Dua pekan berlalu sudah. Selama itu pula Dewi Rukmini, Pangeran Gagat, Beko, Kalong, dan Bik Nara tinggal di desa Kedawung. Saling bertukar ilmu. Warga desa Kedawung menularkan pengetahuannya tentang ilmu pertanian, sementara Dewi Rukmini dan teman-temannya mengajarkan ilmu kanuragan untuk perlindungan diri para warga desa Kedawung. Sejak semalam warga Kedawung sudah disibukkan dengan aneka kegiatan untuk menyambut masa panen. Mulai dari persiapan memasak hingga persiapan alat-alat untuk kegiatan panen. Dewi Rukmini dan teman-temannya ikut larut dalam kegiatan itu. Membantu mereka dalam canda tawa dan kegembiraan. "Untuk apa pedati-pedati itu, Ki Lurah Jalapati?" tanya Dewi Rukmini ketika melihat ada lima pedati berjajar di depan rumah Ki Jalapati. Kala itu hari baru saja menginjak malam setelah hari terakhir masa panen. "Besok pagi buta, kami akan mengirim gabah dan aneka makanan ke Kerajaan Sanggabumi. Memang tidak seberapa, Gusti Ratu. Tapi kami tetap ber
Lima pedati itu berjalan perlahan membawa tumpukan gabah dan aneka buah-buahan untuk disumbangkan ke Kerajaan Sanggabumi. Dua ekor lembu berjalan perlahan-lahan mengangkut aneka hasil bumi itu. Mata Dewi Rukmini berkabut. Ingin rasanya ikut pukang sebentar dan memeluk Sang Ayah, Prabu Arya Pamenang. Tapi itu semua belum waktunya untuk dia lakukan. Waktu masih harus mendidiknya agar lebih berisi saat dia nanti kembali pulang ke Kerajaan Sanggabumi. Berisi ilmu, berisi wawasan, dan berisi pelajaran kehidupan. "Gusti Ratu ..." panggil Bik Nara dengan suara lirih. "Jangan biarkan kesedihan menghambat segala impian panjenengan." Dewi Rukmini mengangguk pelan. Jemari lentiknya bergetar mengusap lelehan air mata yang mulai turun membasahi pipinya yang halus. "Ingin bertemu ibunda di pasetran, Bik. Seperti yang biasanya saya lakukan bersamamu dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih." Dewi Rukmini mengangkat kepalanya. Melihat kembali ke arah rombongan pedati yang membawa
Sepekan sudah waktu berlalu sejak rombongan pedati berangkat mengantarkan sumbangan bahan pangan ke Kerajaan Sanggabumi. Bagi Dewi Rukmini, waktu sepekan itu terasa sangat lambat berlalu. Dia berharap secepatnya rombongan pedati itu kembali ke desa Kedawung. Dan sore itu matahari sudah bersiap untuk menuju ke peraduannya. Ketika tiba-tiba dari arah timur rombongan pedati muncul. Pekik bahagia tak dapat lagi disembunyikan oleh Dewi Rukmini. Dia berteriak-teriak memanggil Bik Nara, Ki Jalapati, dan Bejo. Tak lama kemudian kelima pedati itu telah tiba di depan rumah Ki Jalapati, lengkap berbaris lima. Pangeran Gagat adalah anggota rombongan yang pertama kali turun. Wajahnya terlihat lelah dan peluh membanjiri tubuhnya."Udara di perjalanan sangat panas, Nimas Ayu Gerah sekali." Pangeran Gagat segera berbaring telentang di atas lantai."Apakah Kangmas ingin mandi air hangat? Karena malam hampir tiba," tanya Dewi Rukmini."Boleh, Nimas Ayu. Terima kasih," ujar Pangeran Gagat sambil meng
Meskipun usia Bik Nara telah merambat senja, tapi kecantikannya tak memudar. Gurat-gurat keindahan wajahnya masih terlihat jelas. Apalagi ketika dia berdandan dengan pakaian istimewanya saat ini.Bentuk fisik yng sangat berbeda antara Bik Nara dengan Ki Jalapati, tak menlunturkan kasih sayang yang sudah terbentuk dalam hati mereka. Tekad untuk bersama-sama mengarungi bahtera rumah tangga di sisa umur mereka.Dua pengantin itu duduk bersanding dengan begitu anggunnya. Tidak ada pesta pora. Namun, tetap saja ada kesan meriah. Dengan posisi Ki Jalapati sebagai lurah, tentu saja mengundang seluruh warga untuk datang meski tanpa panggilan.Dewi Rukmini melihat sepasang pengantin itu dengan haru. Setelah sekian puluh tahun, akhirnya Bik Nara menemukan jodohnya. Kenyamanan adalah hal penting yang ingin didapatkan dalam sebuah pernikahan, dalam rumah tangga.Fisik Ki Jalapati yang hanya setinggi ketiak Bik Nara tidaklah menjadi penghalang bagi mereka untuk memupuk cinta kasih. Bik Nara mendap
Pemimpin prajurit Kerajaan Lemah Ireng yang berbadan tinggi besar itu masih berdiri di hadapan Ki Jalapti. Menggenggam sebilah pedang panjang yang berkilauan di mata tajamnya. Cahaya bulan yang remang-remang menyinari sebagian wajah pemimpin prajurit bernama Ki Pujo itu."Apa yang kamu kehendaki, Ki Pujo? Hampir setiap tiga purnama, kamu datang ke sini mengobrak abrik desa yang kami tempati. Dulu kami hidup nyaman di desa Balongsari, tapi kau usir kami dari sana. Sekarang kami mendirikan sesa baru di sini. Apakah kamu akan mengusir kami lagi?" tanya Ki Jalapati dengan suara tertahan.Rasa lelah atas tekanan dan penindasan yang dia alami, membuat Ki Jalapati tak lagi memiliki rasa takut. Selain karena pompaan semangat yang terus menerus dari Dewi Rukmini dan teman-temannya.Tanpa dinyana, tubuh Ki Pujo meluruh ke tanah. Dia bersimpuh di kaki Ki Jalapati. Pedang panjang yang semula tergenggam erat, kini dilepasnya. Dibiarkannya tergeletak di hadapan Ki Jalapati."Apa yang kamu lakukan i
Tak ada sesuatu hal yang tak berujung. Demikian pula halnya dengan segala sesuatu peristiwa yang menyertai hidup manusia.Seperti halnya pagi itu Ketika Bik Nara harus melepaskan kepergian anak asuhnya untuk menggapai cita-cita di Perguruan Songgo Langit milik Ki Guru Saloka. Jika boleh menawar taqdir, dia ingin agar Dewi Rukmini tetap tinggal bersamanya di desa Kedawung.Tapi Dewi Rukmini adalah seorang Sekar Kedaton. Calon Ratu, pemimpin sebuah negri bernama Kerajaan Sanggabumi. Banyak hal yang kelak akan menjadi tanggung jawabnya."Bik Nara, harus ikhlas melepasku. Agar aku tenang menjalani masa belajarku di padepokan Ki Guru Saloka. Berikan restumu, Bik." Dewi Rukmini memeluk erat ibu keduanya itu."Saya mengerti, Gusti Ratu. Tapi tetap saja terasa berat. Tiga tahun harus menunggu. Pasti akan berbeda sekali saat panjenengan kembali ke sini. Tambah dewasa dan cantik." Bik Nara seakan tak ingin melepaskan pelukannya. Masih tetap terus mendekap Dewi Rukmini dengan erat."Bik, biarkan
"Bunyi apa itu, Kangmas Pangeran?" tanya Dewi Rukmini. Matahari telah mencapai tinggi sepenggalah. Seperempat hari telah terlewati. Kini tiga ksatria itu tengah hutan lebat di sepanjang jalan. Ada jalan setapak yang terbentuk di tengah hutan itu. Jalan yang terbentuk karena bekas jejak langkah yang melewati secara berulang kali. Dewi Rukmini menghentikan langkah di tengah jalan setapak itu. Keadaan hutan kian lama kian benderang. Pepohonan mulai jarang dan satu dua mulai terlihat pohon kelapa dengan tinggi menjulang. "Ada apa, Nimas Ayu?" tanya Pangeran Gagat. Dia menghela tali kekang kudanya kuat-kuat, agar berhenti mengikuti langkah Dewi Rukmini. "Ada suara gemuruh yang lamat-lamat aku dengar. Tidak berbahayakah jika kita meneruskan perjalanan? Aku kuatir itu suara gunung yang hendak meletus," ujar Dewi Rukmini. Wajahnya terlihat sangat cemas. Pangeran Gagat tersenyum melihat ekspresi wajah Dewi Rukmini. "Itu suara debur ombak, Nimas Ayu. Sangat jauh be
"Apakah kamu menerima pinanganku, Nimas Ayu?" tanya Pangeran Gagat. Masih sambil mendekap tubuh Dewi Rukmini dengan erat. "Aku tidak bisa menjawabnya sekarang, Kangmas. Aku harus membicarakannya terlebih dahulu dengan romoku." Kali ini Dewi Rukmini menarik tubuhnya. Menunduk sembari memainkan pasir putih di kakinya. Sesungguhnya Dewi Rukmini bukan hendak menunggu persetujuan Sang Ayah, Prabu Arya Pamenang. Karena Sang Prabu pasti akan menerima Pangeran Gagat. Tapi hatinya sendirilah yang sedang dia tunggu persetujuannya. Dia membutuhkan waktu untuk berpikir dan memilih. "Aku sudah berbicara dengan Gusti Prabu Arya Pamenang. Saat tempo hari mengirimkan hantaran desa Kedawung ke sana. Sang Prabu malah akan bersiap mengadakan pesat besar untuk pernikahan kita nanti." Pangeran Gagat berkata sambil tersenyum. Pasti hal itu sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Dewi Rukmini. "Hah? Mengapa Kangmas tidak berembug dulu dengan saya?" tanya Dewi Rukmini kaget. Tak