Malam ini tepat pukul sebelas malam suamiku akhirnya pulang.
Seperti biasa dia seperti kecapekan dan lesu. Mengetuk pintu rumah dan langsung masuk. Karena aku memang tak menguncinya supaya pas aku ketiduran dia tidak membangunkanku.
Namun borok-borok ketiduran, batin ini terus berkecamuk menduga-duga sesuatu hal buruk tentang Mas Dani.
Kini aku tidak menunggunya di sofa. Sengaja aku pura-pura sudah terlelap di samping Dona. Padahal pas kudengar suara kendaraan roda duanya berhenti mataku sontak melihat jam dinding. Jelas waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam tepat.
Dia seperti tak punya istri dan anak saja. Pulang selarut itu tanpa rasa bersalah.
"Diandra, kamu sudah tidur!" ucapnya sambil nyelonong masuk ke dalam kamar. Menghampiriku dan juga Dona.
Entah itu basa-basinya atau apa.
Sama sekali aku tidak bisa berpura-pura tidur selama itu. Mataku yang pura-pura menutup langsung saja melek kembali.
Segera hengkang dari samping Dona yang sudah terlelap. Menghampiri mays Dani yang hendak membuka seluruh pakaiannya. Kecuali pakaian dalam.
Dia menoleh ke arahku.
"Eh, kamu kebangun?" katanya. Dengan tangan masih membuka kancing baju paling akhir.
Wajahku sedikit kecut dan murung.
Dia kembali melanjutkan melepas pakaiannya. Langsung meraih handuk dan menuju kamar mandi, bersih-bersih seperti biasa.
Tak ada dosa sekali di wajahnya. Apa kerena dia selalu memberiku uang yang banyak? Atau dia tidak peduli?
Ah, aku masih belum menemukan titik terang tentang hal ini. Kepala pusing tujuh keliling memikirkan tentang ke suudzonan ini.
Mataku melirik ke arah putri semata wayangku. Dona si putri cantik yang sangat persis seperti ayahnya. Dia cantik dan manis. Berbola mata indah nan bening.
Tak lama kemudian Mas Dani keluar dari kamar mandi.
Kutunggu dia sampai memakai baju pijama dan mendekat ke arah ranjang.
Pasti dia melihat wajahku yang sedikit cemberut. Makanya dia langsung menegurku.
"Yuk kita tidur. Jangan cemberut melulu," ucapnya menggoda.
Namun sama sekali aku tak tergoda.
Langsung saja mulut ini membuka. Sepertinya ada sesuatu yang mendorong mulut ini dari dalam. Yang membuatku langsung berbicara dengan nada sinis.
"Gimana enggak cemberut. Akhir-akhir ini kamu lebih sering pulang malam. Setiap malam Kamis dan Minggu malam, lagi!" ketusku.
"Kan aneh!" tuturku lagi.
Mataku tak bisa menyorot wajahnya. Karena rasanya kesal sekali. Ingin diam tapi emosi ini terus menggebu-gebu. Rasanya darah dan jantung ini seakan tak kuat lagi untuk berfungsi jikalau emosi ini tak segera kukeluarkan.
Kudengar tarikan nafasnya.
"Aku kan sudah bilang. Aku sedang merintis bisnisku. Dan kenapa malam-malam? Ya, karena kalau siang, kami semua 'kan pada kerja. Kamu harus ngerti dong," jawabnya tanpa emosi. Berharap aku mengerti.
Memang suamiku ini tidak pernah memuncakan emosinya. Tapi bila nadanya sedikit naik kurasa itu berarti di benar-benar emosi. Namun kali ini sama sekali tidak.
Wajahku masih kusam dan kecut.
"Aku butuh alasan yang pasti, Mas. Coba saja kamu jelaskan. Apa bisnis kamu? Dengan siapa? Dan tempatnya dimana, dengan jelas. Pasti otakku ini tak akan pusing dan suudzon terus sama kamu," pekikku sedikit emosi. Namun nadanya masih di bawah rata-rata.
Nafas suamiku menghembus kasar.
"Aku enggak mau debat soal ini. Lagipula aku kasih semua hasilnya sama kamu. Kamu enggak kekurangan uang kan?" jawabnya berbelok.
Dia malah bertanya balik. Seperti membelokkan pembicaraan yang kutuju tadi.
"Apa susahnya sih kamu bilang. Bisnis aku itu jualan, kek. Properti, kek. Atau apalah! Aku tuh masih penasaran, Mas!" ketusku kembali.
"Dan soal uang?"
Belum selesai bicara bukannya dia menjawab, malah membaringkan badannya dan tidur. Tidak ada pengertiannya sama sekali. Kok bisa dia begitu? Kalem sekali dia menghadapiku.
Rasa ngantukku kini selalu saja hilang tiba-tiba. Tak ada kejelasan apapun dari mas Dani. Dan itu membuat otakku selalu berfikir keras tentang prasangka ini.
Tiap kali ditanya, pasti jawabannya malas berdebat.
Memangnya siapa yang ajak dia debat? Memangnya kita ini pasangan caleg? Bingung juga jadinya.
Tentang di restorannya tadi belum sempat pula aku tanyakan. Jangankan sampai ke sana, awal-awal pula dia sudah tak mau menjawab jujur.
Tapi aku masih penasaran. Kata pelayan tadi suamiku sering datang ke sana. Dengan banyak orang pula, lalu pergi tanpa membawa kendaraannya.
Pikiranku super semrawut. Ingin membuntuti kasihan dengan si kecil. Jika tidak, rasa penasaranku sama sekali tak mau pergi.
"Sabar Diandra, sabar. Kamu pasti menemukan titik terangnya." Hatiku menenangkan.
Meskipun mata ini tidak mengantuk namun kucoba untuk membaringkan badan ini lalu berniat tidur dengan pulas.
Membalikan badan dan berniat tidur di samping Dona.
Kini Dona tidak aku tidurkan di ranjang kecilnya, namun sengaja aku menaruh Dona di tengah-tengah kami. Antara aku dan Mas Dani.
Belum juga badanku terbaring sempurna, seketika mata ini melihat sesuatu yang membuat perih saat memandang.
"Hah? Ada titik-titik merah di leher suamiku? Seperti ...."
Jelas niatku untuk berbaring kini terurungkan. Seketika hengkang dari tempat tidur dan mencoba mendekat ke sisi dimana dia berbaring.
Kaki ini melangkah perlahan. Dia benar-benar sudah tertidur lelap dan takut suara langkah ini membangunkannya.
Kudekati perlahan dan ku pastikan bekas warna merah di lehernya.
Kedua bola mataku tak berkedip sekalipun. Niat ingin memastikan, bekas apa itu?
Kini wajahku semakin dekat dengan badannya. Mata ini menatap tajam lehernya.
Jelas sekali. Noda merah itu bukanlah bekas gigitan nyamuk di malam hari. Atau bekas gigitan serangga jahil.
Ingin rasanya kuku kelingkingku yang panjang ini menekan lehernya hingga dia berteriak kesakitan.
Kupastikan lagi noda warna merah itu. Ya, benar, itu bukanlah bekas gigitan nyamuk atau serangga lainnya. Benar-benar bukan.
Jelas itu adalah warna yang dihasilkan dari sebuah hisapan bibir saat kedua orang bercumbu mesra. Warna merah yang kecil dan ada pula yang melebar. Berani sekali dia melakukan hal itu. Lalu wanita mana yang telah mencuri perhatian suamiku?
Lemas sudah lutut ini rasanya.
Kobaran api seperti menyala-nyala di lubuk hati ini.
Dan kini dugaanku diperkuat oleh bekas merah itu. Ya Tuhan, apa benar suamiku ...?
Oh tidak. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus mencari bukti yang lebih spesifik untuk menguatkan dugaanku.
Rasanya kaki ini tak mampu berjalan, dan mata ini tak ingin berhenti memandang wajah sosok laki-laki yang telah mencoba berkhianat sejauh itu.
Batin ini makin pedih dan sakit saja rasanya.
Lalu yang aku bingung, bukannya selingkuh itu menguras uang di kantong?
Tapi, uang suamiku malah makin banyak.
Jadi apa benar dia memang berbisnis dan uangnya ia berikan padaku dan ia pakai pula untuk wanita lain?
Jantungku rasanya tak ingin ringan berdetak. Detakannya makin keras dan cepat saja. Membuat dada ini panas seakan tersunut oleh api yang makin berkobar.
"Mas Dani!" amukku tertahan sambil meremas rambut kepala dengan keras.
Kini aku telah menjadi wanita yang mau dibodohi dan diperbudak. Bagaimana tidak? Aku telah menuruti kemauannya sampai-sampai berhenti dari pekerjaan yang baru saja ku geluti.
Ibu, bapak, rasanya aku ingin sekali memelukmu. Tapi, kalian berada jauh di kampung sana. Andaikan kalian ada di sini, pasti kalian bisa menenangkanku.
Ya, sejak Mas Dani menikahiku dia memutuskan untuk membawaku ke uar kota. Jauh dari Ibu Bapak kami masing-masing. Katanya supaya kita lebih mandiri.
Tapi, kalau seperti ini kejadiannya aku juga menjadi malas kalau terus-terusan di bohongi.
Astaghfirullah!
Lutut yang masih lemas ini terpaksa perlahan ku baringkan bersama seluruh kerangka badan yang terasa berat ku bawa.
Tak bisa bibir ini berkata sesuatu. Seakan leher ini sakit sekali terganjal bebatuan tajam.
Hanya ludah yang terus-menerus ku telan. Tak bisa menangis karena terlalu emosi.
Apa harus aku menenangkan diri dan berfikir kalau bekas merah itu adalah gigitan nyamuk keganjenan saja?
Hukh!
Lebih baik aku positif thingking. Bukan Diandra, itu bukan bekas apa-apa. Itu hanyalah bekas gigitan nyamuk.
Tapi ... Akh.
Akhirnya tubuh ini berbaring membelakangi anak dan suamiku.
Tak sadar mata ini telah meneteskan airnya dan membasahi batang hidung.
Ya, batin ini terus-menerus merasakan sakit hingga akhirnya bendungan air mata ini keluar.
Sakit yang luar biasa ku rasakan saat ini.
Sesekali membayangkan dan menebak-nebak apa yang di lakukan suamiku sebenarnya tadi.
Ikh, jijik sekali kalau itu benar terjadi.
Bukankah orang selingkuh itu suka lupa diri? Lupa kasih uang istri? Lupa kasih sayang pada keluarga?
Tapi, mas Dani selama ini selalu menyayangi kami. Mengajak kami jalan-jalan, dan memberiku uang uang cukup bahkan lebih.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?
Apa suamiku benar-benar selingkuh, ataukah ini hanya perasaanku saja.Ya Tuhan, berilah aku kemudahan untuk melihat dan mengetahui kejadian sebenarnya.
–––
Bekas merah di leher suamiku membuat malam ini terasa panas sekali. Ingin rasanya aku merobek lehernya, membelah otaknya mengeluarkan seluruh rekaman, apa yang ia lakukan tadi.Amarahku makin kesini makin berkecamuk.Andai saja aku bisa menguntit dirinya sampai aku memergoki kegiatan gelapnya di luar, mungkin semua pertanyaanku akan segera terjawab.Tapi aneh. Kalau suamiku selingkuh dia punya uang darimana? Apakah mau wanita centil di luar sana menggoda laki-laki yang sudah berumah tangga namun tak memiliki uang?Selama ini uangnya selalu di berikan padaku. Berapapun itu.Jelas aku tahu betul gajinya di kantor hanya sedikit. Dan itu semua dia berikan padaku.Jangan-jangan benar. Mas Dani punya bisnis lain yang amat menguntungkan di luar sana. Dan dari uang itulah ia bisa berbuat hal yang tidak pernah ku sangka.Apa mungkin jatah uangku darinya lebih
"Ibu dan Bapak akan tinggal disini?" tanyaku kaget sambil memastikan."Ya, Nak. Ibu dan Bapak berencana akan tinggal disini. Tapi kami akan mnyewa rumah, bukan tinggal bersama kamu," jelas ibu.Aku masih tak menyangka, kalau bapak dan ibu malah akan tinggal dekat denganku. Tapi ada bagusnya juga. Siapa tahu mas Dani bisa merubah sikapnya jika bapak dan ibu berada dekat dengannya.Tak sehelaipun kulihat baju yang mereka bawa. Kalau mereka akan pindah kesini, mana barang bawaan mereka?"Oh, ya. Dani yang menyuruh kami untuk pindah kesini. Dan Dani juga sudah menyewakan rumah untuk kami. Ya kan, Pak?"Hah?"Ya Diandra. Dani yang menyuruh kami pindah. Lagipula di kampung, Bapak dan Ibu hanya tukang kebun. Jadi Dani katanya lebih baik membawa Ibu dan Bapak ke kota, bersama kalian."Jawaban bapak membuatku menelan ludah.Aku tersenyum sedi
Hari ini aku berniat mengikuti Mas Dani sesuai apa yang di katakan Ibu. Aku bersyukur sekali, Ibu sangat mengerti keadaan dan posisiku. Mungkin karena ibu merasa bahwa dirinya juga wanita. Tak ingin terus-menerus dibuat tanda tanya oleh sikap mas Dani yang terlihat tak biasa. Apalagi penghasilannya."Diandra, sore nanti tolong siapkan baju yang paling bagus untukku," katanya menyuruhku.Posisi kami saat ini sedang sarapan. Aku makan sambil menyuapi Dona."Hm," anggukku sambil menyuapi putri tercantik."Memangnya kamu mau kemana sih, Mas?" tanyaku lagi berbasa-basi."Aku nanti sore ada pertemuan bersama rekan-rekan bisnis di restoran mewah. Membahas kelanjutan bisnis kita," jawabnya sambil terus menyuapkan makanan satu sendok satu sendok dengan cepat ke mulut. Sarapan nasi goreng pakek telur mata sapi sesuai keinginannya.Tingkahnya benar-benar rusuh.Aku m
Aku membuntuti suamiku yang masuk ke dalam restoran.Langkahnya cepat sekali. Mencurigakan.Kususuri kemana ia berjalan. Ke sebuah ruangan VVIP ternyata.Aku melihat suamiku menghampiri tempat duduk wanita-wanita yang kupikir mereka adalah wanita-wanita kaya.Tapi ..."Dia mau pergi kemana?" cecarku dalam pikiran ini.Mata ini jelas melihat Mas Dani menghampiri meja para wanita-wanita dewasa berpenampilan glamor dengan perhiasan.Apa yang akan di lakukannya?Aku menguntitnya dari kejauhan. Dan kini semakin mendekat."Permisi, Bu. Boleh saya pinjam asbaknya!"Hah?Itulah yang dikatakan suamiku.Dia menghampiri ibu-ibu itu hanya untuk meminjam asbak.Lalu dia membalikan lagi badannya ke meja kursi yang lain.Kususuri
Siang ini aku baru saja pulang belanja bersama Dona. Niatnya seusai zuhur aku akan singgah ke rumah Ibu. Membawakannya makanan dan kue yang baru saja ku beli"Alhamdulillah, sampai juga di rumah ya, Nak," seruku pada Dona yang sedang memainkan boneka kecil di aisan kangguru.Tadi aku belanja keluar karena disuruh Mas Dani, katanya aku harus membelikannya beberapa baju dan aksesoris-aksesoris pula. Dia memberikan uangnya.Baju suamiku sekarang hampir penuh satu lemari. Baju-bajunya bagus dan menarik. Sekalian juga aku beli beberapa baju untuk Dona dan sisanya aku belikan untuk kebutuhan rumah tangga. Biar sekalian pergi.Sekarang pikiranku tentang suami tak lagi buruk, apalagi setelah aku mengikutinya kemarin. Bahkan sepertinya aku tak pantas untuk suudzon, yang harus aku lakukan adalah berpikir baik dan berdoa.
Seusai menunaikan kewajiban lima waktu empat rakaat di pukul tujuh malam, aku, Mas Dani dan Dona bersenda gurau di kamar.Bermain bersama Dona sebelum tidur.Dona anak kami yang cantik itu kini makin cerdas saja. Kami makin gemas dan bangga padanya.Tiba-tiba.[ Dering Panggilan ]Sebuah panggilan masuk terdengar dari gawai Mas Dani."Mas, ada telepon masuk ke hp kamu," ucapku.Dia langsung diam dan hengkang mengambil gawai barunya. Sebuah gawai yang sedang trendi dimasa kini.Aku lihat gelagat dan gerak-geriknya.Matanya menyorot ke arah sebuah nama yang tertampil di layar. Pandangannya nampak biasa saja namun seperti penting.Alisku meninggi bersikap acuh saja. Toh itu panggilan untuknya.Aku masih melanjutkan bercanda dengan Dona. Sekaligus mengajarkan Dona mengh
Siang ini Ibu datang ke rumah. Sekedar mampir dan bermain. Apalagi kan rumah kami sekarang sangat berdekatan.Ibu menghampiriku yang sedang duduk-duduk santai berdua dengan Dona."Aduh Cucu Nenek. Lagi ngapain nih?" katanya yang tiba-tiba datang.Aku sudah melihat langkah kakinya dari kejauhan. Namun aku belum menyapanya karena jaraknya masih belum terlalu dekat.Ibu membuka pagar dan mulai menginjak bagian teras rumah.Senyumku mulai keluar menyambutnya."Bu."Aku mencium punggung tangannya. Meskipun kami sering bertemu namun rasa hormat dengan mencium punggung tangan Ibu tak hilang dari akalku."Dona, ada Nenek, Sayang!" kataku manja pada Dona.Dona yang masih ada di pangkuanku perlahan berpindah ke pangkuan ibu.Kulihat ibu tidak habis pulang dari manapun. Dia mungkin sengaja mampir dan bermain ke rumah
Aku masih bingung dan kelabakan dengan sifat Ibu yang sekarang.Ibu seperti bunglon.Saat pertama kesini Ibu sangat terlihat bijak dan baik. Makin ke sini aku makin sanksi dengan Ibu."Kamu kenapa?"Mas Dani menghampiri dan bertanya padaku yang sedang duduk di ranjang sendiri setelah menidurkan Dona.Nampaknya ia melihat lamunanku."Enggak, aku hanya sedikit lemas saja," jawabku singkat."Oh, mau aku pijat?" tawarnya manis.Aku hanya tersenyum yang dipaksakan. Menolak halus tawarannya."Enggak usah, kamu tahu kan aku geli kalau dipijit."Aku menjawab sambil tersenyum lalu mengalihkan pikiran dengan mengambil beberapa helai baju untuk dilipat.Kebetulan ada baju Dona yang belum sempat kulipat tadi.Mas Dani masih berada di kamar."Katanya lemas. Kok malah lipat baju?" ujarnya lembut.Tubuhku sengaja kulemas-lemaskan."Tak apa, ini kan cuma sedikit," jawabku lagi dengan tubuh lemas
"Mbak, selamat ya, sebentar lagi Mbak akan menikah. Tinggal beberapa jam lagi." Nessia memberiku ucapan kala aku baru saja selesai di make up oleh Mbak Intan. Tukang make up profesional yang semuanya di rekomendasi oleh Nessia dan Radit."Makasih ya, Ness. Dan maaf. Mungkin Mbak terkesan mengkhianati kakak kamu." Bagaimanapun juga Nessia adalah adik almarhum suamiku. Tapi dia yang mendukungku, menyiapkan segalanya untukku. Tak terkecuali."Mbak, enggak, gak ada pengkhianatan disini. Aku tahu, Mbak wanita yang baik. Dan aku tahu gimana cinta Mbak pada mereka. Tapi, aku juga ingin Mbak mendapatkan pria yang bisa menemani Mbak, yang bisa lindungi, Mbak. Aku gak mau Mbak terus-menerus menjanda. Masa depan Mbak itu masih panjang. Dan aku yakin, mas Rizky bisa jadi jodoh Mbak sampai akhir nanti. Sampai kalian kakek nenek. Sampai maut sendiri yang memisahkan kalian." Nessia kembali mengungkapkan. Telapak tangannya sedari tadi me
"Mas Dani? Mas Reza? Kalian mau kemana?" Aku melihat dua pria bersaudara itu bergandengan tangan mengenakan pakaian serba putih. Lalu mereka diam dan berbalik badan menyemai senyuman."Diandra, aku pergi. Kamu jangan lupa bahagia. Jaga anak kita," kata Mas Reza. Jelas air mataku menetes."Ta, tapi kalian mau kemana?" Aku mulai menangis. Air mata ini menghujan. Mas Dani mendekat. Dan Mas Reza diam tetap di tempatnya. Mas Dani makin mendekat ke arahku berdiri. Senyuman dan lesung pipinya amat membuat syahdu penglihatanku. Mereka tampan sekali."Diandra. Kamu jangan nangis. Kamu harus ingat, kamu punya dua anak. Dan kamu harus menjaganya." Kalimat Mas Dani. Dia juga meraih telapak tangan kiriku. Ia memberiku sebuah benda. Benda berwujud sepasang merpati. Ia berikan padaku. Dan ia simpan di telapak tanganku.Mas Dani menatapku. "Jangan lupa pula, kamu itu seorang wanita yang butuh pelindung. Kembalilah, kamu j
"Maaf, Ky. Tapi, nyatanya aku belum bisa melupakan almarhum suami aku. Aku belum bisa terima cinta kamu." Itulah jawabanku. Yang kujawab dengan penuh kesenduan. Aku bukan tahan harga, tapi inilah kenyataannya.Rizky yang tadinya bersimpuh. Kini ia bangkit perlahan dan duduk lagi di sampingku. Raut wajahnya amat datar. Namun lebih condong ke kecewa. Tarikan nafasnya pun lemas sekali. Baru kali ini aku melihat Rizky yang energik menampakkan wajah seperti ini."Tapi kenapa?" selidiknya lirih.Kami terdiam. Dan aku mulai mengatur nafas untuk menjawab pertanyaan Rizky. Aku tak mau dia tersinggung dan merasa di rendahkan. Hingga kutolehkan tubuh ini menghadap ke arahnya."Aku minta maaf. Bukan maksud aku merendahkan kamu dengan menolak niat baik kamu. Jujur, kamu itu pria yang tampan, mapan, baik. Kamu bisa mendapatkan wanita single terutama gadis. Bukan seorang janda yang sudah memiliki putra dan putri sepertik
"Mbak, saya mau pelamiannya nanti bernuansa putih bak musim salju. Dan putih itu melambangkan kesucian." Aku memberi masukan."Enggak bisa. Saya mau pelaminan adik saya bernuansa rustic. Keren kan, Mbak, Mas. Apalagi pas malam dipakaikan lampu-lampu terang natural. Pokoknya semuanya sudah tergambar di otak saya." Rizky memberi masukan.Entah mengapa, hati ini tak merasa setuju dengan apa yang ia katakan."Gak bisa, Mbak. Menurut saya, nuansa putih itu lebih keren. Kesannya itu simple tapi modern. Tidak terlalu full color, tapi satu warna itu sudah mewakilkan keindahan." Aku kembali mengusulkan. Mas dan Mbak yang kini menghadapi kami lumayan agak bingung. Tapi mereka mencatat apa yang kami inginkan."Oh, sekalian saja semuanya putih. Gak usah ada warna lain. Kayak kain kafan," cetus Rizky. Dia malah membuatku kesal. Tapi aku tak menghiraukannya."Ah, dasar! Gak tahu indah sok-sokan bilang i
PoV Diandra***"Non? Non? Bangun, Non. Ini sudah adzan Maghrib." Suara terdengar samar-samar. Mataku mulai membuka. Kukucek sebentar."Mbok?"Aku terperanjat melihat si Mbok membangunkanku dari mimpi buruk tadi. Aku memimpikan hal buruk yang pernah kualami."Maaf, Non. Udah Maghrib. Bukan tak sopan Mbok bangunin," kata si Mbok. Aku masih sedikit pusing. Namun aku memang tadi seusai pulang dari kantor langsung menonoton televisi dan ketiduran ternyata."Ya ampun, makasih ya, Mbok. Fathan sama Dona mana?" tanyaku mencari kedua anakku."Non Dona lagi di kamarnya belajar. Den Fathan lagi main mobil-mobilan. Tuh!" tunjuk Mbok Arum ke arah anakku Fathan."Ibu?" Dia memanggilku. Karena dia sudah bisa bicara. Bahkan sudah bisa bicara sempurna di usianya yang ke-dua tahun ini."Sayang, Ibu tidur ya!" ujarku padanya sambil mendekat. Dia
PoV Diandra***"Nessia? Kamu kenapa?" tanyaku pada Nessia dengan cemas saat Nessia mengangakan mulut seusai melacak lokasi Mas Dani."Mbak, Mah, Mas Dani udah deket. Tapi kayaknya dia kena macet di jalan satu arah dekat rumah sakit," jelas Nessia dengan terharu. Wajah Nessia sumringah.Alhamdulillah, aku tenang.Pecah sudah rasa khawatir terhadap Mas Dani. Syukurlah dia sudah sampi lagi. Ini sudah dinihari. Dan kami bahagia Mas Dani telah kembali."Kamu beneran?" tanyaku memastikan. Aku akan berterima kasih banyak pada Mas Dani. Karena dia berhasil kembali dengan membawa kantung darah untuk Mas Reza.Tiba-tiba pintu ruangan Mas Reza membuka lagi.Krek.Aku, mama dan Nessia panik namun penuh harap. Aku menyergap dokter. Kuharap ada kabar baik untukku."Dokter? Gimana suami saya?" sergapku pada
PoV Diandra***"Maaf, Pak, Bu, stok darah untuk saudara Reza sudah habis." Ujar Dokter yang tiba-tiba membuka pintu ruangan."Ya Allah, lalu gimana Dokter? Apa yang harus kami lakukan?" Aku sangat panik."Dokter, dokter bisa ambil darah saya. Sebanyak yang kakak saya butuhkan, Dokter," ujar Mas Dani lantang. Bola matanya pun masih terus berkaca-kaca. Aku sangat terharu."Kami bisa saja mengambil darah dari anda," jawab dokter atas usulan Mas Dani."Tapi, rasanya tak mungkin bila kami harus mengambil terlalu banyak darah untuk pasien. Karena itu bisa membahayakan kesehatan anda," imbuh dokter lagi.Aku, Mama dan Nessia hanya bisa diam dalam kegelisahan. Karena diantara kami tak ada darah yang cocok. Selain Mas Dani, tak ada lagi di keluarga kami. Apalagi darah mereka terbilang langka. Tapi aku yakin, dokter pasti bisa menangani seperti sebelum-sebelumnya."Dok, ambil saja darah saya. Saya rela walau nyawa saya taruhannya,"
PoV Author***"Toloooong! Toloooong!"Dani terus melambaikan tangan sambil berteriak. Dimana Reza saat itu sudah pingsan kembali."Haaaarkh! Toloooong!"Akhirnya, cahaya itu makin mendekat. Dan mereka adalah tim SAR yang mencari keberadaan korban kecelakaan pesawat."Toloooong! Toloooong! Kami disini, Pak!" Dani terus berteriak meminta bantuan. Dan mereka pun mendekat.Tubuh Dani bukan tak sakit. Tapi dia masih mampu berusaha meminta pertolongan."Pak, tolong, Pak, Kakak saya sudah kehabisan banyak darah sejak tadi. Tolong kami, Pak!" Dani beteriak histeris pada beberapa orang yang sudah datang dalam dua perahu karet."Ayok, ayok bantu!" Para tim SAR sibuk di posisi masing-masing. Yang menangani Reza dan menangani Dani. Mareka juga tak lupa memasangkan alat pelampung. Karena mereka akan menaiki perahu untuk sampai di dermaga.
PoV 3***"Ness!" Diandra meraih lembaran yang Nessia baca. Ia menyelidik cemas. Pipinya sudah basah kuyup sejak tadi.Mata Diandra menyidik setiap nama korban yang sudah ditemukan. Dan banyak dari mereka yang sudah tak bernyawa. Dan itu makin membuat Diandra putus harapan. Tapi dia terus berdoa. Semoga ada keajaiban bagi korban-korban pesawat itu."Nessia? Kedua Abang kamu dimana?" tanya Diandra. Karena dia tak menemukan nama Reza ataupun Dani di daftar korban yang sudah ditemukan. Ia yakin, mereka benar-benar tidak ada di daftar korban ditemukan."Iya, Mbak. Beberapa korban masih dinyatakan hilang," jawab Nessia dengan sendu.Diandra hanya bisa menganga dengan penuh doa. Penumpang pesawat yang berjumlah 132 orang itu baru 123 orang yang ditemukan. Dan 70% sudah tak bernyawa akibat ledakan pesawat di udara.Astaghfirullah aladzim!"M-Mah, mas Reza dan mas Dani, mereka belum ditemukan, Mah. Aku yakin, mereka masih h