepertik
"Mbak, saya mau pelamiannya nanti bernuansa putih bak musim salju. Dan putih itu melambangkan kesucian." Aku memberi masukan."Enggak bisa. Saya mau pelaminan adik saya bernuansa rustic. Keren kan, Mbak, Mas. Apalagi pas malam dipakaikan lampu-lampu terang natural. Pokoknya semuanya sudah tergambar di otak saya." Rizky memberi masukan.Entah mengapa, hati ini tak merasa setuju dengan apa yang ia katakan."Gak bisa, Mbak. Menurut saya, nuansa putih itu lebih keren. Kesannya itu simple tapi modern. Tidak terlalu full color, tapi satu warna itu sudah mewakilkan keindahan." Aku kembali mengusulkan. Mas dan Mbak yang kini menghadapi kami lumayan agak bingung. Tapi mereka mencatat apa yang kami inginkan."Oh, sekalian saja semuanya putih. Gak usah ada warna lain. Kayak kain kafan," cetus Rizky. Dia malah membuatku kesal. Tapi aku tak menghiraukannya."Ah, dasar! Gak tahu indah sok-sokan bilang i
PoV Diandra***"Non? Non? Bangun, Non. Ini sudah adzan Maghrib." Suara terdengar samar-samar. Mataku mulai membuka. Kukucek sebentar."Mbok?"Aku terperanjat melihat si Mbok membangunkanku dari mimpi buruk tadi. Aku memimpikan hal buruk yang pernah kualami."Maaf, Non. Udah Maghrib. Bukan tak sopan Mbok bangunin," kata si Mbok. Aku masih sedikit pusing. Namun aku memang tadi seusai pulang dari kantor langsung menonoton televisi dan ketiduran ternyata."Ya ampun, makasih ya, Mbok. Fathan sama Dona mana?" tanyaku mencari kedua anakku."Non Dona lagi di kamarnya belajar. Den Fathan lagi main mobil-mobilan. Tuh!" tunjuk Mbok Arum ke arah anakku Fathan."Ibu?" Dia memanggilku. Karena dia sudah bisa bicara. Bahkan sudah bisa bicara sempurna di usianya yang ke-dua tahun ini."Sayang, Ibu tidur ya!" ujarku padanya sambil mendekat. Dia
PoV Diandra***"Nessia? Kamu kenapa?" tanyaku pada Nessia dengan cemas saat Nessia mengangakan mulut seusai melacak lokasi Mas Dani."Mbak, Mah, Mas Dani udah deket. Tapi kayaknya dia kena macet di jalan satu arah dekat rumah sakit," jelas Nessia dengan terharu. Wajah Nessia sumringah.Alhamdulillah, aku tenang.Pecah sudah rasa khawatir terhadap Mas Dani. Syukurlah dia sudah sampi lagi. Ini sudah dinihari. Dan kami bahagia Mas Dani telah kembali."Kamu beneran?" tanyaku memastikan. Aku akan berterima kasih banyak pada Mas Dani. Karena dia berhasil kembali dengan membawa kantung darah untuk Mas Reza.Tiba-tiba pintu ruangan Mas Reza membuka lagi.Krek.Aku, mama dan Nessia panik namun penuh harap. Aku menyergap dokter. Kuharap ada kabar baik untukku."Dokter? Gimana suami saya?" sergapku pada
PoV Diandra***"Maaf, Pak, Bu, stok darah untuk saudara Reza sudah habis." Ujar Dokter yang tiba-tiba membuka pintu ruangan."Ya Allah, lalu gimana Dokter? Apa yang harus kami lakukan?" Aku sangat panik."Dokter, dokter bisa ambil darah saya. Sebanyak yang kakak saya butuhkan, Dokter," ujar Mas Dani lantang. Bola matanya pun masih terus berkaca-kaca. Aku sangat terharu."Kami bisa saja mengambil darah dari anda," jawab dokter atas usulan Mas Dani."Tapi, rasanya tak mungkin bila kami harus mengambil terlalu banyak darah untuk pasien. Karena itu bisa membahayakan kesehatan anda," imbuh dokter lagi.Aku, Mama dan Nessia hanya bisa diam dalam kegelisahan. Karena diantara kami tak ada darah yang cocok. Selain Mas Dani, tak ada lagi di keluarga kami. Apalagi darah mereka terbilang langka. Tapi aku yakin, dokter pasti bisa menangani seperti sebelum-sebelumnya."Dok, ambil saja darah saya. Saya rela walau nyawa saya taruhannya,"
PoV Author***"Toloooong! Toloooong!"Dani terus melambaikan tangan sambil berteriak. Dimana Reza saat itu sudah pingsan kembali."Haaaarkh! Toloooong!"Akhirnya, cahaya itu makin mendekat. Dan mereka adalah tim SAR yang mencari keberadaan korban kecelakaan pesawat."Toloooong! Toloooong! Kami disini, Pak!" Dani terus berteriak meminta bantuan. Dan mereka pun mendekat.Tubuh Dani bukan tak sakit. Tapi dia masih mampu berusaha meminta pertolongan."Pak, tolong, Pak, Kakak saya sudah kehabisan banyak darah sejak tadi. Tolong kami, Pak!" Dani beteriak histeris pada beberapa orang yang sudah datang dalam dua perahu karet."Ayok, ayok bantu!" Para tim SAR sibuk di posisi masing-masing. Yang menangani Reza dan menangani Dani. Mareka juga tak lupa memasangkan alat pelampung. Karena mereka akan menaiki perahu untuk sampai di dermaga.
PoV 3***"Ness!" Diandra meraih lembaran yang Nessia baca. Ia menyelidik cemas. Pipinya sudah basah kuyup sejak tadi.Mata Diandra menyidik setiap nama korban yang sudah ditemukan. Dan banyak dari mereka yang sudah tak bernyawa. Dan itu makin membuat Diandra putus harapan. Tapi dia terus berdoa. Semoga ada keajaiban bagi korban-korban pesawat itu."Nessia? Kedua Abang kamu dimana?" tanya Diandra. Karena dia tak menemukan nama Reza ataupun Dani di daftar korban yang sudah ditemukan. Ia yakin, mereka benar-benar tidak ada di daftar korban ditemukan."Iya, Mbak. Beberapa korban masih dinyatakan hilang," jawab Nessia dengan sendu.Diandra hanya bisa menganga dengan penuh doa. Penumpang pesawat yang berjumlah 132 orang itu baru 123 orang yang ditemukan. Dan 70% sudah tak bernyawa akibat ledakan pesawat di udara.Astaghfirullah aladzim!"M-Mah, mas Reza dan mas Dani, mereka belum ditemukan, Mah. Aku yakin, mereka masih h