Awan menginjak gas hingga kakinya sakit, mobilnya menderu hingga mesin mobilnya terdengar keras ditelinganya. AC udara yang dingin terasa di kulit Awan namun, butiran-butiran keringat mengalir deras di sekujur tubuh Awan. Perasaannya bercampur aduk, rasa marah akibat melihat perbuatan bodoh Selena yang mencoba menggugurkan kandungan, rasa takut karena merasa akan kehilangan Selena dan rasa benci karena sudah sangat bodohnya meninggalkan Selena dengan begitu mudahnya berbalut menjadi satu dan menghasilkan rasa sakit yang hampir meledakkan dadanya."Bodoh! Goblok kamu Awan!" maki Awan sambil memukuli setir mobil seraya menahan tangisnya, ia melirik ke kiri dan mendapati Selena tergeletak dengan wajah yang makin pias.Tangan Awan menyentuh paha Selena yang terasa makin dingin, seketika itu juga dirinya terhantam perasaan bersalah yang dengan cepat menenggelamkan dirinya kelembah penyesalan yang menyakitkan."Sel ... sebentar, yah, tahan, yah, Sayang," bisik Awan dengan suara tercekat sam
Suara mesin rumah sakit terdengar samar-samar di telinga Awan, Awan mengerang dan berusaha menggerakkan seluruh badannya dengan susah payah. Tubuhnya sakit bukan main, ia merasakan tubuhnya di tusuk berpuluh-puluh pisau.Awan berusaha untuk membuka kelopak matanya selebar mungkin, namun, yang terjadi ia hanya bisa melihat sebaris tipis samar cahaya. Awan tak habis akal ia berusaha untuk menggerakkan tangannya, tapi, lagi-lagi Awan tidak mampu menggerakkannya sama sekali karena terasa sangat menyakitkan dan berat.Akhirnya Awan hanya bisa berteriak, dipikirannya ia merasa sudah berteriak kencang, mengeluarkan suaranya sekeras mungkin. Tapi, entah kenapa Awan hanya mendengar suara dirinya mengerang seperti orang yang sedang berkumur-kumur."Kak ... Kakak."Awan tersentak saat menyadari suara yang memanggilnya, ia ingat suara itu. Itu suara Aira, dengan susah payah Awan berjuang untuk memanggil adiknya."Kak ... udah jangan dipaksa, Kakak kalau mau bangun, bangun yah. Aira di sini, kok, A
Sepanjang jalan perut Awan terasa tidak enak dan kakinya terasa sangat lemas, andai bisa mungkin saat ini Awan akan turun dari kursi rodanya dan kembali berlari meninggalkan Aira. Ia takut bercampur gugup untuk bertemu dengan si kembar. Sesekali Awan melihat sekeliling rumah sakit dengan perasaan gusar bercampur bingung, matanya terus mengerjap sedangkan sebelah kakinya ia goyang-goyangkan naik dan turun karena merasa ketakutan juga serba salah. "Aira ... Kakak kayanya mau ke kamar mandi, deh," ucap Awan saat melihat sebuah papan jalan yang bertuliskan kamar bayi. "Ngapain ke kamar mandi? Ih ... jangan ngaco deh, tadi Kakak udah ke kamar mandi. Itu ruangan bayi di depan." Aira menunjuk tanda ruangan bayi sambil terus mendorong kursi rodanya tanpa mendengarkan ocehan Awan sama sekali, Aira yakin Awan hanya ingin menghindar untuk bertemu dengan si kembar. Awan menopangkan kakinya sambil bersandar, tangannya tiba-tiba bergetar dan ia sudah mulai merasakan perasaan tidak enak di perutn
Awan hanya bisa melindungi kepalanya dengan kedua tangan, ia sama sekali tidak bisa melakukan apa pun juga. Ia sama sekali tidak mampu menggerakkan tubuhnya dan menerima setiap pukulan yang ia dapatkan dari Fuad. Ia merasa pantas dan ikhlas menerima perlakuan Fuad yang semena-mena pada dirinya. "Lepaskan cucu saya!" teriak Romli sambil mencengkeram tangan Fuad dan mendorongnya sekeras mungkin. "Cucu saya bersalah dan saya akan pastikan ia menerima ganjarannya, tapi, untuk memolisikannya saya mohon untuk tidak Anda lakukan." "Kenapa? Dia pantas di penjarakan dan membusuk di sana!" seru Fuad dengan penuh amarah, dia membenci Awan hingga ketulang sumsumnya, ia benci lelaki yang sudah mengambil nyawa anak perempuan kesayangannya. Bangsat! "Kalau Awan di penjara, siapa yang akan mengurus anak kembar yang ada di dalam sana!" teriak Romli sambil menunjuk kamar bayi. Fuad terhenyak, ia baru sadar kalau dirinya saat ini sudah memiliki cucu. Anak dari Selena yang entah kenapa membuat dirinya
"Janji sama Aki, janji sama Aki kalau kamu bakal jaga si kembar dan tolong ... tolong dengan sangat, jangan membuat ulah lagi. Rubah kelakuan kamu, kamu harus bertanggung jawab." Awan terdiam ia ragu kalau dirinya bisa mengubah kelakuannya. Ia ragu kalau dirinya bisa menjadi orang yang lebih baik dari dirinya saat ini. Sumpah demi apa pun, Awan tak tahu harus melakukan apa untuk mengurus si kembar. Ia masih 17 tahun! "Wan ... Aki tahu kamu bingung harus melakukan apa, Aki tahu. Tapi, Aki akan bantu sebisany—-" "Aira juga bakal bantu," potong Aira seraya berdiri dan menatap Awan dengan mata yang sembab. "Jadi, Aki mohon dengan sangat, kamu ubah kelakuan kamu dan fokus dengan apa yang ada. Kamu urus kedua anak kamu, buktikan pada keluarga Selena kalau kamu mampu mengurus dengan benar anak-anak kamu. Jangan buat ulah lagi, Wan. Mungkin kamu baru berumur 17 tahun tapi kamu itu seorang lelaki beranak dua! Kamu punya beban dan tanggung jawab! Paham kamu?" tanya Romli tegas. Awan hanya b
"Wan ... Awan." Suara seorang wanita yang lembut seolah menyadarkan Awan dari kisah sedihnya. Suara itu seolah menariknya dari dirinya di masa 10 tahun yang lalu kembali ke masa kini, kembali menghadapi realita hidup dan tanggung jawab yang sudah ia pikul. "Awan," bisik Sonya sambil menarik tangan Awan agar lelaki itu bisa kembali melihat wajahnya. "Awan ...," panggil Sonya lagi yang sedikit panik karena Awan terlihat histeris dalam menceritakan kisah masa lalunya. Sebuah kisah panjang yang membuat Sonya harus menahan rasa emosinya dan cemburu pada wanita bernama Selena. Selena seorang wanita yang mungkin akan selalu Awan ingat hingga detik ini. Wanita yang akan ada di hati Awan, dan mungkin membuat Sonya merasakan perasaan cemburu yang teramat sangat. Entahlah, saat ini Sonya belum mau berspekulasi apa pun dia hanya ingin memeluk Awan berusaha menenangkan tunangannya itu. "Wan ...." "Aku pembunuh, Sonya, aku bunuh ibu dari anak-anak. Dan aku sudah jahat sama dia, aku terlalu pen
“Sonya ….” Awan kaget mendengar pertanyaan Sonya dan membuat Awan melepaskan pelukkannya. “Maksud kamu apa?”Sonya mengangguk, ia tahu pertanyaannya ini bisa meledakkan masalah lainnya dan berujung pada retaknya hubungan mereka. “Iya, do you still love her?”“Kenapa kamu punya pikiran kaya gitu?” Awan mengusap paha Sonya, tangannya memasuki rok Sonya merasakan paha Sonya yang hangat.Sonya menangkap tangan Awan yang sedang berada di kedua pahanya, sepelan mungkin Sonya mendorongnya, mengeluarkannya dari dalam rok. “Wan.”“Kamu kenapa nanya kaya gitu? Jangan bilang kamu ngerasa aku masih cinta sama Selena.” Awan menurunkan tangannya ke arah kaki Sonya, mengusapnya.Sonya mengangguk, sudahlah percuma menutupi perasaannya terhadap almarhum Selena. Tidak etis memang cemburu pada orang yang sudah meninggal tapi, Sonya merasakan perasaan yang mengganjal. Ia tidak ingin disukai dan dicintai oleh Awan dengan bayangan Selena. “Jawab aja, Wan.”Awan beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah me
Aira yang sedang asik mengutak-atik puzzle di atas meja, entah sejak kapan ia jadi menyukai menyusun puzzle seperti saat ini, ini puzzle keduanya yang ia susun. “Mama, Daddy nggak ke sini?” tanya Hana yang membantu Aira untuk menyusun puzzle.Aira menoleh dan mendapati Hana sedang memainkan kepingan puzzle dengan malas-malasan. “Daddy nggak ke sini deh, kayanya. Kenapa? Hana kangen Daddy?” tanya Aira yang langsung dijawab anggukkan oleh Hana.“Telepon, lah, Daddy kamu itu,” usul Aira.“Nggak ah, nanti ganggu Daddy ama Tante Sonya,” ucap Hana menahan kesal karena merasa dia harus berbagi kasih sayang dengan orang lain. Menyebalkan.“Hahaha … telepon aja, minta jemput. Pasti, Daddy jemput,” ucap Aira yang paham kalau Hana sedang merajuk. Dari kedua anak Awan, Hana yang paling sulit menerima kenyataan kalau Awan akan menikah lagi sedangkan, Haikal lebih terihat santai dan bahkan entah karena apa tiba-tiba menyetujui Awan menikah dengan Sonya.Hana tipe anak perempuan yang sangat sulit be
Hai semua pembacaku sayang ....Gallon ucapkan terima kasih sudah membaca hingga akhir kisa perjalanan cinta Awan dan Sonya. Sebuah kisah yang pelik, berat dan penuh gairah dari Awan dan Sonya.Kisah yang dimulai dari sebuah pengkhianatan, rasa benci, dan mamaki diri akibat sebuah kekurangan yang menjadikan diri Sonya membenci dirinya dan melupakan rasa dicintai juga mencintai.Sebuah kisah dengan akhir yang manis namun dibalut sebuah kenyataan hidup, sebuah kenyataan yang membuat kita sadar kalau kita hidup di dunia ini tidaklah selamanya. Secinta apa pun kita pada seseorang ingatlah ada maut yang memisahkan namun, yakinlah maut juga yang akan menyatukan kalian kembali. Cerita ini harus berakhir di sini, cerita manis ini harus berakhir secara sedih namun tetap dibalut senyum bukan sebuah tangis. Cerita cinta Sonya dan Awan tidak akan ada kelanjutannya, semuanya sudah jelas dan mereka sudah sangat berbahagia dengan kehidupannya. Gallon harap semua yang membacanya puas dengan akhir ki
Tit ... tit ... tit ....Suara alat yang memonitor jantung Awan terdengar memilukan di kuping Hana dan Haikal, sudah lima hari mereka berdua berjaga di sana bergantian dan tidak mau meninggalkan Awan, semenjak Awan terjatuh dari kamar mandi."Hana, Haikal bisa keluar?" tanya Daniel melalui celah pintu kamar.Hana dan Haikal saling tatap lalu keluar dari kamar, sebelumnya mereka berdua mengecup kening Awan pelan. Setelah di luar Hana dan Haikal bertemu dengan Daniel dan juga Adara bersama seorang dokter. Mereka tahu siapa dokter itu, dokter itu adalah Dokter Intan, adik almarhum mama mereka."Tante ada apa?" tanya Hana sambil berdiri di samping Daniel, spontan suaminya itu merangkul bahunya pelan mencoba menguatkan Hana."Ada yang salah sama Daddy?" tanya Haikal sambil merangkul pinggang istrinya, mencoba mencari ketenangan dari tubuh istrinya itu.Intan mencoba tersenyum sebaik mungkin walau ia sadar kalau ia tidak bisa menipu Hana dan Haikal yang sudah mengenal dirinya dengan sangat b
Tangan Awan terus bergerak mengelus nisan Sonya, disetiap tarikan napasnya ia merasakan rasa rindu yang menusuk nan sakit. Ia rindu memeluk Sonya, mengecupi tubuh istrinya, dan tidur di samping wanita yang sudah menemaninya selama 37 tahun. Jemari Awan terus bergerak, sesekali terdengar suara tarikan napas berat Awan. Matanya mulai buram akibat menahan air mata yang selalu jatuh ke tanah setiap ia datang ke sana untuk bertemu Janu dan Sonya.Masih segar di ingatannya saat Sonya pergi meninggalkan dirinya di pelukkannya. Sonya kalah dan menyerah pada penyakitnya, wanita itu pergi meninggalkan dirinya tiga tahun lalu. Sonya menyerah pada penykitnya, Sonya meninggalkan dirinya sendirian di dunia. Maut sudah memisahkan mereka, mengakhiri sebuah dongeng cantik nan bahagia yang selama ini Awan dan Sonya rajut. Menikah dengan Sonya adalah sesuatu yang sangat Awan sukai. Setiap harinya selalu Awan lewati dengan perasaan senang dan bahagia, walau ada beberapa kali mereka menemui hambatan ke
37 Tahun Kemudian .....Awan mematut dirinya di depan kaca sambil menarik-narik kemejanya. Ia sesekali tersenyum sambil mengusap-usap bagian rambutnya yang sudah memutih termakan usia. Ia sekali lagi memutar tubuhnya memastikan kalau tampilannya sudah sesuai dengan apa yang ia harapkan.Tangan Awan mengambil parfume yang sudah ia pakai semenjak dahulu kala, seketika itu juga wangi laut menyeruak ke indera penciumannya. Mencium itu semua membuat ia ingat perkataan Sonya kalau menciumnya wangi tubuhnya seolah ia sedang berlibur ke pantai."Sonya," bisik Awan sambil tersenyum kembali ke arah cermin. Ah ... ia rindu pada istrinya, ia rindu pada celotehan istrinya itu. Tanpa sadar pikirannya menghitung sudah berapa lama ia menikahi Sonya. "37 tahun," bisik Awan yang mulai menghitung berapa lama ia sudah menikah dengan Sonya, wanita yang sangat ia cintai hingga masa tuanya itu. Tok ... tok ... tok ....Awan menoleh melalui bahunya dan mendapati pintu kamarnya di buka. Senyumannya melebar
"Mereka tidur di sini," ucap Lidya sambil membuka pintu kamar Tara.Sonya melihat Hana dan Haikal yang tidur di ranjang bersama Tara dan Amia. Terlihat kedua anaknya itu mengenakan piayama yang sama sambil memeluk sesuatu yang mereka bagi, Sonya tanpa sadar tersenyum melihat apa yang anak kembarnya itu peluk. "Aku nggak paham kenapa Hana dan Haikal meluk handuk, mereka tiap tidur selalu meluk handuk itu. Aku sampai sangka itu selimut tapi, aku liat-liat itu ternyata handuk," terang Lidya sambil mengambil tas si kembar yang sudah rapih di pojok kamar. "Itu anduk aku, mereka minta katanya buat mereka bawa." Sonya menahan tawanya sendiri saat mengingat keinginan si kembar, tanpa sadar tangan Sonya mengusap kening si kembar. "Ya ampun, manis banget ... padahal mereka bukan anak kamu secara biologis tapi, manis banget," ucap Lidya sambil mengusap kedua lengannya. "Iya ... aku bersyukur mendapatkan mereka berdua ... aku bersyukur dipertemukan dengan Awan dan diberkahi dua malaikat ini,"
"Bener-bener si kupret!" maki Eka sambil berjalan berlalu lalang di hadapan Lidya yang sedang membaca majalah dan sesekali melirik ke arah Eka.Eka kembali melihat jam yang ada di dinding rumah dengan geram, bagaimana tidak, waktu sudah menunjukkan jam 12 malam di hari senin dan bila jarum panjang jam bergerak sedikit saja maka hari sudah berganti menjadi hari selasa. "Bisa duduk nggak, sih?" tanya Lidya yang akhirnya kesal melihat Eka terus bergerak hilir mudik seperti setrikaan. "Duduk, sini." Lidya menepuk sofa yang ada di sampingnya berharap suaminya duduk di sana dan tenang. Sayangnya keinginannya tidak tercapai, Eka menggeleng sambil kembali hilir mudik dan memainkan ponselnya."Ini kupret satu, kebiasaannya ya Tuhan, dia bilang hari senin ... ini hari senin, bahkan ...." Eka melihat jam dinding dan menyadari jarum panjangnya sudah bergeser. "Udah hari selasa ... dasar manusia tanah sengketa, hobi bener bikin susah orang."Lidya hanya bisa menahan tawanya melihat kelakuan Eka y
Awan mengambil madu dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi menyusul Sonya yang sudah menghilang di dalam kamar mandi. Saat sampai di ambang pintu kupingnye mendengar suara gemericik air dari dalam tempat shower.Langkah kaki Awan terhenti saat ia melihat Sonya sedang membasahi sekujur tubuhnya dengan air hangat yang keluar dari pancuran. Siluet tubuhnya terlihat menggoda, tubuh sintal Sonya seolah meminta Awan untuk menyentuhnya. Napasnya makin tertahan saat ia melihat tangan Sonya menyentuh setiap inci tubuhnya dengan pelan dan sensual, ia suka melihat Sonya menyentuh tubuhnya sendiri, birahinya seolah dipuaskan melalu visual Sonya yang entah bagaimana caranya selalu menjadi magnet untuk dirinya. Sonya berbalik dan mendekati Awan selangkah demi selangkah, seolah setiap langkah yang Sonya lakukan sebagai sebuah tombol yang lagi-lagi membuat pria itu menggemeretakkan giginya menahan hasrat liar yang sudah meronta untuk dilepaskan detik itu juga."Nggak buka baju?" tanya Sonya sambil
"Aku nggak sanggup lagi, Wan," tolak Sonya sambil mendorong piring sejauh mungkin dari hadapannya, perutnya seolah akan meledak karena sudah menghabiskan banyak sekali hidangan laut yang tersaji."Terus ngapain kamu pesen makanan sebanyak ini?" tanya Awan kesal sambil menunjuk hidangan laut yang ada di hadapannya. "Yah tadi, keliatannya enak semuanya jadi aku pesen," kilah Sonya sambil mengambil garpu dan menusuk-nusuk udang yang ada di atas piring. Sonya mengakui kalau makanan itu enak tapi, rasanya perutnya sudah tidak mampu lagi menerima makanan lebih banyak lagi."Terus ini gimana? Aku udah bilang tadi, pesen seperlunya aja, jangan lapar mata, Sonya," ucap Awan sambil melihat meja makannya yang masih terhidang cumi saus padang, udang galah asam manis, kepiting bakar dan juga ikan bakar.Awan ingat tadi saat Sonya memesan semuanya ia sudah mengingatkan Sonya kalau mereka tidak akan mampu menghabiskan semuanya tapi, istrinya ini tetap pada pendiriannya ingin memesan semua makanan y
"Mommy baru sampai, Nak," ucap Sonya sambil duduk di sudut ranjang dan melihat Awan yang terlihat sibuk berbicara dengan petugas hotel."Iya ... Hana, 3 hari aja, Daddy kamu juga bilang tiga hari, kan, kalau lebih nanti biar Mommy yang pulang sendiri dan Daddy, Mommy tinggal di sini," lanjut Sonya sambil menyentuh handuk yang dibentuk angsa di atas ranjangnya. Matanya dengan cepat menyisir keadaan kamarnya, jujur pada awalnya Sonya tidak tau mau di bawa kemana dirinya oleh Awan. "Iya, janji. Udah kamu di sana baik-baik dan jangan nakal. PR-nya kerjain dan tolong, suruh Haikal kerjain PR-nya juga, adik kamu suka lupa diri kalau nggak diingatkan," pinta Sonya sambil mengucapkan beberapa kata perpisahan sebelum memutuskan sambungan telepon dari Hana.Setelah ia menitipkan Hana dan Haikal di rumah Lidya, Awan sama sekali tidak mau mengatakan ke mana mereka akan pergi dan ternyata Awan membawanya ke salah satu resort yang ada di pulau seribu. H island resort.Sonya tersenyum saat berjalan