Pertarungan antara Shin Kui Long dan Dewa Penjagal Kedua semakin memanas. Udara di sekitar mereka terasa berat, dipenuhi oleh aura kematian yang memancar dari Dewa Penjagal Kedua. Dengan gada raksasa di tangannya, Dewa Penjagal mengayunkan senjatanya dengan kekuatan luar biasa, menyebabkan tanah di bawahnya retak setiap kali gada itu menghantam tanah.Kui Long, dengan tubuhnya yang gesit, terus menghindar dengan lompatan akrobatik dan menggunakan jurus Tapak Pendekar Sakti yang ia pelajari dari Dewa Pendekar Wei Lin. Setiap kali Dewa Penjagal menyerang, Kui Long membalas dengan gelombang energi yang melesat dari tangannya, mengirimkan serangan balik yang cukup kuat untuk membuat lawannya mundur beberapa langkah."Jurus pertama, Tapak Naga Menyusup Langit!" Kui Long berteriak saat melompat tinggi ke udara, menghantamkan tangannya ke bawah. Dari gerakan itu, muncul bayangan naga yang meluncur cepat menuju Dewa Penjagal Kedua. Serangan ini cukup cepat dan kuat, namun Dewa Penjagal berhas
Shin Kui Long berdiri dengan tubuh yang bersinar terang, energinya meluap seperti matahari yang akan meledak. Jurus pamungkas Tapak Neraka Langit yang akan ia lepaskan adalah salah satu yang terkuat dalam warisan ilmu dari Dewa Pendekar Wei Lin. Sebuah teknik yang telah menaklukkan musuh-musuh legendaris selama berabad-abad. Tapak ini tidak termasuk ke dalam delapan Jurus Tapak Pendekar Sakti karena jurus ini juga mengandalkan energi chi yang hanya dimiliki oleh kultivator.Dewa Pendekar mengajari jurus rahasia ini setelah melihat kemampuan Kui Long menguasai delapan jurus Tapak Pendekar Sakti.Dengan tangan yang bergetar penuh kekuatan, Kui Long menatap Dewa Penjagal Kedua yang masih berusaha bangkit, napasnya terengah-engah dan wajahnya dipenuhi keterkejutan serta kemarahan.Wei Hua, yang sebelumnya dipenuhi ketakutan, kini terdiam, menyaksikan perubahan luar biasa yang terjadi pada Kui Long. Aura keemasan yang memancar dari tubuh Kui Long terasa menenangkan namun penuh kekuatan yan
Shin Kui Long berdiri di puncak Pegunungan Pendekar, udara dingin pegunungan menyelimuti tubuhnya. Kabut tipis melayang di sekitar lereng-lereng yang terjal, tetapi di mata Kui Long, semuanya tampak jernih dan tajam. Setelah melalui perjalanan yang berat, kini ia tiba untuk bertemu kembali dengan Dewa Pendekar Wei Lin.Saat ia melangkah ke halaman utama Kuil Pendekar, Wei Lin telah menunggunya dengan tatapan penuh kekaguman. “Kui Long,” suara Wei Lin terdengar berat namun hangat. “Perkembanganmu sangat luar biasa. Aku bisa merasakan kekuatan besar dalam dirimu sekarang.”Kui Long tersenyum tipis, lalu merendahkan tubuhnya sebagai tanda hormat. “Semua berkat petunjuk dari Guru dan pelajaran dari Kitab Jiwa Sutra,” jawabnya dengan rendah hati. "Tubuh ini sudah tidak menjadi penghalang lagi bagi kultivasi."Wei Lin memperhatikan Kui Long sejenak, lalu melangkah maju, menepuk bahunya dengan bangga. “Kau kini jauh lebih kuat dari yang pernah kubayangkan. Tetapi, di luar sana, masih ada kek
Shin Kui Long kembali menuju Desa Iblis Merah dengan Mustika Iblis di tangannya. Saat ia memasuki desa, kabut merah tampak semakin tebal, hampir seolah-olah menyelimuti setiap sudutnya dengan aura mistis yang semakin menakutkan. Para penduduk yang melihat kembalinya Kui Long memandangnya dengan penuh harap—mereka tahu bahwa keberhasilannya melawan Minotaur Iblis adalah satu-satunya harapan mereka untuk terbebas dari ancaman yang menghantui desa selama ini.Ketika ia sampai di tempat kediaman Dewi Iblis, sebuah bangunan kuno yang dipenuhi patung-patung iblis dan naga, sosok wanita yang anggun namun menakutkan muncul di hadapannya. Dewi Iblis, dengan rambut hitamnya yang berkilauan seperti bulan di balik kabut merah, menatap Kui Long dengan mata yang penuh kebijaksanaan dan kegelapan. Di tangannya, ia memegang Pedang Iblis Suci, pedang berwarna hitam legam yang tampak memancarkan aura misterius, seolah-olah mengisap energi di sekitarnya."Kui Long," suara Dewi Iblis terdengar lembut nam
Shin Kui Long memacu langkahnya menuju Lembah Tiga Penjagal, tempat yang dikenal sebagai sarang terakhir dari para Dewa Penjagal. Lembah itu bukanlah tempat biasa—kabarnya dipenuhi jebakan berbahaya, makhluk-makhluk buas, dan penuh dengan aura kegelapan yang menakutkan. Namun, bagi Kui Long, tidak ada pilihan lain. Wei Hua berada di tangan salah satu Dewa Penjagal, dan ia harus menyelamatkannya, bagaimanapun caranya.Saat ia memasuki lembah, suasana berubah drastis. Angin terasa semakin dingin, dan kabut tebal menyelimuti jalur berbatu di depannya. Tiba-tiba, suara-suara aneh terdengar, seperti erangan makhluk buas yang tersembunyi dalam kegelapan."Ini pasti jebakan mereka," bisik Kui Long kepada dirinya sendiri, waspada terhadap setiap gerakan.Langkahnya tetap mantap, dan tak lama kemudian ia melihat sosok tinggi yang berdiri di kejauhan. Seorang pria bertubuh besar, mengenakan baju besi hitam yang berkilauan dalam kabut. Matanya merah menyala, dan pedang besar berwarna hitam legam
Kui Long mulai menyerang dengan kekuatan penuh dan cepat. Ia mengerahkan kekuatan dari Tapak Pendekar Sakti dan melangkah maju. Dengan satu gerakan yang mengalir, ia memukul dengan Jurus Tapak Angin Berbisik Tajam. Energi dari telapak tangannya berputar seperti badai, menghempas ke arah Dewa Penjagal Langit.Dewa Penjagal Langit tertawa keras. "Badai kecil? Itu tak akan cukup!" Ia mengayunkan pedangnya lagi, memecahkan badai angin dengan kekuatan brutal. Gelombang energi mereka saling berbenturan, membuat ledakan besar yang mengguncang tanah di sekitar mereka.Pertarungan semakin sengit. Kedua petarung saling melempar jurus, masing-masing mengeluarkan teknik andalan mereka. Dewa Penjagal Langit menggunakan Jurus Langit Murka dan Serangan Pedang Setan, serangan mematikan yang menghantam dengan energi hitam yang dapat merobek apa saja di jalurnya. Setiap tebasan pedang menghancurkan tanah dan batu di sekitarnya, membuat lembah terasa seperti medan perang neraka.Sementara itu, Kui Long
Setelah mengantar Wei Hua kembali ke Pegunungan Pendekar, Shin Kui Long bersiap melanjutkan perjalanan menuju Pulau Arak. Wei Hua, yang telah jatuh hati pada Kui Long, merasa berat hati melepaskannya. Ia menatap pria pujaannya dengan mata berkaca-kaca, perasaan sedih tergores dalam hatinya."Kui Long...," bisik Wei Hua saat ia duduk di tepi ranjang, luka-luka yang dideritanya memaksanya untuk beristirahat. "Kembalilah dengan selamat. Aku akan menunggumu."Kui Long menatapnya dengan lembut. Meski ia memahami perasaan Wei Hua, ia tahu misinya belum selesai. Dewa Bandit tengah merencanakan sesuatu yang jauh lebih besar, dan waktu tidak berpihak padanya. Ia tidak bisa berlama-lama."Aku akan kembali, Wei Hua," jawab Kui Long sambil tersenyum. "Istirahatlah dan sembuhkan lukamu. Saat semua ini berakhir, kita akan bertemu lagi."Wei Hua hanya bisa mengangguk pelan, menyembunyikan kesedihannya di balik senyum tipis. Saat Kui Long berbalik dan meninggalkan Pegunungan Pendekar, Wei Hua menatap
"Jurus kedua ini seperti tegukan anggur yang memabukkan," lanjut Kong Ming. "Serangan ini dimulai dengan langkah ringan, tetapi saat kau menyerang, energimu terkonsentrasi pada telapak tangan, menghasilkan serangan mendadak yang menghantam sekeras guntur."Kong Ming mempraktikkan jurus itu, mengayunkan tangannya dengan lambat namun tiba-tiba berubah menjadi kilat yang menghantam pohon di dekatnya hingga roboh. "Pukulan ini tidak hanya mengenai fisik, tetapi juga menyerang jiwa lawan, membuat mereka merasakan efek mabuk yang melumpuhkan.Sekarang coba kamu ikuti gerakanku tadi.”Kui Long memusatkan kekuatan di telapak tangannya dan mulai mempraktikkan serangan itu. Setiap pukulan membuatnya semakin merasa terhubung dengan energi mabuk yang dipadukan dengan serangan tajam. Ia merasakan kekuatan pukulannya makin kuat dan cepat.“Hahaha ... kamu memang berbakat, Kui Long. Langsung jurus ketiga!”Langkah Ilusi Bayangan"Ini adalah teknik penghindaran," kata Kong Ming sambil berjalan dengan
Langit retak, seperti kaca yang meleleh di bawah panas yang tak terlihat. Angin yang biasanya liar kini membeku, menggantung di udara seperti helaian kain rapuh. Di tengah dunia yang membisu itu, Dewa Pedang dan Immortal Kuno berdiri berhadapan, bagaikan dua puncak gunung abadi yang menolak runtuh. Waktu sendiri seolah menahan napas, menonton dalam diam.Di belakang Dewa Pedang, bayangan pedang-pedang raksasa melayang megah. Namun, ini bukan sekadar ilusi. Setiap pedang adalah kenangan hidup, gema dari senjata yang pernah ia genggam dan kuasai—dari pedang batu kasar yang ia tempa sendiri di masa fana, hingga Pedang Tanpa Nama, yang konon sanggup mengiris garis waktu dan membelah masa.Dewa Pedang melangkah maju. Tapak kakinya terdengar ringan, hampir tanpa suara, namun setiap sentuhan kakinya membuat tanah mengelupas, retakan membelah bumi bagai jaring laba-laba raksasa. Aura pedang yang menguar dari tubuhnya cukup untuk membuat rerumputan hangus dan batu-batu kecil melayang.Mengitar
Dewa Mabuk tersenyum miring, getir, dan menambahkan ..."Anggur Takdir Terbalik ... Biarlah kenyataan pun mabuk bersamaku malam ini."Tanpa ragu, ia meneguk seluruh isi cangkir itu. Dalam sekejap, dunia bergidik. Awan di langit berputar terbalik, suara gemuruh mengeras seperti teriakan jutaan jiwa yang terseret arus waktu.Tiga detik. Dalam rentang sesingkat itu, dunia seolah melangkah mundur.Formasi Surga Agung—pilar energi—semua bergerak mundur, melawan kodrat mereka sendiri. Tapi tubuh para Immortal, makhluk hidup yang terikat pada alur waktu normal, tidak ikut serta.Apa yang terjadi berikutnya bukanlah pertempuran—melainkan pembantaian tanpa pedang.Tubuh para Immortal mendadak kejang, wajah mereka pucat membiru. Dari dalam daging dan tulang mereka, retakan-retakan kecil muncul, memancarkan cahaya ungu aneh. Lalu, satu per satu, tubuh-tubuh agung itu meledak dari dalam, seolah mereka dihukum oleh paradoks yang tidak bisa mereka lawan.Darah spiritual menguap menjadi kabut ung
Pergerakan Dewa Mabuk berubah.Awalnya ia hanya bergoyang goyah seperti dedaunan kering tertiup angin senja. Namun, dalam sekejap, gerakannya menjadi lebih cepat—lebih halus, lebih sulit diikuti. Tubuhnya melayang, berputar-putar, dan tiap jejak langkahnya membentuk pusaran-pusaran bercahaya, menciptakan pola sihir rumit yang berdenyut, menyedot energi spiritual dari udara sekitarnya. Tanah di bawah kakinya bergetar, lalu retak, dan dari retakan-retakan itu... mengalir sesuatu yang tak wajar.Dalam kelipan waktu yang nyaris tak terdeteksi, medan perang berubah drastis.Tanah tandus itu perlahan membasahi dirinya sendiri, mengalir menjadi Danau Anggur Surgawi. Permukaannya berkilau ungu lembut, memantulkan bukan sekadar bayangan, tapi fragmen masa depan dari siapa pun yang berdiri di atasnya.Satu per satu, para Immortal memandang ke bawah—dan apa yang mereka lihat... memaku mereka di tempat."Tidak... kenapa aku..." Seorang Immortal berseru, wajahnya berubah pucat pasi, suaranya pecah
Kabut racun menggantung tebal di udara, membelai medan pertempuran yang hancur dengan sentuhan kematian. Di tengah reruntuhan dan bau logam darah yang menusuk, terdengar tawa—tawa yang aneh, nyaring, memecah keheningan seperti dentang lonceng tua di pemakaman para dewa."HAAAA—! Sudah kubilang..." Suara itu meraung, parau dan bergaung seperti mabuk badai. "Jangan ganggu orang yang sedang menikmati tegukan terakhirnya!!"Dari pusaran kabut itu, muncul sosok yang mustahil diabaikan. Seorang pria bertubuh tambun dengan langkah limbung, seolah sewaktu-waktu bisa jatuh... namun entah bagaimana, setiap gerakannya justru memancarkan bahaya yang membuat udara terasa berat. Rambutnya kusut, acak-acakan seperti sarang burung gagak, dan jubahnya—oh, jubahnya—robek-robek dengan bekas-bekas tumpahan anggur spiritual berkilau yang menodai kain lusuh itu.Di tangannya, tergenggam erat sebuah botol kaca tua. Dari dalamnya, cairan berwarna ungu tua memancarkan cahaya redup yang hampir hipnotik—Anggur
Kabut tebal yang menelan seluruh medan pertempuran perlahan-lahan menghilang, bukan karena angin yang meniupnya atau karena kekuatannya telah pudar—melainkan karena semua yang menjadi target kabut itu telah lenyap.Di tanah yang menghitam seperti terbakar, tubuh-tubuh para Immortal membatu dalam keheningan yang mengerikan. Mereka tak lagi hidup, tapi juga belum sepenuhnya mati. Kulit mereka telah mengeras menjadi arang, hitam berkilap seperti obsidian yang retak. Tatapan terakhir mereka membeku dalam rupa yang tak akan pernah dilupakan siapa pun yang melihat—mata terbelalak oleh teror, mulut setengah terbuka oleh ketakjuban, dan alis yang merunduk dalam penyesalan yang tak terselesaikan.Namun, sang pembawa malapetaka belum berhenti. Dewi Racun masih berdiri di tengah medan, jubahnya berkibar pelan oleh hembusan angin beracun yang tersisa. Cahaya dari langit yang lembayung menyorot wajahnya yang tak menunjukkan emosi selain ketenangan dingin.Dari kehampaan, lima cahaya redup mulai be
—Ketika racun bukan lagi sekadar senjata, tapi kutukan dunia itu sendiri—Medan perang menjadi lautan kehijauan yang membara dalam keheningan yang mengerikan. Tanah yang disentuh jimat Dewi Racun telah berubah menjadi ladang kematian ... bunga-bunga berbentuk tengkorak merekah dari tanah, memuntahkan spora beracun berwarna merah darah, sementara kabut ungu kehijauan merambat seperti tangan-tangan makhluk lapar yang mengincar jiwa.Dewi Racun berdiri di tengah-tengah pusaran itu, rambutnya melayang seperti ular-ular kecil, dan gaunnya bergelombang, seolah dijalin dari kabut itu sendiri. Di tangan kirinya, ia genggam Jimat Racun Kehancuran Tiga Dunia—artefak yang tak pernah diaktifkan sepenuhnya… sampai hari ini.“Kalian para immortal, begitu sombong dengan keabadian kalian... Tapi tidak ada yang abadi di hadapan racun yang benar-benar murni.” Suara Dewi Racun menggema, serak namun memikat, mengandung mantra yang memengaruhi kesadaran.Beberapa Immortal mulai berteriak histeris. Ilusi
—Dua kekuatan kuno bertabrakan di langit dunia—Langit seolah mendidih. Darah para bintang menetes ke bumi dalam bentuk kilatan energi liar yang tak terbendung.Naga Wrath, makhluk dari reruntuhan abadi dan badai abadi, meraung liar, memekakkan setiap jiwa yang masih tersisa di medan perang. Petir hitam di tubuhnya kini menebal, menciptakan badai magnetik raksasa yang menghisap segala bentuk energi spiritual di sekitarnya. Ia menggulung udara menjadi tombak-tombak listrik yang melesat ke segala arah. Salah satunya menghantam dada Azteca, meledak menjadi gelombang plasma yang membelah awan.Azteca mengerang, tapi tidak mundur.Matanya yang bersinar biru kehijauan kini berubah menjadi merah darah. Simbol-simbol kuno di tubuhnya menyala lebih terang, berdenyut seperti jantung dunia itu sendiri. Dari sela-sela sisiknya, muncul kilatan emas—bukan emas biasa, melainkan “Ollin”, esensi gerak semesta.“Tlazohcamati, Huehuecoyotl... berikan aku tarian terakhir dari para dewa.”Azteca terangkat
Ledakan terakhir dari serangan pusaran hitam yang menelan Lin Feng masih membekas di langit, membelah awan menjadi dua. Debu dan puing dari tanah yang terkoyak beterbangan, sementara api dan es beradu di udara, menciptakan pelangi berdarah di cakrawala. Namun di tengah kekacauan itu, medan perang belum berhenti berdetak.***Di atas langit merah, Naga Azteca menggila. Sisiknya yang bersinar dengan pola kuno berkedip cepat, menandakan amarah yang tak lagi bisa dibendung. Naga Wrath meraung menantang, tubuhnya yang berbalut petir hitam meluncur dengan kecepatan meteor, membentur perisai spiritual Azteca hingga ruang di sekitarnya retak seperti kaca.Namun kali ini, Azteca membuka mulutnya, mengeluarkan suara bernada rendah, nyaris seperti nyanyian ritual. “Hezkani... teotl tlatoani...”—dan tiba-tiba, ribuan simbol kuno terpancar dari tubuhnya, membentuk lingkaran sihir raksasa di langit.Ritual Leluhur Azteca—Sumpah Darah Langit Ketujuh.Ritual itu bukan sekadar serangan. Ia adalah wari
Di bawah langit yang muram, dua sosok bertarung dengan intensitas yang mengguncang alam semesta. Kui Long dan Lin Feng saling berhadapan, energi mereka bertabrakan dan menciptakan gelombang dahsyat yang meremukkan segala yang ada di sekeliling.Lin Feng, dengan Pedang Surgawi yang memancarkan cahaya keemasan, melesat seperti kilat. Setiap ayunan pedangnya meninggalkan jejak cahaya yang membelah udara, menembus kegelapan yang menyelimuti Kui Long. Namun, Dewa Iblis Gerbang Neraka itu tidak tinggal diam. Dengan senyum sinis, ia mengangkat tangannya, menciptakan pusaran bayangan yang berputar ganas, menyerap sebagian besar serangan Lin Feng."Tidak buruk, Lin Feng," suara Kui Long bergema, berat dan penuh kekuatan. "Tapi kau harus berusaha lebih keras untuk mengalahkanku!"Dengan gerakan cepat, Kui Long membentuk tombak hitam raksasa yang berputar liar, dipenuhi energi destruktif. Tombak itu melesat menuju Lin Feng dengan kecepatan yang hampir tak terjangkau oleh mata manusia.Lin Fe