Tak ada sesuatu hal yang tak berujung. Demikian pula halnya dengan segala sesuatu peristiwa yang menyertai hidup manusia.Seperti halnya pagi itu Ketika Bik Nara harus melepaskan kepergian anak asuhnya untuk menggapai cita-cita di Perguruan Songgo Langit milik Ki Guru Saloka. Jika boleh menawar taqdir, dia ingin agar Dewi Rukmini tetap tinggal bersamanya di desa Kedawung.Tapi Dewi Rukmini adalah seorang Sekar Kedaton. Calon Ratu, pemimpin sebuah negri bernama Kerajaan Sanggabumi. Banyak hal yang kelak akan menjadi tanggung jawabnya."Bik Nara, harus ikhlas melepasku. Agar aku tenang menjalani masa belajarku di padepokan Ki Guru Saloka. Berikan restumu, Bik." Dewi Rukmini memeluk erat ibu keduanya itu."Saya mengerti, Gusti Ratu. Tapi tetap saja terasa berat. Tiga tahun harus menunggu. Pasti akan berbeda sekali saat panjenengan kembali ke sini. Tambah dewasa dan cantik." Bik Nara seakan tak ingin melepaskan pelukannya. Masih tetap terus mendekap Dewi Rukmini dengan erat."Bik, biarkan
"Bunyi apa itu, Kangmas Pangeran?" tanya Dewi Rukmini. Matahari telah mencapai tinggi sepenggalah. Seperempat hari telah terlewati. Kini tiga ksatria itu tengah hutan lebat di sepanjang jalan. Ada jalan setapak yang terbentuk di tengah hutan itu. Jalan yang terbentuk karena bekas jejak langkah yang melewati secara berulang kali. Dewi Rukmini menghentikan langkah di tengah jalan setapak itu. Keadaan hutan kian lama kian benderang. Pepohonan mulai jarang dan satu dua mulai terlihat pohon kelapa dengan tinggi menjulang. "Ada apa, Nimas Ayu?" tanya Pangeran Gagat. Dia menghela tali kekang kudanya kuat-kuat, agar berhenti mengikuti langkah Dewi Rukmini. "Ada suara gemuruh yang lamat-lamat aku dengar. Tidak berbahayakah jika kita meneruskan perjalanan? Aku kuatir itu suara gunung yang hendak meletus," ujar Dewi Rukmini. Wajahnya terlihat sangat cemas. Pangeran Gagat tersenyum melihat ekspresi wajah Dewi Rukmini. "Itu suara debur ombak, Nimas Ayu. Sangat jauh be
"Apakah kamu menerima pinanganku, Nimas Ayu?" tanya Pangeran Gagat. Masih sambil mendekap tubuh Dewi Rukmini dengan erat. "Aku tidak bisa menjawabnya sekarang, Kangmas. Aku harus membicarakannya terlebih dahulu dengan romoku." Kali ini Dewi Rukmini menarik tubuhnya. Menunduk sembari memainkan pasir putih di kakinya. Sesungguhnya Dewi Rukmini bukan hendak menunggu persetujuan Sang Ayah, Prabu Arya Pamenang. Karena Sang Prabu pasti akan menerima Pangeran Gagat. Tapi hatinya sendirilah yang sedang dia tunggu persetujuannya. Dia membutuhkan waktu untuk berpikir dan memilih. "Aku sudah berbicara dengan Gusti Prabu Arya Pamenang. Saat tempo hari mengirimkan hantaran desa Kedawung ke sana. Sang Prabu malah akan bersiap mengadakan pesat besar untuk pernikahan kita nanti." Pangeran Gagat berkata sambil tersenyum. Pasti hal itu sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Dewi Rukmini. "Hah? Mengapa Kangmas tidak berembug dulu dengan saya?" tanya Dewi Rukmini kaget. Tak
Sambutan yang diberikan oleh warg desa Segoro Biru sangat luar biasa. Seluruh warga berkumpul di pintu masuk desa sembari membawa sebuah mangkok gerabah yang berisi bunga-bungaan. Yang ditaburkan ke arah Pangeran Gagat, Dewi Rukmini, dan Bejo. Ki Lurah Rekso berada di tengah-tengah warganya dengan mengenakan pakaian resmi. Dewi Rukmini menggeleng-gelengkan kepala. "Ini terlalu berlebihan, Ki Lurah. Kami hanya tamu biasa yang sekedar singgah." Dewi Rukmini menerima sekuntum bunga melati yang diulurkan oleh seorang warga perempuan. Disematkannya kuntum melati itu di daun telinga kanan. "Apa yang kami lakukan ini tidak akan sebanding dengan berkah yang bakal kami dapatkan jika kaki-kaki panjenengan telah menginjak desa kami," ujar Ki Lurah Rekso. "Mari singgah ke rumah saya, Gusti Pangeran, Gusti Ratu, dan Ki Bejo." Ki Lurah Rekso mempersilakan ketiga tamunya itu untuk mengikuti langkahnya. Ternyata rumah Ki Lurah Rekso tidak jauh dari pintu gerba
Ki Lurah terdiam sesaat sembari melihat-lihat batu hijau itu. Lantas pandangannya menerawang. "Waktu hujan keras dan angin badai itu, terdengar suara gemuruh yang sangat keras. Ombak yang sangat besar datang hampir mencapai desa kami. Ada dua rumah paling belakang yang tergulung oleh ombak itu. Semua warga panik. Sekuat tenaga saya berusaha menenangkan mereka." Ki Lurah menunduk dalam-dalam. Masih tetap dengan memutar-mutar batu hijau itu. "Bolehkah saya melihat batu itu, Ki Lurah?" tanya Dewi Rukmini. Ki Lurah Rekso mengangguk, dan mengulurkan batu hiju itu pada Sang Ratu. "Berapa lama ombak besar itu datang?" tanya Pangeran Gagat. Matanya tak lekat menatap wajah Ki Lurah Rekso. "Tidak lama, Gusti Pangeran. Hanya terdengar beberapa saat. Tapi tak lama setelah bunyi ombak itu menghilang, ada kereta kencana memasuki jalan desa kami. Warna keretanya keemasan berkilau sangat terang. Di dalamnya terdapat seorang ratu yang sangat ayu. Saya melihatnya sekilas m
Dewi Rukmini menari dengan begitu gemulai. Tarian itu hasil olah ciptanya sendiri, di mana setiap gerakannya dia sesuaikan dengan tempo dan irama dari musik gamelan yang berada di belakangnya. Terkadang gerakannya begitu cepat, melompat ke sana kemari, tapi terladang juga begitu pelan dan bergerak dengan beringsut perlahan. Para warga yang tengah membuat hiasan sesaji untuk dilarung esok hari, tak bisa lagi memusatkan perhatian pada kesibukannya. Karena mata mereka seluruhnya tertuju pada setiap gerakan tarian yang dilakukan Dewi Rukmini. "Gusti Ratu memang luar biasa. Pandai menyesuaikan gerak dengan musik. Di sini belum ada penari yang bisa melakukan gerakan mandiri seperti itu. Andaikan Gusti Ratu berkenan bertahan beberapa waktu lagi di desa kami, akan saya minta bantuannya untuk mengajari menari para gadis di desa kami. Agar kesenian daerah seperti ini tidak pupus oleh waktu dan masa." Ki Lurah Rekso berujar dengan pandangan mata yang tak lepas dari geraka
Kabut masih tebal menggayut saat kuda-kuda milik Pangeran Gagat, Dewi Rukmini, dan Bejo menderap memecah hening di pagi buta itu. Tak ada kata yang terucap, karena waktu yang harus diburu cepat. Perjalanan mereka yang semula hendak singgah di desa Tasik Anyar, akhirnya terlewati karena telah meluangkan waktu singgah di desa Segoro Biru. Dan perjalanan mereka masih diliputi oleh aroma air laut yang berbau menyengat dan iringan debur ombak yang sesekali terdengar menghentak keras. Membentur karang hitam yang tersebar di tepian pantai. Hingga tengah hari, ketiga insan itu masih tetap duduk di atas kuda tunggangannya masing-masing. Nafas mereka mulai terdengar keras. Terengah-engah karena panas yang mulai menerik menggigit kulit. Dewi Rukmini yang berada di posisi paling depan saat itu, mengangkat tangan dan memperlambat laju kuda Jalu, dengan menarik tali kekangnya kuat-kuat. "Ada apa, Nimas Ayu?" tanya Pangeran Gagat yang kini berada di samping Dewi Rukmin
Menjelang petang. Pangeran Gagat, Dewi Rukmini, dan Bejo telah sampai di pintu masuk desa Karangkitri. Desa yang sangat luas dengan lahan pertanian yang sangat subur. Lokasinya berada di kaki bukit, sedikit menanjak hampir memasuki wilayah lereng. Dari kejauhan lamat-lamat terdengar suara orang-orang yang tengah berlatih ilmu kanuragan. Suara teriakan dan hentakan kaki begitu ramai terdengar. Tiba-tiba Dewi Rukmini berhenti. Ada rasa gamang ketika hendak melanjutkan langkah. Terlihat perguruan yang dipimpin oleh Ki Guru Saloka ini sangat besar dan begitu berpengaruh. "Kenapa berhenti, Nimas Ayu?" tanya Pangeran Gagat. Tangannya memegang tali kendali kuda Jalu, dan menuntunnya agar maju. Meski perlahan. "Apakah saya pantas menjadi murid di sini?" tanya Dewi Rukmini ragu-ragu. Pangeran Gagat tertawa lepas. "Setiap orang pantas menjadi nurid di sini. Karena setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kesempatan belajar. Ayo, Nimas Ayu.
Lelaki tua berjenggot panjang dan berpakaian serba putih itu berjalan perlahan melihat kesibukan para abdi dalem yang tengah mempersiapkan perhelatan akbar pernikahan Dewi Rukmini dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Tinggal sepekan lagi waktu perhelatan itu digelar. "Bagaimana keadaan di sini, Ki Guru Saloka? Apakah panjenengan merasakan ada hal yang kurang mengenakkan? Jika ada hal yang kurang berkenan atas pelayanan kami, kami terbuka untuk menerima segala kritik dan sarannya." Patih satu Diro Menggolo menghampiri Ki Guru Saloka yang tengah berdiri di depan para abdi dalem yng tengah menganyam daun nipah. Ki Guru Saloka tertawa mendengar perkataan Patih satu Diro Menggolo. "Hal apa lagi yang harus saya sampaikan sebagai sebuah protes, Paman Patih? Semua hal yang saya terima di sini sudah melebihi yang sewajarnya." Senyum lebar mengembang di bibir sang patih sepuh itu. Sebuah kepuasan tersendiri jika dia bisa memberikan pelayanan terbaik untuk para tetamunya. "Bi
"Apalagi yang kamu pikirkan to Nang?" tanya Patih satu Diro Menggolo pada putra semata wayangnya itu. Lengannya yang terlihat menua itu, melingkar di bahu sang putra. Patih dua Dimas Bagus Penggalih adalah hartanya yang paling berharga. "Aku hanya kuatir tak mampu membahagiakan Dewi Rukmini, Romo," jawab Patih dua Dimas Bagus Penggalih dengan suara parau. "Aku tahu bahwa hatinya bukanlah untukku. Cintanya pada Pangeran Gagat terlalu besar untuk kuusik." Patih dua Dimas Bagus Penggalih mendengus kesal. "Kenapa taqdir tak berpihak padaku, Romo? Padahal aku selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang baik di sepanjang hidupku. Apakah aku harus menjadi manusia binal juga macam Pangeran Gagat agar mampu meraih hati Dewi Rukmini seutuhnya?" Nada geram terdengar menyelimuti suara parau sang patih muda itu. "Ngomong opo to kamu ini, Nang? Bukankah Gusti Ratu sudah menjatuhkan pilihannya pada dirimu? Pilihan tanpa paksaan. Pilihan yang didasari atas kemauannya sendiri. Dengan
Di lain tempat, tepatnya di dalam ruang keputren, terlihat seorang wanita paruh baya memasuki ruang utama keputren. Melangkah sedikit bergegas, seakan ingin mengejar sesuatu. Ya! Wanita paruh baya itu adalah Bik Nara. Dia memang ingin berlari mengejar. Mengejar kerinduannya pada junjungan tercinta, sang ratu Dewi Rukmini. Dia kini telah tiba di depan kamar yang dituju. Kamar yang selama 20 tahun menjadi kamarnya juga. Kamar di mana dia mengabdikan separuh hidupnya bagi sang junjungan. Mengasuh, membesarkan, merawat, dan mendampinginya layaknya perlakuan seorang ibu pada anaknya. Daun pintu kamar itu tidak terkunci. Terbentang lebar memperlihatkan isi seluruh kamar itu. Semuanya masih tetap dalam keadaan yang sama. mendiang Dewi Gauri-lah yang menyusun semua tatanan dalam kamar Dewi Rukmini itu. Dan Dewi Rukmini sudah berulang kali berpesan pada Bik Nara, agar tidak mengubah setiap jengkal tatanan dalam kamarnya. Karena aroma tubuh dan sentuhan tubuh ibunya, masih akan
"Mimpi tentang kekuasaan." Jawaban Ki Guru Saloka itu menyentak kesadaran Patih satu Diro Menggolo. Hal yang pernah terlintas di pemikirannya juga. Kecurigaannya terhadap kehendak Pangeran Gagat, ketika menyatakan keinginannya pada Prabu Arya Pamenang untuk melakukan pendekatan pada Dewi Rukmini. Sementara Ki Jalapati hanya diam tepekur. Selama dia mengenal sosok Pangeran Gagat, kesan baik yang timbul dalam hatinya. Dan dia melihat ada niat hati yang tulus dari Pangeran Gagat kepada Dewi Rukmini. Tapi, Ki Jalapati juga menyadari bahwa pasti ada banyak hal yng belum dia pahami dari sosok sang pangeran muda itu. "Saya sempat menduga ke arah sana juga, Ki Guru Saloka. Sewaktu Pangeran Gagat menghadap Prabu Arya Pamenang dan mengemukakan keinginannya untuk mengenal Dewi Rukmini secara lebih dekat." Patih satu Diro Menggolo menghela nafas panjang. Sekilas terbersit kekuatirannya akan keselamatan sang putra, Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Mengenai Patih dua Dimas Bagus Pen
"Ah, mana mungkin aku melupakan anak asuhku yang satu ini? Yang paling bandel tapi paling setia terhadap tanah Sanggabumi. Bagaimana ilmu yang kamu dapatkan di sana, Nanda Bejo?" Tanp ada jengah sedikit pun, Prabu Arya Pamenang langsung memeluk Bejo, pasangan Kalong yang bertugas menjadi pengawal pribadi Dewi Rukmini selama ini. Perjalanan sang ratu menuju desa Karangkitri bersama Kalong, Bejo, dan Bik Nara, pada akhirnya memisahkan mereka berempat. Hanya Bejo yang terus mengikuti hingga Dewi Rukmini menjalani satu tahun berguru di padepokan Songgolangit. Tapi pelukan Prabu Arya Pamenang pada Bejo segera dia lepaskan begitu menyadari ada seseorang yang agung berdiri di belakang Bejo. Dengan sikap takdzim, Prabu Arya Pamenang bergegas menghampiri dan mencium tangan seseorang itu. Ki Guru Saloka. Tokoh ilmu knuragan dan kebatinan yang sangat disegani. Setiap pimpinan kerajaan manapun pasti akan mengenal Ki Guru Saloka. Seorang pinisepuh yang sangat berwibawa dan memi
Tinggal dua pekan lagi. Tak terelakkan kesibukn yang ada dalam istana Sanggabumi. Rombongan pedati yang ditarik lembu seakan tak putus datang masuk ke dalam halaman istana. Persembahan dari 18 desa yang berada dalam wilayh kekuasaan Kerajaan Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tertegun melihat antusiame rakyatnya yng luar biasa. Matanya membentuk selaput bening yang siap meluap kapan saja hati tak mampu mencegahnya. "Ini dari rkyatku?" tanya Prabu Arya Pamenang pada Patih tiga Rangga Aditya, seakan tak percaya dengan apa yang terpampang di hdapannya. Aneka bahan makanan telah diusung para prajurit untuk dimasukkan ke dalam lumbung istana. Dan ternyata lumbung sebesar dan seluas itu tak lagi mampu menampungnya. "Benar, Gusti Prabu. Ini semua hadiah dari beberapa desa yang ada di Sanggabumi." Patih tiga Rangga Aditya sedikit membungkukkan badan keada Prabu Arya Pamenang. Senyum bngga yang hanya tipis mengulas, terukir indah di bibir pangeran muda dari negri Galuh itu. "K
Senopati Satria Cakra mengajak Patih dua Dimas Bagus Penggalih untuk duduk di anak tangga pendopo puri istana. "Ada yang ingin aku bicarakan, Dinda Patih." "Aku siap mendengarkan, Paman." Patih dua Dimas Bagus Penggalih duduk di samping sang senopati dengan wajah tertunduk dalam. "Tadi pagi Gusti Prabu memanggilku. Membicarakan tentang persiapan pernikahanmu dengan Gusti Ratu. Gusti Prabu menunjukku sebagai pemimpin pelaksana. Dalam waktu persiapan satu bulan ... sebenarnya terlalu berat buatku, Dinda Patih. Aku harus bagaimana?" Senopati Satria Cakra mengusap kasar mukanya. Dengan menaikkan alis mata, terlihat bawa dia sangat kebingungan. Senyum Patih dua Dimas Bagus Penggalih mengembang tipis. Sembari menepuk punggung sang senopati, dia berujar lirih,"Tidak perlu bingung, Kanda Senopati. Panjenengan atur saja dari sisi keamanannya. Untuk ritualnya, romoku yang akan mengaturnya. Bukankah saat pernikahan Prabu Arya Pamenang dengan mendiang Dewi Gauri, juga romoku yang
Mata pedang itu berkilat begitu tajam ketika sosok Patih dua Dimas Bagus Penggalih melintas di hadapannya. Sosok patih muda yang tampan dan berpembawaan tenang. Ah, tidak terlalu tampan sebenarnya, tapi memiliki pesona yang sangat memikat karena kharisma yang dipancarkannya begitu kuat. Lelaki bermata pedang itu mendengus kesal. Segala ambisi dan harapannya musnah karena kehdiran Patih dua Dimas Bagus Penggalih yang selalu menjegal langkahnya. Dan lelaki bermata pedang itu sangat tidak menyukainya. "Bagaimana, sahabatku Pangeran Gagat? Apakah ada yang ingin panjenengan sampaikan padaku?" Sapaan halus Patih dua Dimas Bagus Penggalih itu mengagetkan Pangeran Gagat. Sore itu, kala petang hampir menjelang, Pangeran Gagat tengah duduk di anak tangga pendopo kesatrian. Mengatur nafas setelah lelah bekerja menjalankan tugas hukumannya. Setiap sore dia harus membersihkan kandang kuda sekaligus memberinya makan. Dua ratus ekor kuda! Sebuah jumlah yang fantastis. Dan saat ini Pa
Prabu Arya Pamenang duduk di atas singgasananya dengan begitu gagah. Aura kewibawaannya memancar begitu kuat. Beberapa helai rambut putih yang menghiasi rambutnya justru terlihat bagai sebuah sinar keperakan yang memperkuat karismanya. Hari ini adalah hari penentuan hukuman atas perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Pangeran Gagat dan Dewi Ayu Candra. Suara isak sang putti tak mampu meluluhkan hati sang penguasa Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tetap bersikeras untuk menghukum Dewi Ayu Candra dan Pangeran Gagat. "Tidak ada tawar menawar lagi dalam keputusan yang sudah kubuat," ujar Prabu Arya Pamenang dengan suara baritonnya yang terdengar berat dan dalam. "Saya mohon kebijaksanaan panjenengan, Gusti Prabu. Saya mengaku salah," mohon Pangeran Gagat. Jiwa ksatria sang pangeran ternyata masih kuat bercokol di kepribadiannya. Dia mengakui semua kesalahannya. Sungguh berbeda dengan Dewi Ayu Candra yang masih terus berusaha mengelak dan menimpakan semua kesalahan pada