Perjalanan laut dengan kapal selama dua hari dengan gelombang yang besar dan makhluk laut yang ganas membuat kondisi Shin Kui Long menurun padahal waktu yang tersisa tinggal 6 hari lagi. Kapal hancur diterjang Kraken, salah satu makhluk legenda yang mirip gurita raksasa.Shin Kui Long terdampar di Pulau Naga Sakti dalam keadaan tidak sadarkan diri, setelah seluruh kapal hancur diterjang makhluk raksasa ini.Kraken benar-benar menunjukkan kehebatannya sebagai penguasa samudra yang tak terkalahkan, bahkan sekelas Dewa Iblis Gerbang Neraka tidak kuasa menghentikannya.Pulau Naga Sakti terlihat sepintas bagaikan bentuk naga melingkar yang sedang tidur. Keangkeran namanya tidak sebanding dengan keindahan yang ditunjukkan oleh pulau yang senantiasa diselubungi kabut putih tipis ini. Suhu yang dingin membuat Shin Kui Long tersadar di tepi pantai pulau ini.AAARRRGGGH!Teriakan kesakitan dirasakannya saat dia mencabut serpihan kayu tajam yang menusuk bagian pinggangnya, yang berasal dari pec
Mata Shin Kui Long perlahan mulai terbuka, pandangannya yang buram berubah jelas. Cahaya lembut menerpa wajah wanita di hadapannya—seorang wanita yang cantiknya bagaikan bidadari dari Kahyangan."Wow! Kamu sangat cantik!" ucap Shin Kui Long tanpa berpikir panjang, kekaguman meluncur begitu saja dari bibirnya.Wajah Shiu Ling langsung merona. Senyumnya bermain di bibir, memancing, "Kamu tidak malu-malu ya memujiku begitu? Memangnya aku secantik yang kamu bayangkan?""Jangankan melihat parasmu," jawab Shin Kui Long sambil tersenyum lebar, "mendengar suaramu saja sudah membuatku jatuh cinta."Shiu Ling tertawa kecil, matanya berbinar penuh godaan. "Gombal! Mana mungkin pria jatuh cinta hanya karena suara? Kalau aku bersuara merdu tapi wajahku jelek, apakah kamu masih akan mencintaiku?""Tentu saja! Cinta sejati tak mengenal rupa!" Shin Kui Long menegaskan, yakin dengan ucapannya.Shiu Ling tertawa pelan sebelum berkata, "Bukan aku yang menemukanmu, tahu? Bai Ling yang menemukanku dulu, d
Shiu Ling mengangkat bahunya, matanya yang berkilauan seperti mengolok-olok Shin Kui Long. "Kamu tidak sadarkan diri selama tiga hari," jawabnya ringan, seolah hal itu tak begitu penting. "Untung Bai Ling menemukanku saat itu, kalau tidak, kamu mungkin tidak akan bangun lagi."Shin Kui Long tersentak mendengar jawaban itu. Tiga hari? Itu waktu yang lama. Dewa Mabuk sudah menantinya, dan setiap detik berarti! Kepanikannya mulai muncul. Namun, sebelum ia sempat merespons lebih jauh, Shiu Ling melangkah maju, ekspresinya menjadi lebih serius."Jadi, apa yang sebenarnya kamu lakukan di sini, Long Shin? Apa kamu mencari sesuatu? Atau seseorang?" tanyanya lagi, nadanya lembut, tapi jelas penuh rasa ingin tahu.Shin Kui Long meneguk air liur, berusaha menyusun kata-kata. Matanya melirik ke arah Bai Ling yang masih berdiri megah di sudut ruangan. Naga putih itu terlihat tenang, tetapi aura kekuatan yang memancar darinya membuat Shin Kui Long semakin menyadari betapa istimewanya tempat ini."A
Shiu Ling berdiri dari tempatnya dengan gerakan anggun, lantas melangkah mendekati Bai Ling. Udara di sekitar mereka seolah berubah, menebarkan aura yang menegangkan sekaligus penuh misteri. Bai Ling, naga putih agung itu, memandang Shin Kui Long dengan mata cemerlang yang memancarkan kebijaksanaan berabad-abad. Ada sejumput ketegangan di udara, seolah-olah sesuatu yang besar tengah bersiap terjadi."Siap-siaplah, Long Shin," ujar Shiu Ling dengan nada yang penuh peringatan, suaranya lembut namun kuat, seolah memecah ketenangan di ruangan itu. "Sisik naga bukan sekadar benda biasa. Proses untuk mengambilnya bisa lebih berat dari apa yang kau bayangkan."Shin Kui Long menelan ludah. Ia mengira sisik itu hanya sesuatu yang bisa ia ambil begitu saja—seperti memetik buah dari pohon. Tapi kini, ia mulai merasakan bahwa permintaannya bukan sekadar soal keberanian. Bai Ling mendekatkan tubuh besarnya, bulu-bulu putihnya yang berkilauan seperti salju di bawah sinar matahari menari di udara.
Pandangan Shin Kui Long kembali fokus saat Shiu Ling berdiri di hadapannya, wajahnya yang lembut kini terlihat lebih serius, namun tetap memancarkan kecantikan yang hampir tak terlukiskan. Senyum misterius yang selalu menghiasi wajah Shiu Ling kini perlahan memudar, tergantikan oleh ekspresi yang lebih dalam, seolah-olah ada sesuatu yang besar yang akan ia ungkapkan."Long Shin," Shiu Ling mulai berbicara dengan nada yang lebih rendah, seakan setiap kata yang keluar membawa bobot perasaan yang dalam, "sebenarnya, aku bukan sekadar pelayan Dewi Naga. Aku... adalah Dewi Naga itu sendiri."Shin Kui Long terdiam, terkejut oleh pengakuan itu. Wajahnya menampakkan ketidakpercayaan, namun seketika itu juga, ia merasa seolah-olah semuanya mulai masuk akal—keanggunan, kekuatan, dan aura luar biasa yang selalu mengelilingi Shiu Ling. Ia tidak sekadar wanita biasa. Ia adalah dewi yang selama ini dicari."Shiu Ling... Kau adalah...?" Shin Kui Long tergagap.Shiu Ling tersenyum lembut, kali ini ta
Dewi Naga Shiu Ling telah mengagumi kehebatan Dewa Iblis Gerbang Neraka. Jadi, saat Dewa Iblis Gerbang Neraka tewas dikeroyok ribuan Immortal dan Pendekar, hatinya sangat terluka. Saat Shin Kui Long menyinggung Dewa Bandit yang menghina Dewa Ibis Neraka, hati Shiu Ling sangat senang. Sekarang ia baru teringat pemuda yang bersama Dewa Mabuk saat pertemuan Dewa Persilatan di Kota Pendekar."Ternyata yng menentang Dewa Bandit saat itu adalah kamu? Pantas aku tidak asing dengan wajahmu," ujar Dewi Naga sambil terkekeh pelan."Benar sekali, Ling'er ... sayang sekali Teratai Biru dan Mata Air Racun hilang saat kapalku hancur oleh kekuatan Kraken. Apa kamu bisa mengantarkanku ke Lembah Seribu Pedang dan Lembah Racun Surgawi?" tanya Shin Kui Long."Hihihi ... aku tidak akan mengantarkanmu ke sana melainkan langsung ke Pulau Arak!" "Kenapa? Tanpa dua bahan tersebut tidak akan bisa meracik ramuan untuk penawar racun Hidup yang sekarang meracuni Dewa Mabuk," ucap Shin Kui Long terheran-heran."
Malam itu terus berlalu. Bai Ling terus melesat melalui langit, membawa mereka semakin dekat ke Pulau Arak. Shin Kui Long tak bisa menghitung waktu dengan pasti, tapi rasanya baru beberapa jam saja mereka terbang, dan ia sudah bisa melihat siluet Pulau Arak yang mendekat di kejauhan. Cahaya samar dari pantai dan pepohonan mulai terlihat, memberi isyarat bahwa tujuan mereka sudah dekat.Saat mereka mendekati pulau, Bai Ling melambat, turun dengan anggun menuju pantai berpasir putih. Hembusan angin malam yang sejuk membawa aroma laut yang kuat, membaur dengan wangi tanah basah di daratan. Dengan satu gerakan halus, Bai Ling mendarat tanpa suara, menjejakkan kaki besarnya di pasir dengan lembut. Shin Kui Long merasakan tanah keras di bawah kakinya saat ia melompat turun, disusul oleh Shiu Ling yang turun dengan lincah."Ini dia, Pulau Arak," kata Shiu Ling, suaranya penuh keyakinan. "Dewa Mabuk pasti ada di tempatnya. Kita tak boleh menyia-nyiakan waktu."Shin Kui Long mengangguk. Dengan
Shin Kui Long menyaksikan perubahan luar biasa pada Dewa Mabuk, tubuh yang semula lemah kini kembali bugar seiring ramuan ajaib yang Shiu Ling racik bekerja dengan cepat. Perasaan lega membanjiri hatinya, tapi di tengah rasa lega itu, muncul pertanyaan yang tak terhindarkan—apa yang akan terjadi selanjutnya?Dewa Mabuk bangkit perlahan dari dipan bambu, meregangkan otot-ototnya yang terasa baru mendapatkan kekuatan kembali. Matanya memandang Dewi Naga dengan penuh rasa terima kasih. "Shiu Ling, kau telah melakukan sesuatu yang luar biasa. Bukan hanya nyawaku yang kau selamatkan, tapi mungkin seluruh pulau ini dari bencana yang tak terbayangkan. Racun Hidup itu sangat berbahaya, dan aku khawatir dampaknya akan menyebar lebih jauh jika tidak segera ditangani."Shiu Ling tersenyum simpul, mencoba merendah, "Aku hanya tidak ingin kehilanganmu, Kong Ming! Tanpa bantuan Bai Ling dan Long Shin, aku tak mungkin bisa sampai tepat waktu."Dewa Mabuk mengangguk, menyadari kebenaran itu. "Ya, Dew
Dewa Mabuk tersenyum miring, getir, dan menambahkan ..."Anggur Takdir Terbalik ... Biarlah kenyataan pun mabuk bersamaku malam ini."Tanpa ragu, ia meneguk seluruh isi cangkir itu. Dalam sekejap, dunia bergidik. Awan di langit berputar terbalik, suara gemuruh mengeras seperti teriakan jutaan jiwa yang terseret arus waktu.Tiga detik. Dalam rentang sesingkat itu, dunia seolah melangkah mundur.Formasi Surga Agung—pilar energi—semua bergerak mundur, melawan kodrat mereka sendiri. Tapi tubuh para Immortal, makhluk hidup yang terikat pada alur waktu normal, tidak ikut serta.Apa yang terjadi berikutnya bukanlah pertempuran—melainkan pembantaian tanpa pedang.Tubuh para Immortal mendadak kejang, wajah mereka pucat membiru. Dari dalam daging dan tulang mereka, retakan-retakan kecil muncul, memancarkan cahaya ungu aneh. Lalu, satu per satu, tubuh-tubuh agung itu meledak dari dalam, seolah mereka dihukum oleh paradoks yang tidak bisa mereka lawan.Darah spiritual menguap menjadi kabut ung
Pergerakan Dewa Mabuk berubah.Awalnya ia hanya bergoyang goyah seperti dedaunan kering tertiup angin senja. Namun, dalam sekejap, gerakannya menjadi lebih cepat—lebih halus, lebih sulit diikuti. Tubuhnya melayang, berputar-putar, dan tiap jejak langkahnya membentuk pusaran-pusaran bercahaya, menciptakan pola sihir rumit yang berdenyut, menyedot energi spiritual dari udara sekitarnya. Tanah di bawah kakinya bergetar, lalu retak, dan dari retakan-retakan itu... mengalir sesuatu yang tak wajar.Dalam kelipan waktu yang nyaris tak terdeteksi, medan perang berubah drastis.Tanah tandus itu perlahan membasahi dirinya sendiri, mengalir menjadi Danau Anggur Surgawi. Permukaannya berkilau ungu lembut, memantulkan bukan sekadar bayangan, tapi fragmen masa depan dari siapa pun yang berdiri di atasnya.Satu per satu, para Immortal memandang ke bawah—dan apa yang mereka lihat... memaku mereka di tempat."Tidak... kenapa aku..." Seorang Immortal berseru, wajahnya berubah pucat pasi, suaranya pecah
Kabut racun menggantung tebal di udara, membelai medan pertempuran yang hancur dengan sentuhan kematian. Di tengah reruntuhan dan bau logam darah yang menusuk, terdengar tawa—tawa yang aneh, nyaring, memecah keheningan seperti dentang lonceng tua di pemakaman para dewa."HAAAA—! Sudah kubilang..." Suara itu meraung, parau dan bergaung seperti mabuk badai. "Jangan ganggu orang yang sedang menikmati tegukan terakhirnya!!"Dari pusaran kabut itu, muncul sosok yang mustahil diabaikan. Seorang pria bertubuh tambun dengan langkah limbung, seolah sewaktu-waktu bisa jatuh... namun entah bagaimana, setiap gerakannya justru memancarkan bahaya yang membuat udara terasa berat. Rambutnya kusut, acak-acakan seperti sarang burung gagak, dan jubahnya—oh, jubahnya—robek-robek dengan bekas-bekas tumpahan anggur spiritual berkilau yang menodai kain lusuh itu.Di tangannya, tergenggam erat sebuah botol kaca tua. Dari dalamnya, cairan berwarna ungu tua memancarkan cahaya redup yang hampir hipnotik—Anggur
Kabut tebal yang menelan seluruh medan pertempuran perlahan-lahan menghilang, bukan karena angin yang meniupnya atau karena kekuatannya telah pudar—melainkan karena semua yang menjadi target kabut itu telah lenyap.Di tanah yang menghitam seperti terbakar, tubuh-tubuh para Immortal membatu dalam keheningan yang mengerikan. Mereka tak lagi hidup, tapi juga belum sepenuhnya mati. Kulit mereka telah mengeras menjadi arang, hitam berkilap seperti obsidian yang retak. Tatapan terakhir mereka membeku dalam rupa yang tak akan pernah dilupakan siapa pun yang melihat—mata terbelalak oleh teror, mulut setengah terbuka oleh ketakjuban, dan alis yang merunduk dalam penyesalan yang tak terselesaikan.Namun, sang pembawa malapetaka belum berhenti. Dewi Racun masih berdiri di tengah medan, jubahnya berkibar pelan oleh hembusan angin beracun yang tersisa. Cahaya dari langit yang lembayung menyorot wajahnya yang tak menunjukkan emosi selain ketenangan dingin.Dari kehampaan, lima cahaya redup mulai be
—Ketika racun bukan lagi sekadar senjata, tapi kutukan dunia itu sendiri—Medan perang menjadi lautan kehijauan yang membara dalam keheningan yang mengerikan. Tanah yang disentuh jimat Dewi Racun telah berubah menjadi ladang kematian ... bunga-bunga berbentuk tengkorak merekah dari tanah, memuntahkan spora beracun berwarna merah darah, sementara kabut ungu kehijauan merambat seperti tangan-tangan makhluk lapar yang mengincar jiwa.Dewi Racun berdiri di tengah-tengah pusaran itu, rambutnya melayang seperti ular-ular kecil, dan gaunnya bergelombang, seolah dijalin dari kabut itu sendiri. Di tangan kirinya, ia genggam Jimat Racun Kehancuran Tiga Dunia—artefak yang tak pernah diaktifkan sepenuhnya… sampai hari ini.“Kalian para immortal, begitu sombong dengan keabadian kalian... Tapi tidak ada yang abadi di hadapan racun yang benar-benar murni.” Suara Dewi Racun menggema, serak namun memikat, mengandung mantra yang memengaruhi kesadaran.Beberapa Immortal mulai berteriak histeris. Ilusi
—Dua kekuatan kuno bertabrakan di langit dunia—Langit seolah mendidih. Darah para bintang menetes ke bumi dalam bentuk kilatan energi liar yang tak terbendung.Naga Wrath, makhluk dari reruntuhan abadi dan badai abadi, meraung liar, memekakkan setiap jiwa yang masih tersisa di medan perang. Petir hitam di tubuhnya kini menebal, menciptakan badai magnetik raksasa yang menghisap segala bentuk energi spiritual di sekitarnya. Ia menggulung udara menjadi tombak-tombak listrik yang melesat ke segala arah. Salah satunya menghantam dada Azteca, meledak menjadi gelombang plasma yang membelah awan.Azteca mengerang, tapi tidak mundur.Matanya yang bersinar biru kehijauan kini berubah menjadi merah darah. Simbol-simbol kuno di tubuhnya menyala lebih terang, berdenyut seperti jantung dunia itu sendiri. Dari sela-sela sisiknya, muncul kilatan emas—bukan emas biasa, melainkan “Ollin”, esensi gerak semesta.“Tlazohcamati, Huehuecoyotl... berikan aku tarian terakhir dari para dewa.”Azteca terangkat
Ledakan terakhir dari serangan pusaran hitam yang menelan Lin Feng masih membekas di langit, membelah awan menjadi dua. Debu dan puing dari tanah yang terkoyak beterbangan, sementara api dan es beradu di udara, menciptakan pelangi berdarah di cakrawala. Namun di tengah kekacauan itu, medan perang belum berhenti berdetak.***Di atas langit merah, Naga Azteca menggila. Sisiknya yang bersinar dengan pola kuno berkedip cepat, menandakan amarah yang tak lagi bisa dibendung. Naga Wrath meraung menantang, tubuhnya yang berbalut petir hitam meluncur dengan kecepatan meteor, membentur perisai spiritual Azteca hingga ruang di sekitarnya retak seperti kaca.Namun kali ini, Azteca membuka mulutnya, mengeluarkan suara bernada rendah, nyaris seperti nyanyian ritual. “Hezkani... teotl tlatoani...”—dan tiba-tiba, ribuan simbol kuno terpancar dari tubuhnya, membentuk lingkaran sihir raksasa di langit.Ritual Leluhur Azteca—Sumpah Darah Langit Ketujuh.Ritual itu bukan sekadar serangan. Ia adalah wari
Di bawah langit yang muram, dua sosok bertarung dengan intensitas yang mengguncang alam semesta. Kui Long dan Lin Feng saling berhadapan, energi mereka bertabrakan dan menciptakan gelombang dahsyat yang meremukkan segala yang ada di sekeliling.Lin Feng, dengan Pedang Surgawi yang memancarkan cahaya keemasan, melesat seperti kilat. Setiap ayunan pedangnya meninggalkan jejak cahaya yang membelah udara, menembus kegelapan yang menyelimuti Kui Long. Namun, Dewa Iblis Gerbang Neraka itu tidak tinggal diam. Dengan senyum sinis, ia mengangkat tangannya, menciptakan pusaran bayangan yang berputar ganas, menyerap sebagian besar serangan Lin Feng."Tidak buruk, Lin Feng," suara Kui Long bergema, berat dan penuh kekuatan. "Tapi kau harus berusaha lebih keras untuk mengalahkanku!"Dengan gerakan cepat, Kui Long membentuk tombak hitam raksasa yang berputar liar, dipenuhi energi destruktif. Tombak itu melesat menuju Lin Feng dengan kecepatan yang hampir tak terjangkau oleh mata manusia.Lin Fe
Langit semakin gelap, awan hitam bergulung seperti naga yang mengamuk, seolah turut meratapi pertarungan yang mengguncang dunia. Petir sesekali menyambar cakrawala, menerangi medan perang yang penuh kehancuran. Di tengah reruntuhan, Lin Feng berdiri tegak, Pedang Surgawi terangkat tinggi, memancarkan cahaya emas yang menembus kelamnya kabut hitam yang menyelimuti Kui Long.Pria berjuluk "Dewa Iblis Gerbang Neraka" itu menyeringai. Bukan tanpa alasan ia mendapatkan nama tersebut—bukan karena ia benar-benar iblis, melainkan karena kultivasi kegelapannya yang telah mencapai tingkat yang hanya bisa ditakuti. Tubuhnya, yang diselubungi energi hitam pekat, tampak semakin kokoh. Udara di sekelilingnya bergetar, dipenuhi aura kematian yang mengerikan."Lin Feng," suara Kui Long terdengar serak namun penuh percaya diri. "Kau sudah menunjukkan segalanya. Kini, biarkan aku menunjukkan kekuatan sejati kultivasi kegelapan!"Dengan satu hentakan kaki, tanah di bawahnya merekah, suara retakan mengge