Istana Mingyue tampak lebih senyap dari biasanya. Xie Qingyan duduk di paviliun kecil di tengah taman bunga yang luas. Satu set alat lukis berada di depannya. Tangannya yang lembut memegang kuas. Seorang pelayan suka rela menggilingkan tinta. Salju berguguran, angin bertiup lembut memainkan anak rambutnya. Xie Qingyan menjalani kehidupan yang sangat tenang sejak Xie Yinlan tidak ada di Paviliun Hua Rong. Ning'er memasuki paviliun itu, dia membungkuk takzim, memberi salam. “Yang Mulia, mereka mengatakan Xi Feng sudah dalam perjalanan kembali ke Ibu Kota.” Ning'er melaporkan.Dengan tenang, Xie Qingyan meletakkan kuasnya di tempat kuas, dia menerima uluran sapu tangan dari salah satu pelayan wanita yang menemaninya. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, dia menyeka tangannya dengan sapu tangan itu. “Kirim dua orang untuk menunggunya di Bingzhou. Saat dia melewati Bingzhou, suruh dua orang itu menahannya selama beberapa hari, selagi kau merencang rencana untuk membawanya masuk ke Ib
Toko Obat Qiuyue Cabang Nanzhou. Liu Xingsheng menghentikan kudanya di depan gerbang tinggi dengan dua penjaga di masing-masing sisi itu. Ada banyak orang yang berlalu-lalang melewati gerbang tinggi yang terbuka lebar itu. Sampai saat ini, Liu Xingsheng baru menyadarinya, bahwa Shangguan Zhi sudah sangat sukses dan kaya dengan bisnis pengobatannya. Lebih dari dua puluh tabib keliling di dunia persilatan yang menggunakan resep obatnya untuk mengobati pasien mereka. Salah seorang dari empat penjaga itu mendekat, dengan ramah menawarkan agar kudanya disimpan di tempat penitipan kuda milik toko obat mereka. Setelah menyerahkan kuda pada penjaga itu, Liu Xingsheng berbaur dengan pelanggan lain, memasuki toko obat. Setelah melewati gerbang itu, aula luas terhampar, meja panjang di sisi kiri dipenuhi orang-orang yang membeli obat. Jejeran meja dan kursi-kursi yang mengelilinginya tertata rapi di sepanjang sisi kiri aula.Beberapa pasien menunggu obatnya sambil minum teh, atau sedang be
Di Kuil Leluhur Kekaisaran, A-Yao berdiri di balik pintu kamar Yinlan. Matanya terlihat sembap, dia berdiam diri di dekat pintu sambil memandangi Yinlan yang tak berhenti membaca buku-buku medis kuno yang berisi tentang berbagai macam racun itu. A-Yao menelan ludah, memantapkan hatinya untuk masuk dan membujuk Yinlan agar berhenti melakukannya. Dia melangkahkan kaki memasuki kamar sambil membawa mangkuk berisi bubur. “Selir, kau belum makan sejak pagi tadi.” A-Yao bersuara, Yinlan hanya bergumam menanggapinya. A-Yao menghela napas pelan, meletakkan mangkuknya di atas meja, kemudian berjongkok di samping Yinlan, merapikan buku-buku yang berserakan. Yinlan mendengus kesal, “Berapa kali pun aku membacanya dengan teliti, tetap tidak ada buku yang membahas tentang Teratai Hitam.” Dia menyerah membolak-balikkan halaman buku-buku yang jumlahnya hampir lima puluh ini. A-Yao tersenyum simpul, “Mungkin setelah makan kau akan menemukannya.” Yinlan memandangi raut wajah A-Yao yang tampak ta
“Nona Kedua sangat suka dengan Arak Mawar Hitam dari Yangzhou.” Pengurus Penginapan menceletuk. A-Yao kembali menatapnya, menunggu penjelasan. “Di Ibu Kota, hanya ada satu kilang arak yang menjual Arak Mawar Hitam Yangzhou. Kau mungkin bisa menemukannya di sana.” A-Yao berdiri dengan mata berbinar, “Benarkah?” Pengurus Penginapan mengangguk, “Kau bisa mencarinya di Kilang Arak Danqing. Temuilah pemiliknya, Nona Pertama Luo Ailian, mungkin kau bisa tahu di mana Nona Kedua dari Nona Pertama Luo.” A-Yao membungkuk dan mengucapkan terima kasih lagi, “Terima kasih, Tuan! Aku sangat terbantu.” A-Yao segera keluar untuk mencari kilang arak yang dimaksud itu. Dia mendongak sambil berjalan-jalan perlahan di jalanan Ibu Kota yang ramai. Dia membaca semua papan besar yang ada di atas pintu toko-toko yang berjejer di tepi jalanan Ibu Kota. “Kilang Arak Danqing, ya …,” A-Yao bergumam, membaca satu-persatu papan-papan besar itu. “Itu dia!” A-Yao bersemangat setelah menemukannya. Dia berla
Setelah mengantar A-Yao pulang, Shangguan Zhi langsung meninggalkan kuil tanpa menemui Yinlan terlebih dahulu. Dia juga sempat menenangkan A-Yao dengan berkata bahwa semuanya baik-baik saja. “Majikanmu itu sangat takut mati kau tahu? Jadi, jangan terlalu cepat menyimpulkan.”A-Yao tersenyum dan mengangguk, “Terima kasih, Nona Kedua. Berhati-hatilah.” “Ya! A-Yao, jangan lupa tidur lebih nyenyak!” Shangguan Zhi melambaikan tangannya dan kembali memasuki kereta kuda. Di pintu kamar sebelah kuil, Yinlan sudah berdiri menunggunya sambik berkacak pinggang. Dia melihat A-Yao dengan ekspresi separuh marah dan separuh kesal. A-Yao mendekat, dia menyeringai lebar, “Hehe …, Selir, tadi aku kembali ke paviliun sebentar.” “Untuk apa?” Yinlan bertanya ketus. Dia pasti merasa ada yang tidak beres dengan gadis ini. A-Yao menjawab dengan mantap, “Kupikir aku bisa menemukan sesuatu tentang Teratai Hitam dalam buku-buku medis yang ada di kamarmu, Selir. Jadi aku pulang untuk mencarinya.” Mata Yin
Dua hari telah berlalu. Yinlan duduk merenung di belakang kuil, A-Yao sedang membersihkan kuil bersama pelayan wanita yang rutin datang setiap dua minggu untuk membersihkannya. Yinlan sedang mengingat-ingat sesuatu. ‘Mungkin saja tanaman Teratai Hitam itu pernah kudengar dulu saat masih di zaman modern. Tapi bagaimana pun aku mencoba mengingatnya, sepertinya tanaman semacam itu memang tidak pernah ada, kan?’ Yinlan menyandarkan tubuhnya dengan putus asa. “Di mana kau tumbuh wahai Teratai Hitam? Kenapa kau tidak membiarkanku menemukanmu?” Yinlan menghela napas pelan. Untuk mengisi kegiatan, Yinlan pergi ke lereng gunung untuk berjalan-jalan sejenak. Dia mengajak A-Yao dan mengatakan akan berjalan-jalan di lereng gunung untuk menyegarkan pikiran. A-Yao tersenyum penuh arti, “Tampaknya kau mulai melupakan Teratai Hitam itu, Selir.” Yinlan mendengus, “Ya. Aku menyerah. Sekeras apa pun aku mencari, aku belum juga menemukannya. Sial. Kenapa tanaman itu misterius sekali?” A-Yao terkeke
Minggu ini, Yinlan bangun lebih cepat dari biasanya. Dia berpakaian sederhana dan memasuki kuil untuk membersihkannya. Dia sudah menghitung hari dengan teliti dan menanti hari ini sejak lama. “Hari ini adalah hari Kaisar datang berkunjung.” Jadi dia sengaja bangun lebih awal dan membersihkan kamarnya dan kuil. “Jangan lupa berikan kantong wewangian itu padanya, Selir. Jangan sampai Yang Mulia menyadarinya, jika ada kesalahan, akan sulit mengeluarkannya dari pengaruh dupa itu.” Di sampingnya, A-Yao kembali mengingatkan sambil membersihkan bantalan duduk. Yinlan mendengus malas, “Kau sudah mengatakan itu lebih dari seratus kali, A-Yao, dalam tiga hari terakhir. Memangnya aku orang yang punya ingatan buruk? Sampai-sampai kau harus mengingatkanku setiap detik seperti itu.” Setelah meletakkan bantalan duduk di tempat yang seharusnya, A-Yao menggeleng, “Salah, Selir. Aku baru mengatakannya sebanyak sembilan puluh tujuh kali.” Yinlan melotot tak percaya, “K-kau benar-benar menghitungnya
“Selir, apakah kau butuh bantuan? Mengemasi barang-barang cukup melelahkan, akan lebih ringan kalau ada pria yang membantu juga.” Mao Lian menawarkan bantuan. “Tapi, bukankah Yang Mulia harus segera pulang?” Yinlan bertanya, kepalanya dimiringkan untuk melihat kereta kuda Kekaisaran yang tertutup tubuh Mao Lian yang berdiri di depannya. Mao Lian menoleh ke belakang, mengikuti arah pandangnya, dia menyeringai, “Sebenarnya, Yang Mulia yang menyuruhku membantumu. Dia bisa menyuruh orang lain mengemudikan kudanya, lihat.” Mao Lian menunjuk penjaga gerbang kuil yang berdiskusi dengan rekannya. Lalu dia pergi menghampiri kereta Jing Xuan dan duduk di tempat kusir. Yinlan mengangguk-angguk, “Kalau begitu, kau bisa membantuku.” “Dari mana aku harus memulai?” Mao Lian tersenyum lebar. “Ah, nanti saja. Ketika semua barang-barangnya sudah dikemas, kau yang akan membantu kami menaikkannya ke dalam kereta kuda.” A-Yao melambai tak peduli, dia memasuki kamar dan mulai mengemasi buku-buku yang
Suara dentingan kecil terdengar saat dua kendi arak itu saling beradu. A-Yao mendongak sambil menenggak arak miliknya. Kemudian mengembuskan napas kasar, “Ah …, nikmat sekali menghangatkan tubuh dengan arak di cuaca yang sedingin ini!” A-Yao tersenyum lebar, menatap bintang-gemintang yang berpendar di atas sana. Langit gelap tampak indah dengan bulan sabit yang cemerlang. Mao Lian mengamatinya dari dekat, sudut bibirnya terangkat, “A-Yao, kau yakin bisa menghabiskan satu kendi itu sendirian?” dia takut gadis itu akan mabuk dan dimarahi Yinlan esok paginya. Tapi A-Yao tampaknya tidak peduli, menggeleng kencang, “Aku bisa menghabiskannya tanpa mengganggu pekerjaan! Lagi pula, Tuan Mao sendiri yang minta ditemani minum arak, kan?” Mao Lian terkekeh, “Aku sudah menyiapkan mangkuk kecil untukmu, aku tidak berpikir kau akan langsung menyambar kendinya.” “Diminum langsung lebih terasa nikmat! Buang saja mangkuk itu, aku tidak membutuhkannya.” A-Yao tertawa dengan mata terpejam. “A-Yao
Jing Xuan menutup pintu kamar dengan perlahan tanpa menimbulkan sedikit pun suara. Dia melihat Yinlan sudah meringkuk nyaman di atas tempat tidur. Mungkin takut suara pintu akan mengganggu tidurnya. Jing Xuan bahkan melangkah dengan sangat hati-hati agar tidak membangunkannya. “Jing Xuan, kau dari mana saja? Ini sudah hampir pukul sebelas tapi kau baru pulang?” suara Yinlan terdengar penuh selidik. Jing Xuan mematung—terkejut bahwa Yinlan masih terjaga, mulutnya menyeringai lebar, “Aku baru selesai mengurus pekerjaan.” “Apa? Pekerjaan? Benarkah? Sepanjang siang selama kau pergi dengan Mao Lian, aku menerima sebanyak sepuluh laporan dokumen mendesak dari tujuh orang menteri. Mereka bilang Yang Mulia tidak terlihat sejak meninggalkan Aula Pertemuan. Mereka mencarimu hingga ke sini demi urusan-urusan pekerjaan yang kau katakan itu.” Yinlan tampak beringsut duduk, wajahnya keluar dari selembar selimut, memberikan tatapan menyipit yang menakutkan. “Jing Xuan, apa yang kau lakukan sepa
Jing Xuan turun dari kereta kuda. Mao Lian membawa sebuah kotak berisi sesuatu yang sepertinya berharga. Kereta kuda itu berhenti tepat di depan Kediaman Adipati Xie yang masih dipenuhi kain berwarna putih di setiap sudutnya. Membuat warga-warga rendahan yang melintas refleks menjatuhkan lutut demi menunjukkan perasaan hormat mereka pada Kaisar. Jing Xuan mengedarkan pandangannya di jalanan, wajah datarnya berubah menjadi senyum ramah yang menyenangkan—dia memang telah banyak berubah setelah mengenal Yinlan lebih dekat. “Berdirilah.” Jing Xuan melangkahkan kakinya di gerbang Kediaman Adipati Xie. Yang ternyata, pemilik rumah itu sudah keluar dari kediaman demi mendengar keributan di luar bahwa Kaisar datang untuk berkunjung. “Yang Mulia, selamat datang.” Mereka segera berlutut dan menautkan kedua tangan untuk mengucapkan salam penghormatan. Jing Xuan buru-buru menyentuh siku mereka dan meminta agar berdiri, “Ibu Mertua, Ayah Mertua, tidak perlu begitu formal.” Keduanya saling m
Shangguan Yan berdiri di depan gedung utama Balai Opera Jiulu. Kedua tangannya mengepal, raut wajahnya datar dan serius. Seorang pelayan pria mendekatinya, “Tuan Muda, apakah kau membutuhkan sesuatu yang baru?” pelayan itu berbisik. Dia bernama Jin Pei. Salah satu informan yang dipekerjakan Shangguan Yan dan menjadi satu-satunya orang yang paling dipercayainya. Dia sangat ahli menyelinap tanpa jejak dan memiliki teknik beladiri yang hebat. Dia memutuskan untuk menyatakan sumpah setia pada Shangguan Yan sejak Shangguan Yan menyelamatkan nyawanya dari jebakan mematikan kelompok seniman beladiri aliran sesat. Orang ini dulunya juga pernah hampir dibunuh Liu Xingsheng, tapi nyawanya selamat setelah Shangguan Yan menyatakan sumpah setia padanya dan bersedia bersembunyi di Balai Opera Jiulu di bawah pengawasan Liu Xingsheng untuk bekerja sama dengannya. Dalam arti, Jin Pei menganggap nyawa yang dimilikinya ini adalah milik Shangguan Yan karena telah diselamatkan dua kali dari kematian.
Xi Feng mengangguk setuju. “Sejak dulu, Shangguan Zhi hanyalah nona keluarga kaya yang manja dan bergantung pada pelayannya. Sedangkan aku dan Liu Xingsheng sudah terbiasa hidup sendiri dan tidak pernah bergantung pada siapa pun, termasuk keluarga.”“Bukankah Tabib Liu itu orang kaya, ya?” Xi Feng juga mengangguk, “Ayahnya bupati di Nanzhou. Liu Yanran, adik Liu Xingsheng dianugerahi gelar Xianzhu (Putri Kabupaten) setelah ayahnya berjasa mempertahankan Heyang dari suku bar-bar di prefektur selatan Nanzhou.” “Tapi Liu Xingsheng sudah tinggal bersama Biksu Baiyuan sejak usianya lima tahun. Dia mempelajari banyak teknik pengobatan, hingga jimat dan ramalan dari Biksu Baiyuan.” “Sementara Biksu Baiyuan mengadopsi seorang anak perempuan yang usianya lebih tua dari Liu Xingsheng. Anak perempuan itu Ye Yunshang. Kudengar dia sudah tidak diasuh Biksu Baiyuan lagi sejak Liu Xingsheng belajar di sana.”“Lalu aku hanya seorang pengembara Dunia Persilatan yang tak memiliki rumah. Biksu Baiyua
Mao Lian mengangguk, “Sepanjang perjalanan, kami berhenti di banyak tempat. Yang pertama kami datangi tepat setelah Ning'er kabur dari Biro Pusat Keamanan adalah Rumah Lianhong.”“Kami mendapatkan kesaksian dari Nona Mu Dan. Yang mengatakan ada seorang pria aneh yang datang tepat saat terjadi kebakaran di Biro Pusat Keamanan.”“Pria itu meminta tolong padanya untuk dipinjamkan surat jalan atas namanya, dia berkata akan pergi ke Tingzhou.” “Lalu kami melakukan perjalanan menuju Tingzhou. Bertemu lima saksi lain yang melihat pria muda, atau wanita paruh baya, bahkan seorang nenek tua yang datang ke tempat-tempat tertentu sesuai perkiraan waktu kami.” “Xi Feng berkata kalau Penyihir Hitam selalu menyamar menjadi orang lain sepanjang jalan. Jadi kami mengikuti petunjuk itu, mencurigai nenek tua, wanita paruh baya, hingga seorang pria muda yang datang di waktu yang sesuai dengan perkiraan kami.”“Ternyata dugaan itu tepat. Nenek tua muncul setelah kami kehilangan wanita paruh baya. Juga
bab 156Tepat setelah rapat pagi dibubarkan, Jing Xuan kembali ke Istana Guanping untuk menemui dua tamu yang sudah ia undang. Di belakangnya, Mao Lian san Xi Feng tampak mengikuti. Masih memakai pakaian ringkas yang nyaman dikenakan saat bepergian. Sepertinya, mereka berdua langsung bertemu Jing Xuan yang dalam perjalanan menuju Aula Pertemuan untuk rapat pagi. Lalu merundingkan hasil perjalanan mereka bersama beberapa menteri yang terlibat. Sebelum itu, Jing Xuan mengutus bawahannya untuk mengirim pesan pada Shangguan Yan dan Shangguan Zhi untuk membicarakan hasil perundingan itu. Setelah mengetahui identitas asli Ning'er, yang merupakan seorang master bela diri tingkat tinggi dari sebuah sekte terpencil yang misterius bernama Ye Yunshang, yang juga sekaligus seorang Penyihir Hitam yang keberadaannya selalu dipertanyakan, Jing Xuan merasa harus melibatkan orang-orang yang terlibat dengan masa lalunya untuk menggali lebih banyak petunjuk. Seperti mengapa Ye Yunshang memiliki den
Matahari telah tenggelam. Kereta kuda itu kembali merangkak di jalanan Ibu Kota. Suasana di dalamnya sangat senyap, Yinlan sibuk memakan kue persik yang dibelinya di kedai itu. “A-Yin.” Jing Xuan memanggilnya dengan suara pelan. Yinlan menjawabnya hanya dengan gumaman. Terlihat sekali tidak ingin diganggu dengan kesenangannya. Jing Xuan menatapnya lamat-lamat. ‘Dia menggemaskan saat sedang lahap makan.’ “Ada apa?” Yinlan balas menatapnya, mulutnya masih penuh dengan kue persik. Jing Xuan mengulas senyum tipis. “Kamu mau pergi ke mana setelah ini?” Yinlan menelan makanannya, “Ke mana lagi? Kita tidak langsung pulang?” “Awalnya memang sepakat pulang setelah matahari tenggelam. Tapi sepanjang sore aku tidak menemanimu keliling ke mana pun. A-Yin, aku minta maaf atas kekacauan yang dibuat adikku. Acara jalan-jalanmu jadi tidak berjalan lancar. Jadi, aku ingin menemanimu di luar lebih lama lagi.” Jing Xuan memasang raut penuh rasa bersalah. Yinlan menyeringai, “Aku s
Terlihat, Pangeran Chi berdiri dengan kondisi terkejut. Menyentuh pipinya yang merah, menatap pria tiba-tiba datang menamparnya. “Apa-apaan kau!” Pangeran Chi berseru marah. Matanya membulat sempurna begitu menyadari kalau pria ini adalah kakaknya, Kaisar Kekaisaran Jing. “Ka-Kakak …?” Pangeran Chi bungkam seketika. Wanita opera yang duduk di atas paha Pangeran Chi menundukkan kepala, bahunya bergetar, seolah takut diterkam oleh pria yang dipanggil Kakak oleh pria yang bersamanya. Tanpa mengatakan apa pun, dengan raut wajah menahan marah, Jing Xuan menyeret adiknya keluar dari gedung itu. Nyonya Zhao terlihat bingung kenapa pengusaha dari Yangzhou ini keluar lagi sebelum operanya dimulai. Yinlan bergegas menyusul. Jing Xuan memasukkan Pangeran Chi ke dalam kereta kuda, bersiap menginterogasinya di dalam sana. Saat A-Yao hendak membantu Yinlan naik ke dalam, Yinlan mengangkat tangannya, “Biarkan mereka mengobrol dulu, A-Yao. Lebih baik kita berkeliling di dekat sini sambil men