Lima orang berkuda terlihat tengah memacu kudanya dengan kecepatan tinggi. Berjalan beriringan sembari badan yang membungkuk di atas kuda. Derap langkah kaki kuda mereka bagaikan suara genta yang menguak keheningan di dini hari itu Kang Mandha berada di posisi paling depan. Dia menjadi penunjuk arah karena sudah terbiasa melewati jakur menuju ke desa Karangkitri. Dia sudah menjadi murid Ki Guru Saloka sejak usianya masih belasan tahun. Tiba di sebuah padang rumout yang cukup luas, Kang Mandha mengangkat tangannya. Sebagai isyatat agar mereka semua menghentikan laju kudanya. "Ada apa, Kang Mandha?" tanya Dewi Rukmini yang berada tepat di belakang Kang Mandha. "Kabut semakin tebal, Nimas Ayu," jawab Kang Mandha, "aku ingin berembug dulu dengan Kang Bejo dan Paman Kalong." "Ada apa, Kang Mandha,* tanya Bejo. Kudanya berjalan mendekati Kang Mandha. Diikuti pula oleh kuda Kalong dan Bik Nara. Mereka berlima membuat bentukan lingkaran. "Kabut semakin tebal, Kang Bejo.
"Bagaimana Gusti Pangeran Gagat mengetahui nama junjungan kami, Gusti Ratu Dewi Rukmini?" tanya Bejo. Kini dia bersikap sangat hormat pada Kang Mandha yang ternyata adalah Putra Mahkota Kerajaan Tirtosari, yang bernama Pangeran Gagat. "Siapa yang tidak mengenal junjunganmu, Kang Bejo? Semua putra mahkota dari kerajaan manapun membicarakannya. Bahkan terbetik berita bahwa Kerajaan Lemah Ireng akan melakukan penyerangan ke Kerajaan Sanggabumi hanya demi mendapatkan Dewi Rukmini, Sekar Kedaton Kerajaan Sanggabumi," tutur Pangeran Gagat. Dan penuturannya itu sangat mengejutkan Bejo, Kalong, Bik Nara, dan Dewi Rukmini sendiri. "Kami malah tidak pernah mendengar berita apapun perihal itu, Gusti Pangeran," ujar Kalong. Dia memandang ke arah Bejo seakan meminta persetujuan. Bejo mengangguk. "Betul. Sama sekali kami di Kerajaan Sanggabumi tidak mendengar akan hal itu. Terima kasih atas pemberitahuannya, Gusti Pangeran. Hal ini bisa menjadi peringatan bagi kerajaan kami, a
Sambutan penduduk desa Kedawung ssngat ramah. Mereka memiliki keahlian di bidang pertanian. Hasil panen mereka luar biasa memuaskan. "Pada musim kemarau seperti ini, kalisn masih bisa menghasilan panen padi. Ini sangat luar biasa. Maukah salah satu dari kalian nanti saya boyong ke Kerajaan Sanggabumi? Ajarkan kami teknologi bercocok tanam yang luar biasa ini," ujar Dewi Rukmini. Sepotong singkong bakar disantapnya dengan nikmat. Ki Jalapati mengangguk. "Tentu saja kami mau, Gusti Ratu. Kami akan pilihkan satu ahli pertanian terbaik kami untuk Sanggabumi. Kami tunggu setelah Gusti Ratu kembali dari desa Karangkitri. Jati diri Dewi Rukmini pada akhirnya terbongkar juga. Tindak tanduk dan penampilan Dewi Rukmini tak dapat disembunyikan lagi bahwa dia adalah seseorang yang memiliki kasta tinggi. Namun, perbedaan kasta itu tidak merusak keakraban yang sudah terjalin antara penduduk desa Kedawung dengan Dewi Rukmini. "Jika Gusti Ratu sudah kembali menjadi raja di Sa
Tepat perkiraan Pangeran Gagat. Ada dua puluh ekor yang kini berdiri berjajar di de depan rumah Ki Jalapati. Senyum ramah dan sikap takdzim ditunjukkan oleh Ki Jalapati. "Sugeng rawuh, Kisanak," sapa Ki Jalapati. Senyum mengembang begitu lebar di bibirnya. "Hhmm, mengapa kamu tidak bersembunyi lagi? Apakah kamu sudah tidak takut lagi pada kami?" tanya salah satu prajurit Lemah Ireng yang berbadan paling besar. Ki Jalapati tersenyum mendengar pertanyaan lelaki besar itu. "Saya ingin kita menjadi saudara saja, Ki Pujo," jawab Ki Jalapati. Lelaki berbadan besar yang dipanggil dengan nama Ki Pujo oleh Ki Jalapati itu, tertawa terbahak-bahak. Diikuti oleh para prajurit yang lainnya. "Apakah kamu sedang bermimpi, Ki Lurah?" ledek Ki Pujo. Ki Jalapati menghela nafas panjang. Berusaha menekan emosinya agar tak meluap. Meskipun rasa lelah karena selalu dihina tetap terasa sangat menyakitkan. "Tidak, Ki Pujo. Saya tidak sedang bermimpi. Silakan masuk, Ki
Dua pekan berlalu sudah. Selama itu pula Dewi Rukmini, Pangeran Gagat, Beko, Kalong, dan Bik Nara tinggal di desa Kedawung. Saling bertukar ilmu. Warga desa Kedawung menularkan pengetahuannya tentang ilmu pertanian, sementara Dewi Rukmini dan teman-temannya mengajarkan ilmu kanuragan untuk perlindungan diri para warga desa Kedawung. Sejak semalam warga Kedawung sudah disibukkan dengan aneka kegiatan untuk menyambut masa panen. Mulai dari persiapan memasak hingga persiapan alat-alat untuk kegiatan panen. Dewi Rukmini dan teman-temannya ikut larut dalam kegiatan itu. Membantu mereka dalam canda tawa dan kegembiraan. "Untuk apa pedati-pedati itu, Ki Lurah Jalapati?" tanya Dewi Rukmini ketika melihat ada lima pedati berjajar di depan rumah Ki Jalapati. Kala itu hari baru saja menginjak malam setelah hari terakhir masa panen. "Besok pagi buta, kami akan mengirim gabah dan aneka makanan ke Kerajaan Sanggabumi. Memang tidak seberapa, Gusti Ratu. Tapi kami tetap ber
Lima pedati itu berjalan perlahan membawa tumpukan gabah dan aneka buah-buahan untuk disumbangkan ke Kerajaan Sanggabumi. Dua ekor lembu berjalan perlahan-lahan mengangkut aneka hasil bumi itu. Mata Dewi Rukmini berkabut. Ingin rasanya ikut pukang sebentar dan memeluk Sang Ayah, Prabu Arya Pamenang. Tapi itu semua belum waktunya untuk dia lakukan. Waktu masih harus mendidiknya agar lebih berisi saat dia nanti kembali pulang ke Kerajaan Sanggabumi. Berisi ilmu, berisi wawasan, dan berisi pelajaran kehidupan. "Gusti Ratu ..." panggil Bik Nara dengan suara lirih. "Jangan biarkan kesedihan menghambat segala impian panjenengan." Dewi Rukmini mengangguk pelan. Jemari lentiknya bergetar mengusap lelehan air mata yang mulai turun membasahi pipinya yang halus. "Ingin bertemu ibunda di pasetran, Bik. Seperti yang biasanya saya lakukan bersamamu dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih." Dewi Rukmini mengangkat kepalanya. Melihat kembali ke arah rombongan pedati yang membawa
Sepekan sudah waktu berlalu sejak rombongan pedati berangkat mengantarkan sumbangan bahan pangan ke Kerajaan Sanggabumi. Bagi Dewi Rukmini, waktu sepekan itu terasa sangat lambat berlalu. Dia berharap secepatnya rombongan pedati itu kembali ke desa Kedawung. Dan sore itu matahari sudah bersiap untuk menuju ke peraduannya. Ketika tiba-tiba dari arah timur rombongan pedati muncul. Pekik bahagia tak dapat lagi disembunyikan oleh Dewi Rukmini. Dia berteriak-teriak memanggil Bik Nara, Ki Jalapati, dan Bejo. Tak lama kemudian kelima pedati itu telah tiba di depan rumah Ki Jalapati, lengkap berbaris lima. Pangeran Gagat adalah anggota rombongan yang pertama kali turun. Wajahnya terlihat lelah dan peluh membanjiri tubuhnya."Udara di perjalanan sangat panas, Nimas Ayu Gerah sekali." Pangeran Gagat segera berbaring telentang di atas lantai."Apakah Kangmas ingin mandi air hangat? Karena malam hampir tiba," tanya Dewi Rukmini."Boleh, Nimas Ayu. Terima kasih," ujar Pangeran Gagat sambil meng
Meskipun usia Bik Nara telah merambat senja, tapi kecantikannya tak memudar. Gurat-gurat keindahan wajahnya masih terlihat jelas. Apalagi ketika dia berdandan dengan pakaian istimewanya saat ini.Bentuk fisik yng sangat berbeda antara Bik Nara dengan Ki Jalapati, tak menlunturkan kasih sayang yang sudah terbentuk dalam hati mereka. Tekad untuk bersama-sama mengarungi bahtera rumah tangga di sisa umur mereka.Dua pengantin itu duduk bersanding dengan begitu anggunnya. Tidak ada pesta pora. Namun, tetap saja ada kesan meriah. Dengan posisi Ki Jalapati sebagai lurah, tentu saja mengundang seluruh warga untuk datang meski tanpa panggilan.Dewi Rukmini melihat sepasang pengantin itu dengan haru. Setelah sekian puluh tahun, akhirnya Bik Nara menemukan jodohnya. Kenyamanan adalah hal penting yang ingin didapatkan dalam sebuah pernikahan, dalam rumah tangga.Fisik Ki Jalapati yang hanya setinggi ketiak Bik Nara tidaklah menjadi penghalang bagi mereka untuk memupuk cinta kasih. Bik Nara mendap