Para Ninja, yang awalnya merasa yakin dengan jumlah mereka, kini terkejut oleh kelincahan dan keahlian Shin Kui Long. Dalam hitungan detik, dua dari mereka sudah terkapar di lantai dengan luka menganga di dada.Pemimpin Ninja itu menyadari keseriusan situasi. “Serang bersama!” teriaknya, memerintahkan anak buahnya yang tersisa untuk menyerang Shin Kui Long dari segala arah.Namun, bagi Shin Kui Long, serangan itu terasa seperti gerakan lamban. Dengan gerakan yang terlatih, ia memutar tubuhnya, menghindari setiap tebasan pedang dan tinju yang datang. Keringat mulai membasahi dahinya, tetapi matanya tetap fokus, penuh determinasi. Setiap langkahnya terasa ringan, seakan angin membawanya, sementara setiap tebasan pedangnya tepat sasaran, memotong udara dengan bunyi yang tajam.Pertempuran di dalam kabin semakin sengit. Suara benturan logam dan teriakan para Ninja bercampur dengan derak kayu yang mulai rusak. Kabin itu, yang awalnya sempit, kini terasa semakin mengecil dengan gerakan mere
Malam itu, di bawah sinar bulan yang redup, bayangan bergerak cepat menuju tempat penyewaan kapal dekat dermaga. Suasana di sana masih ramai, suara tawa dan obrolan keras para pemilik kapal yang asyik berjudi di tepi jalanan mengisi udara malam. Tidak ada yang menyadari bayangan itu hingga ia berhenti di depan mereka, tubuhnya tegak berdiri, memancarkan aura dingin yang memotong keriuhan.“Sudah penuh di sini, cari tempat lain!” seru salah satu penjudi tanpa mengangkat kepalanya, mengira bayangan itu sekadar penantang baru dalam permainan mereka. Tapi bayangan itu tak bergerak, tetap diam, menjadi pusat perhatian yang tak diinginkan oleh para penjudi.“Sudah kubilang, pergi atau aku hajar kau!” ancam si penjudi muda, darahnya mulai mendidih oleh gangguan yang dirasakannya. Namun, bayangan itu hanya menghela napas pelan, kata-katanya keluar seperti desis ular berbisa, “Kembalikan uangku! Kau telah berbuat curang, menghianati kesepakatan kita. Kembalikan, atau mati!”Penjudi muda itu me
#Hari Kesepuluh #Langit mendung menggantung rendah di atas Samudra Naga Sakti, menyembunyikan matahari yang seharusnya menjadi panduan bagi Shin Kui Long. Tanpa seorang nakhoda yang berpengalaman, pria yang dikenal sebagai Dewa Iblis Gerbang Neraka itu berjuang mengarahkan kapal tua di bawah kuasanya, menuju Pulau Naga Sakti yang misterius.Air laut yang tenang awalnya membuatnya merasa yakin bisa menavigasi kapal dengan baik. Namun, pikiran tentang Pak Tua yang sebelumnya menipunya terus menghantui benaknya. Shin Kui Long menggertakkan gigi, mengingat bagaimana orang tua itu berkata bahwa arah angin dan matahari akan membawanya ke tujuan. "Kalau saja kau jujur, Pak Tua, mungkin aku akan membayarmu lebih banyak. Tapi sekarang, kau mengkhianatiku," gerutunya, nada suaranya dipenuhi penyesalan bercampur kemarahan.Malam pertama di lautan, Shin Kui Long hanya bisa beristirahat dengan hati-hati, memastikan kapal tetap pada jalurnya saat matahari terbit. Lautan tetap tenang, seakan member
“Kuat sekali... Ini tidak akan mudah,” gumamnya, napasnya mulai terasa berat. Dia menyadari bahwa Kraken bukanlah lawan yang bisa dikalahkan dengan serangan biasa. Pergerakan makhluk itu, meskipun besar dan tampak lamban, dipenuhi dengan keakuratan dan kekuatan yang mematikan.Tiba-tiba, dari kedalaman samudra, muncul lebih banyak tentakel, mengitari kapal dari segala arah. Mereka meliuk-liuk seperti ular raksasa yang lapar, siap meremukkan kapal dan siapa pun di atasnya. Tak ada waktu untuk mundur. Shin Kui Long harus memilih: bertarung mati-matian atau menyerah pada nasib yang telah mengirimnya ke dalam cengkeraman maut ini.Shin Kui Long mengeluarkan jurus andalannya, "Dewa Penghancur Lautan", teknik yang mampu membelah air dan mengusir ombak dengan satu serangan dahsyat. Dia berdiri tegak di atas kapal, mengumpulkan semua kekuatannya hingga aura emas menyelubungi tubuhnya, menerangi kegelapan yang mulai menyelimuti lautan.Dengan teriakan penuh tekad, Shin Kui Long melepaskan puku
Perjalanan laut dengan kapal selama dua hari dengan gelombang yang besar dan makhluk laut yang ganas membuat kondisi Shin Kui Long menurun padahal waktu yang tersisa tinggal 6 hari lagi. Kapal hancur diterjang Kraken, salah satu makhluk legenda yang mirip gurita raksasa.Shin Kui Long terdampar di Pulau Naga Sakti dalam keadaan tidak sadarkan diri, setelah seluruh kapal hancur diterjang makhluk raksasa ini.Kraken benar-benar menunjukkan kehebatannya sebagai penguasa samudra yang tak terkalahkan, bahkan sekelas Dewa Iblis Gerbang Neraka tidak kuasa menghentikannya.Pulau Naga Sakti terlihat sepintas bagaikan bentuk naga melingkar yang sedang tidur. Keangkeran namanya tidak sebanding dengan keindahan yang ditunjukkan oleh pulau yang senantiasa diselubungi kabut putih tipis ini. Suhu yang dingin membuat Shin Kui Long tersadar di tepi pantai pulau ini.AAARRRGGGH!Teriakan kesakitan dirasakannya saat dia mencabut serpihan kayu tajam yang menusuk bagian pinggangnya, yang berasal dari pec
Mata Shin Kui Long perlahan mulai terbuka, pandangannya yang buram berubah jelas. Cahaya lembut menerpa wajah wanita di hadapannya—seorang wanita yang cantiknya bagaikan bidadari dari Kahyangan."Wow! Kamu sangat cantik!" ucap Shin Kui Long tanpa berpikir panjang, kekaguman meluncur begitu saja dari bibirnya.Wajah Shiu Ling langsung merona. Senyumnya bermain di bibir, memancing, "Kamu tidak malu-malu ya memujiku begitu? Memangnya aku secantik yang kamu bayangkan?""Jangankan melihat parasmu," jawab Shin Kui Long sambil tersenyum lebar, "mendengar suaramu saja sudah membuatku jatuh cinta."Shiu Ling tertawa kecil, matanya berbinar penuh godaan. "Gombal! Mana mungkin pria jatuh cinta hanya karena suara? Kalau aku bersuara merdu tapi wajahku jelek, apakah kamu masih akan mencintaiku?""Tentu saja! Cinta sejati tak mengenal rupa!" Shin Kui Long menegaskan, yakin dengan ucapannya.Shiu Ling tertawa pelan sebelum berkata, "Bukan aku yang menemukanmu, tahu? Bai Ling yang menemukanku dulu, d
Shiu Ling mengangkat bahunya, matanya yang berkilauan seperti mengolok-olok Shin Kui Long. "Kamu tidak sadarkan diri selama tiga hari," jawabnya ringan, seolah hal itu tak begitu penting. "Untung Bai Ling menemukanku saat itu, kalau tidak, kamu mungkin tidak akan bangun lagi."Shin Kui Long tersentak mendengar jawaban itu. Tiga hari? Itu waktu yang lama. Dewa Mabuk sudah menantinya, dan setiap detik berarti! Kepanikannya mulai muncul. Namun, sebelum ia sempat merespons lebih jauh, Shiu Ling melangkah maju, ekspresinya menjadi lebih serius."Jadi, apa yang sebenarnya kamu lakukan di sini, Long Shin? Apa kamu mencari sesuatu? Atau seseorang?" tanyanya lagi, nadanya lembut, tapi jelas penuh rasa ingin tahu.Shin Kui Long meneguk air liur, berusaha menyusun kata-kata. Matanya melirik ke arah Bai Ling yang masih berdiri megah di sudut ruangan. Naga putih itu terlihat tenang, tetapi aura kekuatan yang memancar darinya membuat Shin Kui Long semakin menyadari betapa istimewanya tempat ini."A
Shiu Ling berdiri dari tempatnya dengan gerakan anggun, lantas melangkah mendekati Bai Ling. Udara di sekitar mereka seolah berubah, menebarkan aura yang menegangkan sekaligus penuh misteri. Bai Ling, naga putih agung itu, memandang Shin Kui Long dengan mata cemerlang yang memancarkan kebijaksanaan berabad-abad. Ada sejumput ketegangan di udara, seolah-olah sesuatu yang besar tengah bersiap terjadi."Siap-siaplah, Long Shin," ujar Shiu Ling dengan nada yang penuh peringatan, suaranya lembut namun kuat, seolah memecah ketenangan di ruangan itu. "Sisik naga bukan sekadar benda biasa. Proses untuk mengambilnya bisa lebih berat dari apa yang kau bayangkan."Shin Kui Long menelan ludah. Ia mengira sisik itu hanya sesuatu yang bisa ia ambil begitu saja—seperti memetik buah dari pohon. Tapi kini, ia mulai merasakan bahwa permintaannya bukan sekadar soal keberanian. Bai Ling mendekatkan tubuh besarnya, bulu-bulu putihnya yang berkilauan seperti salju di bawah sinar matahari menari di udara.
Langit retak, seperti kaca yang meleleh di bawah panas yang tak terlihat. Angin yang biasanya liar kini membeku, menggantung di udara seperti helaian kain rapuh. Di tengah dunia yang membisu itu, Dewa Pedang dan Immortal Kuno berdiri berhadapan, bagaikan dua puncak gunung abadi yang menolak runtuh. Waktu sendiri seolah menahan napas, menonton dalam diam.Di belakang Dewa Pedang, bayangan pedang-pedang raksasa melayang megah. Namun, ini bukan sekadar ilusi. Setiap pedang adalah kenangan hidup, gema dari senjata yang pernah ia genggam dan kuasai—dari pedang batu kasar yang ia tempa sendiri di masa fana, hingga Pedang Tanpa Nama, yang konon sanggup mengiris garis waktu dan membelah masa.Dewa Pedang melangkah maju. Tapak kakinya terdengar ringan, hampir tanpa suara, namun setiap sentuhan kakinya membuat tanah mengelupas, retakan membelah bumi bagai jaring laba-laba raksasa. Aura pedang yang menguar dari tubuhnya cukup untuk membuat rerumputan hangus dan batu-batu kecil melayang.Mengitar
Dewa Mabuk tersenyum miring, getir, dan menambahkan ..."Anggur Takdir Terbalik ... Biarlah kenyataan pun mabuk bersamaku malam ini."Tanpa ragu, ia meneguk seluruh isi cangkir itu. Dalam sekejap, dunia bergidik. Awan di langit berputar terbalik, suara gemuruh mengeras seperti teriakan jutaan jiwa yang terseret arus waktu.Tiga detik. Dalam rentang sesingkat itu, dunia seolah melangkah mundur.Formasi Surga Agung—pilar energi—semua bergerak mundur, melawan kodrat mereka sendiri. Tapi tubuh para Immortal, makhluk hidup yang terikat pada alur waktu normal, tidak ikut serta.Apa yang terjadi berikutnya bukanlah pertempuran—melainkan pembantaian tanpa pedang.Tubuh para Immortal mendadak kejang, wajah mereka pucat membiru. Dari dalam daging dan tulang mereka, retakan-retakan kecil muncul, memancarkan cahaya ungu aneh. Lalu, satu per satu, tubuh-tubuh agung itu meledak dari dalam, seolah mereka dihukum oleh paradoks yang tidak bisa mereka lawan.Darah spiritual menguap menjadi kabut ung
Pergerakan Dewa Mabuk berubah.Awalnya ia hanya bergoyang goyah seperti dedaunan kering tertiup angin senja. Namun, dalam sekejap, gerakannya menjadi lebih cepat—lebih halus, lebih sulit diikuti. Tubuhnya melayang, berputar-putar, dan tiap jejak langkahnya membentuk pusaran-pusaran bercahaya, menciptakan pola sihir rumit yang berdenyut, menyedot energi spiritual dari udara sekitarnya. Tanah di bawah kakinya bergetar, lalu retak, dan dari retakan-retakan itu... mengalir sesuatu yang tak wajar.Dalam kelipan waktu yang nyaris tak terdeteksi, medan perang berubah drastis.Tanah tandus itu perlahan membasahi dirinya sendiri, mengalir menjadi Danau Anggur Surgawi. Permukaannya berkilau ungu lembut, memantulkan bukan sekadar bayangan, tapi fragmen masa depan dari siapa pun yang berdiri di atasnya.Satu per satu, para Immortal memandang ke bawah—dan apa yang mereka lihat... memaku mereka di tempat."Tidak... kenapa aku..." Seorang Immortal berseru, wajahnya berubah pucat pasi, suaranya pecah
Kabut racun menggantung tebal di udara, membelai medan pertempuran yang hancur dengan sentuhan kematian. Di tengah reruntuhan dan bau logam darah yang menusuk, terdengar tawa—tawa yang aneh, nyaring, memecah keheningan seperti dentang lonceng tua di pemakaman para dewa."HAAAA—! Sudah kubilang..." Suara itu meraung, parau dan bergaung seperti mabuk badai. "Jangan ganggu orang yang sedang menikmati tegukan terakhirnya!!"Dari pusaran kabut itu, muncul sosok yang mustahil diabaikan. Seorang pria bertubuh tambun dengan langkah limbung, seolah sewaktu-waktu bisa jatuh... namun entah bagaimana, setiap gerakannya justru memancarkan bahaya yang membuat udara terasa berat. Rambutnya kusut, acak-acakan seperti sarang burung gagak, dan jubahnya—oh, jubahnya—robek-robek dengan bekas-bekas tumpahan anggur spiritual berkilau yang menodai kain lusuh itu.Di tangannya, tergenggam erat sebuah botol kaca tua. Dari dalamnya, cairan berwarna ungu tua memancarkan cahaya redup yang hampir hipnotik—Anggur
Kabut tebal yang menelan seluruh medan pertempuran perlahan-lahan menghilang, bukan karena angin yang meniupnya atau karena kekuatannya telah pudar—melainkan karena semua yang menjadi target kabut itu telah lenyap.Di tanah yang menghitam seperti terbakar, tubuh-tubuh para Immortal membatu dalam keheningan yang mengerikan. Mereka tak lagi hidup, tapi juga belum sepenuhnya mati. Kulit mereka telah mengeras menjadi arang, hitam berkilap seperti obsidian yang retak. Tatapan terakhir mereka membeku dalam rupa yang tak akan pernah dilupakan siapa pun yang melihat—mata terbelalak oleh teror, mulut setengah terbuka oleh ketakjuban, dan alis yang merunduk dalam penyesalan yang tak terselesaikan.Namun, sang pembawa malapetaka belum berhenti. Dewi Racun masih berdiri di tengah medan, jubahnya berkibar pelan oleh hembusan angin beracun yang tersisa. Cahaya dari langit yang lembayung menyorot wajahnya yang tak menunjukkan emosi selain ketenangan dingin.Dari kehampaan, lima cahaya redup mulai be
—Ketika racun bukan lagi sekadar senjata, tapi kutukan dunia itu sendiri—Medan perang menjadi lautan kehijauan yang membara dalam keheningan yang mengerikan. Tanah yang disentuh jimat Dewi Racun telah berubah menjadi ladang kematian ... bunga-bunga berbentuk tengkorak merekah dari tanah, memuntahkan spora beracun berwarna merah darah, sementara kabut ungu kehijauan merambat seperti tangan-tangan makhluk lapar yang mengincar jiwa.Dewi Racun berdiri di tengah-tengah pusaran itu, rambutnya melayang seperti ular-ular kecil, dan gaunnya bergelombang, seolah dijalin dari kabut itu sendiri. Di tangan kirinya, ia genggam Jimat Racun Kehancuran Tiga Dunia—artefak yang tak pernah diaktifkan sepenuhnya… sampai hari ini.“Kalian para immortal, begitu sombong dengan keabadian kalian... Tapi tidak ada yang abadi di hadapan racun yang benar-benar murni.” Suara Dewi Racun menggema, serak namun memikat, mengandung mantra yang memengaruhi kesadaran.Beberapa Immortal mulai berteriak histeris. Ilusi
—Dua kekuatan kuno bertabrakan di langit dunia—Langit seolah mendidih. Darah para bintang menetes ke bumi dalam bentuk kilatan energi liar yang tak terbendung.Naga Wrath, makhluk dari reruntuhan abadi dan badai abadi, meraung liar, memekakkan setiap jiwa yang masih tersisa di medan perang. Petir hitam di tubuhnya kini menebal, menciptakan badai magnetik raksasa yang menghisap segala bentuk energi spiritual di sekitarnya. Ia menggulung udara menjadi tombak-tombak listrik yang melesat ke segala arah. Salah satunya menghantam dada Azteca, meledak menjadi gelombang plasma yang membelah awan.Azteca mengerang, tapi tidak mundur.Matanya yang bersinar biru kehijauan kini berubah menjadi merah darah. Simbol-simbol kuno di tubuhnya menyala lebih terang, berdenyut seperti jantung dunia itu sendiri. Dari sela-sela sisiknya, muncul kilatan emas—bukan emas biasa, melainkan “Ollin”, esensi gerak semesta.“Tlazohcamati, Huehuecoyotl... berikan aku tarian terakhir dari para dewa.”Azteca terangkat
Ledakan terakhir dari serangan pusaran hitam yang menelan Lin Feng masih membekas di langit, membelah awan menjadi dua. Debu dan puing dari tanah yang terkoyak beterbangan, sementara api dan es beradu di udara, menciptakan pelangi berdarah di cakrawala. Namun di tengah kekacauan itu, medan perang belum berhenti berdetak.***Di atas langit merah, Naga Azteca menggila. Sisiknya yang bersinar dengan pola kuno berkedip cepat, menandakan amarah yang tak lagi bisa dibendung. Naga Wrath meraung menantang, tubuhnya yang berbalut petir hitam meluncur dengan kecepatan meteor, membentur perisai spiritual Azteca hingga ruang di sekitarnya retak seperti kaca.Namun kali ini, Azteca membuka mulutnya, mengeluarkan suara bernada rendah, nyaris seperti nyanyian ritual. “Hezkani... teotl tlatoani...”—dan tiba-tiba, ribuan simbol kuno terpancar dari tubuhnya, membentuk lingkaran sihir raksasa di langit.Ritual Leluhur Azteca—Sumpah Darah Langit Ketujuh.Ritual itu bukan sekadar serangan. Ia adalah wari
Di bawah langit yang muram, dua sosok bertarung dengan intensitas yang mengguncang alam semesta. Kui Long dan Lin Feng saling berhadapan, energi mereka bertabrakan dan menciptakan gelombang dahsyat yang meremukkan segala yang ada di sekeliling.Lin Feng, dengan Pedang Surgawi yang memancarkan cahaya keemasan, melesat seperti kilat. Setiap ayunan pedangnya meninggalkan jejak cahaya yang membelah udara, menembus kegelapan yang menyelimuti Kui Long. Namun, Dewa Iblis Gerbang Neraka itu tidak tinggal diam. Dengan senyum sinis, ia mengangkat tangannya, menciptakan pusaran bayangan yang berputar ganas, menyerap sebagian besar serangan Lin Feng."Tidak buruk, Lin Feng," suara Kui Long bergema, berat dan penuh kekuatan. "Tapi kau harus berusaha lebih keras untuk mengalahkanku!"Dengan gerakan cepat, Kui Long membentuk tombak hitam raksasa yang berputar liar, dipenuhi energi destruktif. Tombak itu melesat menuju Lin Feng dengan kecepatan yang hampir tak terjangkau oleh mata manusia.Lin Fe