"Benarkah kau Ovan yang tersesat di Borobudur?"
Ovan diam tapi isakannya semakin keras.
"Kak Intan!" seruan Caca dari atas ranjang. Anak itu telah duduk sambil mengucek-ngucek matanya. Dewa langsung melangkah maju. Dia menyambut Caca dengan senyuman indah. Tak diurus masalah Adelia dan Ovan yang sedang mengharu biru. Itu pasti pertemuan dengan kekasih yang telah lama hilang. Begitulah tebaknya. Tapi iyakah? Bukankah umur mereka jauh berbeda. Entahlah, rindunya kepada Caca membuatnya malas mengurusi masalah Ovan dan Adelia.
"Kak Dewa? Caca mimpikah?" gumam Caca sambil menepuk-nepuk pipinya. Anak itu semakin kelihatan lucu jika seperti itu. Intan berdiri menghampiri Caca. Agus masih tetap dalam posisinya. Matanya tertuju pada gorengan yang berserakan di atas lantai.
Ovan mengamati paras Adelia. Wajahnya tak jauh berbeda dari Kak Lia yang dulu. Bedanya kalau dulu masih kelihatan lugu dan lucu. Sekarang Adelia y
Fajar di langit sebentar lagi menampakkan hidupnya. Bintang tak lagi berkelap-kelip. Kabut menyelimuti. Bahkan senyum sabit yang tadi cerah hanya tampak remang-remang di balik kabut. Embun-embun di dedaunan perlahan meneteskan butir-butirnya ke bumi. Malam sebentar lagi berakhir, tapi mengapa waktu tak mengizinkan luka di batin Ovan tersembuhkan. Di tempat itu, berhadapakan dengan tanaman-tanaman. Dia, mengadu perasaannya berteman kabut di langit. Airmatanya menitik satu butir, dua butir, lalu jutaan butir. Di belakangnya berdiri Adelia yang sesenggukannya tak usai pula. Ke dua saudara itu telah terkubur dalam emosi. Saling merindu, namun sepihak menyimpan luka. Ingin memeluk, tapi... apakah iya Ovan mau dipeluk?"Maaf! Maafkan Mama dan Papa yang tidak bisa menemukanmu, tapi kami sudah berusaha, Ovan!" rintih Adelia dengan suara parau."Kami sangat merindukanmu, Ovan..." pelan Adelia menarik lengan Ovan. Dia menggenggam ke dua-duanya.
Kebahagiaan itu harus segera sampai di telinga Papa dan Mama. Mereka pasti akan menangis haru. Setelah perjuangan yang dianggap mereka berdua berhasil nihil, malah berbalik dugaan. Buah hati yang selama ini dicari-cari akan segera mendekap mereka erat-erat. Membayangkan pertemuannya saja sudah sampai ingin menangis darah. Apalagi jika menjadi kenyataan. Keluarga yang dulu pernah retak, akan kembali utuh. Kasih sayang mampu diutarakan seutuhnya tanpa menanti-nanti orang lain menemukan sekeping hati yang telah hilang."Tapi aku ingin memberi kejutan." Ungkap pemuda berambut cepak yang kini telah berpakaian rapi dan bersih. Kaos distro putih serta celana jins hitam. Rambutnya juga ditata menggunakan gatsby. Wajahnya sudah dicuci bersih oleh salon. Ovan! Yah tepat sekali dialah pemuda itu.Sehabis pertengkaran menjelang fajar itu, Adelia mengajak adiknya jalan-jalan. Sejenak dia lupakan masalah kehidupan suram Ovan. Dia tidak ingin bersedih ha
Kondisi Reihan sudah membaik. Meski dia masih lemah tapi setidaknya lebih baik dari kemarin. Bahkan dia juga sudah pindah kamar, tak dirawat di ICU lagi. Nyonya Finda duduk di kursi samping ranjang Reihan. Sedari tadi pagi beliau menangis sesenggukan. Diam dan sama sekali tak mengajak Reihan atau pun Dewa berbicara. Yang membuat Dewa bertanya-tanya kenapa ketika dia tak ada di sisinya sewaktu Reihan sadar dan dipindahkan ke ruang lain, beliau tidak marah. Hanya menatap acuh lalu duduk. Beliau tidak makan dan tidak minum. Setia dengan kesedihan yang tak diceritakannya.Dewa dan Zafan berdiri di samping kanan ranjang Reihan. Adelia sendiri entah kemana. Semenjak kejadian tadi dia tidak datang lagi menjenguk Reihan. Kepala mereka sama-sama tertunduk. Ruang putih ber-AC itu menjadi sunyi. Tiga hati saling bertanya, sebabnya apa dan siapa yang mampu menjawabnya. Tampang Dewa semakin dibuat kusut oleh keadaan itu. Seragamnya juga bertambah lecek."Ken
Kebahagiaan itu harus segera sampai di telinga Papa dan Mama. Mereka pasti akan menangis haru. Setelah perjuangan yang dianggap mereka berdua berhasil nihil, malah berbalik dugaan. Buah hati yang selama ini dicari-cari akan segera mendekap mereka erat-erat. Membayangkan pertemuannya saja sudah sampai ingin menangis darah. Apalagi jika menjadi kenyataan. Keluarga yang dulu pernah retak, akan kembali utuh. Kasih sayang mampu diutarakan seutuhnya tanpa menanti-nanti orang lain menemukan sekeping hati yang telah hilang."Tapi aku ingin memberi kejutan." Ungkap pemuda berambut cepak yang kini telah berpakaian rapi dan bersih. Kaos distro putih serta celana jins hitam. Rambutnya juga ditata menggunakan gatsby. Wajahnya sudah dicuci bersih oleh salon. Ovan! Yah tepat sekali dialah pemuda itu.Sehabis pertengkaran menjelang fajar itu, Adelia mengajak adiknya jalan-jalan. Sejenak dia lupakan masalah kehidupan suram Ovan. Dia tidak ingin bersedih hati ter
Jangan ada kata perpisahan. Jangan ada airmata. Tuhan, bumi memang luas, tapi jangan jauhkan hati yang dari dulu telah berkumpul bersama. Mencari makan di bawah naungan mentari, meneguk dahaga di pinggiran sungai, bercerita dalam luka yang menyelimuti setiap hati, membagi tawa walau batin teriris-iris belati. Jangan....jangan pisahkan kami. Rintih Intan dalam hati. Batinnya perih mendengar Ovan yang baru saja berkata ingin kembali ke dekapan orangtuanya. Itu berarti perpisahan yang tak diindahkan akan segera melintas."Kak, jangan tinggalkan kami," rengek Agus. Dia bersimpuh di depan Ovan. Adelia hanya mematung di mulut pintu. Caca dibopong oleh Intan. Sementara Enggar duduk setengah badan di ranjang. Seharusnya besok adalah hari kebahagiaan untuk mereka semua, karena Enggar sudah diizinkan pulang ke perkampungan kumuh. Itu artinya kondisi Enggar sudah membaik dan siap bekerja mengamen atau mengemis seperti semula. Tapi kebahagiaan itu musnah seketika.
Diam. Satu kata pun jarang terucap. Menyendiri di kelas, sama sekali tak mau beranjak. Belajar malas. Pelajaran tak pernah mampu ditangkapnya. Yang ada hanya sosok pemuda yang amat dicintainya. Tapi semu. Pemuda itu hanya menjadi bayang kelabu. Berangkat les lesu. Seakan-akan tak pernah ada semangat dalam hidupnya. Walau di sampingnya ada seorang pangeran yang siap memberikan cintanya dengan sempurna. Bodohnya dia malah ingin memetik cinta yang belum jelas kepastiannya.Chika merenung di kelas. Ke dua tangannya menyangga dagu manisnya. Lensanya menerawang jauh di balik kaca jendela. Sudah berpuluh kali Chika menghubungi nomer hape Dewa tapi tidak aktif-aktif juga. Itu suda empat hari Dewa tidak masuk sekolah. Setelah ada kabar Reihan masuk rumah sakit Dewa sama sekali tak masuk sekolah dan Nyonya Finda pun tak memberi informasi di mana keberadaan Dewa. Tiga hari lalu Dendi dan dia ingin menengok Reihan di rumah sakit, tapi sayang, niat itu terpaksa harus digugurka
Agus lari terbirit-birit kembali ke kamar Enggar. Wajahnya menampakkan keterkejutan yang amat mendalam. Caca dan Intan sudah dari tadi malam di kamar Enggar, membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang ke rumah kardus, seperti bajunya Enggar yang kotor, dan peralatan makannya yang dibawa dari rumah kardus, sendok plastik, gelas plastik, dan piring plastik. Semua barang dimasukkan ke dalam karung yang masih bersih. Napas Agus putus-putus, dia menumpukan tangannya di lututnya. Seperti sedang rukuk di depan mulut pintu."Dari mana saja kamu, Agus?" tanya Enggar dan Intan hampir bersamaan. "Kenapa setelah mengejar Ovan kamu tidak balik lagi ke sini?" kata Intan dengan nada menuntut.Agus berdiri, dia menghela napasnya. "Aku menunggu Kak Dewa, dia sakit. Dari semalam belum sadarkan diri," seru Agus berusaha menjelaskan.Caca yang duduk manis di ranjang mendadak terperanjat kaget. Dia langsung loncat ke bawah dan berjalan meng
Sewaktu berangkat les, Chika menyempatkan diri mampir ke toko buat membeli buah-buahan dan membungkus kejutan untuk Dewa. Benda yang sejak SMP menemaninya itu telah ditemukan di warung bakso tiga hari lalu. Sebenarnya sudah dari kemarin-kemarin ingin memberikannya, tapi karena nomor Dewa tidak aktif, ya terpaksa dia simpan terlebih dahulu. Dia tersenyum manis membayangkan kebahagiaan Dewa yang sebentar lagi akan terukir karenanya. "Pasti dia akan amat berterimakasih kepadaku," gumamnya kepedean.Waktu cepat bergulir. Senja tak mau menunggu terang terlalu lama, dia singkirkan bolam api langit ke rumah Barat. Usai les ke lima kawan langsung berangkat ke rumah sakit. Perjuangan! Begitulah mereka menamainya. Bagaimana tidak? Mereka harus mencari kamar Reihan tanpa tahu nama lengkapnya. Suster bilang nama Reihan yang dirawat di rumah sakit itu ada lima. Dari ke lima kamar yang disebutkan oleh suster itu didatangi semua. Dari ujung Barat sampai ujung Selatan. Mereka akhir