"Masuk ...."Awan membuka pintu ruangan dan mendapati Ben sedang duduk di kursinya, mata Ben terlihat menatap Awan dan Sonya dari balik kacamata bacanya. Entah kenapa Awan merasa kalau Ben terlihat lebih tua dari Akinya, padahal Aki Romli adalah kakak Dokter Ben yang notabene emirnya lebih tua beberapa tahun dengan Dokter Ben."Permisi, Dokter saya dan Dokter Sonya ingin membicarakan mengenai obat yang hilang," ucap Awan to the point karena menurut dirinya untuk apa menutupi maksud dan tujuannya ke sana, toh, Dokter Ben yang meminta mereka untuk menghadap melalui Eka."Duduk," jawab Ben dingin sambil menunjuk kedua kursi yang ada di hadapannya, wajahnya terlihat sangat masam dan lelah.Sonya mencoba menyeret kakinya menuju kursi yang ditunjuk oleh Ben walau jantungnya saat ini sedang bertalu-talu akibat rasa takut dan bersalah karena kehilangan obat. Masalahnya bukan jumlah ampul yang hilang, tapi, lebih pada jenis obat yang hilang karena meperidine itu sudah termasuk obat antiopioid
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Satria saat dirinya menunjukkan batang hidungnya di ruangan Ben sambil membawa tas besar yang berisikan perlengkapan keamanan miliknya. "Masuk," ucap Ben pada Satria dan saat masuk ternyata Satria tidak sendirian dia datang bersama dengan kenalan polisi yang Ben telepon tadi. "Oh, Pak Irwan, silakan masuk." Irwan dan Satria masuk dan duduk di sofa yang memang ada di ruangan Ben yang cukup besar tersebut. Di sofa sudah ada Awan, Sonya dan Ben yang duduk menunggu kedatangan Satria dan Irwan. "Ada yang bisa saya bantu?" Irwan berbasa-basi pada Ben, walaupun dirinya sudah tau duduk persoalannya. "Seperti yang sudah saya bicarakan ditelepon, semua saya anggap sudah jelas. Jadi, saat ini saya hanya ingin Pak Irwan menjadi saksi saat Bang Sat, mencek CCTV," ucap Ben sembari menunjuk Satria. Satria hanya bisa meringis saat namanya disingkat menjadi Bang Sat, ia sama sekali tidak bisa marah karena yang memanggilnya adalah Ben, lain perkara bila yang memang
"Pokoknya saya ingin kamu cari di mana rekaman CCTV tanggal 23 itu, Bang Sat," perintah Ben sembari menurunkan cangkirnya kemudian meletakkan di meja."Baik, Dok, nanti akan saya cari ke mana file tanggal 23, kalau sudah saya dapatkan akan saya langsung berikan pada Dokter," ucap Satria yang hanya bisa menghela napas karena harus menelan kekesalannya dipanggil Bang Sat oleh Ben. Tapi, karena saat ini memiliki salah ia menerima saja dipanggil Bang Sat, asal tidak dipecat karena saat ini cari kerja sangat susah."Ya sudah, kamu lebih baik kembali ke ruang keamanan dan selidiki ini semuanya," perintah Ben dan langsunh diiyakan oleh Satria, ia dengan cepat meninggalkan ruangan bersama semua perlengkapan miliknya.Ben dengan akhirnya berbincang dengan Irawan untuk membahas apa yang akan mereka lakukan selanjutnya karena menurut dirinya ini masalah yang harus diselesaikan secepatnya."Wan ... gimana ini?" bisik Sonya sembari melirik Awan dengan pandangan campur aduk, rasanya ia ingin muntah
"Kamu tau gosip sekarang?" tanya Ina pada beberapa perawat yang sedang makan siang di kantin rumah sakit."Gosip apa? Kalau Bang Sat menang judi togel?" tanya Aci salah satu perawat bagian anak di rumah sakit."Lah, dia menang? Pantes dia bayar hutang kemarin," jawab Mey yang sama-sama berprofesi sebagai perawat namun bagian kamar mayat. "Bukan, ini gosip lebih sensasional," ucap Ina sembari menyendok basonya dan memakannya lahap. Rasa lapar tidak menyurutkan keinginannya untuk berghibah dengan rekan-rekan sejawatnya, ayolah apa enaknya bekerja tanpa berghibah tidak asik. Ghibah adalah kehidupannya, tanpa ghibah hidupnya bagai sayur kurang garam. Anyep."Apa? Gosip apa? Uang bonus kerja udah turun? Gaji bakal turun sebelum tanggal 28?" tanya Mey dengan semangat 45, berbeda dengan Ina yang hobi bergosip, hobi Mey adalah mengumpulkan pundi-pundi uang menjadi orang kaya adalah tujuan hidupnya yang hakiki."Ini lagi, duit mulu," ucap Aci yang hidupnya selurus penggaris."Eh ... yang penti
"Kamu kenapa?" tanya Lidya yang duduk di depan Sonya sembari memberikan makan siang ke hadapan sahabatnya yang terlihat memikirkan banyak hal."Mampus aku, Lid, mampus," rutuk Sonya sembari menepuk-nepuk dahinya yang sudah dari tadi terasa pusing seperti di himpit palu godam."Kenapa? Kamu kayanya semenjak cerai hidupnya penuh dengan kemalangan, ada cita-cita balik lagi ke Emir?" goda Lidya yang langsung mendapatkan pelototan maut dari Sonya."Kamu nggak ada keinginan balik ama David?" Sonya menyebutkan nama mantan suami Lidya yang satu sekte dengan Emir, iya ... sekte dajal."Ogah," jawab Lidya cepat sembari mengambil air mineral, "bayar psikolog buat memperbaiki mental aku aja kayanya lebih mahal dari pada biaya nikah ulang di KUA."Lidya bergidik membayangkan dirinya kembali menikah dengan David, rasanya ia lebih baik diminta untuk bekerja 48 jam nonstop di rumah sakit selama 20 tahun dari pada harus menikah kembali dengan mantan suaminya yang hampir membuat dirinya hilang akal."S
Tok ... tok ... tok .... "Masuk." Sonya dengan penuh percaya diri masuk ke dalam kantor Ben, senyumannya tidak hilang dari wajah cantik Sonya. Ia berjalan ke arah meja Ben, "Boleh saya duduk, Dok? Ada yang ingin saya bicarakan." Ben menatap Sonya dari balik kacamatanya, seingatnya baru tadi pagi Sonya dan Awan meninggalkan ruangannya lalu itu semua belum ada 10 jam yang lalu tapi, wanita itu sudah kembali lagi ke ruangannya entah karena apa. "Duduk, waktu saya sedikit dan ini sudah jam 9 malam." Sonya duduk dengan anggun di tempat duduk yang disediakan, tatapannya terlihat teguh membalas tatapan Ben yang dari tadi menatapnya dengan tatapan penuh intimidasi. "Maaf mengganggu, Dokter Ben, tapi, ada yang mau saya sampaikan." Ben melepaskan kaca matanya dan menyimpan di atas meja, ia yakin kalau Sonya ingin mengungkapkan sesuatu yang penting pada dirinya. "Apa? Kamu mau menyampaikan apa?" Sonya mengambil napas untuk meneguhkan keputusannya sebelum menyerahkan map yang tadi sudah dili
Sonya menyuapkan makananya sambil berjuang untuk tidak melihat wajah Awan yang dari tadi menggodanya karena mengetahui isi tas keramat, bahkan saat ini Sonya harus menahan malunya karena melihat alat bantu seksual miliknya berjajar rapi di meja ruang TV yang bisa terlihat dari ia duduk. "Ampun, Sonya kenapa nggak kamu buang aja sih? Kok kamu dongo?" batin Sonya sembari menggigiti sendok miliknya dengan gemas karena sadar kalau apa yang ia lakukan membuat dirinya malu. Sonya sebenarnya ingin membuang semua alat bantu seksualnya itu, tapi, entah kenapa dia melupakan benda-benda bekas pertempuran miliknya itu saat masih tidak mendapatkan belaian dari Emir dan terapi pasca operasi pengangkatan rahimnya di mana ia harus dirangsang sebegitunya agar mengembalikan gairah dalam bercinta miliknya. Tanpa Emir, alat bantu seksual lah solusinya, Sonya menolak dengan tegas menggunakan jasa PSK pria. Big no."Udah makannya?" tanya Awan sembari menahan tawanya saat melihat Sonya yang uring-uringan k
"Ah ...," desah Sonya saat merasakan alat bantu seksual miliknya menggesek bagian ceruk kenikmatan miliknya yang terbalut celana dalam berenda miliknya. Rasa kasar renda celana dalamnya yang bergesekkan dengan alat bantu seksual miliknya membuat Sonya merasakan ledakkan kenikmatan yang belum pernah Sonya rasakan sebelumnya. Tanpa sadar Sonya melebarkan kakinya untuk memberikan akses tak terbatas bagi Awan untuk menggerakkan alat bantu seksual itu sesuka hatinya. Awan menahan tubuh Sonya yang sudah kesulitan untuk berdiri akibat apa yang ia lakukan di antara pahanya Sonya dengan tenang berbisik ke telinga Sonya, "Bungkuk Sonya."Sonya yang sudah tidak mampu mengendalikan tubuhnya yang sudah menggelinjang akibat gulungan gairah yang bersumber di tengah pahanya dan menjalar ke seluruh tubuhnya hanya bisa mengikuti perkataan Awan lalu menjadikan kitchen set sebagai tumpuan tubuhnya. Desahan demi desahan meloncat dari bibir Sonya yang mungil, kakinya berjinjit saat menerima gulungan ken
Hai semua pembacaku sayang ....Gallon ucapkan terima kasih sudah membaca hingga akhir kisa perjalanan cinta Awan dan Sonya. Sebuah kisah yang pelik, berat dan penuh gairah dari Awan dan Sonya.Kisah yang dimulai dari sebuah pengkhianatan, rasa benci, dan mamaki diri akibat sebuah kekurangan yang menjadikan diri Sonya membenci dirinya dan melupakan rasa dicintai juga mencintai.Sebuah kisah dengan akhir yang manis namun dibalut sebuah kenyataan hidup, sebuah kenyataan yang membuat kita sadar kalau kita hidup di dunia ini tidaklah selamanya. Secinta apa pun kita pada seseorang ingatlah ada maut yang memisahkan namun, yakinlah maut juga yang akan menyatukan kalian kembali. Cerita ini harus berakhir di sini, cerita manis ini harus berakhir secara sedih namun tetap dibalut senyum bukan sebuah tangis. Cerita cinta Sonya dan Awan tidak akan ada kelanjutannya, semuanya sudah jelas dan mereka sudah sangat berbahagia dengan kehidupannya. Gallon harap semua yang membacanya puas dengan akhir ki
Tit ... tit ... tit ....Suara alat yang memonitor jantung Awan terdengar memilukan di kuping Hana dan Haikal, sudah lima hari mereka berdua berjaga di sana bergantian dan tidak mau meninggalkan Awan, semenjak Awan terjatuh dari kamar mandi."Hana, Haikal bisa keluar?" tanya Daniel melalui celah pintu kamar.Hana dan Haikal saling tatap lalu keluar dari kamar, sebelumnya mereka berdua mengecup kening Awan pelan. Setelah di luar Hana dan Haikal bertemu dengan Daniel dan juga Adara bersama seorang dokter. Mereka tahu siapa dokter itu, dokter itu adalah Dokter Intan, adik almarhum mama mereka."Tante ada apa?" tanya Hana sambil berdiri di samping Daniel, spontan suaminya itu merangkul bahunya pelan mencoba menguatkan Hana."Ada yang salah sama Daddy?" tanya Haikal sambil merangkul pinggang istrinya, mencoba mencari ketenangan dari tubuh istrinya itu.Intan mencoba tersenyum sebaik mungkin walau ia sadar kalau ia tidak bisa menipu Hana dan Haikal yang sudah mengenal dirinya dengan sangat b
Tangan Awan terus bergerak mengelus nisan Sonya, disetiap tarikan napasnya ia merasakan rasa rindu yang menusuk nan sakit. Ia rindu memeluk Sonya, mengecupi tubuh istrinya, dan tidur di samping wanita yang sudah menemaninya selama 37 tahun. Jemari Awan terus bergerak, sesekali terdengar suara tarikan napas berat Awan. Matanya mulai buram akibat menahan air mata yang selalu jatuh ke tanah setiap ia datang ke sana untuk bertemu Janu dan Sonya.Masih segar di ingatannya saat Sonya pergi meninggalkan dirinya di pelukkannya. Sonya kalah dan menyerah pada penyakitnya, wanita itu pergi meninggalkan dirinya tiga tahun lalu. Sonya menyerah pada penykitnya, Sonya meninggalkan dirinya sendirian di dunia. Maut sudah memisahkan mereka, mengakhiri sebuah dongeng cantik nan bahagia yang selama ini Awan dan Sonya rajut. Menikah dengan Sonya adalah sesuatu yang sangat Awan sukai. Setiap harinya selalu Awan lewati dengan perasaan senang dan bahagia, walau ada beberapa kali mereka menemui hambatan ke
37 Tahun Kemudian .....Awan mematut dirinya di depan kaca sambil menarik-narik kemejanya. Ia sesekali tersenyum sambil mengusap-usap bagian rambutnya yang sudah memutih termakan usia. Ia sekali lagi memutar tubuhnya memastikan kalau tampilannya sudah sesuai dengan apa yang ia harapkan.Tangan Awan mengambil parfume yang sudah ia pakai semenjak dahulu kala, seketika itu juga wangi laut menyeruak ke indera penciumannya. Mencium itu semua membuat ia ingat perkataan Sonya kalau menciumnya wangi tubuhnya seolah ia sedang berlibur ke pantai."Sonya," bisik Awan sambil tersenyum kembali ke arah cermin. Ah ... ia rindu pada istrinya, ia rindu pada celotehan istrinya itu. Tanpa sadar pikirannya menghitung sudah berapa lama ia menikahi Sonya. "37 tahun," bisik Awan yang mulai menghitung berapa lama ia sudah menikah dengan Sonya, wanita yang sangat ia cintai hingga masa tuanya itu. Tok ... tok ... tok ....Awan menoleh melalui bahunya dan mendapati pintu kamarnya di buka. Senyumannya melebar
"Mereka tidur di sini," ucap Lidya sambil membuka pintu kamar Tara.Sonya melihat Hana dan Haikal yang tidur di ranjang bersama Tara dan Amia. Terlihat kedua anaknya itu mengenakan piayama yang sama sambil memeluk sesuatu yang mereka bagi, Sonya tanpa sadar tersenyum melihat apa yang anak kembarnya itu peluk. "Aku nggak paham kenapa Hana dan Haikal meluk handuk, mereka tiap tidur selalu meluk handuk itu. Aku sampai sangka itu selimut tapi, aku liat-liat itu ternyata handuk," terang Lidya sambil mengambil tas si kembar yang sudah rapih di pojok kamar. "Itu anduk aku, mereka minta katanya buat mereka bawa." Sonya menahan tawanya sendiri saat mengingat keinginan si kembar, tanpa sadar tangan Sonya mengusap kening si kembar. "Ya ampun, manis banget ... padahal mereka bukan anak kamu secara biologis tapi, manis banget," ucap Lidya sambil mengusap kedua lengannya. "Iya ... aku bersyukur mendapatkan mereka berdua ... aku bersyukur dipertemukan dengan Awan dan diberkahi dua malaikat ini,"
"Bener-bener si kupret!" maki Eka sambil berjalan berlalu lalang di hadapan Lidya yang sedang membaca majalah dan sesekali melirik ke arah Eka.Eka kembali melihat jam yang ada di dinding rumah dengan geram, bagaimana tidak, waktu sudah menunjukkan jam 12 malam di hari senin dan bila jarum panjang jam bergerak sedikit saja maka hari sudah berganti menjadi hari selasa. "Bisa duduk nggak, sih?" tanya Lidya yang akhirnya kesal melihat Eka terus bergerak hilir mudik seperti setrikaan. "Duduk, sini." Lidya menepuk sofa yang ada di sampingnya berharap suaminya duduk di sana dan tenang. Sayangnya keinginannya tidak tercapai, Eka menggeleng sambil kembali hilir mudik dan memainkan ponselnya."Ini kupret satu, kebiasaannya ya Tuhan, dia bilang hari senin ... ini hari senin, bahkan ...." Eka melihat jam dinding dan menyadari jarum panjangnya sudah bergeser. "Udah hari selasa ... dasar manusia tanah sengketa, hobi bener bikin susah orang."Lidya hanya bisa menahan tawanya melihat kelakuan Eka y
Awan mengambil madu dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi menyusul Sonya yang sudah menghilang di dalam kamar mandi. Saat sampai di ambang pintu kupingnye mendengar suara gemericik air dari dalam tempat shower.Langkah kaki Awan terhenti saat ia melihat Sonya sedang membasahi sekujur tubuhnya dengan air hangat yang keluar dari pancuran. Siluet tubuhnya terlihat menggoda, tubuh sintal Sonya seolah meminta Awan untuk menyentuhnya. Napasnya makin tertahan saat ia melihat tangan Sonya menyentuh setiap inci tubuhnya dengan pelan dan sensual, ia suka melihat Sonya menyentuh tubuhnya sendiri, birahinya seolah dipuaskan melalu visual Sonya yang entah bagaimana caranya selalu menjadi magnet untuk dirinya. Sonya berbalik dan mendekati Awan selangkah demi selangkah, seolah setiap langkah yang Sonya lakukan sebagai sebuah tombol yang lagi-lagi membuat pria itu menggemeretakkan giginya menahan hasrat liar yang sudah meronta untuk dilepaskan detik itu juga."Nggak buka baju?" tanya Sonya sambil
"Aku nggak sanggup lagi, Wan," tolak Sonya sambil mendorong piring sejauh mungkin dari hadapannya, perutnya seolah akan meledak karena sudah menghabiskan banyak sekali hidangan laut yang tersaji."Terus ngapain kamu pesen makanan sebanyak ini?" tanya Awan kesal sambil menunjuk hidangan laut yang ada di hadapannya. "Yah tadi, keliatannya enak semuanya jadi aku pesen," kilah Sonya sambil mengambil garpu dan menusuk-nusuk udang yang ada di atas piring. Sonya mengakui kalau makanan itu enak tapi, rasanya perutnya sudah tidak mampu lagi menerima makanan lebih banyak lagi."Terus ini gimana? Aku udah bilang tadi, pesen seperlunya aja, jangan lapar mata, Sonya," ucap Awan sambil melihat meja makannya yang masih terhidang cumi saus padang, udang galah asam manis, kepiting bakar dan juga ikan bakar.Awan ingat tadi saat Sonya memesan semuanya ia sudah mengingatkan Sonya kalau mereka tidak akan mampu menghabiskan semuanya tapi, istrinya ini tetap pada pendiriannya ingin memesan semua makanan y
"Mommy baru sampai, Nak," ucap Sonya sambil duduk di sudut ranjang dan melihat Awan yang terlihat sibuk berbicara dengan petugas hotel."Iya ... Hana, 3 hari aja, Daddy kamu juga bilang tiga hari, kan, kalau lebih nanti biar Mommy yang pulang sendiri dan Daddy, Mommy tinggal di sini," lanjut Sonya sambil menyentuh handuk yang dibentuk angsa di atas ranjangnya. Matanya dengan cepat menyisir keadaan kamarnya, jujur pada awalnya Sonya tidak tau mau di bawa kemana dirinya oleh Awan. "Iya, janji. Udah kamu di sana baik-baik dan jangan nakal. PR-nya kerjain dan tolong, suruh Haikal kerjain PR-nya juga, adik kamu suka lupa diri kalau nggak diingatkan," pinta Sonya sambil mengucapkan beberapa kata perpisahan sebelum memutuskan sambungan telepon dari Hana.Setelah ia menitipkan Hana dan Haikal di rumah Lidya, Awan sama sekali tidak mau mengatakan ke mana mereka akan pergi dan ternyata Awan membawanya ke salah satu resort yang ada di pulau seribu. H island resort.Sonya tersenyum saat berjalan