“Dia tidak main-main. Bahkan nekat membakar dua tempat sekaligus demi menghilangkan bukti.” Shangguan Yan berlari bersisian dengan Liu Xingsheng. “Tidak. Justru aku khawatir dia menggunakan kekacauan dalam kebakaran ini untuk melarikan diri. Shangguan Yan, bergegas! Kita bisa memblokir dua jalur utama dari Kantor Biro Pusat Keamanan! Pastikan untuk tidak mencolok!” Liu Xingsheng melompat ke atas kuda, melesat melewati jalur yang berseberangan untuk memblokir jalur dari sisi barat Kantor Biro Pusat Keamanan. Jalur itu terhubung dengan bangunan belakang Biro Pusat Keamanan. Bangunan belakang adalah tempat para tahanan dan pintu masuk menuju penjara bawah tanah. Hanya ada satu jalan menuju pusat kota dari bangunan belakang Biro Pusat Keamanan. Jika Liu Xingsheng menghentikan kudanya di tengah jalan lalu menyusurinya perlahan hingga tiba di lokasi kebakaran, mungkin ada peluang untuk menangkap basah Ning'er jika dia benar-benar melarikan diri dari jalur belakang. Meski ada ratusan sip
Pukul dua belas malam, api di Kantor Biro Pusat Keamanan telah benar-benar padam. Petugas masih hilir mudik memeriksa kerusakan dan barang-barang yang mungkin tertinggal. Shangguan Yan bergabung lagi dengan Liu Xingsheng di Balai Kesehatan Istana beberapa saat setelah ia bertemu Jing Xuan di dalam kebakaran itu. Jing Xuan bilang dia ingin memeriksa ke gedung luar untuk mencari Ning'er. Shangguan Yan yang baru saja dari gedung luar mengatakan kalau Ning'er tidak melarikan diri melalui gedung luar. Saat Shangguan Yan berkata ingin pergi ke Penjara Bawah Tanah, Jing Xuan mengatakan padanya Ning'er sudah tidak ada di sana sejak kebakaran mukai melahap gedung dalam. “Ada mayat petugas yang hangus di lorong paling luar Penjara Bawah Tanah. Aku yakin dia juga dievakuasi bersama tahanan lain. Dia melarikan diri saat sudah tiba di luar penjara bawah tanah.” jawab Jing Xuan. “Jadi, mungkinkah dia melarikan diri lewat jalur belakang?” Shangguan Yan berseru. “Kita harus menanyakannya pada L
Matahari bersinar cerah pagi ini. Langit bersih tanpa awan, tidak ada butiran salju yang mengambang. Angin sejuk berhembus dalam keheningan. Yinlan membuka matanya, menyipit beradaptasi dengan cahaya yang ada. Dia melihat ke atap, lalu pandangannya jatuh pada pemuda yang tertidur di tepi ranjangnya. Senyumnya terukir indah. Menatap Jing Xuan yang tidur kelelahan setelah menjaganya semalaman. Yinlan menghela napas pelan, ‘Kau menjagaku seolah-olah kau masih mencintaiku, Jing Xuan.’Yinlan beringsut duduk, menarik selimutnya dan memberikannya pada Jing Xuan, dia ingin menyelimutinya dengan rapat. Tapi sentuhan yang sedikit itu justru membuat Jing Xuan terbangun. Yinlan tersenyum kikuk saat tertangkap basah oleh Jing Xuan sedang menyelimutinya. “Apakah aku mengganggu tidurmu?” Yinlan bertanya pendek. Jing Xuan tersenyum, menggeleng. Kemudian beranjak duduk di tepi ranjang, “Bagaimana keadaanmu?” “Aku baik-baik saja.” Yinlan menjawab. “A-Yin, kau sudah bebas sekarang. Tuduhanmu ter
Saat siang hari, Yinlan memutuskan untuk tidak lagi hanya berbaring di ranjang kamar perawatan Balai Kesehatan Istana. Dia meminta A-Yao untuk menemaninya berjalan-jalan sebentar. A-Yao menawarkan padang agar memakai tandu saja, tapi Yinlan menolak. “Aku ingin jalan-jalan, A-Yao. Bukan keliling naik tandu. Itu dua hal yang berbeda.” A-Yao cemberut mendengar kalimat yang menyebalkan itu, seolah-olah pertama kalinya Yinlan mengomelinya seperti itu. A-Yao tersenyum kemudian, “Ternyata aku merindukan mulut cerewetmu, Selir.” Yinlan menyeringai. Langkah kaki membawanya ke Halaman Timur. Balai Kesehatan Istana tidak jauh dari Aula Pertemuan, tempat biasanya Jing Xuan menggelar rapat rutin setiap pagi. Siang ini, Jing Xuan berkata ingin memeriksa perkembangan pembenahan Istana Guangping yang sudah hampir selesai sebelum meninggalkannya di Balai Kesehatan Istana. Dia berpesan seribu kali kepada A-Yao dan Zhu Yan agar tidak meninggalkan Yinlan sendirian dan meminta mereka selalu sigap se
Di sela-sela keributan jalan-jalan itu, seorang kasim mendekat, membungkuk takzim di depan Yinlan, kemudian berkata dengan sopan. “Yang Mulia Permaisuri, Nona Kedua Shangguan meminta untuk bertemu denganmu.” A-Yao dan Zhu Yan berkedip, memasang wajah bingung menatap kasim yang tiba-tiba memanggil majikannya dengan sebutan Permaisuri itu. “Minta dia untuk datang ke taman depan Paviliun Longwei, aku akan segera ke sana.” Yinlan mengangguk ramah. “Baik, Yang Mulia.” Kasim itu kembali bekerja setelah menyampaikan kedatangan Shangguan Zhi padanya. A-Yao menatap tak berkedip saat kasim itu menjauh, “Omong-omong, sejak kapan?” Yinlan tertawa kecil, “Tadi pagi, saat memeriksaku, Tabib Senior Pei juga mengatakan demikian.” “Permaisuri?” A-Yao menatap tak percaya, “Bukankah penobatannya masih lama lagi?” Yinlan mengangkat bahu. Saat itulah, Zhu Yan menimpuk tengkuk A-Yao dengan telapak tangannya, melotot, “Kau ini bagaimana? Sekarang kan, Selir sudah satu-satunya istri Yang Mulia. Bahk
Malam harinya, Jing Xuan menjemput Yinlan sendiri di taman Paviliun Longwei saat masih sibuk mengobrol berdua dengan Shangguan Zhi. “Istriku, mari kita pulang.” Jing Xuan mendekat. Yinlan mengangguk dan tersenyum, dia menatap Shangguan Zhi, “Ternyata sudah malam, Shangguan Zhi. Aku bahkan lupa apa saja yang sudah kita bahas beberapa jam terakhir.” Dia tertawa. Shangguan Zhi mengangguk, “Kita masih bisa sering bertemu, kan, Yang Mulia?” Shangguan Zhi merasa berat hati berpisah darinya. Yinlan tersenyum, “Tentu saja, kapan pun kau bisa menemuiku, aku akan selalu datang padamu.” “Benarkah?” Shangguan Zhi membulatkan mata, penuh semangat. “Tentu saja, Shangguan Zhi. Lagi pula, kau masih berutang banyak uang padaku, bukan? Hasil penjualan resep obatku satu bulan terakhir, kau belum membayarnya.” Yinlan berbisik pelan. Shangguan Zhi berkedip beberapa kali, “Yang Mulia, aku benar-benar lupa! Maafkan aku! Aku akan membawa uang bulan kemarin besok pagi juga. Aku berjanji!” Yinlan terta
Ketika Jing Xuan sudah sibuk berkutat dengan pekerjaannya di ruang bacanya yang baru, Yinlan berinisiatif membuatkannya sup buah hangat untuk menghangatkan perut. Dia masuk ke dalam ruangan itu saat Jing Xuan sedang mendiskusikan hal penting dengan salah satu pejabatnya. Jing Xuan tersenyum saat melihatnya masuk. Dia menutup dokumennya. “Kita lanjutkan besok pagi di Aula Pertemuan.” Pria paruh baya yang memakai seragam merah khas menteri itu membungkuk takzim, meninggalkan ruang baca dengan segenap kesopanan. Tak lupa membungkuk juga saat berpapasan dengan Yinlan yang memasuki ruang baca. Yinlan tersenyum lebar, membawa nampan berisi sup buah hangat buatannya. Dia meletakkannya di samping meja, kemudian duduk di hadapan Jing Xuan yang sibuk membereskan pekerjaannya. “Seharusnya lanjutkan saja.” Yinlan menceletuk. Jing Xuan mengangkat kepala, menatapnya, “Istriku datang, tidak mungkin aku hanya berkutat dengan pekerjaan.” “Sudah kubilang, kita belum resmi jadi suami istri, kan?”
Halaman luas Istana Dalam yang dikuasai Ibu Suri itu dipenuhi pelayan-pelayan wanita yang berjaga—tidak ada satu pun pria di istana ini, persis seperti Istana Harem. Xie Yinlan tak berhenti memainkan ibu jarinya karena gugup, sesekali menatap ragu saat keduanya sudah berada tepat di dalam Istana Dalam. Ini pertama kali baginya sepanjang hidup di Istana Kekaisaran Jing, mengunjungi Istana Dalam untuk bertemu secara khusus dengan Ibu Suri, itu pengalaman yang mendebarkan sekaligus mungkin tak akan terulang. Yinlan sangat khawatir karena terakhir kali Ibu Suri memang sudah membencinya. Sehingga dia berpikir peluang mendapatkan restu pernikahan dari Ibu Suri sangatlah kecil. Sekali lagi, dia mengembuskan napas berat. Jemarinya bermain semakin cepat, detak jantungnya berlari kencang seperti seekor kuda perang. ‘Astaga, aku gugup sekali.’ Yinlan menundukkan kepalanya. Sejak tadi, Jing Xuan memperhatikan gelagat aneh Yinlan sepanjang perjalanan. Jing Xuan menghentikan langkahnya sepuluh
Mereka berdiri di depan halaman Istana Guangping, mengantar kepergian orang tua Yinlan yang baru saja datang berkunjung dengan tujuan utama meminta maaf dan menyesali perbuatan. Di samping Yinlan, Ibu Suri tampak menatap punggung Nyonya Besar Xie yang berjalan menjauh. “Dulu, aku juga bersalah pada ibu kandungmu, A-Yin.” Yinlan menoleh, memasang raut wajah seolah sangat mempertanyakannya. Ibu Suri menghela napas pelan, “Di masa lalu, aku pernah bertemu dengannya.” “Bertemu ibu kandungku?” Yinlan memiringkan kepala, tampak semakin ingin tahu. “Ibumu, Qu Ningxi, pernah menjadi tabib di medan perang saat masih muda. Reputasinya baik di kalangan prajurit negara. Kemampuannya juga tinggi.”“Dia beberapa kali mengobati lukaku juga. Seperti ada keajaiban, luka-luka tombak dan panah itu hanya butuh kurang dari satu minggu untuk sembuh sepenuhnya di tangan ibumu.”“Karena itulah, aku tidak terkejut saat tahu kalau kau menguasai sebagian besar ilmu pengobatan itu. Karena ibumu adalah tabi
Liu Xingsheng berdiri di depan Rumah Lianhong. Tangannya memegang sebilah pedang dan dia berpakaian seperti pendekar. Melihat para pria berlalu-lalang dengan wajah senang dan memerah seperti mabuk, Liu Xingsheng menggenggam pedangnya dengan erat. Sedikit ragu untuk melangkah masuk. 'Aku tidak pernah datang ke tempat seperti ini. Untuk penyelidikan, apakah aku memang harus masuk?’Sekitar dua menit berdiam, Liu Xingsheng terperanjat ketika melihat Shangguan Zhi keluar dari tempat itu. Shangguan Zhi bahkan menatapnya dan berhenti tepat di depannya selama beberapa saat. Gadis itu hanya memandanginya dengan tatapan merendahkan. Liu Xingsheng berusaha untuk menjelaskannya. “Aku di sini untuk ….” Tapi dia tidak melanjutkannya karena Shangguan Zhi meninggalkannya. Liu Xingsheng berlari menyusulnya. Dia meraih pergelangan tangannya. Shangguan Zhi berbalik dengan cepat, raut wajahnya menunjukkan bahwa dia tidak menyukai apa yang Liu Xingsheng lakukan terhadapnya. “Shangguan Zhi. Apa yan
A-Yao merapat ke dekat penjual mantau. Mengamati pertemuan itu dengan wajah serius. Mao Lian hanya mengikuti gerak-geriknya saja. Ia berbisik, “Ada apa, A-Yao?” “Lihat, ada Pangeran Chi.” A-Yao menunjuk ke depan. Mao Pian mengikuti arah pandangnya. “Kau benar. Dengan siapa dia berbicara itu?” “Itu Nyonya Ni Chang.” “Bagaimana kau tahu?” Mao Lian menatapnya dengan bingung. “Itu karena aku dan Yang Mulia Permaisuri pernah melihatnya. Bukan hanya kami, Yang Mulia Kaisar juga.” A-Yao semakin menyembunyikan tubuhnya. “Dia bersama Pangeran Chi juga saat itu. Bahkan terlihat cukup intim.”“Kenapa aku tidak tahu?” “Kau masih di Tingzhou, Tuan Mao.” A-Yao menjawab sedikit kesal. “Bagaimana jika kita mendekat?” Mao Lian memberi saran. A-Yao menggeleng tegas. “Dia bisa mengetahui keberadaan kita!” “Kalau begitu, tunggu sampai mereka masuk.” Mao Lian membenarkan sarannya. A-Yao mengangguk setuju. Dia melihat ke arah gadis penjual gantungan giok di samping Balai Opera Jiulu. Seharusnya
A-Yao duduk di tangga paviliun kecil di tengah taman sendirian. Memeluk lututnya sendiri, kepalanya tertunduk, entah memikirkan apa. Salju mulai turun lagi. Butir-butir kecil yang kian menderas. A-Yao tidak peduli, membiarkan butir-butir putih yang dingin itu hinggap di atas kepalanya. Tapi belum tentu Mao Lian akan membiarkannya. Pemuda itu memegang sebuah payung, meletakkannya di atas kepala A-Yao, dirinya berdiri di depannya sambil menatapnya dengan sendu. A-Yao mendongak setelah menyadari kehadirannya. Matanya sedikit menyipit, menatap wajah Mao Lian yang hanya menatapnya saja. “Tuan Mao.” A-Yao kembali menunduk. “A-Yao, kenapa kau tidak duduk di kursi saja? Salju ini bisa membuatmu sakit.” Mao Lian berjongkok, masih memegang payung itu. A-Yao mengangguk tanpa sadar. Diam saja saat Mao Lian menyentuh sikunya, membantunya berdiri. “Kenapa kau terlihat murung, A-Yao?” Mao Lian bertanya. “Bukankah seharusnya kau senang karena orang tua Permaisuri datang berkunjung
A-Yao berlari ke dalam tanpa memedulikan apa pun lagi. Air mata mengaliri pipinya, wajahnya menunjukkan ketakutan yang seolah akan membunuhnya. A-Yao merentangkan kedua tangannya di depan Yinlan, menghadap kedua orang tua itu. Dengan suara tegas, dia berkata, “Jangan menyakiti Yang Mulia!” Adipati Xie terkejut dengan aksinya dan merasa terganggu. Dia berdiri dengan tangan terkepal. Di ambang pintu, Zhu Yan terlihat khawatir sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. Sementara tanpa dia ketahui, Jing Xuan dan Mao Lian berdiri sedikit jauh di belakangnya. Mao Lian hendak merangsek maju, tapi Jing Xuan menahan lengannya, menggeleng pelan. “Mereka perlu ruang untuk menyelesaikan masalah di antara mereka.” Adipati Xie berdiri tepat di depan A-Yao. Tangan kanannya terangkat. A-Yao bergeming, mantap tidak bergeser sedikit pun dari posisinya. “Pelayan kurang ajar!” Adipati Xie berseru geram, tangan kanannya melayang, nyaris melesat menampar pipi gadis yang sudah bertekad akan melind
A-Yao sedang berada di dapur istana bersama Zhu Yan. Dia ingat semalam mabuk berat karena meminum arak cukup banyak. A-Yao satu kamar dengan Zhu Yan. Dia memuntahkan isi perutnya di samping ranjang, membuat Zhu Yan terbangun dari tidurnya. Zhu Yan terpaksa harus membantu A-Yao membersihkan bekas itu dan membuatkan sup pereda pengar. Esok harinya, Zhu Yan membawa A-Yao ke dapur istana untuk memberinya sup anti pengar lagi. Zhu Yan berkata, mungkin ada tamu yang akan mengunjungi Permaisuri. “Kenapa kau bisa begitu mabuk, A-Yao? Apakah Kaisar tidak memberitahumu, kalau hari ini akan kedatangan tamu penting Permaisuri.”“Siapa?” A-Yao bertanya dengan nada tak peduli. Zhu Yan mengangkat bahu. “Entahlah, Yang Mulia Kaisar hanya berpesan untuk meminta tamu itu langsung menemui Permaisuri saja tanpa perlu menunggunya. Karena itulah aku membawamu ke sini, A-Yao, untuk membantuku memilih teh jenis apa yang sebaiknya dihidangkan nanti?”A-Yao menghabiskan supnya, kemudian menghampiri Zhu Ya
Suara dentingan kecil terdengar saat dua kendi arak itu saling beradu. A-Yao mendongak sambil menenggak arak miliknya. Kemudian mengembuskan napas kasar, “Ah …, nikmat sekali menghangatkan tubuh dengan arak di cuaca yang sedingin ini!” A-Yao tersenyum lebar, menatap bintang-gemintang yang berpendar di atas sana. Langit gelap tampak indah dengan bulan sabit yang cemerlang. Mao Lian mengamatinya dari dekat, sudut bibirnya terangkat, “A-Yao, kau yakin bisa menghabiskan satu kendi itu sendirian?” dia takut gadis itu akan mabuk dan dimarahi Yinlan esok paginya. Tapi A-Yao tampaknya tidak peduli, menggeleng kencang, “Aku bisa menghabiskannya tanpa mengganggu pekerjaan! Lagi pula, Tuan Mao sendiri yang minta ditemani minum arak, kan?” Mao Lian terkekeh, “Aku sudah menyiapkan mangkuk kecil untukmu, aku tidak berpikir kau akan langsung menyambar kendinya.” “Diminum langsung lebih terasa nikmat! Buang saja mangkuk itu, aku tidak membutuhkannya.” A-Yao tertawa dengan mata terpejam. “A-Yao
Jing Xuan menutup pintu kamar dengan perlahan tanpa menimbulkan sedikit pun suara. Dia melihat Yinlan sudah meringkuk nyaman di atas tempat tidur. Mungkin takut suara pintu akan mengganggu tidurnya. Jing Xuan bahkan melangkah dengan sangat hati-hati agar tidak membangunkannya. “Jing Xuan, kau dari mana saja? Ini sudah hampir pukul sebelas tapi kau baru pulang?” suara Yinlan terdengar penuh selidik. Jing Xuan mematung—terkejut bahwa Yinlan masih terjaga, mulutnya menyeringai lebar, “Aku baru selesai mengurus pekerjaan.” “Apa? Pekerjaan? Benarkah? Sepanjang siang selama kau pergi dengan Mao Lian, aku menerima sebanyak sepuluh laporan dokumen mendesak dari tujuh orang menteri. Mereka bilang Yang Mulia tidak terlihat sejak meninggalkan Aula Pertemuan. Mereka mencarimu hingga ke sini demi urusan-urusan pekerjaan yang kau katakan itu.” Yinlan tampak beringsut duduk, wajahnya keluar dari selembar selimut, memberikan tatapan menyipit yang menakutkan. “Jing Xuan, apa yang kau lakukan sepa
Jing Xuan turun dari kereta kuda. Mao Lian membawa sebuah kotak berisi sesuatu yang sepertinya berharga. Kereta kuda itu berhenti tepat di depan Kediaman Adipati Xie yang masih dipenuhi kain berwarna putih di setiap sudutnya. Membuat warga-warga rendahan yang melintas refleks menjatuhkan lutut demi menunjukkan perasaan hormat mereka pada Kaisar. Jing Xuan mengedarkan pandangannya di jalanan, wajah datarnya berubah menjadi senyum ramah yang menyenangkan—dia memang telah banyak berubah setelah mengenal Yinlan lebih dekat. “Berdirilah.” Jing Xuan melangkahkan kakinya di gerbang Kediaman Adipati Xie. Yang ternyata, pemilik rumah itu sudah keluar dari kediaman demi mendengar keributan di luar bahwa Kaisar datang untuk berkunjung. “Yang Mulia, selamat datang.” Mereka segera berlutut dan menautkan kedua tangan untuk mengucapkan salam penghormatan. Jing Xuan buru-buru menyentuh siku mereka dan meminta agar berdiri, “Ibu Mertua, Ayah Mertua, tidak perlu begitu formal.” Keduanya saling m