"Kenapa dengan pemuda itu?" tanya Bejo. Wajahnya terlihat bingung melihat Kalong yang tiba-tiba pucat pasi. "Pemuda tadi tidak berkepala," jawab Kalong. Pandangannya tetap terarah ke timur, posisi di mana pemuda tadi berjalan meninggalkan mereka. "Dia sudah hilang di kelokan jalan. Biarlah. Bagaimanapun juga dia telah berbaik hati pada kita. Menunjukkan arah ke desa Karangkitri." Meskipun sebenarnya Bejo pun pasti akan merasa ngeri jika melihat manusia berjalan tanpa kepala. "Banyak sekali hal aneh yang kita temui. Masih banyak tempat angker yang nampaknya mesti kita temui. Perjalanan masih panjang. Sekarang bagaimana? Hendak lanjut ataukah akan beristirahat dulu?" tanya Dewi Rukmini pada Bejo, Kalong, dan Bik Nara. "Sepertinya kita harus mencari desa terdekat, Cempluk. Tubuh kita terlalu lelah dengan banyaknya kejutan. Dan saya juga ingin mencari informasi tentang desa Kedawung." Bejo mengeluarkan sebuah daun lontar yang digulung dan dimasukkan ke dalam ikat pinggang lebarnya.
"Itu pintu gerbang desa Balongsari. Ramai sekali desanya." Kalong melihat dari kejauhan dengan takjub. Masih sekitar 500 meter lagi jarak mereka dari pintu masuk desa Balongsari. Namun, suasana desa yang ramai sudah terlihat."Semoga warga di sana ramah-ramah," gumam Bik Nara. "Perasaanku tidak nyaman.""Kenapa seperti itu, Bik?" tanya Dewi Rukmini. Pandangannya mengarah lurus ke depan. Tubuh orang-orang yang kekar dan berambut gondrong itukah, yang membuat perasaan Bik Nara menjadi tidak nyaman?"Mereka berpenampilan sangar. Seperti preman pasar." Bik Nara terlihat sangat kuatir.Mereka berempat memacu kudanya dengan sangat perlahan. Dan ketika sudah sangat dekat, mereka berempat pun turun dan menuntun kudanya.Empat orang lelaki bertubuh kekar duduk-duduk di pintu gerbang desa. Memperhatikan rombongan Dewi Rukmini dengan pandangan menelisik tajam."Hendak ke mana, Kisanak?" tanya salah satu dari empat orang itu. Berkepala botak, perut buncit, dan berkulit legam."Kami hendak mencari
Dewi Rukmini, Bejo, Kalong, dan Bik Nara seketika menoleh mendengar suara asing menyapa Dewi Rukmini. Ternyata lelaki tampan yang tadi duduk sendirian di meja sudut warung makan di penginapan ini."Mohon ma'af, Kisanak. Ini keponakan saya. Namanya Cempluk. Kalau saya boleh tahu, panjenengan berasal dari mana?" tanya Kalong yang segera mendekati Dewi Rukmini. Meskipun lelaki tampan itu terlihat baik, tapi dia harus tetap bersikap waspada."Saya berasal dari desa kecil bernama desa Tanggung. Berada dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Tirtosari. Nama saya Mandha. Panggil saja Kang Mandha." Lelaki tampan itu mengulurkan tangan ke arah Dewi Rukmini yang kini bernama Cempluk.Dewi Rukmini menyambut uluran tangan itu tanpa banyak bicara. Sikap Sang Ratu boleh terlihat tegas, tapi semburat merah di wajahnya tak dapat disembunyikan. Dia tersipu ketika berhadapan dengan Kang Mandha."Bolehkah kami tahu, hendak ke manakah tujuan Kang Mandha?" tanya Bejo. Matanya menggulir dari atas hingga ke bawah.
"Apakah kami datang terlambat, Kang Mandha?" tanya Bejo. Dia kaget karena ketika tiba di warung makan penginapan, Kang Mandha telah tiba duduk di salah satu meja di sana. Bejo, Kalong, Bik Nara, dan Dewi Rukmini tiba di warung makan penginapan itu tepat ketika petang mulai datang. Berpakaian rapi dan tubuh telah segar karena habis mandi. Penampilan mereka berempat sangat berbeda hingga menimbulkan sorot keheranan dari setiap pengunjung warung makan penginapan. Dewi Rukmini mulai merasa jengah karena mata setiap pengunjung terarah padanya. "Mengapa mereka semua menatap kami seperti itu?" tanya Dewi Rukmini gundah. Dia tidak berani membalas tatapan pengunjung lain karena penampilan mereka yang lebih mirip preman. "Bagaimana mereka semua tidak keheranan, Nimas Cempluk. Kecantikanmu tak ada bandingnya. Berhati-hatilah di desa ini. Desa ini terkenal sebagai desa bandit. Tempatnya para preman dan orang-orang yang bermasalah dengan hukum. Sebagian besar adalah buronan d
Lima orang berkuda terlihat tengah memacu kudanya dengan kecepatan tinggi. Berjalan beriringan sembari badan yang membungkuk di atas kuda. Derap langkah kaki kuda mereka bagaikan suara genta yang menguak keheningan di dini hari itu Kang Mandha berada di posisi paling depan. Dia menjadi penunjuk arah karena sudah terbiasa melewati jakur menuju ke desa Karangkitri. Dia sudah menjadi murid Ki Guru Saloka sejak usianya masih belasan tahun. Tiba di sebuah padang rumout yang cukup luas, Kang Mandha mengangkat tangannya. Sebagai isyatat agar mereka semua menghentikan laju kudanya. "Ada apa, Kang Mandha?" tanya Dewi Rukmini yang berada tepat di belakang Kang Mandha. "Kabut semakin tebal, Nimas Ayu," jawab Kang Mandha, "aku ingin berembug dulu dengan Kang Bejo dan Paman Kalong." "Ada apa, Kang Mandha,* tanya Bejo. Kudanya berjalan mendekati Kang Mandha. Diikuti pula oleh kuda Kalong dan Bik Nara. Mereka berlima membuat bentukan lingkaran. "Kabut semakin tebal, Kang Bejo.
"Bagaimana Gusti Pangeran Gagat mengetahui nama junjungan kami, Gusti Ratu Dewi Rukmini?" tanya Bejo. Kini dia bersikap sangat hormat pada Kang Mandha yang ternyata adalah Putra Mahkota Kerajaan Tirtosari, yang bernama Pangeran Gagat. "Siapa yang tidak mengenal junjunganmu, Kang Bejo? Semua putra mahkota dari kerajaan manapun membicarakannya. Bahkan terbetik berita bahwa Kerajaan Lemah Ireng akan melakukan penyerangan ke Kerajaan Sanggabumi hanya demi mendapatkan Dewi Rukmini, Sekar Kedaton Kerajaan Sanggabumi," tutur Pangeran Gagat. Dan penuturannya itu sangat mengejutkan Bejo, Kalong, Bik Nara, dan Dewi Rukmini sendiri. "Kami malah tidak pernah mendengar berita apapun perihal itu, Gusti Pangeran," ujar Kalong. Dia memandang ke arah Bejo seakan meminta persetujuan. Bejo mengangguk. "Betul. Sama sekali kami di Kerajaan Sanggabumi tidak mendengar akan hal itu. Terima kasih atas pemberitahuannya, Gusti Pangeran. Hal ini bisa menjadi peringatan bagi kerajaan kami, a
Sambutan penduduk desa Kedawung ssngat ramah. Mereka memiliki keahlian di bidang pertanian. Hasil panen mereka luar biasa memuaskan. "Pada musim kemarau seperti ini, kalisn masih bisa menghasilan panen padi. Ini sangat luar biasa. Maukah salah satu dari kalian nanti saya boyong ke Kerajaan Sanggabumi? Ajarkan kami teknologi bercocok tanam yang luar biasa ini," ujar Dewi Rukmini. Sepotong singkong bakar disantapnya dengan nikmat. Ki Jalapati mengangguk. "Tentu saja kami mau, Gusti Ratu. Kami akan pilihkan satu ahli pertanian terbaik kami untuk Sanggabumi. Kami tunggu setelah Gusti Ratu kembali dari desa Karangkitri. Jati diri Dewi Rukmini pada akhirnya terbongkar juga. Tindak tanduk dan penampilan Dewi Rukmini tak dapat disembunyikan lagi bahwa dia adalah seseorang yang memiliki kasta tinggi. Namun, perbedaan kasta itu tidak merusak keakraban yang sudah terjalin antara penduduk desa Kedawung dengan Dewi Rukmini. "Jika Gusti Ratu sudah kembali menjadi raja di Sa
Tepat perkiraan Pangeran Gagat. Ada dua puluh ekor yang kini berdiri berjajar di de depan rumah Ki Jalapati. Senyum ramah dan sikap takdzim ditunjukkan oleh Ki Jalapati. "Sugeng rawuh, Kisanak," sapa Ki Jalapati. Senyum mengembang begitu lebar di bibirnya. "Hhmm, mengapa kamu tidak bersembunyi lagi? Apakah kamu sudah tidak takut lagi pada kami?" tanya salah satu prajurit Lemah Ireng yang berbadan paling besar. Ki Jalapati tersenyum mendengar pertanyaan lelaki besar itu. "Saya ingin kita menjadi saudara saja, Ki Pujo," jawab Ki Jalapati. Lelaki berbadan besar yang dipanggil dengan nama Ki Pujo oleh Ki Jalapati itu, tertawa terbahak-bahak. Diikuti oleh para prajurit yang lainnya. "Apakah kamu sedang bermimpi, Ki Lurah?" ledek Ki Pujo. Ki Jalapati menghela nafas panjang. Berusaha menekan emosinya agar tak meluap. Meskipun rasa lelah karena selalu dihina tetap terasa sangat menyakitkan. "Tidak, Ki Pujo. Saya tidak sedang bermimpi. Silakan masuk, Ki