“Nona Kedua sangat suka dengan Arak Mawar Hitam dari Yangzhou.” Pengurus Penginapan menceletuk. A-Yao kembali menatapnya, menunggu penjelasan. “Di Ibu Kota, hanya ada satu kilang arak yang menjual Arak Mawar Hitam Yangzhou. Kau mungkin bisa menemukannya di sana.” A-Yao berdiri dengan mata berbinar, “Benarkah?” Pengurus Penginapan mengangguk, “Kau bisa mencarinya di Kilang Arak Danqing. Temuilah pemiliknya, Nona Pertama Luo Ailian, mungkin kau bisa tahu di mana Nona Kedua dari Nona Pertama Luo.” A-Yao membungkuk dan mengucapkan terima kasih lagi, “Terima kasih, Tuan! Aku sangat terbantu.” A-Yao segera keluar untuk mencari kilang arak yang dimaksud itu. Dia mendongak sambil berjalan-jalan perlahan di jalanan Ibu Kota yang ramai. Dia membaca semua papan besar yang ada di atas pintu toko-toko yang berjejer di tepi jalanan Ibu Kota. “Kilang Arak Danqing, ya …,” A-Yao bergumam, membaca satu-persatu papan-papan besar itu. “Itu dia!” A-Yao bersemangat setelah menemukannya. Dia berla
Setelah mengantar A-Yao pulang, Shangguan Zhi langsung meninggalkan kuil tanpa menemui Yinlan terlebih dahulu. Dia juga sempat menenangkan A-Yao dengan berkata bahwa semuanya baik-baik saja. “Majikanmu itu sangat takut mati kau tahu? Jadi, jangan terlalu cepat menyimpulkan.”A-Yao tersenyum dan mengangguk, “Terima kasih, Nona Kedua. Berhati-hatilah.” “Ya! A-Yao, jangan lupa tidur lebih nyenyak!” Shangguan Zhi melambaikan tangannya dan kembali memasuki kereta kuda. Di pintu kamar sebelah kuil, Yinlan sudah berdiri menunggunya sambik berkacak pinggang. Dia melihat A-Yao dengan ekspresi separuh marah dan separuh kesal. A-Yao mendekat, dia menyeringai lebar, “Hehe …, Selir, tadi aku kembali ke paviliun sebentar.” “Untuk apa?” Yinlan bertanya ketus. Dia pasti merasa ada yang tidak beres dengan gadis ini. A-Yao menjawab dengan mantap, “Kupikir aku bisa menemukan sesuatu tentang Teratai Hitam dalam buku-buku medis yang ada di kamarmu, Selir. Jadi aku pulang untuk mencarinya.” Mata Yin
Dua hari telah berlalu. Yinlan duduk merenung di belakang kuil, A-Yao sedang membersihkan kuil bersama pelayan wanita yang rutin datang setiap dua minggu untuk membersihkannya. Yinlan sedang mengingat-ingat sesuatu. ‘Mungkin saja tanaman Teratai Hitam itu pernah kudengar dulu saat masih di zaman modern. Tapi bagaimana pun aku mencoba mengingatnya, sepertinya tanaman semacam itu memang tidak pernah ada, kan?’ Yinlan menyandarkan tubuhnya dengan putus asa. “Di mana kau tumbuh wahai Teratai Hitam? Kenapa kau tidak membiarkanku menemukanmu?” Yinlan menghela napas pelan. Untuk mengisi kegiatan, Yinlan pergi ke lereng gunung untuk berjalan-jalan sejenak. Dia mengajak A-Yao dan mengatakan akan berjalan-jalan di lereng gunung untuk menyegarkan pikiran. A-Yao tersenyum penuh arti, “Tampaknya kau mulai melupakan Teratai Hitam itu, Selir.” Yinlan mendengus, “Ya. Aku menyerah. Sekeras apa pun aku mencari, aku belum juga menemukannya. Sial. Kenapa tanaman itu misterius sekali?” A-Yao terkeke
Minggu ini, Yinlan bangun lebih cepat dari biasanya. Dia berpakaian sederhana dan memasuki kuil untuk membersihkannya. Dia sudah menghitung hari dengan teliti dan menanti hari ini sejak lama. “Hari ini adalah hari Kaisar datang berkunjung.” Jadi dia sengaja bangun lebih awal dan membersihkan kamarnya dan kuil. “Jangan lupa berikan kantong wewangian itu padanya, Selir. Jangan sampai Yang Mulia menyadarinya, jika ada kesalahan, akan sulit mengeluarkannya dari pengaruh dupa itu.” Di sampingnya, A-Yao kembali mengingatkan sambil membersihkan bantalan duduk. Yinlan mendengus malas, “Kau sudah mengatakan itu lebih dari seratus kali, A-Yao, dalam tiga hari terakhir. Memangnya aku orang yang punya ingatan buruk? Sampai-sampai kau harus mengingatkanku setiap detik seperti itu.” Setelah meletakkan bantalan duduk di tempat yang seharusnya, A-Yao menggeleng, “Salah, Selir. Aku baru mengatakannya sebanyak sembilan puluh tujuh kali.” Yinlan melotot tak percaya, “K-kau benar-benar menghitungnya
“Selir, apakah kau butuh bantuan? Mengemasi barang-barang cukup melelahkan, akan lebih ringan kalau ada pria yang membantu juga.” Mao Lian menawarkan bantuan. “Tapi, bukankah Yang Mulia harus segera pulang?” Yinlan bertanya, kepalanya dimiringkan untuk melihat kereta kuda Kekaisaran yang tertutup tubuh Mao Lian yang berdiri di depannya. Mao Lian menoleh ke belakang, mengikuti arah pandangnya, dia menyeringai, “Sebenarnya, Yang Mulia yang menyuruhku membantumu. Dia bisa menyuruh orang lain mengemudikan kudanya, lihat.” Mao Lian menunjuk penjaga gerbang kuil yang berdiskusi dengan rekannya. Lalu dia pergi menghampiri kereta Jing Xuan dan duduk di tempat kusir. Yinlan mengangguk-angguk, “Kalau begitu, kau bisa membantuku.” “Dari mana aku harus memulai?” Mao Lian tersenyum lebar. “Ah, nanti saja. Ketika semua barang-barangnya sudah dikemas, kau yang akan membantu kami menaikkannya ke dalam kereta kuda.” A-Yao melambai tak peduli, dia memasuki kamar dan mulai mengemasi buku-buku yang
A-Yao menyeret Zhu Yan ke halaman depan paviliun meninggalkan jemurannya begitu saja. Zhu Yan bertanya kenapa A-Yao menyeretnya pergi. “Aku punya satu tugas yang tak kalah penting untukmu.” A-Yao menghentikan langkahnya di depan peti berisi puluhan buku itu. Tanpa mengatakan apa pun, dia membiarkan Zhu Yan menerka sendiri. Bukan seperti itu. A-Yao hanya ingin mengetesnya. Jika dia benar-benar Zhu Yan, seharusnya Zhu Yan tahu apa isi peti itu dan harus diapakan. Tapi jika orang ini malah bertanya apa isi peti itu, maka akan semakin mencurigakan sekali identitas aslinya. Dia jelas bukan Zhu Yan. “Ah, kau mau memintaku mengembalikan peti ini?” “Eh?” A-Yao terdiam seribu bahasa. Bukan hanya itu, orang ini bahkan tahu tujuannya apa. A-Yao mengangguk ragu. Zhu Yan menghela napas pelan, terlihat kecewa, “Tapi bagaimana caraku mengangkut benda berat ini? Kereta kuda itu sudah kutinggalkan di rumah Tuan Muda. Tidak mungkin aku membawanya sendirian kan? Apalagi berjalan kaki sangat jauh
Hujan salju kembali turun keesokan harinya. Pada pagi hari yang masih redup, di dalam sebuah bangunan bobrok yang hanya memiliki sehelai karung goni sebagai pintunya, beberapa anak pengemis tidur bergelung sambil saling memeluk satu sama lain. Di dalam bangunan kumuh itu, ada seorang gadis remaja usia awal dua puluhan yang menjaga anak-anak ini. Dia masih mengenakan pakaian pelayan istana. Saat ini, gadis itu sibuk menyalakan perapian demi menjaga suhu ruangan agar tetap hangat. Dalam hati, dia merasa cemas karena angin kencang di luar sana menerbangkan karung goni yang menutupi pintu mereka. Membuat butir salju menerobos masuk ke dalam kamar dan angin menerbangkannya hingga ke seluruh ruangan. Dia terpaksa menahan karung itu dengan bantuan benda yang besar seperti kursi dan meja makan. Dengan begitu, angin di luar sana tak bisa lagi masuk ke dalam dan membuat anak-anak ini tidur dalam keadaan kedinginan. Setelah urusan dengan perapian dan pintu selesai, dia berdiri di depan lema
Jing Xuan menyeruput teh miliknya, kemudian meletakkannya kembali di atas meja. Tangan kirinya mengangkat sebuah dokumen laporan, matanya sibuk membaca isi laporan tersebut. Saat pintu terbuka, Jing Xuan langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu, melihat Mao Lian berjalan mendekat. “Apakah sudah menemukannya?” tanya Jing Xuan. Mao Lian menggeleng, dia duduk di tempatnya dan menyenderkan tubuh, hembusan napasnya terdengar cukup kencang. “Kau begitu kelelahan?” Jing Xuan tersenyum mengejek, dia mengangkat sebuah kendi arak dari dalam laci mejanya, kemudian meletakkannya di atas meja. “Aku memberimu hadiah.” Mao Lian langsung duduk tegak, dia berdeham pelan, lalu melapor, “Sejak keluar dari Nanzhou, tidak ditemukan lagi jejaknya di mana pun, Yang Mulia. Pasukan Jenderal Nanzhou yang mengejarnya juga kehilangan jejak di daerah Tingzhou.” “Lalu, terakhir kali empat hari yang lalu, seorang warga sipil di Youzhou sepertinya sakit parah, lalu seorang tabib menyembuhkannya. Dia ber
Istana Guangping menjadi sangat ramai lima tahun ke depan. Dua orang anak yang terlihat sangat mirip setiap hari berlarian di halamannya, saling mengejar, saling mencoba menjatuhkan. Satu anak adalah perempuan, dia memegang pedang kayu dan terus mengarahkannya pada si anak laki-laki sambil berkata, “Berhenti, penjahat!” Semenatra yang laki-laki tertawa riang, terus berkata bahwa si anak perempuan tidak akan bisa menangkapnya. Di dalam istana, Yinlan sedang sibuk menatap sejumlah tusuk rambut di atas meja. Bingung memilih mau pakai yang mana. “Bagaimana dengan ini?” Jing Xuan menunjukkan tusuk konde yang berwarna perak dengan batu giok putih yang indah. Yinlan menggeleng, “Aku rasa aku sudah memakai itu kemarin lusa.” “Tidak apa, pakai lagi saja.” Jing Xuan menguap, sudah satu jam dia berdiri di depan meja rias Yinlan, dan gadis itu masih belum menentukan akan memakai apa. “Aku pakai ini saja lah.” Yinlan mengambil tusuk rambut bunga rong yang pernah Jing Xuan berikan padanya du
A-Yao tampak kerepotan, menerima sejumlah hadiah dari tamu-tamu luar Ibukota yang menghadiri pernikahan terbesar di seluruh Kekaisaran Jing ini. “A-Yao, sampaikan ucapan selamatku pada Permaisuri, ya?” terlihat Nona Kelima Jiang tersenyum ramah sambil menyerahkan sebuah kotak kayu besar. A-Yao mengangguk sambil tersenyum, “Terima kasih sudah datang.” Mao Lian berdiri di dekat pintu sambil menatapnya dengan tatapan remeh, “Kau tampak sibuk, A-Yao.” A-Yao mendengus sambil menatap tajam ke arahnya, “Dari pada diam menjadi pagar seperti itu, lebih baik kau membantuku.” Mao Lian terkekeh lalu menghampirinya. Sebelum mulai membantu, dia mendekatkan mulutnya ke telinga A-Yao dan berbisik, “Baru saja Yang Mulia memberkati pernikahan untukku, A-Yao. Apakah kau terkejut?” A-Yao terdiam kaku, matanya membulat sempurna, berkedip beberapa kali. “Be-benarkah? Bagaimana mungkin,” A-Yao menyeringai tipis, mencoba mengendalikan perasaannya yang tidak karuan. Dia membatin, ‘Diberkati pernikahan?
Yinlan merebahkan tubuhnya di ranjang, Jing Xuan menjadikan pahanya sebagai bantal. Tangannya bergerak mengusap pelan helai rambut panjangnya. Aroma wangi ini, Jing Xuan sangat merindukannya. Sejak baru tiba sore lalu, Yinlan sama sekali tak mau melepaskannya. Dia selalu tersenyum dan berkata harus selalu bersama untuk menebus hari-hari saat berpisah. “A-Yin, berapa bulan lagi sampai hari kelahirannya?” tanya Jing Xuan, memecah keheningan. “Hm …,” Yinlan berpikir sejenak, “Ini sudah lama memasuki bulan ke-tujuh. Sebentar lagi bulan ke-delapan.” “Sebentar lagi, ya ….” Jing Xuan menghela napas, “Tapi dua bulan lagi sangat lama.”“Jika melewatinya bersama-sama, harusnya tidak terlalu lama.” Yinlan tersenyum lebar sampai matanya menyipit. “A-Yin, aku tidak bisa menepati janjiku untuk menikahimu di ujung musim dingin.” Jing Xuan menunduk merasa bersalah. Yinlan menepuk punggung tangannya, “Kita menikah di awal musim semi saja. Bukankah itu bagus?” “Apakah menurutmu begitu?” Yinlan
Dua minggu kemudian. Kabar mengenai kepulangan Jing Xuan telah tiba di Istana. Semua orang menyambutnya di depan gerbang istana, termasuk Yinlan dan Ibu Suri. Kabar peperangan dengan Negara Shang yang mendadak itu juga telah sampai di Ibukota sejak dua minggu lalu. Para warga merasa bersyukur saat tahu sang Kaisar berada di sana untuk meredakan kekacauan. Kini, mereka sudah berkumpul di tepian jalan untuk menyambut Kaisar mereka. Melempar bunga dengan wajah tersenyum lebar, sambil memanjatkan do’a dan pujian untuk pahlawan nomor satu itu. Jing Xuan hanya menaiki seekor kuda hitam, tidak ada tandu atau kereta kuda yang mewah yang menemaninya. Di belakangnya hanya ada dua orang tabib, dan sepuluh orang prajurit yang mengantar kepergiannya. Itu sungguh hanya kepulangan sederhana yang tidak disiapkan secara khusus. Namun semua orang justru merasa senang untuknya dan mengucapkan beribu-ribu kata syukur. Jing Xuan juga secara khusus turun dari kudanya dan menggendong anak-anak usia tig
Kamp Militer Perbatasan Utara. Jing Xuan duduk tegak di kursi, wajahnya sangat serius. Dia sedang membaca sebuah buku. Buku medis kuno yang Shangguan Yan bawa dari ruang bawah tanah beracun milik Ye Qing di Tingzhou. Dalam buku itu, tertulis bahwa Teratai Hitam bukanlah racun. Melainkan sejenis obat mujarab yang bisa membentuk ketangguhan fisik luar biasa, obat yang bisa menetralisir semua jenis racun yang tumbuh di dunia ini. Obat itu memberikan efek samping yang cukup kejam bagi pemakainya. Semua gejala menyakitkan yang Yinlan alami setiap bulan itu adalah efek sampingnya. Dan selamanya tidak bisa dihilangkan. Dalam setiap bulan, akan selalu ada hari di mana tubuh itu sendiri tiba di titik terlemahnya. Jing Xuan menggeram, “Kenapa aku tidak mengalami siklus bulanan ini juga? Padahal aku jelas-jelas meminumnya, kan?” Xi Feng menghela napas, “Yang Mulia, Teratai Hitam yang kau minum itu hanya semangkuk penawar racun saja, bukan lagi jenis obat yang sama. Permaisuri meminum selur
Satu minggu kemudian, Selir Agung Qin ditemukan di Prefektur Barat Ibukota. Jubah kekaisarannya entah hilang ke mana, semua perhiasan emas yang melekat di tubuhnya juga telah raib. Pangeran Ming menggunakan kereta kuda untuk membawanya kembali ke Istana. Sepanjang perjalanan, Selir Agung tidak mengeluarkan sepatah kata pun meski Pangeran Ming berada tepat di depannya. Pangeran Ming tidak berharap wanita itu akan bertanya tentang kenapa dia ditangkap, atau mau membawanya ke mana. Dia berpikir wanita ini akan menanyakan keadaan putranya. Namun keduanya sama sekali tidak terdengar keluar dari mulutnya. Pangeran Ming menghela napas, dia mengeluarkan sapu tangan dengan bordir lambang Keluarga Jing miliknya. Lalu dia meletakkannya di atas paha Selir Agung dan berkata, “Sekalah kotoran di wajahmu. Haoyu tidak akan suka melihatnya.” Selir Agung tersenyum tipis, “Aku bahkan tidak pantas mengambil barang milik Keluarga Jing kalian.”“Memang benar …, lagi pula, untuk apa kau memedulikan pen
Yu adalah marga sebenarnya Selir Agung Qin. Pangeran Ming menatap punggungnya, “Ibumu bahkan tidak memedulikan nasibmu, Haoyu.” Ruangan penjara itu semakin senyap, Pangeran Chi mengangkat kepala, lantas terkekeh pelan, “Kau tidak berhak menilai hubungan ibu dan anak di antara kami, Jing Tian.”“Satu hari setelah tindakan bodohmu, aku terus mencari keberadaan Selir Agung Qin di mana pun. Dia melarikan diri, bersembunyi di suatu tempat menunggu kesempatan pergi dari Ibukota yang sudah seperti neraka baginya ini. Tanpa memedulikan putranya.” Pangeran Ming diam sejenak. Dia menunggu Pangeran Chi berbalik dan menatapnya sebelum dia melanjutkan perkataan yang kian lama semakin menyakitkan itu. Namun Pangeran Chi tidak sebaik hati itu untuk mendengarkan penjelasannya. Dia tampak tidak begitu peduli dengan apa yang ibunya lakukan padanya. “Jing Haoyu.” Pangeran Ming menggeram dengan tangan mengepal. “Apa? Kau mau berkata bahwa aku ditelantarkan? Hah, kau juga tidak berhak.” Pangeran Mi
Pangeran Ming menutup rapat pintu Istana Guangping, sebelum meninggalkan tempat itu, dia menghela napas pelan. “Yang Mulia, Biro Pusat Keamanan dan Kementerian Hukum sudah menunggu.” pengawalnya melaporkan. “Ada berapa orang yang terlibat dalam pemberontakan itu?” tanya Pangeran Ming, langkahnya dengan cepat meninggalkan Istana Guangping. “Kementerian Ritus dan Adipati Wei terlibat. Mereka bersekongkol mengadakan pernikahan palsu agar Tuan Muda Wei tidak dicurigai. Dia yang membantu Pangeran Chi menculik Tuan Muda Ouyang dari Suzhou untuk dicuri identitasnya.” “Nona Kelima Jiang mengalami depresi karena pernikahannya ternyata tidak sungguh-sungguh. Selir Agung Qin melarikan diri. Sementara waktu, dia mungkin masih berada di Ibukota karena semua gerbang telah ditutup sejak hari pemberontakan.” Pangeran Ming mengangguk-angguk, menerima semua laporan itu dengan cepat. “Jangan pernah membuka gerbang itu sebelum Selir Agung ditemukan. Berikan kompensasi atas kerugian yang dialami Nona
BRUK! Jing Xuan meringis, tersungkur beberapa meter dari lokasi pertarungan. Pedangnya terlepas dari genggaman, berkelontang. Dia kembali berdiri dengan tubuh bergetar. Tangannya bergerak menyeka ujung bibir yang masih menyisakan jejak darah. Sudah lama dia tidak mengeluarkan banyak kekuatan. Tubuhnya terkejut menerima hantaman demi hantaman, terlebih, Ye Qing lebih berpengalaman, jelas lebih kuat berkali-kali lipat darinya. Jing Xuan memungut pedangnya. Memasang kuda-kuda kokoh, dia harus bisa segera mengakhirinya. Seseorang masih menunggunya dengan cemas. Shangguan Yan berteriak kencang, tubuhnya melesat cepat, melompat ke udara dengan Pedang Baijiu yang sudah berlumuran darah meski belum membunuh satu orang pun. Ye Qing mendengus, “Bocah merepotkan. Pergi kau ke neraka!” Shangguan Yan menyeringai, Liu Xingsheng melemparkan tombak Jing Xuan yang sebelumnya dibuang oleh Ye Qing. Dengan langkah halus, Shangguan Yan menjejakkan kakinya pada tombak yang masih melesat itu. Tangan