Di lantai tiga Paviliun Longwei, tepat setelah melihat Liu Xingsheng mengangkat tubuh Yinlan, Jing Xuan tak sengaja menjatuhkan cangkir tehnya, suara nyaring terdengar, pecahannya berserakan di lantai. Mao Lian berdiri dengan terkejut, “Yang Mulia, kau baik-baik saja?” bergegas menghampirinya. Jing Xuan menggeleng, wajahnya tiba-tiba terlihat pucat, meringis menahan rasa sakit yang tak bisa dijelaskan. Tangannya mengepal gemetar. Rasa sakit yang sudah lama tak ia rasakan itu muncul lagi. Jing Xuan berdiri untuk menjajal tenaganya sendiri. Tubuhnya malah terjatuh bahkan sebelum sempat mencapai posisi setengah berdiri. “Yang Mulia!” Mao Lian memapahnya dan membantunya duduk di kursi panjang itu. Mao Lian menyingkirkan meja catur yang ada di tengahnya supaya Jing Xuan bisa meluruskan kakinya. Wajahnya terlihat cemas, dia memeriksa suhu tubuh Jing Xuan. “Yang Mulia. Apakah penyakitmu kambuh lagi?” Mao Lian bertanya cemas. “Berikan obat itu padaku, Mao Lian.” Jing Xuan berkata deng
Di tengah malam, di tengah guguran salju dan irama desiran angin melewati pepohonan, Yinlan membiarkan jendela kamarnya terbuka, membuat angin sejuk berhembus masuk ke dalam dan menyibak rambut panjangnya. Yinlan sedang duduk di meja rias, matanya terpejam dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya. Meski duduk di depan meja rias, Yinlan tidak menghadap ke depan meja rias dan menatap cermin, justru menghadap ke samping di mana Jing Xuan dengan lembut menyentuh dagunya. Hembusan napasnya yang hangat mengusir angin sejuk yang menerpa punggungnya, Yinlan sama sekali tidak terganggu. Jing Xuan memegang sebuah kuas rias kecil untuk menggambar alis. Dia melakukannya secara pribadi untuk menggambar alis Xie Yinlan. “Kau yakin bisa melakukannya, Yang Mulia?” Yinlan bertanya tak yakin. “Jangan bergerak, nanti warna hitamnya akan keluar dari jalur.” Jing Xuan berkata pelan, dengan lembut dan penuh kasih sayang mengusap alis Yinlan dengan kuas kecil berisi bubuk hitam pekat itu. Lima men
Di musim yang dingin ini, setiap orang senang menghabiskan waktu di dalam kamar dan ditemani perapian yang hangat. Para pelayan akan menghidangkan sup buah yang hangat dan menghangatkan perut. Seperti yang dilakukan Ning'er saat ini. Istana Mingyue tampak senyap setelah beberapa saat. Karena Kaisar sedang berada di sana, tidak ada pelayan yang berani mendekat kecuali Ning'er yang diperintahkan Permaisuri untuk membuatkan sup buah hangat untuk Yang Mulia. Jing Xuan berada di dalam kamar Xie Qingyan, bertujuan untuk menemani Qingyan yang sedang melukis. Dia bahkan tak segan menggilingkan tinta untuknya. Permaisuri sedang memiliki suasana hati yang baik untuk melukis pemandangan Sungai Hong. Katanya, sungai panjang ini diberi nama demikian karena airnya pernah berwarna merah pekat pada suatu peperangan besar ratusan tahun lalu. Sungai itu berada di Perbatasan Utara, tempat Keluarga Adipati Xie pernah memimpin peperangan belasan tahun lalu, peperangan yang terjadi saat Kaisar masih j
Pada hari di mana matahari bersinar hangat ini, meski pun salju tidak pernah mencair sejak kemarin, tidak menyurutkan rasa semangat di hati penghuni istana. Sebentar lagi tahun baru, secara khusus, Kaisar menurunkan titah untuk bawahannya agar menyiapkan perayaan tahun baru di Istana. Bergerbong-gerbong bahan makanan dikirim dari luar untuk memenuhi gudang dapur. Mulai dari daging, ikan, telur hingga sayuran dan buah-buahan. Berbagai macam jenis kain dengan berbagai warna dan kualitas juga dimasukkan ke Departemen Pakaian Istana. Kain-kain itu nantinya akan dibuatkan pakaian untuk keluarga Kekaisaran. Secara khusus, Kaisar juga menurunkan titah bagi para wanita di Istana untuk memilih sendiri kain mana yang akan dipakai untuk perayaan tahun baru nanti. Gudang kain di Departemen Pakaian sangat besar. Pada saat yang bersamaan, Xie Qingyan datang beberapa menit lebih dulu dari kedatangan Yinlan. Sementara di dalam sana sudah ada Selir Agung Qin yang ditemani putranya, Pangeran Chi.
Setelah kedua orang itu meninggalkan Gudang Kain, Yinlan tak mampu lagi menahan tawanya. “Benar-benar wanita yang mudah tertipu.” A-Yao menatapnya tidak mengerti. “Aku tahu Permaisuri akan memilih kain merah ini, A-Yao. Karena itulah, aku sengaja memuji kain itu, mengatakan dia sangat pantas memakainya.” Yinlan langsung menjelaskan begitu melihat wajah A-Yao yang masam. “Lalu, hanya karena kau menyuruhnya memakai warna itu, maka dia akan menolaknya?” A-Yao menebak. Yinlan mengangguk, “Dia itu orang yang sangat tidak mau kalah. Begitu mendengar aku sependapat dengannya, dia tidak akan menginginkan kain itu lagi. Hanya saja aku tidak menyangka, dia akan sembarang memilih kain yang benar-benar begitu buruk.” A-Yao terkekeh, “Apakah kau sudah merencanakannya?” “Lihat saja nanti, saat dia dipandangi seluruh tamu undangan saat perayaan tahun baru nanti. Pakaiannya yang polos itu pasti mengundang teguran dari sebagian besar bangsawan. Akan menganggapnya lebih buruk dari putri-putri mer
Yinlan berjalan tanpa suara di tengah kegelapan malam, rambutnya berlibar ke belakang diterpa angin kencang yang dingin. Langkah kaki membawanya ke Ruang Baca Kaisar, menidurkan penjaga di luar pintu menggunakan bubuk bius yang dibuatnya sendiri. Yinlan membuka pintu itu, berderit pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Dia berjalan perlahan melewati lorong menuju ruang baca Jing Xuan. Yinlan tahu Mao Lian tidak ada di sini pada malam hari lebih dari jam sepuluh. Dia sengaja datang diam-diam untuk bertemu dengan Jing Xuan. Tubuhnya berhenti bergerak begitu tiba di ruang baca. Jing Xuan berdiri dengan jubah hitamnya, membelakanginya, seolah sudah tahu dia akan datang malam ini. Yinlan memberanikan diri melangkah ke depan. “Berhenti di situ.” Jing Xuan tiba-tiba berkata dengan dingin. Yinlan menghentikan langkahnya, tatapannya berubah sendu, dia bergumam, “Jing Xuan.” Jing Xuan berbalik dan menatapnya yang sudah hampir menangis, tatapan datar dan ekspresi kosongnya itu membuat Yi
Begitu tiba di sana, Liu Xingsheng melihat A-Yao dan Zhu Yan yang menunggu dengan raut cemas. A-Yao segera menghampirinya begitu melihat ia menggendong tubuh Yinlan yang sangat lemah. “Selir, apa yang terjadi padamu?” A-Yao berseru panik. Zhu Yan mengikuti di belakang Liu Xingsheng saat pria itu membawa Yinlan masuk ke dalam dan membaringkannya di atas ranjang. “Dia pingsan karena kehabisan darah.” Liu Xingsheng menjawab singkat. Zhu Yan menatap tak percaya, “Kenapa? Kenapa dia sampai kehabisan darah?” ‘Dia tidak mungkin melakukannya, karena dia yang paling tahu kalau darah itu tidak akan cukup membantu. Kenapa? Kenapa dia melalukannya?’ Zhu Yan berpikir keras dalam hati. “Pokoknya, buatkan dia sup ginseng untuk mengembalikan staminanya.” Liu Xingsheng menghela napas pelan, berjalan meninggalkan Paviliun Hua Rong. Namun, langkahnya terhenti karena mendengar Yinlan memanggilnya dengan suaranya yang lemah. Liu Xingsheng berbalik dan kembali mendekat, dia bertanya, “Apa yang sed
Zhu Yan kembali ke Paviliun Hua Rong tepat saat matahari terbit. Dia butuh waktu yang cukup lama untuk menyusuri tempat berbahaya itu. A-Yao meletakkan teko teh di atas meja, Zhu Yan duduk di kursinya sambil menyesap teh yang baru saja disiapkan A-Yao. Sementara Yinlan sudah duduk di depannya, menunggu informasi seperti apa yang Zhu Yan dapatkan dari misi rahasia yang mendadak itu. “Apakah kau menemukannya?” tanya Yinlan. Zhu Yan mengeluarkan botol kecil yang kosong. Yinlan mencium aromanya sedikit. Dia menatap Zhu Yan dengan heran. “Dilihat dari seberapa kotornya botol ini, kau pasti menemukannya terkubur di dalam tanah. Lalu, aroma racun akonit tercium begitu botolnya dibuka, meski isinya sudah kosong, dapat diketahui itu adalah dosis sedang.” Yinlan meletakkan botol itu di atas meja. Zhu Yan mengangguk, “Aku menemukan benda itu di taman sebelah kamar Ning'er. Ada pohon persik di sana, dan yang ganjal adalah, tidak ada salju yang menutupi tanah di bawah pohon itu. Aku menggali
A-Yao berlari ke dalam tanpa memedulikan apa pun lagi. Air mata mengaliri pipinya, wajahnya menunjukkan ketakutan yang seolah akan membunuhnya. A-Yao merentangkan kedua tangannya di depan Yinlan, menghadap kedua orang tua itu. Dengan suara tegas, dia berkata, “Jangan menyakiti Yang Mulia!” Adipati Xie terkejut dengan aksinya dan merasa terganggu. Dia berdiri dengan tangan terkepal. Di ambang pintu, Zhu Yan terlihat khawatir sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. Sementara tanpa dia ketahui, Jing Xuan dan Mao Lian berdiri sedikit jauh di belakangnya. Mao Lian hendak merangsek maju, tapi Jing Xuan menahan lengannya, menggeleng pelan. “Mereka perlu ruang untuk menyelesaikan masalah di antara mereka.” Adipati Xie berdiri tepat di depan A-Yao. Tangan kanannya terangkat. A-Yao bergeming, mantap tidak bergeser sedikit pun dari posisinya. “Pelayan kurang ajar!” Adipati Xie berseru geram, tangan kanannya melayang, nyaris melesat menampar pipi gadis yang sudah bertekad akan melind
A-Yao sedang berada di dapur istana bersama Zhu Yan. Dia ingat semalam mabuk berat karena meminum arak cukup banyak. A-Yao satu kamar dengan Zhu Yan. Dia memuntahkan isi perutnya di samping ranjang, membuat Zhu Yan terbangun dari tidurnya. Zhu Yan terpaksa harus membantu A-Yao membersihkan bekas itu dan membuatkan sup pereda pengar. Esok harinya, Zhu Yan membawa A-Yao ke dapur istana untuk memberinya sup anti pengar lagi. Zhu Yan berkata, mungkin ada tamu yang akan mengunjungi Permaisuri. “Kenapa kau bisa begitu mabuk, A-Yao? Apakah Kaisar tidak memberitahumu, kalau hari ini akan kedatangan tamu penting Permaisuri.”“Siapa?” A-Yao bertanya dengan nada tak peduli. Zhu Yan mengangkat bahu. “Entahlah, Yang Mulia Kaisar hanya berpesan untuk meminta tamu itu langsung menemui Permaisuri saja tanpa perlu menunggunya. Karena itulah aku membawamu ke sini, A-Yao, untuk membantuku memilih teh jenis apa yang sebaiknya dihidangkan nanti?”A-Yao menghabiskan supnya, kemudian menghampiri Zhu Ya
Suara dentingan kecil terdengar saat dua kendi arak itu saling beradu. A-Yao mendongak sambil menenggak arak miliknya. Kemudian mengembuskan napas kasar, “Ah …, nikmat sekali menghangatkan tubuh dengan arak di cuaca yang sedingin ini!” A-Yao tersenyum lebar, menatap bintang-gemintang yang berpendar di atas sana. Langit gelap tampak indah dengan bulan sabit yang cemerlang. Mao Lian mengamatinya dari dekat, sudut bibirnya terangkat, “A-Yao, kau yakin bisa menghabiskan satu kendi itu sendirian?” dia takut gadis itu akan mabuk dan dimarahi Yinlan esok paginya. Tapi A-Yao tampaknya tidak peduli, menggeleng kencang, “Aku bisa menghabiskannya tanpa mengganggu pekerjaan! Lagi pula, Tuan Mao sendiri yang minta ditemani minum arak, kan?” Mao Lian terkekeh, “Aku sudah menyiapkan mangkuk kecil untukmu, aku tidak berpikir kau akan langsung menyambar kendinya.” “Diminum langsung lebih terasa nikmat! Buang saja mangkuk itu, aku tidak membutuhkannya.” A-Yao tertawa dengan mata terpejam. “A-Yao
Jing Xuan menutup pintu kamar dengan perlahan tanpa menimbulkan sedikit pun suara. Dia melihat Yinlan sudah meringkuk nyaman di atas tempat tidur. Mungkin takut suara pintu akan mengganggu tidurnya. Jing Xuan bahkan melangkah dengan sangat hati-hati agar tidak membangunkannya. “Jing Xuan, kau dari mana saja? Ini sudah hampir pukul sebelas tapi kau baru pulang?” suara Yinlan terdengar penuh selidik. Jing Xuan mematung—terkejut bahwa Yinlan masih terjaga, mulutnya menyeringai lebar, “Aku baru selesai mengurus pekerjaan.” “Apa? Pekerjaan? Benarkah? Sepanjang siang selama kau pergi dengan Mao Lian, aku menerima sebanyak sepuluh laporan dokumen mendesak dari tujuh orang menteri. Mereka bilang Yang Mulia tidak terlihat sejak meninggalkan Aula Pertemuan. Mereka mencarimu hingga ke sini demi urusan-urusan pekerjaan yang kau katakan itu.” Yinlan tampak beringsut duduk, wajahnya keluar dari selembar selimut, memberikan tatapan menyipit yang menakutkan. “Jing Xuan, apa yang kau lakukan sepa
Jing Xuan turun dari kereta kuda. Mao Lian membawa sebuah kotak berisi sesuatu yang sepertinya berharga. Kereta kuda itu berhenti tepat di depan Kediaman Adipati Xie yang masih dipenuhi kain berwarna putih di setiap sudutnya. Membuat warga-warga rendahan yang melintas refleks menjatuhkan lutut demi menunjukkan perasaan hormat mereka pada Kaisar. Jing Xuan mengedarkan pandangannya di jalanan, wajah datarnya berubah menjadi senyum ramah yang menyenangkan—dia memang telah banyak berubah setelah mengenal Yinlan lebih dekat. “Berdirilah.” Jing Xuan melangkahkan kakinya di gerbang Kediaman Adipati Xie. Yang ternyata, pemilik rumah itu sudah keluar dari kediaman demi mendengar keributan di luar bahwa Kaisar datang untuk berkunjung. “Yang Mulia, selamat datang.” Mereka segera berlutut dan menautkan kedua tangan untuk mengucapkan salam penghormatan. Jing Xuan buru-buru menyentuh siku mereka dan meminta agar berdiri, “Ibu Mertua, Ayah Mertua, tidak perlu begitu formal.” Keduanya saling m
Shangguan Yan berdiri di depan gedung utama Balai Opera Jiulu. Kedua tangannya mengepal, raut wajahnya datar dan serius. Seorang pelayan pria mendekatinya, “Tuan Muda, apakah kau membutuhkan sesuatu yang baru?” pelayan itu berbisik. Dia bernama Jin Pei. Salah satu informan yang dipekerjakan Shangguan Yan dan menjadi satu-satunya orang yang paling dipercayainya. Dia sangat ahli menyelinap tanpa jejak dan memiliki teknik beladiri yang hebat. Dia memutuskan untuk menyatakan sumpah setia pada Shangguan Yan sejak Shangguan Yan menyelamatkan nyawanya dari jebakan mematikan kelompok seniman beladiri aliran sesat. Orang ini dulunya juga pernah hampir dibunuh Liu Xingsheng, tapi nyawanya selamat setelah Shangguan Yan menyatakan sumpah setia padanya dan bersedia bersembunyi di Balai Opera Jiulu di bawah pengawasan Liu Xingsheng untuk bekerja sama dengannya. Dalam arti, Jin Pei menganggap nyawa yang dimilikinya ini adalah milik Shangguan Yan karena telah diselamatkan dua kali dari kematian.
Xi Feng mengangguk setuju. “Sejak dulu, Shangguan Zhi hanyalah nona keluarga kaya yang manja dan bergantung pada pelayannya. Sedangkan aku dan Liu Xingsheng sudah terbiasa hidup sendiri dan tidak pernah bergantung pada siapa pun, termasuk keluarga.”“Bukankah Tabib Liu itu orang kaya, ya?” Xi Feng juga mengangguk, “Ayahnya bupati di Nanzhou. Liu Yanran, adik Liu Xingsheng dianugerahi gelar Xianzhu (Putri Kabupaten) setelah ayahnya berjasa mempertahankan Heyang dari suku bar-bar di prefektur selatan Nanzhou.” “Tapi Liu Xingsheng sudah tinggal bersama Biksu Baiyuan sejak usianya lima tahun. Dia mempelajari banyak teknik pengobatan, hingga jimat dan ramalan dari Biksu Baiyuan.” “Sementara Biksu Baiyuan mengadopsi seorang anak perempuan yang usianya lebih tua dari Liu Xingsheng. Anak perempuan itu Ye Yunshang. Kudengar dia sudah tidak diasuh Biksu Baiyuan lagi sejak Liu Xingsheng belajar di sana.”“Lalu aku hanya seorang pengembara Dunia Persilatan yang tak memiliki rumah. Biksu Baiyua
Mao Lian mengangguk, “Sepanjang perjalanan, kami berhenti di banyak tempat. Yang pertama kami datangi tepat setelah Ning'er kabur dari Biro Pusat Keamanan adalah Rumah Lianhong.”“Kami mendapatkan kesaksian dari Nona Mu Dan. Yang mengatakan ada seorang pria aneh yang datang tepat saat terjadi kebakaran di Biro Pusat Keamanan.”“Pria itu meminta tolong padanya untuk dipinjamkan surat jalan atas namanya, dia berkata akan pergi ke Tingzhou.” “Lalu kami melakukan perjalanan menuju Tingzhou. Bertemu lima saksi lain yang melihat pria muda, atau wanita paruh baya, bahkan seorang nenek tua yang datang ke tempat-tempat tertentu sesuai perkiraan waktu kami.” “Xi Feng berkata kalau Penyihir Hitam selalu menyamar menjadi orang lain sepanjang jalan. Jadi kami mengikuti petunjuk itu, mencurigai nenek tua, wanita paruh baya, hingga seorang pria muda yang datang di waktu yang sesuai dengan perkiraan kami.”“Ternyata dugaan itu tepat. Nenek tua muncul setelah kami kehilangan wanita paruh baya. Juga
bab 156Tepat setelah rapat pagi dibubarkan, Jing Xuan kembali ke Istana Guanping untuk menemui dua tamu yang sudah ia undang. Di belakangnya, Mao Lian san Xi Feng tampak mengikuti. Masih memakai pakaian ringkas yang nyaman dikenakan saat bepergian. Sepertinya, mereka berdua langsung bertemu Jing Xuan yang dalam perjalanan menuju Aula Pertemuan untuk rapat pagi. Lalu merundingkan hasil perjalanan mereka bersama beberapa menteri yang terlibat. Sebelum itu, Jing Xuan mengutus bawahannya untuk mengirim pesan pada Shangguan Yan dan Shangguan Zhi untuk membicarakan hasil perundingan itu. Setelah mengetahui identitas asli Ning'er, yang merupakan seorang master bela diri tingkat tinggi dari sebuah sekte terpencil yang misterius bernama Ye Yunshang, yang juga sekaligus seorang Penyihir Hitam yang keberadaannya selalu dipertanyakan, Jing Xuan merasa harus melibatkan orang-orang yang terlibat dengan masa lalunya untuk menggali lebih banyak petunjuk. Seperti mengapa Ye Yunshang memiliki den