"Kamu kenapa sih? Dari tadi kaya yanga banyak pikiran?" tanya Sonya saat melihat Lidya uring-uringan tidak jelas saat mereka akan berangkat ke Bandung. Sonya dan Lidya sedang mengambil tas terakhir milik Lidya karena Lidya akan menginap di Bandung selama satu hari lalu membantu Sonya untuk membereskan barang-barang yang ada."Nggak aku cuman lagi ngitung," sahut Lidya yang terlihat fokus menghitung hari sambil menatap layar ponselnya."Ngitung apa? Ampun ... sejak kapan kamu suka ngitung?" tanya Sonya sambil mengintip isi layar ponsel Lidya dari balik bahunya. "Kamu ngitung hari? Buat apa?""Aku lagi ngitung kapan terakhir aku datang bulan," ucap Lidya tanpa sadar dan langsung terdiam saat menyadari senyuman Sonya. "Aku ngitung aja, Sonya.""Eka ngeluarin di dal— hmmm ... hmff." Sonya sama sekali tidak bisa melanjutkan perkataannya karena Lidya sudah membungkam mulutnya dengan tangan kanannya hingga ia sulit bernapas."Diem ... diem," ucap Lidya sambil memelototi Sonya, sahabatnya in
"Aku mau ke kamar mandi," ucap Lidya tiba-tiba saat Eka sedang menjalankan mobilnya di jalan tol yang akan membawa mereka ke Bandung."Hah? Bukannya tadi kamu udah ke kamar mandi?" tanya Eka kaget karena baru 30 menit yang lalu Lidya meminta untuk berhenti disalah satu rest area untuk ke kamar mandi. "Tadi, aku sakit perut dan sekarang aku mau pipis, beda urusannya." Lidya memberikan alasan paling masuk akal yang terlintas dipikirannya karena sebenarnya ia ingin melakukan sesuatu yang dapat membebaskan dirinya dari beban pikiran yang hampir membuat dirinya gila."Emang nggak bisa dibarengin gitu tadi, Dok?" tanya Eka yang kesal karena merasa sia-sia sudah menyalip mobil-mobil yang berjalan sepelan siput."Kamu sangka kantung kemih saya bisa disuruh-suruh!" seru Lidya kesal.Eka menghela napas pelan sambil menutup kelopak matanya, rasanya ia wajib memupuk kesabaran tinggi bila sudah berhubungan dengan Lidya. Wanita itu memang cantik tapi, bila sudah muncul sifat galak bercampur cerewe
Mata Eka mengerjap saat merasakan liukkan lidah Lidya di dalam mulutnya, ciuman Lidya seolah menuntut dan memaksa Eka untuk membalasnya, tubuh Eka mundur dan menyandar di sandaran kursi mobil akibat Lidya yang bergerak dan duduk di atas pahanya."Lid ...." Eka berkata disela-sela ciuman Lidya dan sentuhan tangan Lidya yang menarik-narik kemejanya bahkan sudah membuat bagian depan kemejanya terbuka. "Apa?" tanya Lidya sambil mengurai ciumannya dan menggerakkan pinggulnya menggesek sesuatu yang sudah mengeras di sana.Eka hampir mengumpat saat merasakan gesekkan pinggung Lidya yang seolah membangunkan bagian paling sensitif miliknya. Eka menatap wajah Lidya dengan rambut awut-awutan, bibir yang tebal dan sensual, dan sumpah demi apa pun kenapa kemeja Lidya sudah terbuka semua kancingnya lalu kenapa salah satu payudaranya sudah keluar dari wadahnya seolah menggoda Eka untuk melahapnya. "Aku nggak punya alat kontrapsepsi.""Keluarin di luar," bisik Lidya sambil menarik kuping Eka dengan
"Kamu di mana?" tanya Sonya saat Awan mengangkat teleponnya."Aku masih dijalan, Sayang," ucap Awan yang entah kenapa ingin memanggil Sonya Sayang saat mendengar Sonya merengek di telepon."Masih jauh?" tanya Sonya sambil mengeluarkan salah satu bukunya dari dalam kardus dan memaki di dalam hati karena dia ternyata memiliki banyak buku yang belum ia baca sama sekali, sepertinya ia harus menghentikan membeli buku online."Aku bahkan belum sampai ke rumah Aki," ucap Awan jujur, "tadi macet banget di arah stopan samsat.""Di mana itu?" tanya Sonya yang memang tidak paham dengan jalan di Bandung. "Itu adalah, stopan yang lama banget. Kamu kalau nunggu stopan itu bahkan bisa tidur atau mungkin makan dulu," kekeh Awan sambil mengingat banyaknya meme yang bertebaran di internet tentang betapa lamanya stopan Samsat Bandung."Ampun, ah ... aku nggak tau itu di mana, cuman ... cepetlah pulang, banyak banget ini kerjaan. Aku butuh bantuna, Wan," rengek Sonya sambil berdiri dan melihat sekelilin
"Eh ... ada yang mau nikah," goda Aira yang keluar dari dalam rumah sambil membawa tas berukuran besar keluar dari rumah, lidahnya gatal ingin menggoda kakaknya yang baru keluar dari mobil."Eh ... ada yang diusir dari rumah," balas Awan santai sambil mengambil tas milik Aira karena tidak tega melihat wanita hamil itu membawa tas besar. "Monyong, nggaklah, masa aku diusir dari rumah. Aki diurus siapa kalau aku keluar dari rumah? Sedangkan cucu laki-lakinya malah tinggal di rumah yang lain bersama dengan kekasihnya yang wajib dinikahi karena aku yakin seratus persen kalau kamu udah melakukan adegan 21+ dengan siapa namanya So ... So ...." Aira mencoba mengingat nama kekasih Awan yang sampai saat ini belum pernah ia lihat batang hidungnya sama sekali, awalnya Aira bahkan curiga kalau wanita itu khayalan Awan saja."Sonya, namanya Sonya pauzia.""Pauzia atau Fauzia?" tanya Aira dengan nada suara menggoda karena dia tau kelemahan kakaknya itu tidak bisa menyebut huruf F dan V dengan baik,
"Ki ...." Awan langsung berdiri dan mengatur napasnya, entah kenapa rasanya semua udara di sekelilingnya hilang begitu saja hanya karena satu pertanyaan dari Romli. Sebuah pertanyaan yang membuat Awan gila selama ini, menyembunyikan masalah sebesar ini benar-benar menguras emosi Awan. Awan bahkan meminta Eka dan Ben untuk menutup mulutnya agar tidak mengatakan masalah paling gelap dalam hidupnya ini.Pikirannya melayang ke saat dirinya berumur 18 tahun, masih muda, bodoh dan ektra tolol. Anak muda kelebihan hormon yang merasa hebat dalam segala hal hanya karena wajahnya yang tampan dan banyak wanita yang berjuang mengejar-ngejar dirinya, lalu wanita itu tanpa segan mendaratkan tubuhnya ke ranjang milik Awan tanpa perlawanan. "Awan ... kapan kamu bilang kamu punya anak ke Sonya?" tanya Romli lagi sambil berdiri dan berhadapan dengan Awan. Tubuh Romli memang sudah ringkih tapi, ia masih mampu untuk menghajar cucu semprulnya itu."Ki ... nanti bi—""Nanti gimana? Emang pas kamu nikah a
Lidya sedang membereskan kardus-kardus dan mengumpulkannya menjadi satu lalu mengikatnya dengan susah payah."Dok, aku aja."Lidya menoleh dan mendapati Eka berjalan ke arahnya, Eka menyentuh tangannya untuk menahan kertas kardus yang akan Lidya ikat. Napas Lidya tercekat saat melihat tangan Eka yang menyentuh punggung tangannya, pikirannya melayang pada apa yang mereka lakukan di mobil. Dia ingat di mana tangan itu berlabuh saat mereka bercinta di mobil, tangan itu berada di payudaranya dan dengan lincah memainkan payudaranya hingga mulutnya tak bisa ia rem untuk mendesah memanggil nama Eka kemudian memberikan selusin permintaan yang bisa membuat Lidya melayang."Dok ... sini sama aku aja," ucap Eka sambil menyenggol bahu Lidya karena tidak ada respon dari Lidya."Oh ... iya, itu tinggal iket terus ...." Lidya memutar tubuhnya namun tertahan tubuh Eka, rasa hangat tubuh Eka menguar membuat Lidya kaku, tubuhnya seolah terpatri di lantai dan tak bisa bergerak sama sekali. Kedua tanga
"Kalau ....""Kalau kamu kenapa?" tanya Sonya sambil mengusap-usap dan menjawil pipi Awan gemas, "kalau bulan bisa ngomong?"Awan tersenyum kecil, "Kalau bulan ngomong yang ada kamu kabur, Sonya, ngeri.""Hahaha ... ya udah, kalau apa? Kamu beneran kaya banyak masalah banget, Wan. Kamu mikirin apa sih?" tanya Sonya.Sonya sadar kalau Awan berubah semenjak lelaki itu mengajaknya pindah ke Bandung dan ingin menikahi dirinya. Beberapa kali Sonya mendapati Awan menelepon Romli dan selalu berakhir dengan Awan marah dan mematikan sambungan telepon. "Wan ... Aki nggak setuju kamu nikah sama aku?" tanya Sonya mulai khawatir kalau Romli berubah pikiran dan menolak dirinya menikahi cucunya. "Apa Aki Romli nggak mau kamu nikah sama aku karena aku janda?" tanya Sonya lagi yang paham akan statusnya saat ini, siapa perjaka waras yang mau menikahi janda mandul seperti dirinya? Nggak bakal ada."Nggak Sayang, Aki setuju aku nikah sama kamu, hanya dia minta aku untuk cerita masa lalu aku ke kamu, ta
Hai semua pembacaku sayang ....Gallon ucapkan terima kasih sudah membaca hingga akhir kisa perjalanan cinta Awan dan Sonya. Sebuah kisah yang pelik, berat dan penuh gairah dari Awan dan Sonya.Kisah yang dimulai dari sebuah pengkhianatan, rasa benci, dan mamaki diri akibat sebuah kekurangan yang menjadikan diri Sonya membenci dirinya dan melupakan rasa dicintai juga mencintai.Sebuah kisah dengan akhir yang manis namun dibalut sebuah kenyataan hidup, sebuah kenyataan yang membuat kita sadar kalau kita hidup di dunia ini tidaklah selamanya. Secinta apa pun kita pada seseorang ingatlah ada maut yang memisahkan namun, yakinlah maut juga yang akan menyatukan kalian kembali. Cerita ini harus berakhir di sini, cerita manis ini harus berakhir secara sedih namun tetap dibalut senyum bukan sebuah tangis. Cerita cinta Sonya dan Awan tidak akan ada kelanjutannya, semuanya sudah jelas dan mereka sudah sangat berbahagia dengan kehidupannya. Gallon harap semua yang membacanya puas dengan akhir ki
Tit ... tit ... tit ....Suara alat yang memonitor jantung Awan terdengar memilukan di kuping Hana dan Haikal, sudah lima hari mereka berdua berjaga di sana bergantian dan tidak mau meninggalkan Awan, semenjak Awan terjatuh dari kamar mandi."Hana, Haikal bisa keluar?" tanya Daniel melalui celah pintu kamar.Hana dan Haikal saling tatap lalu keluar dari kamar, sebelumnya mereka berdua mengecup kening Awan pelan. Setelah di luar Hana dan Haikal bertemu dengan Daniel dan juga Adara bersama seorang dokter. Mereka tahu siapa dokter itu, dokter itu adalah Dokter Intan, adik almarhum mama mereka."Tante ada apa?" tanya Hana sambil berdiri di samping Daniel, spontan suaminya itu merangkul bahunya pelan mencoba menguatkan Hana."Ada yang salah sama Daddy?" tanya Haikal sambil merangkul pinggang istrinya, mencoba mencari ketenangan dari tubuh istrinya itu.Intan mencoba tersenyum sebaik mungkin walau ia sadar kalau ia tidak bisa menipu Hana dan Haikal yang sudah mengenal dirinya dengan sangat b
Tangan Awan terus bergerak mengelus nisan Sonya, disetiap tarikan napasnya ia merasakan rasa rindu yang menusuk nan sakit. Ia rindu memeluk Sonya, mengecupi tubuh istrinya, dan tidur di samping wanita yang sudah menemaninya selama 37 tahun. Jemari Awan terus bergerak, sesekali terdengar suara tarikan napas berat Awan. Matanya mulai buram akibat menahan air mata yang selalu jatuh ke tanah setiap ia datang ke sana untuk bertemu Janu dan Sonya.Masih segar di ingatannya saat Sonya pergi meninggalkan dirinya di pelukkannya. Sonya kalah dan menyerah pada penyakitnya, wanita itu pergi meninggalkan dirinya tiga tahun lalu. Sonya menyerah pada penykitnya, Sonya meninggalkan dirinya sendirian di dunia. Maut sudah memisahkan mereka, mengakhiri sebuah dongeng cantik nan bahagia yang selama ini Awan dan Sonya rajut. Menikah dengan Sonya adalah sesuatu yang sangat Awan sukai. Setiap harinya selalu Awan lewati dengan perasaan senang dan bahagia, walau ada beberapa kali mereka menemui hambatan ke
37 Tahun Kemudian .....Awan mematut dirinya di depan kaca sambil menarik-narik kemejanya. Ia sesekali tersenyum sambil mengusap-usap bagian rambutnya yang sudah memutih termakan usia. Ia sekali lagi memutar tubuhnya memastikan kalau tampilannya sudah sesuai dengan apa yang ia harapkan.Tangan Awan mengambil parfume yang sudah ia pakai semenjak dahulu kala, seketika itu juga wangi laut menyeruak ke indera penciumannya. Mencium itu semua membuat ia ingat perkataan Sonya kalau menciumnya wangi tubuhnya seolah ia sedang berlibur ke pantai."Sonya," bisik Awan sambil tersenyum kembali ke arah cermin. Ah ... ia rindu pada istrinya, ia rindu pada celotehan istrinya itu. Tanpa sadar pikirannya menghitung sudah berapa lama ia menikahi Sonya. "37 tahun," bisik Awan yang mulai menghitung berapa lama ia sudah menikah dengan Sonya, wanita yang sangat ia cintai hingga masa tuanya itu. Tok ... tok ... tok ....Awan menoleh melalui bahunya dan mendapati pintu kamarnya di buka. Senyumannya melebar
"Mereka tidur di sini," ucap Lidya sambil membuka pintu kamar Tara.Sonya melihat Hana dan Haikal yang tidur di ranjang bersama Tara dan Amia. Terlihat kedua anaknya itu mengenakan piayama yang sama sambil memeluk sesuatu yang mereka bagi, Sonya tanpa sadar tersenyum melihat apa yang anak kembarnya itu peluk. "Aku nggak paham kenapa Hana dan Haikal meluk handuk, mereka tiap tidur selalu meluk handuk itu. Aku sampai sangka itu selimut tapi, aku liat-liat itu ternyata handuk," terang Lidya sambil mengambil tas si kembar yang sudah rapih di pojok kamar. "Itu anduk aku, mereka minta katanya buat mereka bawa." Sonya menahan tawanya sendiri saat mengingat keinginan si kembar, tanpa sadar tangan Sonya mengusap kening si kembar. "Ya ampun, manis banget ... padahal mereka bukan anak kamu secara biologis tapi, manis banget," ucap Lidya sambil mengusap kedua lengannya. "Iya ... aku bersyukur mendapatkan mereka berdua ... aku bersyukur dipertemukan dengan Awan dan diberkahi dua malaikat ini,"
"Bener-bener si kupret!" maki Eka sambil berjalan berlalu lalang di hadapan Lidya yang sedang membaca majalah dan sesekali melirik ke arah Eka.Eka kembali melihat jam yang ada di dinding rumah dengan geram, bagaimana tidak, waktu sudah menunjukkan jam 12 malam di hari senin dan bila jarum panjang jam bergerak sedikit saja maka hari sudah berganti menjadi hari selasa. "Bisa duduk nggak, sih?" tanya Lidya yang akhirnya kesal melihat Eka terus bergerak hilir mudik seperti setrikaan. "Duduk, sini." Lidya menepuk sofa yang ada di sampingnya berharap suaminya duduk di sana dan tenang. Sayangnya keinginannya tidak tercapai, Eka menggeleng sambil kembali hilir mudik dan memainkan ponselnya."Ini kupret satu, kebiasaannya ya Tuhan, dia bilang hari senin ... ini hari senin, bahkan ...." Eka melihat jam dinding dan menyadari jarum panjangnya sudah bergeser. "Udah hari selasa ... dasar manusia tanah sengketa, hobi bener bikin susah orang."Lidya hanya bisa menahan tawanya melihat kelakuan Eka y
Awan mengambil madu dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi menyusul Sonya yang sudah menghilang di dalam kamar mandi. Saat sampai di ambang pintu kupingnye mendengar suara gemericik air dari dalam tempat shower.Langkah kaki Awan terhenti saat ia melihat Sonya sedang membasahi sekujur tubuhnya dengan air hangat yang keluar dari pancuran. Siluet tubuhnya terlihat menggoda, tubuh sintal Sonya seolah meminta Awan untuk menyentuhnya. Napasnya makin tertahan saat ia melihat tangan Sonya menyentuh setiap inci tubuhnya dengan pelan dan sensual, ia suka melihat Sonya menyentuh tubuhnya sendiri, birahinya seolah dipuaskan melalu visual Sonya yang entah bagaimana caranya selalu menjadi magnet untuk dirinya. Sonya berbalik dan mendekati Awan selangkah demi selangkah, seolah setiap langkah yang Sonya lakukan sebagai sebuah tombol yang lagi-lagi membuat pria itu menggemeretakkan giginya menahan hasrat liar yang sudah meronta untuk dilepaskan detik itu juga."Nggak buka baju?" tanya Sonya sambil
"Aku nggak sanggup lagi, Wan," tolak Sonya sambil mendorong piring sejauh mungkin dari hadapannya, perutnya seolah akan meledak karena sudah menghabiskan banyak sekali hidangan laut yang tersaji."Terus ngapain kamu pesen makanan sebanyak ini?" tanya Awan kesal sambil menunjuk hidangan laut yang ada di hadapannya. "Yah tadi, keliatannya enak semuanya jadi aku pesen," kilah Sonya sambil mengambil garpu dan menusuk-nusuk udang yang ada di atas piring. Sonya mengakui kalau makanan itu enak tapi, rasanya perutnya sudah tidak mampu lagi menerima makanan lebih banyak lagi."Terus ini gimana? Aku udah bilang tadi, pesen seperlunya aja, jangan lapar mata, Sonya," ucap Awan sambil melihat meja makannya yang masih terhidang cumi saus padang, udang galah asam manis, kepiting bakar dan juga ikan bakar.Awan ingat tadi saat Sonya memesan semuanya ia sudah mengingatkan Sonya kalau mereka tidak akan mampu menghabiskan semuanya tapi, istrinya ini tetap pada pendiriannya ingin memesan semua makanan y
"Mommy baru sampai, Nak," ucap Sonya sambil duduk di sudut ranjang dan melihat Awan yang terlihat sibuk berbicara dengan petugas hotel."Iya ... Hana, 3 hari aja, Daddy kamu juga bilang tiga hari, kan, kalau lebih nanti biar Mommy yang pulang sendiri dan Daddy, Mommy tinggal di sini," lanjut Sonya sambil menyentuh handuk yang dibentuk angsa di atas ranjangnya. Matanya dengan cepat menyisir keadaan kamarnya, jujur pada awalnya Sonya tidak tau mau di bawa kemana dirinya oleh Awan. "Iya, janji. Udah kamu di sana baik-baik dan jangan nakal. PR-nya kerjain dan tolong, suruh Haikal kerjain PR-nya juga, adik kamu suka lupa diri kalau nggak diingatkan," pinta Sonya sambil mengucapkan beberapa kata perpisahan sebelum memutuskan sambungan telepon dari Hana.Setelah ia menitipkan Hana dan Haikal di rumah Lidya, Awan sama sekali tidak mau mengatakan ke mana mereka akan pergi dan ternyata Awan membawanya ke salah satu resort yang ada di pulau seribu. H island resort.Sonya tersenyum saat berjalan