"Hai ... mau boba?" tanya Awan sambil menyerahkan tempat minum yang berisikan boba kesukaan Sonya.
"Wan ... dapet boba dari mana? Kamu belinya kapan? Seingat saya kamu abis keluar dari ruang operasi," tukas Lidya bingung kenapa Awan bisa mendapatkan boba untuk Sonya setiap saat dan waktu.
"Aku pesen, Dok, emang cepet itu ojek onlinennya. Kan, toko boba-nya dekat," jawab Awan sambil memberikan satu gelas ke tangan Lidya.
"Aku dapet juga?" tanya Lidya kaget karena mendapatkan jatah dari Awan.
"Iya, buy 2 get 1, kalau nggak gratis, yah, Dokter Lidya nggak bakal dapet," jawab Awan santai.
"Asem ...," maki Lidya seraya menusukkan sedotannya. "Udah ... aku masih banyak operasi, mana mulai besok aku harus kerja keras bagai kuda buat gantiin orang liburan."
S
Mau ngapain Sonya ke Gunung Kidul? Mau cari wangsit? Atau mau cari dukun buat nyantet online Emir? Entahlah … suka-suka Sonya ajalah …. And BTW Gallon ucapkan Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankannya, dan karena kita berpuasa jadi, cerita ini akan update pada malam hari, yah. Untuk mengurangi hal-hal yang diinginkan hahaha …. Xoxo Gallon yang Puasa Kellon Temui Gallon di @storyby_gallon (baik di I*g ataupun F*b)
“Kamu mau apa ke Gunung Kidul? Nyari dukun?” tanya Awan kaget dengan tujuan wisata Sonya yang lain daripada yang lain, kebanyakan wanita pergi ke Bali atau ke luar negeri, kenapa Sonya malah pergi ke Gunung Kidul?“Ngaco ... ngapain aku nyari dukun? Nggak guna, mau dukuni siapa? Mau dukuni kamu?” tanya Sonya sembari menyentil hidung Awan kesel karena sudah memukul pahanya dengan keras, Sonya yakin kulit kakinya akan merah karena tamparan Awan. Menyebalkan.“Mungkin.”“Nggak didukuni aja kamu lengket banget sama aku, gimana aku dukuni, bisa-bisa aku nggak bisa keluar rumah sama sekali,” protes Sonya sembari duduk di samping Awan dan meminum bobanya.“Kamu butuh di temani?” tanya Awan sembari mengusap pucuk rambut Sonya pelan, membenamkan tangannya di rambut Sonya terasa menyenangkan.Sonya menggeleng cepat, ia benar-benar membutuhkan waktu sendirian. Ia hanya ingin berlibur dan kembali ke J
“Emir ...,” panggil Parwati saat melihat anaknya masuk ke dalam ruangan, kesehatannya sedikit demi sedikit pulih dan dokter hanya mengatakan kalau dia saat ini hanya membutuhkan istirahat yang cukup juga menjaga kesehatannya dengan baik. Ia tidak boleh lagi terkena serangan jantung lagi, karena bisa sangat membahayakan nyawanya. “Iya, Bu.” Emir mendorong kursi roda memasuki ruangan Parwati, ini adalah hari terakhir Ibunya dirawat dan saatnya pulang. “Muka kamu kenapa?” tanya Parwati bingung dengan wajah Emir yang tidak karu-karuan, “kamu dirampok?” tebak Parwati, karena tidak mungkin Emir berkelahi dengan orang lain. Emir bukan anak kecil yang berkelahi untuk menyelesaikan masalah. Emir ingin mengatakan kalau ini semua perbuatan selingkuhan Sonya, tapi, tadi ia baru berbicara dengan dokter mengenai kesehatan Parwati yang mau tidak mau membuat Emir mengurungkan niatnya, “Jatuh.” “Kok, bisa, Nak?” tanya Parwati khawatir, ia dengan cepat mengelus wajah E
"Eka ...," panggil Lidya saat melihat penata anestesi bimbingannya itu sedang menari dengan gemulainya di ruang perawat UGD. Eka menghentikan tariannya dan tampak malu karena ketahuan sedang merekam dirinya untuk salah satu aplikasi sosial media yang sedang terkenal. "Eh ... Dokter, masuk, Dok, anggap aja rumah sendiri." Lidya menepuh dahinya kesal, sejak kapan ruang perawat UGD jadi rumah Eka? Otak penata anestesinya ini benar-benar butuh diruqyah. "Sejak kapan kamu tinggal di sini? Rumah kamu digusur apa, sampai harus tinggal di fasilitas rumah sakit?" "Hehehe ... canda, Dok, serius amat, sih, Dok," ungkap Eka sembari menunjukkan deretan gigi putihnya, yang membuat Lidya mengingat senyuman kuda lumping. "Aku boleh nanya nggak, sih?" tanya Lidya sembari masuk ke dalam ruangan dan menyandarkan tubuhnya di meja, sedangkan tangannya mengambil rek
Mata Sonya memicing saat melihat matahari yang bersinar terang di atas kepalanya, sepertinya Yogyakarta kali ini sedang dalam kondisi panas terik hingga membuat Sonya mau tidak mau mengeluarkan kaca mata hitamnya.Tring ....Sonya mengambil ponselnya dan tersenyum saat mendapati chat dari Lidya yang memintanya untuk bersenang-senang dan jangan lupa membawa oleh-oleh sebanyak-banyaknya untuk dirinya juga kedua anaknya."Sonya Fauzia ... Ibu Sonya Fauzia ....""Iya," sahut Sonya sembari mendekati seorang pria berperawakan tegap dan berumur sekitar pertengahan 20 tahunan atau 30 tahun awal. "Saya Sonya.""Mbak Sonya?" tanya lelaki itu sembari menurunkan kaca mata hitamnya."Iya, saya Sonya, Mas yang disuruh jemput saya dari hotel?" tanya Sonya berusaha ramah karena
"Mbak ... nanti kalau Mbak mau makan atau mau jalan-jalan, Mbak bisa hubungi saya, Mbak," ucap Adit sambil memberikan kartu namanya. "Oh ... iya, makasih Mas, nanti kalau saya ada apa-apa pasti saya hubungi, kok. Tapi, emang Masnya nggak kejauhan?" tanya Sonya yang sadar kalau saat ini hotel yang ia tempati berada di pelosok Gunung Kidul dan jauh dari kota."Nggak, Mbak, malah deket." Adit menggaruk bagian belakang kepalanya, "rumah saya di sana." Adit menunjuk sebuah rumah yang ada di bagian depan hotel.Sonya memanjangkan lehernya dan mendapati sebuah rumah tinggal bergaya sederhana namun asri yang masih di dalam kawasan hotel, "Eh ... kamu yang punya hotel?"Adit mengangguk, sebenarnya tour guide yang menemani Sonya izin sakit di saat-saat terakhir hingga membuat Adit harus turun tangan dan menjemput Sonya. "Iya, Mbak ... tapi, kalau ada apa-apa langsung bilang aja.""Oh ... oke, makasih banyak, yah." Sonya berusaha tersenyum lebih ra
"Mau ke mana?""Mau ke Yogyakarta," jawab Awan sembari menghentikan langkahnya, ia memutar tubuhnya dan mendapati Romli, kakeknya sedang menatapnya. "Mau ngapain? Dagang wayang?" tanya Romli sembari mengatuk-ngatukkan tongkatnya ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang membuat Awan menyerngit."Ya kali dagang wayang, Ki." Awan membenarkan letak tas ranselnya yang ia selempangkan di bahu. "Awan nggak ada jiwa dagang.""Mau ngapain atuh ke Yogyakarta?" tanya Romli dengan tatapan menyelidik, ia benar-benar harus mengawasi kelakuan cucu laki-laki satu-satunya ini. Kelakuan Awan yang sudah sering membuat dirinya olah raga jantung dari semenjak Awan puber membuat Romli harus melakukan penjagaan extra."Mau jalan-jalan," dusta Awan sembari tersenyum tengil, nggak mungkin Awan bilang kalau dia mau bertemu Sonya dan menghabiskan malam-malam penuh dengan desahan bersama Sonya. Nggak mungkin, bisa habis ia di maki-maki dan disumpahi kakeknya itu.
"Sore, Mbak," sapa Adit yang melihat Sonya berjalan ke arah restoran."Sore," jawab Sonya pendek, Sonya hanya melihat sekilas dan kembali melanjutkan jalannya."Jalan, Mbak?"Sonya mengerutkan keningnya saat mendengar pertanyaan Adit, tentu saja dia jalan. Memang Adit sangka dirinya merangkak? Ya ampun ... makin aneh saja pertanyaan orang-orang disekitarnya. "Iya, jalan, Mas ... Mas liat saya jalan, kan? Bukan merangkak."Adit salah tingkah mendengar jawaban Sonya, tamunya ini benar-benar judes dan dingin. Hanya sekali ia melihat Sonya tersenyum manis dan tertawa terpingkal-pingkal, iya ... dia hanya melihatnya saat Sonya menelepon seseorang yang ia bilang bukan suaminya, kemarin. "Maksud saya, udah sarapan Mbak Sonya mau saya antar jalan?" Adit menjelaskan maksud perkataannya tadi."Oh ... iya, saya mau jalan. Tapi, saya bingung mau ke mana," jawab Sonya yang sebenarnya ingin bersantai tapi, ia bingung mau ke mana. "M
Awan dengan kesal menendang angin saat mendengar jawaban Sonya, rasa kesal bercampur gemas menyelimuti dirinya. Ini kali pertama Awan kalah dari Sonya, biasanya ia selalu menang melawan Sonya. Bahkan, Sonya terkadang tidak bisa berkutik bila Awan sudah berbicara."Sonya, kamu benar-benar, yah," rutuk Awan sembari meremas ponselnya dan mulai mencari rental mobil."Mister, car ... car, need car, Mister," ucap seorang pegawai rental yang terdapat tulisan Yono di dadanya.Awan mendekati Yono dan tersenyum, ia sangat membutuhkan mobil matic untuk menyusul Sonya di Gunung Kidul. Astaga ... Awan masih kesal karena Sonya menginap di kawasan Gunung Kidul, kenapa harus Gunung Kidul, sih? Kenapa nggak di Malioboro atau di mana pun yang jaraknya hanya setengah jam dari bandara."Mister, nee
Hai semua pembacaku sayang ....Gallon ucapkan terima kasih sudah membaca hingga akhir kisa perjalanan cinta Awan dan Sonya. Sebuah kisah yang pelik, berat dan penuh gairah dari Awan dan Sonya.Kisah yang dimulai dari sebuah pengkhianatan, rasa benci, dan mamaki diri akibat sebuah kekurangan yang menjadikan diri Sonya membenci dirinya dan melupakan rasa dicintai juga mencintai.Sebuah kisah dengan akhir yang manis namun dibalut sebuah kenyataan hidup, sebuah kenyataan yang membuat kita sadar kalau kita hidup di dunia ini tidaklah selamanya. Secinta apa pun kita pada seseorang ingatlah ada maut yang memisahkan namun, yakinlah maut juga yang akan menyatukan kalian kembali. Cerita ini harus berakhir di sini, cerita manis ini harus berakhir secara sedih namun tetap dibalut senyum bukan sebuah tangis. Cerita cinta Sonya dan Awan tidak akan ada kelanjutannya, semuanya sudah jelas dan mereka sudah sangat berbahagia dengan kehidupannya. Gallon harap semua yang membacanya puas dengan akhir ki
Tit ... tit ... tit ....Suara alat yang memonitor jantung Awan terdengar memilukan di kuping Hana dan Haikal, sudah lima hari mereka berdua berjaga di sana bergantian dan tidak mau meninggalkan Awan, semenjak Awan terjatuh dari kamar mandi."Hana, Haikal bisa keluar?" tanya Daniel melalui celah pintu kamar.Hana dan Haikal saling tatap lalu keluar dari kamar, sebelumnya mereka berdua mengecup kening Awan pelan. Setelah di luar Hana dan Haikal bertemu dengan Daniel dan juga Adara bersama seorang dokter. Mereka tahu siapa dokter itu, dokter itu adalah Dokter Intan, adik almarhum mama mereka."Tante ada apa?" tanya Hana sambil berdiri di samping Daniel, spontan suaminya itu merangkul bahunya pelan mencoba menguatkan Hana."Ada yang salah sama Daddy?" tanya Haikal sambil merangkul pinggang istrinya, mencoba mencari ketenangan dari tubuh istrinya itu.Intan mencoba tersenyum sebaik mungkin walau ia sadar kalau ia tidak bisa menipu Hana dan Haikal yang sudah mengenal dirinya dengan sangat b
Tangan Awan terus bergerak mengelus nisan Sonya, disetiap tarikan napasnya ia merasakan rasa rindu yang menusuk nan sakit. Ia rindu memeluk Sonya, mengecupi tubuh istrinya, dan tidur di samping wanita yang sudah menemaninya selama 37 tahun. Jemari Awan terus bergerak, sesekali terdengar suara tarikan napas berat Awan. Matanya mulai buram akibat menahan air mata yang selalu jatuh ke tanah setiap ia datang ke sana untuk bertemu Janu dan Sonya.Masih segar di ingatannya saat Sonya pergi meninggalkan dirinya di pelukkannya. Sonya kalah dan menyerah pada penyakitnya, wanita itu pergi meninggalkan dirinya tiga tahun lalu. Sonya menyerah pada penykitnya, Sonya meninggalkan dirinya sendirian di dunia. Maut sudah memisahkan mereka, mengakhiri sebuah dongeng cantik nan bahagia yang selama ini Awan dan Sonya rajut. Menikah dengan Sonya adalah sesuatu yang sangat Awan sukai. Setiap harinya selalu Awan lewati dengan perasaan senang dan bahagia, walau ada beberapa kali mereka menemui hambatan ke
37 Tahun Kemudian .....Awan mematut dirinya di depan kaca sambil menarik-narik kemejanya. Ia sesekali tersenyum sambil mengusap-usap bagian rambutnya yang sudah memutih termakan usia. Ia sekali lagi memutar tubuhnya memastikan kalau tampilannya sudah sesuai dengan apa yang ia harapkan.Tangan Awan mengambil parfume yang sudah ia pakai semenjak dahulu kala, seketika itu juga wangi laut menyeruak ke indera penciumannya. Mencium itu semua membuat ia ingat perkataan Sonya kalau menciumnya wangi tubuhnya seolah ia sedang berlibur ke pantai."Sonya," bisik Awan sambil tersenyum kembali ke arah cermin. Ah ... ia rindu pada istrinya, ia rindu pada celotehan istrinya itu. Tanpa sadar pikirannya menghitung sudah berapa lama ia menikahi Sonya. "37 tahun," bisik Awan yang mulai menghitung berapa lama ia sudah menikah dengan Sonya, wanita yang sangat ia cintai hingga masa tuanya itu. Tok ... tok ... tok ....Awan menoleh melalui bahunya dan mendapati pintu kamarnya di buka. Senyumannya melebar
"Mereka tidur di sini," ucap Lidya sambil membuka pintu kamar Tara.Sonya melihat Hana dan Haikal yang tidur di ranjang bersama Tara dan Amia. Terlihat kedua anaknya itu mengenakan piayama yang sama sambil memeluk sesuatu yang mereka bagi, Sonya tanpa sadar tersenyum melihat apa yang anak kembarnya itu peluk. "Aku nggak paham kenapa Hana dan Haikal meluk handuk, mereka tiap tidur selalu meluk handuk itu. Aku sampai sangka itu selimut tapi, aku liat-liat itu ternyata handuk," terang Lidya sambil mengambil tas si kembar yang sudah rapih di pojok kamar. "Itu anduk aku, mereka minta katanya buat mereka bawa." Sonya menahan tawanya sendiri saat mengingat keinginan si kembar, tanpa sadar tangan Sonya mengusap kening si kembar. "Ya ampun, manis banget ... padahal mereka bukan anak kamu secara biologis tapi, manis banget," ucap Lidya sambil mengusap kedua lengannya. "Iya ... aku bersyukur mendapatkan mereka berdua ... aku bersyukur dipertemukan dengan Awan dan diberkahi dua malaikat ini,"
"Bener-bener si kupret!" maki Eka sambil berjalan berlalu lalang di hadapan Lidya yang sedang membaca majalah dan sesekali melirik ke arah Eka.Eka kembali melihat jam yang ada di dinding rumah dengan geram, bagaimana tidak, waktu sudah menunjukkan jam 12 malam di hari senin dan bila jarum panjang jam bergerak sedikit saja maka hari sudah berganti menjadi hari selasa. "Bisa duduk nggak, sih?" tanya Lidya yang akhirnya kesal melihat Eka terus bergerak hilir mudik seperti setrikaan. "Duduk, sini." Lidya menepuk sofa yang ada di sampingnya berharap suaminya duduk di sana dan tenang. Sayangnya keinginannya tidak tercapai, Eka menggeleng sambil kembali hilir mudik dan memainkan ponselnya."Ini kupret satu, kebiasaannya ya Tuhan, dia bilang hari senin ... ini hari senin, bahkan ...." Eka melihat jam dinding dan menyadari jarum panjangnya sudah bergeser. "Udah hari selasa ... dasar manusia tanah sengketa, hobi bener bikin susah orang."Lidya hanya bisa menahan tawanya melihat kelakuan Eka y
Awan mengambil madu dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi menyusul Sonya yang sudah menghilang di dalam kamar mandi. Saat sampai di ambang pintu kupingnye mendengar suara gemericik air dari dalam tempat shower.Langkah kaki Awan terhenti saat ia melihat Sonya sedang membasahi sekujur tubuhnya dengan air hangat yang keluar dari pancuran. Siluet tubuhnya terlihat menggoda, tubuh sintal Sonya seolah meminta Awan untuk menyentuhnya. Napasnya makin tertahan saat ia melihat tangan Sonya menyentuh setiap inci tubuhnya dengan pelan dan sensual, ia suka melihat Sonya menyentuh tubuhnya sendiri, birahinya seolah dipuaskan melalu visual Sonya yang entah bagaimana caranya selalu menjadi magnet untuk dirinya. Sonya berbalik dan mendekati Awan selangkah demi selangkah, seolah setiap langkah yang Sonya lakukan sebagai sebuah tombol yang lagi-lagi membuat pria itu menggemeretakkan giginya menahan hasrat liar yang sudah meronta untuk dilepaskan detik itu juga."Nggak buka baju?" tanya Sonya sambil
"Aku nggak sanggup lagi, Wan," tolak Sonya sambil mendorong piring sejauh mungkin dari hadapannya, perutnya seolah akan meledak karena sudah menghabiskan banyak sekali hidangan laut yang tersaji."Terus ngapain kamu pesen makanan sebanyak ini?" tanya Awan kesal sambil menunjuk hidangan laut yang ada di hadapannya. "Yah tadi, keliatannya enak semuanya jadi aku pesen," kilah Sonya sambil mengambil garpu dan menusuk-nusuk udang yang ada di atas piring. Sonya mengakui kalau makanan itu enak tapi, rasanya perutnya sudah tidak mampu lagi menerima makanan lebih banyak lagi."Terus ini gimana? Aku udah bilang tadi, pesen seperlunya aja, jangan lapar mata, Sonya," ucap Awan sambil melihat meja makannya yang masih terhidang cumi saus padang, udang galah asam manis, kepiting bakar dan juga ikan bakar.Awan ingat tadi saat Sonya memesan semuanya ia sudah mengingatkan Sonya kalau mereka tidak akan mampu menghabiskan semuanya tapi, istrinya ini tetap pada pendiriannya ingin memesan semua makanan y
"Mommy baru sampai, Nak," ucap Sonya sambil duduk di sudut ranjang dan melihat Awan yang terlihat sibuk berbicara dengan petugas hotel."Iya ... Hana, 3 hari aja, Daddy kamu juga bilang tiga hari, kan, kalau lebih nanti biar Mommy yang pulang sendiri dan Daddy, Mommy tinggal di sini," lanjut Sonya sambil menyentuh handuk yang dibentuk angsa di atas ranjangnya. Matanya dengan cepat menyisir keadaan kamarnya, jujur pada awalnya Sonya tidak tau mau di bawa kemana dirinya oleh Awan. "Iya, janji. Udah kamu di sana baik-baik dan jangan nakal. PR-nya kerjain dan tolong, suruh Haikal kerjain PR-nya juga, adik kamu suka lupa diri kalau nggak diingatkan," pinta Sonya sambil mengucapkan beberapa kata perpisahan sebelum memutuskan sambungan telepon dari Hana.Setelah ia menitipkan Hana dan Haikal di rumah Lidya, Awan sama sekali tidak mau mengatakan ke mana mereka akan pergi dan ternyata Awan membawanya ke salah satu resort yang ada di pulau seribu. H island resort.Sonya tersenyum saat berjalan