Siang itu matahari bersinar cukup terang. Membuka setiap mata pada pemandangan alam yang menawan. Awan menggantung manja, di langit yang biru. Menebarkan pesona warna bak permadani indah dari Turki.
Pertengahan Juni, bukan hanya menampakkan alam yang bersahabat. Melainkan pancaran kebahagiaan bagi para pelajar SMAKota Bahari. Hari yang istimewa bagi pelajar seusai menempuh ulangan akhir semester akhir. Kegiatan tahunann itu cukup melelahkan bagi mereka, terutama pelajar yang benar-benar memporsil otak demi naik kelas ketingkat XII jurusan IPA.
Selama seminggu mereka bertempur menghadapi soal-soal menjenuhkan. Tidak adil kalau mereka tidak memperioritaskan waktu liburan. Rencana tersebut sangat menjanjikan agar kesegaran otak dari kejenuhan sekaligus menambah pengalaman baru setelah liburan usai.
Rencana liburan sudah direncanakan sebagian siswa jauh-jauh hari. Namun tidak seperti yang dilakukan tiga remaja yang duduk-duduk santai di pelataran sekolah diakhir pekan.
Salah seorang diantara mereka adalah Devan, cowok berperawakan tinggi dengan tampang sedikit berantakan. Rambutnya hampir tidak pernah disisir. Kaos T-sirt hitam, dipadu celana jeans yang sobek dikedua lututnya, membuat dirinya terlihat cowok paling brutal. Namun nyatanya ia cuma remaja yang labil dan suka jahil. Ia bagian dari imbas remaja dalam proses pencarian jati diri. Disisi lain, Devan memiliki kebiasaan melebih-lebihkan sesuatu ketika berbicara. Sebagai ketua gang remaja di kelasnya ia sering seenaknya menentukan keputusan.
“Teman-teman,” Devan menatap arogan pada kedua teman bicaranya. Mereka dua cewek teman sekelasnya, Tasya dan Hera. “Liburan kali harus beda sama tahun kemarin. Harus lebih asyik dan memuaskan.”
Tasya, salah seorang temannya menanggapinya dengan senang. Ia cewek yang feminim dengan perawakan mungil dan cantik. Rambut hitam sepundak serta kulitnya yang putih, menambah kesankecantikan alami pada dirinya.
“Aku juga berpikir begitu,” katanya sambil merapikan rambutnya dengan jari-jari lentiknya. “Tapi harus ditentukan dari sekarang, dong.”
“Aku setuju Van,” sambung Hera, cewek berperawakan tinggi berbadan ‘berisi’mirip lelaki. “Liburan ini harus, benar-benar ke tempat yang asyik. Jangan seperti liburan kemarin.” Cewek yang dikenal pemberani itu masih ingat liburan tengah semester tahun lalu. Hujan deras mengacaukan camping mereka di daerah pesisir.
“Pokoknya jangan ke tempat-tempat ramai. Menurutku terlalu biasa, nggak ada tantangannya.” Cowok berwajah kotak dengan hidung besar itu menegaskan.
Tasya dan Hera hanya mendesah panjang. Keduanya tidak benar-benar antusias padanya. Cowok yang suka arogan itu biasanya cuma omong kosong.
“Hey, teman-teman, aku ada ide, ” katanya melanjutkan.“Bagaimana kalau kita pergi ke tempat pertanian jagung milik Kakek Johan di desa Sriwilli. Disana tempatnya damai dan indah. Pokoknya, kita semua dijamin puas deh.”
Tasya dan Hera bertukar pandang. Ada semacam kegelian di wajah mereka berdua. Terutama Hera, cewek pemberani dan tidak mudah percaya pada perkataan Devan. Sebagai teman satu kelas IPA, ia tahu betul watak dan kepribadian cowok itu. Lagian Devan, sudah dicap biang gaduh dan masalah saat pelajaran berlangsung. Terutama jika pada jam praktik IPA berlangsung. Laboratorium dijadikan tempat menjahili teman-temannya. Bagaimana mungkin, ia bisa memilik keisengan memasukan katak hidup-hidup ke dalam salah satu tas siswa dan pemilik tas histeris ketika membuka tas tersebut.
“Apa nggak salah dengar, Van,” ujar Hera keheranan. “Kita ke desa yang sepi? Kamu mengada-ada saja sih. Aku tahu kebiasaan kamu, pasti apa yang kamu katakan itu nggak sesuai kenyatan kan?atau ada maksud-maksud tertentu.”
“Hey, kali ini aku serius, Her,” kata Devan menunjukkan wajah tersinggung. “Minggu kemarin, aku menelpon mereka. Kakek Johan dan Nenek Sita memberitahu suasana sangat nyaman dan indah menjelang musim panen.”
Hera nampak acuh tak acuh. Membuat Devan berpaling kearah Tasya. Ia tahu cewek itu selalu memiliki pertimbangan dan demokratis di banding Hera.
“Sya, ayolah.” Cowok itu membujuk.“Aku yakin, teman-teman kita yang lain suka. Gang kita pasti setuju.”
Tasya mengangkat kedua bahu dengan ekspresi bingung. Devan terlihat kecewa.
“Aku tahu kebiasaanmu, Van,” tukas Hera.“Selama ini ucapanmu nggakada yang bisa dipercaya. Apa kamu masih ingat, liburan tengah semester lalu?”
Devan menelan ludah. Menyadari kekeliruannya mengenai liburan tersebut. Waktu itu, ia memaksakan kehendak pada teman-temannya.
“Lagian, ditempat pertanian Kakekmu, dijamin aman nggak sih?” Tasya menimpali. Ada rasa tidak enak menolak ajakan Devan. “Aku jadi ingat film-film horor. Banyak monster berkeliaran di tempat-tempat seperti itu. Hihhh!” Cewek itu bergidik ngeri.
“Kamu Paranoid banget sih. kebanyakan nonton film horor, Sya” ujar Devan kesal. “Susah ngobrol sama kalian. Lebih baik, ngobrol sama yang lain. Kevin, Jaki, atau Samy.”
“Yah terserah kamu Van,” sahut Hera ikut kesal. “Liburan kalian tanpa kami juga nggak masalah.”
“Tapi kalian harus ikut,” ujar Devan merasa sudah membuat mereka kurang nyaman. “Selama ini kita selalu kompak. Apalagi ada, kamu Tasya.”
Cowok itu mengerling usil pada Tasya, membuatnya bergidik geli. Memang sudah kebiasan Devan, menggoda cewek-cewek sebagai hiburannya.
Hera berdehem beberapa kali. Tatapan jenuh tampak di kedua matanya yang hitam dan tajam. “Kamu mulai ngawur, Van.” Ia menimpali dengan geram.
Devan menyeringai nakal sambil mengacungkan dua jari sebagai tanda ‘peace’
Hera cuma manyun sambil menahan geli. Tidak ada cowok yang menyebalkan selain Devan.
“Sebaiknya, kita harus diskusikan masalah ini sama teman yang lain.” Tasya mencoba bersikap demokratis.
“Hmmm, itu yang kuharapkan,” sahut Devan seraya melirik kearah dua cowok yang baru muncul. Mereka adalah Jaki dan Samy,teman sekelasnya. Sekaligus anggota gang Devan.
“Halo kawan!” sapa Jaki kepada mereka bertiga. Tasya dan Hera cuma tersenyum. Sedangkan Devan, mengangkat jempolnya sambil mengisyaratkan mereka berdua untuk duduk bergabung.
“Rupanya ada pembahasan penting ya,” ujar Jaki sambil melepaskan tas dari punggungnya. “Ajak-ajak dong. Siapa tahu ada job, biar liburan kali ini kantong nggak boke.”
“Pikiranmu cuma kantong melulu,” celoteh Devan geram. “Sekali-kali kamu ikut mikir,acara liburan kita kemana.”
“Yah, liburan sih liburan. Tapi kalau nggak punya fulus kan, sama saja bohong. Masa kita liburan suruh makan batu kerikil,” tukas Jaki terkekeh.
Tasya dan Hera hanya menyengir mendengar ucapan Jaki. Mereka tahu, Jaki sangat peduli dengan uang. Cowok berperawakan tegap pendek itu selalu berpedoman pada kata mutiara, Time is Money.Bahkan sudah menjadi doktrin penting dalam hidupnya.
Tasya ingat waktu Jaki membantunya mengambil buku catatan yang ketinggalan di kelas, sebagai imbalannya ia meminta traktir soto di kantin. Hera juga pernah menjadi korban traktiran paksa Jaki, ketika ikut menumpang pulang sekolah dengan vespa bututnya. Niat menolong, ujung-ujungnya minta imbalan. Jaki is Money!
“Kalau ada Jaki, sebentar lagi ada yang keluar duit nih,” Hera asal nyeplos. “Kalau dari dulu bisa berhemat, tentu dia sudah kaya raya.”
Perkataan Hera disambut gelak tawa teman yang lain.
“Jadi juragan kaya dong,” sahut Devan menimpali sinis.
“Kamu jangan begitu, Her,” protes Jaki sambil melepas jaketnya. “Kalau aku kaya, kalian sudah akan kutraktir setiap hari, bahkan seumur hidup kalian.” Cowok berbadan gempal itu menyeringai lucu. “Tapi bagaimana aku kaya, butuh duit buat ganti jaket yang baru saja belum kesampaian. Lihat nih, jaketku sudah jadul.”
Hera dan Tasya tertawa mencibir. Ada-ada saja yang dikomentari Jaki.
“Lagian jaket sudah kayak kain lap masih dipakai,” Hera kembali menimpali, membuat Jaki semakin kesal.
“Sudah cukup rapat pribadinya, oke!” potong Devan. “Kalau kalian berdua mau debat terus, kapan kita bisa selesai.”
“Mana yang lain Van,” ujar Tasya berusaha mengembalikan topik pembicaraan yang semula. “Hampir sore nih. Aku harus segera pulang.”
“Tinggal Kevin dan Anisa,” sahut Devan sambil celingukan. “Tadi mereka memberitahu, dalam perjalanan kemari.”
Kemudian, Devan selaku pemimpin gang ‘tidak resmi’ kembali membicarakan liburan. Kali ini ia menunjuk Samy supaya turut angkat pendapat. Lalu sejenak, ia memperhatikan satu cowok lagi yang sedari tadi cuma asyik mendengarkan.
Samy, teman satu kelas yang paling pendiam dan pintar. Cowok berpenampilan ala kadarnya itu, masuk ke dalam gang Devan, karena Tasya. Mereka sudah berteman sejak awal masuk sekolah. Kehadiran Samy dalam kelompok itu sebenarnya cuma ikut-ikutan saja. Mumpung ada teman yang mau menampungnya. Dan gang mereka juga sebenarnya bukan jenis organisasi apa-apa. Bahkan tidak ada anggotanya yang benar-benar mengakuinya.
Awalnya gang mereka dibentuk secara tidak langsung oleh Hera, Tasya, Jaki dan Bagas. Sebenarnya tujuan mereka bukan membentuk gang, melainkan kelompok belajar. Mereka hanya sebatas berkumpul dan membicarakan beberapa hal selama kelas XI. Namun kehadiran Devan membuat kacau kelompok mereka. Devan yang baru pindah, dar kota lain, mendesak masuk kedalam kelompoknya. Ia adalah pelajar yang tidak mendapat sambutan baik dalam kelas. Sejak masuk ke Sekolah Bahari, Devan sudah berteman akrab sama Kevin. Ironisnya, kehadiran cowok yang tak diharapkan itu menjadi otak dalam kegiatan, terutama kegiatan luar sekolah. Beruntungnya, selama Devan masuk dalam kelompok mereka, dapat mengurangi keliarannya.
“Samy, bagaimana menurut kamu?” tuntutnya. “Aku yakin kamu sepakat dengan ideku kan?”
Samy terlihat salah tingkah. Tidak terbiasa mengobrol secara langsung dengan Devan. Diantara mereka berdua tidak terlalu akrab.
“Sam, kali ini aku nggak akan lepasin kamu!” katanya sambil menyeringai nakal. “Aku yakin, ideku sama dengan kamu. Lagian setiap kami ngumpul, kamu selalu alasan tidak hadir. Ada PR lah, bantu ibu kos lah, capai lah. Pokoknya kali ini kamu harus ikut.”
“Maksudmu apa sih, Van?” Tasya merasa Devan memaksakan kehendak. “Kamu tahu sendiri, Samy orangnya tidak suka dibujuk-bujuk.”
Jaki berdehem. Wajahnya yang tebal dan berminyak, menunjukkan keusilannya. “Sebentar, sebentar.Ada apa nih. Kok, kamu membela dia, Sya?”
Tasya baru menyadari perbuatannya.Ia jadi salah tingkah dihadapan Jaki
“B-bukan begitu Jak,” sangkalnya seraya melirik kearah Hera, berusaha mencari dukungan. “Aku cuma nggak ingin, dalam liburan kali ini ada paksaan. Iya kan Her?”
“Ya, mungkin,” sahut gadis ragu-ragu. Namun ia juga berusaha untuk tidak terprovokasi oleh Jaki.
***
Tasya mendesah panjang. Sebenarnya tidak ada hubungan spesial antara Tasya dan Samy. Mereka cuma teman biasa. Perkenalan mereka dimulai sejak keduanya maju dalam lomba sains tingkat provinsi. Selama proses perlombaan, membuat keduanya menjadi akrab. Namun, sikap Samy yang dingin kepada Tasya dan cewek manapun, mmebuat hubungan mereka tidak terlalu akrab. Bahkan terkesan tidak saling kenal. Tasya menyadari, Samy memiliki kebiasaan gugup dalam menghadapi cewek manapun. Kalaupun ia jalan sama seseorang, itu karena ceweknya saja yang maksa.
“Sya, kamu melamun ya,” suara Hera membuat dirinya menatap gugup.
“Ah, nggak. Nggak apa-apa kok,” sahutnya sambil mengusap wajahnya
“Kamu kenapa sih Sya?” Hera menambahkan.
“Oh, anu, aku... aku digigit semut,” kilah Tasya mencari-cari alasan.
“Mana semutnya, Sya? Semua cinta kali ya,” goda Hera sambil tertawa.
Tasya hanya tersenyum kecut, sembari berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah.
***
Perasaan malu Tasya terobati sektika. Bunyi klakson mobil Kavin mengagetkan mereka. SebuahPajero Sport terbaru berhenti di parkiran tidak jauh dari merek duduk.
“Hei Kevin!” teriak Jaki sambil melambaikan tangan.
“Dasarsok akrab!” celoteh Hera, tidak suka dengan sikap Jaki yang norak.
Jaki seolah tak peduli dengan ucapan cewek itu. Baginya tidak ada satu pun orang lain yang dapat mengatur hidupnya.
Dengan gayanya yang cool, Kevin turun dengan gagahnya dari balik kemudi. Potongan rambutnya model terbaru ala artis mancanegara yang sedang nge-trend. Dipotong tipis bagian pinggir, menyisakan bagian tengah yang tebal. Minyak rambut malah membasahi rambut hitamnya. Pokoknya keren abis. Kacamata hitamnya dibiarkan tergantung di kerah kemeja berwarna hijau muda. Cewek manapun akan terkesan pada penamilannya. Kecuali mereka tahu motivasi sebenarnya dalam diri Kevin. Mereka akan bilang, cowok pencari korban, ada lagi yang bilang play boy cap campak (kampak). Setelah bosan pad cewek incarannya, lalu di campakin.
Di belakangnya Kevin, muncul cewek seusianya bertubuh mungil dengan rambut tergerai sebahu. Anisa, namanya. Ia pacar Kevin yang baru. Mereka jadian tiga bulan yang lalu. Kevinyang keren, merupakan siswa favorit SMA Bahari. Banyak gadis-gadis berebut untuk jadi pacarnya. Namun Anisa beruntung. Ia berhasil memenangkan hati cowok tajir itu dengan mudah. Kecantikannya telah meluluhkan hati Kevin seketika.Sepertinya Kevin juga sudah terjerat pada kecantikannya. Semula hanya berniat main-main dengannya. Sebatas mencari hiburan disela-sela kejenuhan rutinitias kegiatan belajar setiap harinya. Biasanya Kevin memacari cewek-ceweknya tidak lebih dari dua atau tiga minggu.
“Hai Anis,” sapa Tasya mencoba ramah. Ia tahu Anisa bukan cewek yang ramah. Mereka juga tidak benar-benar saling kenal. Perkenalan mereka lantaran menjadi pacar Kevin. Begitu juga dengan yang lain. Mereka nyaris tidak pernah mengobrol dengan Anisa.
“Hai juga.” Anisa menyahut kaku. “Rupanya sudah lama kumpul ya.”
“Lumayan,” jawab Tasya datar. “Silakan berkabung.”
“Apa kami terlambat?” tanya Kevin seraya menyalami teman-temannya dengan cara yang khas, yaitu menepuk ujung jempolnya dengan jempol mereka secara berurutan.
“Nggak ada kata terlambat buat kamu, Vin,” sahut Jaki sambil memberikan ruang untuk duduk untuknya.
“Pasti ada maunya nih,” Kevin menimpali sambil duduk disamping Devan dan Hera, membuat Jaki agak kesal. Sementara Anisa duduk diantara
diantara Devan dan Jaki.
“Jadi, apa yang kalian bicarakan?” tanya Kevin seraya menyisir rambutnya dengan jari.
“Apa kamu lupa?” ujar Devan menatapnya tajam.
“O ya, maaf aku sibuk akhir-akhir ini. Apa sudah ada keputusan, kemana acara liburan kita?” tanya Kevin tak sabar.
Devan mengangguk pasti.
“Kita ke desa Sriwilli, tempat pertanian Kakek Johan,” katanya. “Semua sudah sepakat. Tinggal kalian berdua.”
Tasya merasa kesal pada Devan. Ia mengatakan bukan yang sebenarnya. Kebiasaannya sering sekali memanipulasi pendapat teman-temannya. Parahnya lagi, cowok itu selalu memaksakan kehendak. Mereka semua tidak bisa membantah padanya.
Siapapun tahu, Devan adalah anak dari salah satu penyandang dana di SMA Bahari. Meski tidak memiliki kemampuan khusus dalam bidang akedemik, cowok yang biasa hidup enak itu sudah terkenal dari siswa pintar manapun. Nama Devan ada dijajaran paling atas, terutama saat ada kegaduhan dan masalah lain dikelas. Diantara semua teman sekelas, hanya kepada Hera cowok itu tidak berani sembarangan. Hera memiliki keberanian diatas para cewek lainnya, bahkan cowok-cowok. Ia sering sekali berdebat dengan Devan, meski pada akhirnya harus menuruti juga kemanuannya demi keharmonisan gang mereka.
“Hei, kan belum diputuskan!” Hera memprotes. “Harus jelas dong.”
“Tapi kita semua banyak yang ingin kesana Her,” sahut Jaki antusias.
Kevin, Anisa dan Jaki berseru penuh semangat. Membuat Hera kalah suara. Dukungan Tasya saja belum mampu membuat mereka mendukungnya.
“Guys,” sahut Kevin turut mempovokasi. “Aku lebih setuju ke desa pertanian. Disana kita dapat udara sejuk damai. Lagian jarang kan, kita punya kesempatan kesana.”
Semua pasang mata tertuju pada Devan yang dianggap pemimpin tak resmi. Ia itu bukan benar-benar sosok pemimpin yang diharapkan.
“Gimana Van?” kata Anisa. “Jangan buang-buang waktu dong. Aku kan mau ke salon. Nih liat, rambutku berantakan gara-gara angin sialan.”
Tasya yang melihat gaya Anisa yang berlebihan terbatuk-batuk. Hera menahan geli. Menurut mereka sejak jadi ceweknya Kevin, tampilan Anisa aneh-aneh saja. Dua minggu yang lalun, model rambutnya dikribo. Pernah dulu waktu baru jadian, dia rela mengeluarkan banyak uang untuk mewarnai rambut di salon yang bergengsi.
“Ya ampun Anis,” Ujar Hera geram. “Baru kena angin saja,kamu sudah kaya orang kesurupan sih. Coba kalau kena tsunami, pasti pingsan deh.”
Anis cuma nyengir kuda. Menanggapi Hera bisa jadi senjata makan tuan. Ia tidak ingin meladeni cowok tomboy seperti dia. Devan aja bisa-bisanya kalah, apalagi cewe manja yang suka berdandan seperti dirinya.
“Sam, bagaimana pendapatmu,” Jaki menatap dengan sikap menggoda. “Aku tahu kamu dan Tasya pasti pendapatnya sama kan?” bisiknya, mengurangi risiko kemarahan cewek itu.
Seketika Samy dan Tasya terkejut. Mereka tidak tahu akan digoda sebegitunya.
“Eh, Jaki!” kata Tasya protes. Ia mendengar bisikan Jaki.“Aku mending sama Samy ketimbang kamu.”
“Cie-cie, udah mulai terang-terangan ya.Romantis banget,” goda Kevin mencibir. “Aku berani bertaruh,nggak lama lagi kita dapat traktiran gratis.”
Tawa Kevin meledak. Diringi Jaki dan Devan. Mereka sepertinya senang meledek Samy habis-habisan.
Lelaki yang ditertawainya cuma tersenyum tipis tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Sebaliknya Tasya sudah berdiri berkacak pinggang dengan wajah merona galak. Ia melepas sepatu dan melemparkannya pada Jaki. Lemparannya buruk, hanya mengenai tangan Jaki saat menangkisnya.
Namun Tasya tidak berani melakukan itu pada Kevin. Iatahu, bahwa sebenarnya cowok itu sedang menyindir, lantaran pernah ditolak ketika pernah terang-terangan menyatakan perasaannya.
“Sudah, sudah!” seru Hera. “Kalian ngomongin apa sih. Nggak penting tahu.” Tatapan cewek itu ditujukan pada Devan selaku yang di tuakan. “
RUMAH minimalis itu terletak dijalan kecil yang beraspal. Dinding hebel mengelilingi rumah asri yang ditanami beberapa pohon cemara. Memperindah tatanan taman kecil di depan rumah. Sore itu, Tasya mengurung diri dalam kamar. Seminggu ini ia harus tinggal sendirian dirumah. Kedua orang tuanya sedang berada di luar kota untuk menemani Adit, kakak Tasya yang sedang mengurus kuliah disana.Selepas membersihkan tubuh, Tasyaduduk-duduk santai sambil memikirkan kegiatan liburan. Entah mengapa, ada yang mengganjal dalam benaknya. Seolah rencana itu bukan kegiatan yang menyenangkan. Ada firasat buruk disana.Sesuatu yang membuat pikirannya tidak tenang. Namun, Tasya tidak bisa memastikan seperti apa kejadian itu. hanya sebuah ganjalan dalam pikirannya saja. Atau mungkin, merupakan bias dari kelelahan otaknya selama masa ulangan semester akhir. Jadi berusaha mengabaikan ketakutannya dan hal yang mempengaruhi pikirannya suatu kewa
Handpone milik Devanberdering. Bagas menelpon.Suara di seberang sana memberitahukan, tempat transit mereka sebelum sampai tujuan. Setelah itu, devan mengumumkan kepada yang lain, bahwa transit istirahat sekitar lima belas menit lagi perjalanan.Dalam waktu yang tidak meleset, mobil berhenti di sebuah kedai makan di pinggir jalan. Bangunan tersebut terbuat dari susunan kayu pinus yang dicat biru. Sangat kontras dengan warna ladang jagung di sekitarnya.“Akhirnya kita turun juga,” ujar Anisa yang sedari awal perjalanan sudah banyak mengeluh. Badan dan kakinya terasa pegal-pegal.“Perjalanan ini belum berakhir, Anis,” sahut Jaki seraya melirik botol minuman berenergi yang terselip dalam tas kecil milik cewek itu.Cewek itu langsung tahu apa yang dinginkan Jaki. Dengan tersenyum malu-malu Jaki menenggak minuman itu sampai tinggal sedikit. Anisa cuma memasang wajah cemberut sambil geleng-geleng kepala.“Da
Perjalanan mereka berakhirpada ladang jagung yang berwarna kuning pucat. Mobil mereka memasuki pelataran luasyang ditumbuhi rumput-rumput pendek dan rapi. Beberapapohon jati tua tumbuh di sisi barat pelataran. Membuat tempat itu tidak sepenuhnya tersengatsinar matahari. Sebuah rumah kayu yang cukup besarbertantai duaberdiri menghadap pelataran.Rumah besar milik Kakek Johan dan Nenek Sita sudah kelihatan tua, namun masih kokoh dan indah. Para remaja turun dari mobil sambil berretiak kegirangan. Perjalanan yang menjenuhkan sudah berakhir. Mereka menginjakkan kaki di desa Sriwilli disambut tiupan angin lembut yang menyejukkan wajah. Mempermainkan perlahan rambut-rambut mereka. Anisa nampak begitumenikmati. Gaunputih seperti
Perasaan Tasyasama sekali sudah melupakan ketakutan seperti sebelumnya.Sekarang penuh keceriaan dangerai tawa bersama Hera. Diantara semua cewek, Tasya yang palingahli dalam membuat makanan.Mereka tidak mau melibatkan Anisa yang suka bersolek. Cewek itu hanya akan menambah masalah kalau dilibatkan. Namun Anisa sesekali butuh teman sesasama wanita. Jadi ia menemani Tasya dan Hera di dapur.Sejak masuk ke dapur cewek norak itu hanyasibuk menghiasdiri.Membawa serta cermim kecil kesayangannya.Cermin itu sudah seperti separuh nyawanya. Kemanapun selalu dibawa. Bahkan saat tidur sekalipun!
Tak terasa, malam pun tiba. Suasana sepi nan mencekam menyelimuti pertanian jagung maha luas. Membuat suasan dalam rumah itu nampak seperti pekuburan kono. Pukul tujuh, para remaja sudah menyelesaikan makan malam dengan meriah. Semua lauk ludes tanpa sisa. Mereka seperti tidak makan dalam beberapa hari. Perut mereka seperti lebih besar dan lebih banyak menampung makanan dari biasanya.Bagas tidak lupa mengambil dua kali lipat dari porsi teman-temannya. Permintaan Bagas, tidak gratis. Devan menuntut konpensasi, memijat punggungnya nanti malam. Seperti yang lain, Tasya juga makan dengan lahap. Ia terbawa suasana kelaparan seperti teman-temannya. Suasana yang sama sekali tidak bisa didapat didalam rumahnya, meski memiliki keluarga dan uang yang cukup. Kehidupan dalam rumah dirasakan begitu jenuh dan monoton. Tidak ada derai tawa keluarga saat berkumpul di ruang keluarga, yang tampak hanya sunyi seperti pekuburan. Kedua orang tuanya
Pesta masih berlanjut. Tasya dan Hera muncul sambil membawa minuman Bajigur dalam teko logam yang besar dan sekotak biskuit. Bagas menyusul dibekangnya sambil membawa baki berisi gelas. Samy tengah sibuk mengumpulkan kayu bakar yang diambil dari teras belakang rumah.Kemudian ke delapan anak remaja itu duduk mengitari api unggun sambil sesekali bercanda. Kevin sudah memeluk gitarnya sambil sesekali beradu pandang dengan Anis. Lagi-lagi sang Vokalis Jaki menunjukkan penampilan buruknya. Namun mereka semua menjadi lebih bersemangat.“Pesta segera dimulai, kawan!” seru Devan sambil mengacungkan tangan. Ia berusaha menguasi keadaan. Meyakinkan diri sendiri, bahwa semuanya baik-baik saja.Mereka semua sorak kegirangan. Gelas-gelas diisi minuman penghangat. Aroma harum khas kelapa menyeruak hidung. Tasya sendiri sudah sama sekali melupakan firasat buruk dan pertemuanny
Rasanya sudah bolak-balik melewati jalan yang berbeda. Namun tetap saja rombongan remaja itu tidak menemukan rumah Kakek Johan. Devan yang memimpin di depan pun tidak bisa berbuat banyak. Mereka seolah tersesat di dalam ladang. Lalu mereka berhenti di tengah ladang yang kosong dan berhenti sambil melepas lelah. “Kita tidak bisa keluar dari ladang sialan ini!” keluh Hera sambil mengatur nafas. “Ya, kenapa bisa begini,” sahut Kevin. “Aneh, kok bisa tersesat di ladang.” Tasya menimpali seraya duduk diatas tumpukan daun jagung kering yang terikat rapi. Ia meluruskan kedua kakinyayang kaku. “Coba cari sinyal!” ujar Samy, yang sudah mengayun-ayunkan handphone di udara. “Nihil. Tidak ada sinyal!” Tasya mengeluh sambil terus berjalan mencari sinyal. Remaja yang lain juga melakukan hal yang sama. Mereka mendengus k
“Sudah pukul dua belas!” seru Tasya beberapa saat kemudian. “Apa kalian tidak ngantuk?”“Ah, rasanya malam hari begitu cepat sih,” sahut Kevin kecewa.“Benar, harusnya waktu jangan terlalu cepat,” sahut Anisa sambil menggeliat malas.“Memangnya waktu punya nenek moyangmu!” protes Jaki.“Kita harus cepat tidur. Aku ngantuk banget, besok pekerjaan kita masih banyak,” ujar Hera sambil menguap. Lalu bergegas naik menyururi tangga menuju kamar. Begitu melihat bed cover ia langsung menerjunkan diri.Sebelum menyusul yang lain, Tasya memutuskan ke kamar mandi untuk buang air. Ia pelan-pelan menuju lorong menuju kamar kecil.Lampunya tidak seterang di ruang tamu atau ruang lainnya. Dalam lima menit, ia sudah keluar dari kamar mandi. Matanya masih belum ngantuk namun tidak ada kegiatan lag
Bab nektEuforia Menuju Farm JohanSebuah mobil jepp warna biru meluncur meninggalkan kota Kranviile. Terdapat enam penumpang dengan wajah penuh keceriaan. Mereka tak lain adalah Linda, Jean dan Farah. Sementara tiga lelaki, Roy dan tua temannya, Jo dan Kim. Mereka nekad berangkat ke Farm Sriwilli tanpa Tasya dan Hera. Sudah berbagai cara membujuk dan memaksa kedua cewek itu tetapi tak berhasil. Awalnya Linda memaksa Tasya dan Hera ikut serta sebagai pemangu perjalanan karena keduanya memiliki pengalaman banyak Farm Sriwilli.Setelah melewati hampir dua jam, mereka berhenti di sebuah kedai makan. Hal itu dikarenakan Jim ingin buang air kecil.Sambil menunggu cowok bertubuh gempal itu, Linda dan yang lain melihat-lihat area sekitar ladang jagung yang masih hijau segar. Mereka tak membeli perbekalan, karena Jean sud
Tak berapa lama seorang polisi lokal yang sedang berpatroli menemukan mobil terbengkalai. Dia memeriksa mobil dengan cup yang masih terbuka. Sesaat dia meneliti di sekitar ladang kering tapi tak menemukan siapa-siapa. Lalu polisi berusia setengah abad itu masuk ke ladang kering berisi semak. Dia berinisiatif mencari sumber mata air, karena sudah dipastikan pemilik mobil mencari air untuk mengisi radiator.Beberapa saat polisi itu melihat sungai kecil. Secara perlahan dan penuh waspada dia menelusuri sungai tersebut. Di sana dia agak kecewa karena tak menemukan siapa-siapa. Namun saat dia hendak berbalik, polisi itu secara tak sengaja terkatuk sesuatu yang menyebabkannya jatuh. Dia memekik tertahan, saat melihat seseorang tergeletak dengan mulut terbuka. Di bagian leher terdapat bekas jeratan atau cekikan kuat. Dia yakin, orang tak bernyawa itu adalah pemilik mobil yang terbengkalai di jalan.Se
Tidak membuang banyak waktu lagi bagi Samy untuk segera sampai di pertanian Sriwilli. Dengan menumpang angkutan yang membawa jerami kering, Samy menuju pertanian milik Johan Farm. Hanya membutuhkan waktu dua jam, dia sampai di rumah tua bekas kediaman keluarga Johan itu. Setelah turun, Samy menebarkan pandangan ke pertanian kering itu. Sekilas memorinya mengenang ladang jagung Johan Farm yang penuh dengan monster kutukan yang meninggalkan ceceran darah dari teman-temannya.Suasana panas, membawa Samy untuk segera masuk ke rumah tua milik Kakek Johan. Perlahan Samy melintasi pelataran luas itu. Kondisi rumah sepertinya sudah jauh berbeda dari tiga tahun yang lalu. Area sekitar rumah juga sudah lapang. Hanya menyisakan bekas batang jagung kering. Jadi pertanian tersebut terlihat tidak seseram dulu. Hanya saja Samy masih terus waspada karena bagaimanapun juga tempat itu masih
Suasana masih sore, ketika Samy berada dalam perjalanan bus menuju Sriwilli. Dia masih cemas ketika turun di perbatasan kota sudah malam. Karena jika malam, kendaraan umum menuju Sriwilli Farm sangat sulit. Jarang ada angkutan yang mau menuju ke desa kecil itu. Terlebih setelah tragedi mengerikan tiga tahun yang lalu.Samy mendengus kesal, ketika kekhawatirannya terjadi. Dia sampai di batas kota ketika malam turun. Itu artinya dia tidak bisa kemana-mana di tempat itu. Akhirnya dia memilih untuk mengingap di motel tersebut dan melanjutkan perjalananan esok harinya.Setelah memesan kamar, Samy langsung memutuskan istirahat. Rasa lelah benar-benar menyergap dirinya. Bukan lelah dari fisik saja, melainkan dari pikiran yang sepanjang perjalanan terus menyelimutinya. Terutama, saat dalam perjalanan tadi. Samy terus mendapat penglihatan Sriwilli Farm banjir darah. Darah dan mayat seperti lautan yang menggenang. Penglihatan itu sangat menger
Meskipun sudah lebih baik dan terbiasa hidup dengan pernglihatan masa depan, Samy masih sering dihantui mimpi-mimpi aneh dalam tidurnya. Dalam mimpi tersebut dia tiba-tiba berada di sebuah ladang jagung yang luas. Tempat asing itu nampak begitu mengerikan dengan ratusan burung gagak berterbangan di langit ladang tersebut. Sehingga ladang itu terlihat gelap seperti malam. Samy semakin terkejut begitu mendapati dirinya sedang terikat di tiang pemancang. Semakin meronta melepaskan diri, semakin kuat lilitan tali itu mengeratnya. Samy hanya bisa menjerit dalam belenggu yang mengerikan. Dan pada detik berikutnnya burung gagak lenyap entah kemana.Seolah ada dorongan kuat dalam hati, Samy kepikiran tempat mengerikan itu. Sehingga dia memutuskan untuk pergi kesana. Samy yang sudah tidak bisa menahan diri lagi, pergi ke Sriwilli keesokan harinya dengan berbekal uang yang diberikan Tasya tanpa sepengetahuan Hera.&
Tak menyangka sama sekali kalau nasib Samy perlahan berubah. Hal itu diawali dengan kekuatan penglihatan yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. Kekuatan yang awalnya membuatnya takut, perlahan mulai membawa keberuntungan. Setidaknya, Samy sudah mulai diharagai di kota Kranville. Sesuatu yang tak pernah dapatkan di tempat tinggal paman dan bibinya selama ini.Malam ini tak seperti biasanya, Tasya berkunjung ke tempat kosnya. Kunjungan cewek itu sontak membuat Samy salah tingkah. Terlebih ketika teringat pelukannya saat menolongnya dari kecelakaan itu.“Pastinya kamu belum makan malam?” tanya Tasya sambil menyodorkan kue kering yang sempat di toko seberang jalan.Samy mengangguk malu-malu. Sikapnya tak pernah berubah sejak dulu. Pemalu dan mudah salah tingkah.“Terima kasih,” jawabnya sambil mulai makan.Tasya memperhatikan cara makan Samy yang seperti k
Ternyata rencana ketiga cewek super tengil di kampus Kranville tidak main-main. Mereka memiliki tekad bulat untuk pergi ke pertanian Sriwili. Tentunya rencana itu tanpa sepengetahuan`pihak kampus karena jelas tidak akan disetujuinya. Mendengar rencana gila itu, Roy si berandal kampus serta dua temannya antusias saat Linda memberitahunya. “Kapan kita berangkat?” tanya Roy sambil membenarkan ikat kepalanya dari kain slayer. “Rencananya akhir pekan ini.” Jean memberitahu. “So, apa kita cuma berenam kesana?” tanya Roy lagi. “Siapa lagi?” sahut Linda. Roy tersenyum nakal. “Bagaimana dua cewek aneh itu?” Linda langsung tahu siapa yang dimaksud. “Mereka akan menentang rencana kita.” “Kok bisa?” Roy penasaran. “Kalau mereka ikut, tentu lebih
Sepulang acara karnaval membuat Tasya gelisah. Dia merasa harus segera membantu Samy secepatnya. Selain kasihan, dia juga masih merasa memiliki harapan cintanya kepada pria itu. Meskipun sekarang Samy tak memiliki pesona apapun. Hera memberikan usul supaya Samy mengontrak tempat dekat dengan kampus. Dengan syarat jangan sampai Linda dan kawan-kawannya tahu. Bisa gawat urusannya kalau sampai mereka tahu ada cowok simpanan. Mereka pasti akan mengira yang aneh-aneh dan bisa cepat viral di kampus. Keesokan harinya, Tasya dan Lindan menemui Samy di pasar Kranville. Awalnya mereka dibuat putus asa karena tak menjumpai pria tersebut. Namun ketika mereka hendak pulang, Samy muncul di depannya. “Aku akan membantumu. Ikutlah kami, Sam!” ujar Hera. Samy mengangguk. Tanpa sepatah kata sedikit pun. “Sam, apa yang terjadi denganmu. Kita sudah lama sekali tak bertemu... Akhirnya Ta
Sepulang acara karnaval membuat Tasya gelisah. Dia merasa harus segera membantu Samy secepatnya. Selain kasihan, dia juga masih merasa memiliki harapan cintanya kepada pria itu. Meskipun sekarang Samy tak memiliki pesona apapun.Hera memberikan usul supaya Samy mengontrak tempat dekat dengan kampus. Dengan syarat jangan sampai Linda dan kawan-kawannya tahu. Bisa gawat urusannya kalau sampai mereka tahu ada cowok simpanan. Mereka pasti akan mengira yang aneh-aneh dan bisa cepat viral di kampus.Keesokan harinya, Tasya dan Lindan menemui Samy di pasar Kranville. Awalnya mereka dibuat putus asa karena tak menjumpai pria tersebut. Namun ketika mereka hendak pulang, Samy muncul di depannya.“Aku akan membantumu. Ikutlah kami, Sam!” ujar Hera.Samy mengangguk. Tanpa sepatah kata sedikit pun.“Sam, apa yang