Sonya menyalakan lampu ruang keluarga, matanya sedikit memicing saat semua lampu ruang keluarga Awan menyala. Ia dengan cepat menghempaskan bokongnya di atas sofa dan menyandarkan tubuhnya, berusaha untuk menghilangkan rasa lelah.Hari ini adalah hari yang paling melelahkan bagi Sonya, di mana ia harus melakukan operasi yang sangat banyak dan salah satunya adalah mengoperasi Miska, lalu bercinta dengan jantung berdebar di tangga darurat dan berakhir dengan rasa malu karena dokter yang mengganggu mereka bercinta adalah Lidya dan Eka.“Astaga ... Sonya, kok kamu bisa sih seceroboh itu?” tanya Sonya sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya, rasa malu dengan cepat merayap ke seluruh tubuhnya. Membayangkan Lidya yang melihat dirinya sedang bercinta dengan Awan membuat Sonya kembali merutuki kebodohannya.“Argh ... bodoh kamu Sonya,” maki Sonya sembari memukuli kepalanya dengan kedua tangannya pelan.“Siapa yang bodoh?” tanya Awan yang sudah berdiri di belakang Sonya, ia baru sampai
Sonya menggerakkan tubuhnya, merenggangkan tubuhnya yang kaku karena sudah tertidur terlalu lama. Tangannya menggapai headboard dan kakinya ia regangkan sejauh mungkin, setelah puas ia menghela napas dan mengok ke samping lalu mendapati Awan yang sedang tertidur pulas menghadap dirinya.Tangan Sonya tanpa sadar menyentuh bulu mata Awan yang panjang, rasa iri dengan cepat memenuhi diri Sonya. Sebagai pria Awan sangat menawan, bulu matanya lentik, hidungnya mancung dan pipinya terasa kasar akibat bulu-bulu halus yang belum Awan pangkas."Kamu kenapa bisa suka sama aku, sih?" tanya Sonya pelan sembari mengusap pucuk hidung Awan, "aku janda tanpa anak yang nggak bisa kasih kamu anak, aku nyebelin dan suka bikin kamu pusing. Aku juga galak di tempt kerja, judes, dan suka marah-marah."Sonya mendekatkan tubuhnya lebih dekat dengan Awan, merapatkan tubuhnya dengan tubuh hangat Awan adalah hal paling menyenangkan bagi Sonya.Belakangan ini Sonya memang tinggal dengan Awan, tapi, dia sama seka
“Nggak ....”“Hah? Kamu nggak mau aku nikah sama kamu? Kamu masih ingin berlian yang gede?” tanya Awan sewot saat mendengar jawaban Sonya, rasanya ia ingin meremas wajah Sonya yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan tanpa dosa andalannya.Apa maksud Sonya menolak ajakan menikah darinya? Masih kurang, kah, pengorbanannya untuk mendapatkan Sonya. Rasanya semuanya sudah ia lakukan untuk mengunci Sonya agar mau menerima dirinya, walaupun hingga saat ini Sonya tidak pernah mengungkapkan kalimat cinta sama sekali pada dirinya.“Sonya, tolong jangan bikin aku pusing dan stres, kamu beneran nggak mau nikah sama aku?” ulang Awan.Sonya mengangkat kakinya dan duduk di hadapan Awan, kedua tangannya menyentuh kepala Awan. Sonya mengecup bibir Awan beberapa kali hingga membuat Awan kebingungan.“Sonya, sumpah ya, kalau kamu nggak mau nikah sama aku mending kamu nggak cium-cium aku kaya gini. Jadi, ambigu tahu,” tolak Awan sembari menahan Sonya agar tidak menciumnya lagi, tapi Sonya seolah m
Suara sepatu Sonya yang khas terdengar di sepanjang lorong rumah sakit, beberapa orang yang mengenal Sonya langsung menyapanya dan juga Awan yang berjalan di belakang Sonya.Sonya beberapa kali tersenyum pada mereka yang menyapa dan kembali berjalan sambil menulikan kupingnya karena Sonya sadar betul setelah Sonya dan Awan melewatinya, bibir mereka dengan cepat bergunjing secepat kecepatan roket.Kuping Sonya sudah panas dan ia sudah merasa muak mendengar gunjingan mengenai dirinya dan Awan. Saat ini di pikiran Sonya hanya ada masalah obat yang hilang dari lemari obat yang ada di ruangannya, ke mana obat itu?"Kamu nggak salah denger?" tanya Sonya kaget saat mengetahui kalau 30 ampul obat meperinde bisa hilang dari lemari kaca miliknya. Seingatnya dia selalu mencatat dengan baik pemakaian obat-obatan dan selalu menghitung ulang semuanya dengan seksama."Nggak, Sonya itu tadi Eka yang kasih tau, Eka mungkin menyebalkan tapi, kalau masalah seperti ini nggak mungkin Eka bohong," ucap Awa
"Masuk ...."Awan membuka pintu ruangan dan mendapati Ben sedang duduk di kursinya, mata Ben terlihat menatap Awan dan Sonya dari balik kacamata bacanya. Entah kenapa Awan merasa kalau Ben terlihat lebih tua dari Akinya, padahal Aki Romli adalah kakak Dokter Ben yang notabene emirnya lebih tua beberapa tahun dengan Dokter Ben."Permisi, Dokter saya dan Dokter Sonya ingin membicarakan mengenai obat yang hilang," ucap Awan to the point karena menurut dirinya untuk apa menutupi maksud dan tujuannya ke sana, toh, Dokter Ben yang meminta mereka untuk menghadap melalui Eka."Duduk," jawab Ben dingin sambil menunjuk kedua kursi yang ada di hadapannya, wajahnya terlihat sangat masam dan lelah.Sonya mencoba menyeret kakinya menuju kursi yang ditunjuk oleh Ben walau jantungnya saat ini sedang bertalu-talu akibat rasa takut dan bersalah karena kehilangan obat. Masalahnya bukan jumlah ampul yang hilang, tapi, lebih pada jenis obat yang hilang karena meperidine itu sudah termasuk obat antiopioid
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Satria saat dirinya menunjukkan batang hidungnya di ruangan Ben sambil membawa tas besar yang berisikan perlengkapan keamanan miliknya. "Masuk," ucap Ben pada Satria dan saat masuk ternyata Satria tidak sendirian dia datang bersama dengan kenalan polisi yang Ben telepon tadi. "Oh, Pak Irwan, silakan masuk." Irwan dan Satria masuk dan duduk di sofa yang memang ada di ruangan Ben yang cukup besar tersebut. Di sofa sudah ada Awan, Sonya dan Ben yang duduk menunggu kedatangan Satria dan Irwan. "Ada yang bisa saya bantu?" Irwan berbasa-basi pada Ben, walaupun dirinya sudah tau duduk persoalannya. "Seperti yang sudah saya bicarakan ditelepon, semua saya anggap sudah jelas. Jadi, saat ini saya hanya ingin Pak Irwan menjadi saksi saat Bang Sat, mencek CCTV," ucap Ben sembari menunjuk Satria. Satria hanya bisa meringis saat namanya disingkat menjadi Bang Sat, ia sama sekali tidak bisa marah karena yang memanggilnya adalah Ben, lain perkara bila yang memang
"Pokoknya saya ingin kamu cari di mana rekaman CCTV tanggal 23 itu, Bang Sat," perintah Ben sembari menurunkan cangkirnya kemudian meletakkan di meja."Baik, Dok, nanti akan saya cari ke mana file tanggal 23, kalau sudah saya dapatkan akan saya langsung berikan pada Dokter," ucap Satria yang hanya bisa menghela napas karena harus menelan kekesalannya dipanggil Bang Sat oleh Ben. Tapi, karena saat ini memiliki salah ia menerima saja dipanggil Bang Sat, asal tidak dipecat karena saat ini cari kerja sangat susah."Ya sudah, kamu lebih baik kembali ke ruang keamanan dan selidiki ini semuanya," perintah Ben dan langsunh diiyakan oleh Satria, ia dengan cepat meninggalkan ruangan bersama semua perlengkapan miliknya.Ben dengan akhirnya berbincang dengan Irawan untuk membahas apa yang akan mereka lakukan selanjutnya karena menurut dirinya ini masalah yang harus diselesaikan secepatnya."Wan ... gimana ini?" bisik Sonya sembari melirik Awan dengan pandangan campur aduk, rasanya ia ingin muntah
"Kamu tau gosip sekarang?" tanya Ina pada beberapa perawat yang sedang makan siang di kantin rumah sakit."Gosip apa? Kalau Bang Sat menang judi togel?" tanya Aci salah satu perawat bagian anak di rumah sakit."Lah, dia menang? Pantes dia bayar hutang kemarin," jawab Mey yang sama-sama berprofesi sebagai perawat namun bagian kamar mayat. "Bukan, ini gosip lebih sensasional," ucap Ina sembari menyendok basonya dan memakannya lahap. Rasa lapar tidak menyurutkan keinginannya untuk berghibah dengan rekan-rekan sejawatnya, ayolah apa enaknya bekerja tanpa berghibah tidak asik. Ghibah adalah kehidupannya, tanpa ghibah hidupnya bagai sayur kurang garam. Anyep."Apa? Gosip apa? Uang bonus kerja udah turun? Gaji bakal turun sebelum tanggal 28?" tanya Mey dengan semangat 45, berbeda dengan Ina yang hobi bergosip, hobi Mey adalah mengumpulkan pundi-pundi uang menjadi orang kaya adalah tujuan hidupnya yang hakiki."Ini lagi, duit mulu," ucap Aci yang hidupnya selurus penggaris."Eh ... yang penti