“Maafkan, Ibu, Sonya.”Perkataan Parwati seolah mengguyur tubuh Sonya dengan perasaan sejuk dan tenang, setelah berhari-hari Sonya merasa sangat sakit hati dengan perkataan dan perilaku Parwati pada dirinya tiba-tiba saja wanita itu meminta maaf pada dirinya, membuat ia merasa sangat tenang dan damai. Seolah semua beban, rasa sakit hati, tidak dihargai, merasa kecil dan sedikit merasa bersalah terangkat dari bahunya. Ringan.“Bu ....” Sonya mengecup punggung tangan Parwati pelan membuat wanita itu mengelus pucuk kepalanya lebih lembut lagi membuat Sonya merasakan kehangatan seorang Ibu yang sangat Sonya rindukan.“Sonya, maafkan Ibu, Ibu tidak menyangka kalau Emir sudah menyiksa kamu seperti itu, kenapa kamu nggak bilang, Nak?” tanya Parwati lagi.“Aku nggak bisa bilang karena aku nggak mau Ibu kenapa-kenapa, aku sayang sama Ibu, aku a-aku, a-aku udah nggak punya orang tua lagi, cuman Ibu yang aku punya dan aku nggak mau Ibu ninggalin aku, Ibu terlalu baik untuk disakit hatikan,” ucap
Awan hanya bisa memamerkan deretan gigi putihnya pada adik terkecil kakeknya itu, namanya sudah sangat dikenal dikeluarga besarnya sebagai seorang trouble maker hingga membuat ia kebal dengan segala keluhan mereka. "Ketawa lagi, aduh ... nggak kebayang Romli ngurus kamu, dari darah rendah bisa melonjak jadi darah tinggi," dengus Ben sembari menggeleng dan mengusap keningnya yang mendadak pusing saat berhadapan dengan Awan."Nggak usah dipikirin Dok, Dokter nggak kuat biar Aki aja yang mikirin," canda Awan yang langsung mendapatkan sebuat delikan penuh amarah dari Ben."Aduh ... mana obat simvastatin saya, bisa jantungan saya ngobrol sama kamu lama-lama." Ben mencari obat dari dalam lokernya.Awan hanya bisa tertawa melihat tingkah kakeknya ini, dari dulu keluarga kakeknya memang berpendidikan tinggi tapi kelakuannya lucu-lucu dan hampir semuanya bekerja di bidang medis. "Itu, Dok." Awan menunjuk salah satu obat di ujung laci dan dengan cepat ia beranjak dari duduknya untuk mengambil
"Ibu ... Ibu ...," isak Sonya sembari membenamkan wajahnya di dada Awan, air mata dengan cepat membasahi kemeja Awan."Kenapa?" tanya Awan seraya mendorong badan Sonya agar dirinya bisa melihat wajah Sonya yang sudah basah karena air mata."Aku ... aku ... aku ... Ibu ... Ibu ...." Sonya terbata-bata dan menatap Awan kebingungan seolah bingung akan mengatakan apa."Sonya, Sayang ... kamu kenapa? Mantan mertua kamu itu kenapa?" tanya Awan bingung karena Sonya terlihat histeris."Ibu meninggal, Wan. Ibu meninggal," ucap Sonya sembari mengeratkan pelukkannya, berjuang menahan bobot tubuhnya agar tetap berdiri tegak walau lutut Sonya sudah tidak mampu menopang tubuhnya sama sekali.Awan dengan cepat memeluk Sonya dengan lebih erat lagi, beberapa kali Awan kecup bagian atas kepala Sonya agar wanita itu bisa tenang dan diam. "Tenang, Sonya ... tenang.""Wan ... aku, aku harus gimana? Ibu meninggal, aku nggak punya orang tua lagi, Ibu meningal dan semuanya ninggalin aku." Sonya menyadari saa
"Awan?" tanya Sonya kaget saat berbalik dan mendapati Awan sedang berada di belakangnya, kulit punggungnya terasa hangat karena dada Awan dan bercampur dinginnya air yang mengalir membasahi tubuh Sonya. "Apa?" tanya Awan santai sambil mengusap bahu Sonya pelan, membuat wanita itu meremang."Kamu mau apa?" tanya Sonya saat jemari Awan menyusup ke belakang kepalanya dan Sonya terhentak saat rambutnya ditarik kebelakang dan diputar perlahan hingga wajahnya menghadap Awan kedua kalinya. "Ah ...."Awan terkesiap saat mendengar desahan Sonya dan wajah juga bibir Sonya yang sensual, bibir kekasihnya itu terbuka, basah dan terlihat menggoda, meraungkan gairah di setiap inci tubuhnya yang dengan cepat membuat kejantanannya mengeras sempurna tanpa butuh rangsangan apa pun juga. "Aku mau mandi, Wan," bisik Sonya sembari meremas spon mandi miliknya saat merasakan Awan yang tegang di belakang tubuhnya. "Awan ....""Mandi aja, anggap aja aku nggak lagi di sini, anggap aja aku bukan siapa-siapa,"
Sonya meliukkan lidahnya di bagian ujung batang kenikmatan Awan, lidahnya bergerak naik dan turun. "S-Sonya," erang Awan saat Sonya memasukkan seluruh batang kenikmatan miliknya ke dalam mulutnya yang mungil, Awan terkesiap saat merasakan sentuhan hangat Sonya di setiap inci kejantanannya. Kenikmatan itu dengan cepat menggempurnya, tanpa sadar tangannya meraba bagian belakang kepala Sonya dan menekannya, membenamkan lebih banyak lagi batang kenikmatan miliknya. Sonya mengisap dan meliukkan lidahnya dengan ahli, membuat Awan meracau memanggil namanya terus menerus. Sonya melepaskan kulumannya dan mulai meliukkan lidahnya dari bagian dalam ke bagian pucuk batang kenikmatan, Sonya mengecupi dan terus meliukkan lidahnya di sana membuat Awan mengeram sambil mencengkeram pucuk rambut Sonya. Pinggul Awan bergerak maju mundur, menikmati setiap inci bagian dalam bibir Sonya yang memerangkapnya dengan erat, lidah Sonya yang hangat seolah menggempurnya dengan gempuran kenikmatan yang meledak d
Sonya merasakan pipinya terasa hangat dan bergerak naik dan turun, sesekali terdengar suara bersin yang membuat Sonya terbangun dari tidurnya. Dengan malas Sonya mengangkat kepalanya dan menengok melewati bahunya lalu mendapati Awan yang sedang menutup hidungnya dengan tisu.“Kamu kenapa?” tanya Sonya kaget saat melihat hidung Awan yang sudah memerah karena digosok tisu.“Ah ... astaga, aku kayanya flu,” jawab Awan dengan suara bindeng dan serak, sesekali Awan menghirup ingusnya dan batuk beberapa kali.Sonya dengan cepat menjangkau laci yang ada di samping ranjang dan mendapatkan termometer dari sana, akibat itu semua payudaranya menekan wajah Awan yang terasa panas.“Nggak bisa napas, Sonya, aku suka payudara kamu. Tapi, sekarang aku nggak bisa napas, Sayang,” bisik Awan yang berusaha bernapas di antara payudara Sonya yang kenyal, andai ia tidak sakit mungkin saat ini Ia sudah menggigit puting Sonya atau mengulumnya dan berakhir dengan teriakkan Sonya meminta ampun. Tapi, sayangnya
"Asin?" tanya Sonya kaget dengan perkataan Awan, dengan cepat ia mencoba bubur yang ia buat karena selama proses memasak Sonya sama sekali tidak mencicipinya sama sekali, ia hanya mengikuti resep yang ada di salah satu Channel Youtube. Dengan cepat Awan menyentuh tangan Sonya dan mengambil mangkok dan sendoknya, "Aku makan sendiri aja." "Eh ... katanya asin," ucap Sonya sembari mengembikkan mulutnya karena merasa sedikit tersinggung kerja kerasnya memasak selama satu jam disebut asin. "Asin?" Awan sadar kalau Sonya merasa sakit hati dengan kata-katanya, Awan yakin kalau Sonya membuat buburnya ini sesuai dengan resep yang ia lihat entah di mana. "Iya, kata kamu tadi asin," ucap Sonya sembari mencoba mengambil sendok yang ada di tangan Awan, berusaha untuk mencicipi buburnya. "Nggak aku nggak bilang asin, aku bilang ...." Awan berjuang memikirkan kata yang pas dan rada mirip dengan kata asin, nihil otaknya tiba-tiba tidak dapat berpikir sama sekali. Buntu. "Wan ... sini aku cob—"
“Is oke … Sonya kamu ada aku,” bisik Awan pelan membuat Sonya hanya bisa menghela napas dan menangis pelan. “Aku nggak paham lagi, aku kaya selalu salah di mata semua orang. Orang-orang yang aku sangka teman ternyata mereka bukan teman dan orang-orang yang benar-benar baik sama aku satu persatu ninggalin aku,” isak Sonya yang mencurahkan kepedihannya pada Awan berusaha untuk mengutarakannya sebaik mungkin padahal perasaannya saat ini sedang porak poranda.“Orang tua aku, kedua mertua aku, anak aku, dan psikolog aku, semuanya tinggalin aku sendirian. I am feel alone, Wan.” Sonya mengusap air matanya dan merapatkan diri ke tubuh Awan.“Is oke, kamu masih punya aku.”“Aku nggak punya apa-apa lagi, rumah hasil kerja keras dan warisan dari kedua orangtua aku sudah dijual. Mobil aku udah diambil dan semuanya milik aku udah nggak ada, untungnya ada kamu yang mau nampung aku,” isak Sonya yang masih merasa sedih mendengar keputusan pengadilan yang mengatakan kalau semua harta miliknya tetap s