“Nggak ....”“Hah? Kamu nggak mau aku nikah sama kamu? Kamu masih ingin berlian yang gede?” tanya Awan sewot saat mendengar jawaban Sonya, rasanya ia ingin meremas wajah Sonya yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan tanpa dosa andalannya.Apa maksud Sonya menolak ajakan menikah darinya? Masih kurang, kah, pengorbanannya untuk mendapatkan Sonya. Rasanya semuanya sudah ia lakukan untuk mengunci Sonya agar mau menerima dirinya, walaupun hingga saat ini Sonya tidak pernah mengungkapkan kalimat cinta sama sekali pada dirinya.“Sonya, tolong jangan bikin aku pusing dan stres, kamu beneran nggak mau nikah sama aku?” ulang Awan.Sonya mengangkat kakinya dan duduk di hadapan Awan, kedua tangannya menyentuh kepala Awan. Sonya mengecup bibir Awan beberapa kali hingga membuat Awan kebingungan.“Sonya, sumpah ya, kalau kamu nggak mau nikah sama aku mending kamu nggak cium-cium aku kaya gini. Jadi, ambigu tahu,” tolak Awan sembari menahan Sonya agar tidak menciumnya lagi, tapi Sonya seolah m
Suara sepatu Sonya yang khas terdengar di sepanjang lorong rumah sakit, beberapa orang yang mengenal Sonya langsung menyapanya dan juga Awan yang berjalan di belakang Sonya.Sonya beberapa kali tersenyum pada mereka yang menyapa dan kembali berjalan sambil menulikan kupingnya karena Sonya sadar betul setelah Sonya dan Awan melewatinya, bibir mereka dengan cepat bergunjing secepat kecepatan roket.Kuping Sonya sudah panas dan ia sudah merasa muak mendengar gunjingan mengenai dirinya dan Awan. Saat ini di pikiran Sonya hanya ada masalah obat yang hilang dari lemari obat yang ada di ruangannya, ke mana obat itu?"Kamu nggak salah denger?" tanya Sonya kaget saat mengetahui kalau 30 ampul obat meperinde bisa hilang dari lemari kaca miliknya. Seingatnya dia selalu mencatat dengan baik pemakaian obat-obatan dan selalu menghitung ulang semuanya dengan seksama."Nggak, Sonya itu tadi Eka yang kasih tau, Eka mungkin menyebalkan tapi, kalau masalah seperti ini nggak mungkin Eka bohong," ucap Awa
"Masuk ...."Awan membuka pintu ruangan dan mendapati Ben sedang duduk di kursinya, mata Ben terlihat menatap Awan dan Sonya dari balik kacamata bacanya. Entah kenapa Awan merasa kalau Ben terlihat lebih tua dari Akinya, padahal Aki Romli adalah kakak Dokter Ben yang notabene emirnya lebih tua beberapa tahun dengan Dokter Ben."Permisi, Dokter saya dan Dokter Sonya ingin membicarakan mengenai obat yang hilang," ucap Awan to the point karena menurut dirinya untuk apa menutupi maksud dan tujuannya ke sana, toh, Dokter Ben yang meminta mereka untuk menghadap melalui Eka."Duduk," jawab Ben dingin sambil menunjuk kedua kursi yang ada di hadapannya, wajahnya terlihat sangat masam dan lelah.Sonya mencoba menyeret kakinya menuju kursi yang ditunjuk oleh Ben walau jantungnya saat ini sedang bertalu-talu akibat rasa takut dan bersalah karena kehilangan obat. Masalahnya bukan jumlah ampul yang hilang, tapi, lebih pada jenis obat yang hilang karena meperidine itu sudah termasuk obat antiopioid
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Satria saat dirinya menunjukkan batang hidungnya di ruangan Ben sambil membawa tas besar yang berisikan perlengkapan keamanan miliknya. "Masuk," ucap Ben pada Satria dan saat masuk ternyata Satria tidak sendirian dia datang bersama dengan kenalan polisi yang Ben telepon tadi. "Oh, Pak Irwan, silakan masuk." Irwan dan Satria masuk dan duduk di sofa yang memang ada di ruangan Ben yang cukup besar tersebut. Di sofa sudah ada Awan, Sonya dan Ben yang duduk menunggu kedatangan Satria dan Irwan. "Ada yang bisa saya bantu?" Irwan berbasa-basi pada Ben, walaupun dirinya sudah tau duduk persoalannya. "Seperti yang sudah saya bicarakan ditelepon, semua saya anggap sudah jelas. Jadi, saat ini saya hanya ingin Pak Irwan menjadi saksi saat Bang Sat, mencek CCTV," ucap Ben sembari menunjuk Satria. Satria hanya bisa meringis saat namanya disingkat menjadi Bang Sat, ia sama sekali tidak bisa marah karena yang memanggilnya adalah Ben, lain perkara bila yang memang
"Pokoknya saya ingin kamu cari di mana rekaman CCTV tanggal 23 itu, Bang Sat," perintah Ben sembari menurunkan cangkirnya kemudian meletakkan di meja."Baik, Dok, nanti akan saya cari ke mana file tanggal 23, kalau sudah saya dapatkan akan saya langsung berikan pada Dokter," ucap Satria yang hanya bisa menghela napas karena harus menelan kekesalannya dipanggil Bang Sat oleh Ben. Tapi, karena saat ini memiliki salah ia menerima saja dipanggil Bang Sat, asal tidak dipecat karena saat ini cari kerja sangat susah."Ya sudah, kamu lebih baik kembali ke ruang keamanan dan selidiki ini semuanya," perintah Ben dan langsunh diiyakan oleh Satria, ia dengan cepat meninggalkan ruangan bersama semua perlengkapan miliknya.Ben dengan akhirnya berbincang dengan Irawan untuk membahas apa yang akan mereka lakukan selanjutnya karena menurut dirinya ini masalah yang harus diselesaikan secepatnya."Wan ... gimana ini?" bisik Sonya sembari melirik Awan dengan pandangan campur aduk, rasanya ia ingin muntah
"Kamu tau gosip sekarang?" tanya Ina pada beberapa perawat yang sedang makan siang di kantin rumah sakit."Gosip apa? Kalau Bang Sat menang judi togel?" tanya Aci salah satu perawat bagian anak di rumah sakit."Lah, dia menang? Pantes dia bayar hutang kemarin," jawab Mey yang sama-sama berprofesi sebagai perawat namun bagian kamar mayat. "Bukan, ini gosip lebih sensasional," ucap Ina sembari menyendok basonya dan memakannya lahap. Rasa lapar tidak menyurutkan keinginannya untuk berghibah dengan rekan-rekan sejawatnya, ayolah apa enaknya bekerja tanpa berghibah tidak asik. Ghibah adalah kehidupannya, tanpa ghibah hidupnya bagai sayur kurang garam. Anyep."Apa? Gosip apa? Uang bonus kerja udah turun? Gaji bakal turun sebelum tanggal 28?" tanya Mey dengan semangat 45, berbeda dengan Ina yang hobi bergosip, hobi Mey adalah mengumpulkan pundi-pundi uang menjadi orang kaya adalah tujuan hidupnya yang hakiki."Ini lagi, duit mulu," ucap Aci yang hidupnya selurus penggaris."Eh ... yang penti
"Kamu kenapa?" tanya Lidya yang duduk di depan Sonya sembari memberikan makan siang ke hadapan sahabatnya yang terlihat memikirkan banyak hal."Mampus aku, Lid, mampus," rutuk Sonya sembari menepuk-nepuk dahinya yang sudah dari tadi terasa pusing seperti di himpit palu godam."Kenapa? Kamu kayanya semenjak cerai hidupnya penuh dengan kemalangan, ada cita-cita balik lagi ke Emir?" goda Lidya yang langsung mendapatkan pelototan maut dari Sonya."Kamu nggak ada keinginan balik ama David?" Sonya menyebutkan nama mantan suami Lidya yang satu sekte dengan Emir, iya ... sekte dajal."Ogah," jawab Lidya cepat sembari mengambil air mineral, "bayar psikolog buat memperbaiki mental aku aja kayanya lebih mahal dari pada biaya nikah ulang di KUA."Lidya bergidik membayangkan dirinya kembali menikah dengan David, rasanya ia lebih baik diminta untuk bekerja 48 jam nonstop di rumah sakit selama 20 tahun dari pada harus menikah kembali dengan mantan suaminya yang hampir membuat dirinya hilang akal."S
Tok ... tok ... tok .... "Masuk." Sonya dengan penuh percaya diri masuk ke dalam kantor Ben, senyumannya tidak hilang dari wajah cantik Sonya. Ia berjalan ke arah meja Ben, "Boleh saya duduk, Dok? Ada yang ingin saya bicarakan." Ben menatap Sonya dari balik kacamatanya, seingatnya baru tadi pagi Sonya dan Awan meninggalkan ruangannya lalu itu semua belum ada 10 jam yang lalu tapi, wanita itu sudah kembali lagi ke ruangannya entah karena apa. "Duduk, waktu saya sedikit dan ini sudah jam 9 malam." Sonya duduk dengan anggun di tempat duduk yang disediakan, tatapannya terlihat teguh membalas tatapan Ben yang dari tadi menatapnya dengan tatapan penuh intimidasi. "Maaf mengganggu, Dokter Ben, tapi, ada yang mau saya sampaikan." Ben melepaskan kaca matanya dan menyimpan di atas meja, ia yakin kalau Sonya ingin mengungkapkan sesuatu yang penting pada dirinya. "Apa? Kamu mau menyampaikan apa?" Sonya mengambil napas untuk meneguhkan keputusannya sebelum menyerahkan map yang tadi sudah dili