RUMAH minimalis itu terletak dijalan kecil yang beraspal. Dinding hebel mengelilingi rumah asri yang ditanami beberapa pohon cemara. Memperindah tatanan taman kecil di depan rumah. Sore itu, Tasya mengurung diri dalam kamar. Seminggu ini ia harus tinggal sendirian dirumah. Kedua orang tuanya sedang berada di luar kota untuk menemani Adit, kakak Tasya yang sedang mengurus kuliah disana.
Selepas membersihkan tubuh, Tasyaduduk-duduk santai sambil memikirkan kegiatan liburan. Entah mengapa, ada yang mengganjal dalam benaknya. Seolah rencana itu bukan kegiatan yang menyenangkan. Ada firasat buruk disana.Sesuatu yang membuat pikirannya tidak tenang. Namun, Tasya tidak bisa memastikan seperti apa kejadian itu. hanya sebuah ganjalan dalam pikirannya saja. Atau mungkin, merupakan bias dari kelelahan otaknya selama masa ulangan semester akhir. Jadi berusaha mengabaikan ketakutannya dan hal yang mempengaruhi pikirannya suatu kewajaran. Apalagi, kedua orang tuanya sudah
benar-benar mengizinkan keikutsertaannya dalam liburan tersebut.
Tasya kembali membayangkan keadaan desa pertanian yang sepi. Jauh dari fasilitas umum. Sulit berinteraksi dengan tetangga. Tiba-tibaketakutan menguasi tubuhnya. Bersamaan dengan itu, sekelebat angin kencang menderu masuk melalui jendela kamar. Dingin, pengap, sesaat seolah berada di dunia lain yang mengerikan.Ia tersadar ketikatirai-tirai penutup jendela berhamburan terhempas angin. Tasya merapatkan tubuhnya sambil memeluk guling diatas bed cover.
Tidak lama kemudian, Tasya dikejutkan ringtone handpone, lagu jarang goyang milik Nella Karisma. Dengan ragu-ragu ia melihat layar handphone dan merasa lega.Hera yang menelpon. Dengan tangan gemetar, ia mengangkatnya.
“Ada apa, Her?” Tasya bertanya dengan suara serak, masih ketakutan.
“Cuma mau mengingatkan, besok pagi keberangkatan kita dimajukan lebih awal. Jam delapan sudah berkumpul di tempat biasa.” Hera memberitahu. “Devan memajukan waktunya. Katanya biar sampai di desa sebelum malam.”
“Oke, terima kasih, Her,” Tasya menyahut dengan nada bergetar.
“Sya, kamu kenapa?” tanya Hera. “Kok, suaranya kedengaran beda. Kamu sakit ya?”
“Nggak apa-apa, Her. Cuma lagi kecapaian saja, kok.”
“Oh begitu,” sahutnya lagi. Ya, sudah. Istirahatlah dulu. Supaya besok kamu sudah fit lagi.”
Klik.
Tasya meninggalkan handphone-nya di atas tempat tidur. Perutnya terasa
lapar. Ia sadar sejak dari sekolah perutnya belum terisi. Sambil mendesah, ia menuju dapur dan hanya mendapati beberapa bungkus mie instans.
Tasya makan malam dengan mie instan.Itu pun hanya sekedar mengganjal perut yang kelaparan. Entah kenapa selera makannya benar-benar turun. Ini bukan kali pertamanya masak sendiri. Keluarga Tasya memang sudah terbiasa hidup mandiri, termasuk melakukan pekerjaan rumah tanpa menggunakan jasa
pembantu.
Setelah menghabiskan makan malamnya, Tasya duduk santai di depan layar TV LED untuk mengikuti acara kesayangannya yaitu adalah talk show komedi.Ia ingin sejenak menghilangkan penat dalam pikirannya.
Acara itu benar-benar menghibur. Sesekali Tasya tertawa sendiri dihadapan TV. Tidak lama kemudian samar-samar terdengar suara tiba-tiba suara beldi sela-sela volume TV. Sejenakmerinding. Ketakutan kembali melanda. Siapa yang bertamu malam-malam, disaat di rumah sendirian pula!
Tasya berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk beranjak ke ruang tamu.Dengan perasaan takut sekaligus penasaran, Tasyamenarik knop pintu dari melamin.
Dia terkejut sekaligus gugup. Perasaan takutnya lenyap setelah tahu siapa yang datang.
“Kamu?” Mata cewek itu membulat indah dibawah sinar lampu teras yang terang.
Di ambang pintu, berdiri malu-malu cowok yang tidak asing sekaligus membuat Tasya gugup. Samy, cowok itu nampak berdiri kaku, sambil
mengulurkan sebuah buku tebal.
“Apa kamu merasa kehilangan ini?” katanya malu-malu. Wajahnya merah.
Tasya memperhatikan buku tebal berjudul ‘Menelaah Hukum Boyle’ diatas tangannya yang bergetar. Ia baru ingat bukunya tertinggal di kelas. Tadi siang ia terlalu gugup menemui Devan di taman setelah menghabiskan separuh waktu untuk mempelajari buku tentang ilmu-ilmu fisika. Rencananya setelah lulus, ia melanjutkan kuliah jurusan tersebut.
“Eh, iya,” sahut Tasya gugup. Sadar bahwa dirinya juga Salting. “Apa kamu menemukan ini di kelas?”
“Iya, tadi sewaktu mau pulang, aku balik ke kelas untuk mengambil tas,” kata Samy berusaha tenang.
“Terima kasih banyak, Sam,” ujar Tasya tersenyum malu-malu. “Mau masuk dulu?”
“Nggak,terimakasih. Lain kali aja. Lagian sudah malam,” sahut cowok itu.
“Oh, gitu. Ya udah sekali lagi termakasih, Sam.”
Samy tersenyum mengangguk sebelum meninggalkan rumah Tasya. Mata cewek itu tak lepas dari pandangan senang, sampai cowok itu menghilang diujung tikungan. Setelah menutup pintu, dia tidak langsung ke kamar. Dia berdiri dibalik pintu sambil memeluk buku sambil tersenyum penuh arti. Matanya memejam sejenak seperti menikmati sesuatu. Ia sadar benar sejak dulu mengagumi cowok itu. Namun, yang dikagumi terlalu kaku dan tidak mau tahu perasaannya.
*****
Pagi yang cerah. Matahari bersinar terang menerangi lagit Kota Bahari. Kota kecil yang indah berada di ujung dermaga. Penduduk sudah beraktifitas sejaki matahari muncul. Sebagian besar pekerjaan mereka menjala ikan secara modern dengan menggunakan perahu motor dilengkapi dengan jala-jala praktis. Penduduk kota tersebut sudah berada dalam rata-rata ekonomi menengah keatas.Dan ekonomi menengah kebawahdihuni orang-orang pekerja serabutan berpenghasilan rendah yang menempati pesisir pantai.
Di taman depan sekolah Bahari, tujuh remajasudah berkumpul sejak pukul tujuh. Mereka datang dengan penuh semangat. Hanya pasangan Kevin dan Anisayang datang terlambat. Mereka tidak kaget, karena sudah tahu alasan keterlambatannya.Alasan klasik, Kevin menunggu Anisadandan di salon langganannya hampir dua jam. Memang kejenuhan cowok itu terbayar mahal. Anisa tampil begitu cantik bak putri dalam negeri dongeng.
Devan selaku pemimpin gang mengambil alih pembicaraan. Ia mengenakan jaket kulit coklat dipadu celana jeans hitam yang dipakai kemarin.
“Apa semuanya sudah siap?” serunya sambil mengancungkan jempol kanan.
Semua orang menjawab siap.
Devan menyeringai puas. Dengan sikap seolah-olah pemimpin ia berkata.
“Begini teman-teman,” katanya menginstrusikan.“Tempat yang kita tuju adalah sebuah desa yang terpencil, namanya desa Sriwilli. Disana terdapat pertanian luas seperti lautan lepas.” Devan berhenti sambil membayangkan keindahan disana. “Kakek Johan dan Nenek Sita pemilik sebagian dari tempat itu. mereka orang baik. Mereka menempati rumah kayu besar yang nyaman di tengah ladang jagung. Aku jamim kalian suka mereka.”
“Pertanian jagung!” Jaki bersorak senang. “Liburan yang spesial. Kita bisa menikmati pemandangan sebebas mungkin. Lagi pula gratis!”
Hera menggerutu keras menimpali ucapan Jaki.
“Apa tempat itu jauh?” tanya Samy pada Devan sambil membelakangi Hera dan Jaki yang sudah mulai berdebat ringan.
“Sudah kubilang kemarin, perjalanan kita antara dua sampai tiga jam.” Devan menjelaskan.
“Lumayan jauh juga.” Anisa menimpali. “Perjalanan ini akan sangat menjenuhkan.”
“Perjalanan kita nggak akan terasa jenuh, karena mata kita dimanjakan dengan keindahan pertanian,” sahut Devan meyakinkan.
“Bagaimana dengan jalannya,” ujar Kevin mempertimbangkan. “Jangan sampai terjadi apa-apa dengan mobilku, gara-gara kita melalui jalan rusak.”
“Jangan khawatir, sobat.” Devan menjamin. “Jalan menuju desa Sriwilli.Membelah perbukitan yang indah. Cuma ada sedikit tanjakan tapi nggak terlalu terjal.”
“Justru aku sukatantangan,” sambung Jaki seraya menyikut pelan Sami yang ada disampingnya. Diperlakukan seperti itu, Samy diam saja sambil tersenyum datar seperti biasanya.
“Ayo kita berangkat,” ujar Devan seraya melihat arlojinya. “Periksa barang-barang kalian. Jangan sampai ada yang tertinggal. Karena disana jauh dari toko atau minimarket.”
“Oh ya,” kata Tasya lagi. “Berapa lama kita disana?”
“Rencanaku, dua sampai tiga hari saja cukup,” jawabnya. “Kalau kalian suka, bisa memperpanjang waktunya.”
Setelah semuanya memeriksa kembali barang bawaanya, kemudian mereka masuk kedalam mobil. Pajero spot cukup mampu menampung semua penumpang.
Tasya yang masih berdiri diluar dengan sikap gelisah. Pikirannya terus mengembara pada kejadian kemarin sore. Dia merasa perjalanan kali ini akan mengalami sesuatu. Entah itu apa, tapi yang jelas sangat mengganggu pikirannya.
“Kamu kenapa Sya?” tegur Hera yang sejak tadi memperhatikan sikap sahabatnya.
“Ah nggak apa-apa Her,”gumannya datar.
“Muka kamu pucat lho,” kata Hera prihatin.
Tasya menyeka tangan Hera yang ingin menyentuhnya.
“Sudahlah, aku nggak apa-apa,” ujar cewek itu sambil masuk kedalam mobil. Diikuti Hera yang masih merasa aneh dengan sikapnya.
“Hari ini saatnya kita senang-senang,” ujar Devan dengan ekspresi meluap-luap. Dia duduk didepan, samping Kevin. “Jangan ada yang bilang ‘sedih’ hari ini. Mari nikmati saja perjalanan kalian. Oke...”
Jaki dan Kevin menyahut ria ucapan Devan. Sementara yang lainnya hanya diam mengikuti saja.
***
Mobil yang ditumpangi para remaja berjalan diatas jalan beraspal. Mereka masih berada dikawasan kota yang ramai. Tasya masih belum pulih dari kecemasan. Pikirannya masih mengembara pada hal-hal buruk. Sekali lagi, Hera yang berada disampingnya menatap penuh ketenangan. Seolah memberi kesan bahwa apa yang dipikirkan Tasya hanya sebuah ketakutan saja.
Anisayang duduk sederet dengan Tasya dan Hera tidak peduli dengan lingkungannya. Dia asyik memainkan smarphone sambil asyik broosing model rambut dan pakaian terbaru. Anis rela memberikan singgasananya pada Devan, karena cowok itu yang tahu jalan menunju desa Sriwilli. Dibagian belakang, Jaki dan Samy duduk saling berdiam diri. Berkali-kali Jaki mengajak ngobrol, tetap tidak ditanggapi oleh Samy.Jaki menganggap, Samy jenis orang yang menyebalkan. Minim ekspresi dengan senyam-senyum sebagai jawabannya.
“Teman-teman,” kata Devan setelah perjalanan berlangsung setengah jam. Suaranya kera membelah deru mesin. “Ada berita menarik. Aku yakin kalian suka mendengarnya.”
Meski mendengarkan, semua orang tidak ada yang menjawab. Mereka sedang sibuk dengan pikiran masing-masing. Cuma Hera yang peka dan menanggapi serius ucapannya dengan mengguman lirih.
“Bagaimana menurut kalian, kalau liburan kita mendapat kejutan,” ujar Devan terdengar jelas karena suara mesin mobil nyaris tak terdengar.
Tasya dan Samy menjadi ikut penasaran dengan ucapan Devan.
“Maksudmu apa Van,” tanya Hera mendongak ke arah cowok itu.
Devan menyeringai jahil. “Rupanya kalian nggak tahu ya, kita dapat teman baru.”
“Siapa?” tanya Kevin sambil tetap fokus menyetir. Ia membelokan kemudinya ke jalan yang agak sepi. Memasuki hutan jati yang lebat.
Devan tertawacengengesan. Memposisikan tubuhnya menghadap belakang.
“Pengin tahu saja atau pengin tahu banget,” serunya sambil menunjukkan mimik menyebalkan. Ia kemudian tertawa sendirian.
“Jangan buat kami penasaramn, dong,” sahut Anisa, menjaukan handphon dari wajahnya.
“Siapa lagi, kalau bukan Si Gendut Bagas,” katanya diiringi tawa Kevin dan Jaki. “Dia ikut liburan kita. Tanpa di Gendut, acara liburan ini nggak asyik.”
Spontan Tasya terkejut mendengar nama itu. Segurat raut kekecewaan muncul di wajah cantiknya. Lalu ia mendekatkan kepalanya kearah Devan yang duduk persis didepannya.
“Apa yang kamu rencanakan?” katanya lirih tapi cukup tajam.
Bukannya menjawab, Devan semakin tertawa terbahak-bahak.
“Kamu jangan Baper begitu dong. Ini cuma kejutan Sya,” ujar cowok meringis penuh kemenangan. “Nanti kamu tahu sendiri, ok.”
“Devan, dengar,” kata Tasya dengan mimik serius. “Jangan libatkan dia dalam acara kita. Kasian dia!”
Bagas yang mendengar perkataan itu tidak terpengaruh. Sepertinya ia tidak mempermasalahkan keikutsertaannya.
“Tasya, Tasya.” Devan menggeleng-geleng. Kemudian sambil berbisik, ia melanjutkan. “Apa sih, yang menarik darinya. Sudah gendut, bodoh, tukang makan. Ah, pokoknya dia itu cuma anak yang nggak penting.”
“Jangan gila ya Van!” guman Tasya lirih. Takut terdengar Hera yang terlihat memejamkan mata karena ngantuk. “Kamu tahu kan, Bagas tidak menyukai perjalanan ini. Lagian aku tahu, kamu cuma memanfaatkannya.”
“Jangan berlebihan begitu,” bantah Devan, bersikap sok cool. “ Lagian aku cuma mengajak dia ikut senang-senang saja kok. Jangan berpikiran konyol, Tasya. Aku nggak ada keberanian untuk membunuhnya.”
“Konyol!” desah Tasya kecewa.
“Kamu jangan berpikir macam-macam.” Devan memprovokasi. “Liburan ini bakal menyenangkan. Nikmati saja!”
Tasya merasa kasihan kepada Bagas. Nasib malang selalu menyertainya. Mereka menjuluki cowok gendut yang menyedihkan, atauSi Gendut yang hobinya makan. Entah kenapa Devan, Kevin dan Jaki selalu saja menggodanya. Bahkan sampai melakukan tindakan kelewat batas yangmembuat Bagas merasa malu di depan semua orang. Mereka sering menjelek-jelekan, membuli bahkan memanfaatkan tenaganya demi keuntungan pribadi.
Tasya tersentak, ketika mobilnya mengenai jalan berlubang. Kevin mengumpat keras, namun Devan berhasli menenangkan. Lamunan Tasya sekaligus membuat perjalanan tidak terasa lebih cepat. Hampir dua jam mereka melalui perjalanan sampai di penghujung hutan jati.
Pada waktu berikutnya, Deru mesin menggeram ketika menaiki jalan berkelok cukup terjal. Bukit Clirit tampak berjejer indah keselatan. Ribuan pohon pinus memenuhi bukit sehingga tampak seperti lumut dari kejauhan.Selesai melewati bukit Clirit, mereka melalui jembatan sungai deras. Kemudian menaiki bukit Siwuni yang lebih rendah dari pada bukit Clirit. Para remaja, dimanjakan oleh pemandangan menakjubkan. Baru setelah itu, mereka menemukan jalan yang datar dengan pesona ladang jagung yang mempesona.
Sejauh mata memandang, terlihat seperti lautan jagung seolah tak ada batasnya. Kali-kali mereka berdecak kagum menyaksikan karya alam Sang Pencipta melalui tangan-tangan manusia yang terampil.
Devan berkali-kali bersorak kegirangan. Tasya memanfaatkan momen itu dengan merekamnya dalam handhpne. Di kursi belakang, Samy juga merasakan hal yang sama. Sampai kedua bola matanya nyaris tak berkedip. Sekilas memorinyaberpetualangan masa anak-anak. Sekitar lima tahun tinggal di desa tinggal bersama paman dan bibinya. Samy tidak punya siapa-siapa lagi selain mereka. Ibunya meninggal karena kecelakan. Sementara ayahnya pergi entah kemana meninggalkan duka yang mendalam bagi diri cowok itu. Hal itu juga yang menyebabkan Samy tumbuh menjadi remaja yang pendiam minim ekspresi.
*****
Handpone milik Devanberdering. Bagas menelpon.Suara di seberang sana memberitahukan, tempat transit mereka sebelum sampai tujuan. Setelah itu, devan mengumumkan kepada yang lain, bahwa transit istirahat sekitar lima belas menit lagi perjalanan.Dalam waktu yang tidak meleset, mobil berhenti di sebuah kedai makan di pinggir jalan. Bangunan tersebut terbuat dari susunan kayu pinus yang dicat biru. Sangat kontras dengan warna ladang jagung di sekitarnya.“Akhirnya kita turun juga,” ujar Anisa yang sedari awal perjalanan sudah banyak mengeluh. Badan dan kakinya terasa pegal-pegal.“Perjalanan ini belum berakhir, Anis,” sahut Jaki seraya melirik botol minuman berenergi yang terselip dalam tas kecil milik cewek itu.Cewek itu langsung tahu apa yang dinginkan Jaki. Dengan tersenyum malu-malu Jaki menenggak minuman itu sampai tinggal sedikit. Anisa cuma memasang wajah cemberut sambil geleng-geleng kepala.“Da
Perjalanan mereka berakhirpada ladang jagung yang berwarna kuning pucat. Mobil mereka memasuki pelataran luasyang ditumbuhi rumput-rumput pendek dan rapi. Beberapapohon jati tua tumbuh di sisi barat pelataran. Membuat tempat itu tidak sepenuhnya tersengatsinar matahari. Sebuah rumah kayu yang cukup besarbertantai duaberdiri menghadap pelataran.Rumah besar milik Kakek Johan dan Nenek Sita sudah kelihatan tua, namun masih kokoh dan indah. Para remaja turun dari mobil sambil berretiak kegirangan. Perjalanan yang menjenuhkan sudah berakhir. Mereka menginjakkan kaki di desa Sriwilli disambut tiupan angin lembut yang menyejukkan wajah. Mempermainkan perlahan rambut-rambut mereka. Anisa nampak begitumenikmati. Gaunputih seperti
Perasaan Tasyasama sekali sudah melupakan ketakutan seperti sebelumnya.Sekarang penuh keceriaan dangerai tawa bersama Hera. Diantara semua cewek, Tasya yang palingahli dalam membuat makanan.Mereka tidak mau melibatkan Anisa yang suka bersolek. Cewek itu hanya akan menambah masalah kalau dilibatkan. Namun Anisa sesekali butuh teman sesasama wanita. Jadi ia menemani Tasya dan Hera di dapur.Sejak masuk ke dapur cewek norak itu hanyasibuk menghiasdiri.Membawa serta cermim kecil kesayangannya.Cermin itu sudah seperti separuh nyawanya. Kemanapun selalu dibawa. Bahkan saat tidur sekalipun!
Tak terasa, malam pun tiba. Suasana sepi nan mencekam menyelimuti pertanian jagung maha luas. Membuat suasan dalam rumah itu nampak seperti pekuburan kono. Pukul tujuh, para remaja sudah menyelesaikan makan malam dengan meriah. Semua lauk ludes tanpa sisa. Mereka seperti tidak makan dalam beberapa hari. Perut mereka seperti lebih besar dan lebih banyak menampung makanan dari biasanya.Bagas tidak lupa mengambil dua kali lipat dari porsi teman-temannya. Permintaan Bagas, tidak gratis. Devan menuntut konpensasi, memijat punggungnya nanti malam. Seperti yang lain, Tasya juga makan dengan lahap. Ia terbawa suasana kelaparan seperti teman-temannya. Suasana yang sama sekali tidak bisa didapat didalam rumahnya, meski memiliki keluarga dan uang yang cukup. Kehidupan dalam rumah dirasakan begitu jenuh dan monoton. Tidak ada derai tawa keluarga saat berkumpul di ruang keluarga, yang tampak hanya sunyi seperti pekuburan. Kedua orang tuanya
Pesta masih berlanjut. Tasya dan Hera muncul sambil membawa minuman Bajigur dalam teko logam yang besar dan sekotak biskuit. Bagas menyusul dibekangnya sambil membawa baki berisi gelas. Samy tengah sibuk mengumpulkan kayu bakar yang diambil dari teras belakang rumah.Kemudian ke delapan anak remaja itu duduk mengitari api unggun sambil sesekali bercanda. Kevin sudah memeluk gitarnya sambil sesekali beradu pandang dengan Anis. Lagi-lagi sang Vokalis Jaki menunjukkan penampilan buruknya. Namun mereka semua menjadi lebih bersemangat.“Pesta segera dimulai, kawan!” seru Devan sambil mengacungkan tangan. Ia berusaha menguasi keadaan. Meyakinkan diri sendiri, bahwa semuanya baik-baik saja.Mereka semua sorak kegirangan. Gelas-gelas diisi minuman penghangat. Aroma harum khas kelapa menyeruak hidung. Tasya sendiri sudah sama sekali melupakan firasat buruk dan pertemuanny
Rasanya sudah bolak-balik melewati jalan yang berbeda. Namun tetap saja rombongan remaja itu tidak menemukan rumah Kakek Johan. Devan yang memimpin di depan pun tidak bisa berbuat banyak. Mereka seolah tersesat di dalam ladang. Lalu mereka berhenti di tengah ladang yang kosong dan berhenti sambil melepas lelah. “Kita tidak bisa keluar dari ladang sialan ini!” keluh Hera sambil mengatur nafas. “Ya, kenapa bisa begini,” sahut Kevin. “Aneh, kok bisa tersesat di ladang.” Tasya menimpali seraya duduk diatas tumpukan daun jagung kering yang terikat rapi. Ia meluruskan kedua kakinyayang kaku. “Coba cari sinyal!” ujar Samy, yang sudah mengayun-ayunkan handphone di udara. “Nihil. Tidak ada sinyal!” Tasya mengeluh sambil terus berjalan mencari sinyal. Remaja yang lain juga melakukan hal yang sama. Mereka mendengus k
“Sudah pukul dua belas!” seru Tasya beberapa saat kemudian. “Apa kalian tidak ngantuk?”“Ah, rasanya malam hari begitu cepat sih,” sahut Kevin kecewa.“Benar, harusnya waktu jangan terlalu cepat,” sahut Anisa sambil menggeliat malas.“Memangnya waktu punya nenek moyangmu!” protes Jaki.“Kita harus cepat tidur. Aku ngantuk banget, besok pekerjaan kita masih banyak,” ujar Hera sambil menguap. Lalu bergegas naik menyururi tangga menuju kamar. Begitu melihat bed cover ia langsung menerjunkan diri.Sebelum menyusul yang lain, Tasya memutuskan ke kamar mandi untuk buang air. Ia pelan-pelan menuju lorong menuju kamar kecil.Lampunya tidak seterang di ruang tamu atau ruang lainnya. Dalam lima menit, ia sudah keluar dari kamar mandi. Matanya masih belum ngantuk namun tidak ada kegiatan lag
Suara itu berasal dari luar gudang. Samy bergegas berlari keluar. Hera mengikuti dibelakangnya. Mereka sempat melihatsesuatuberlari terburu-buru masuk ke ladang jagung. Sangat cepat sehingga sulit dipastikan orang atau apa.Samy menahan tangan Hera yang bermaksud mengejar.“Jangan dikejar,” katanya sambil memperhatikan selajur tanaman jagung yang masih bergoyang-goyang.“Aku penasaran Sam!” lirihnya sambil menahan geram.“Aku takut kalau itu pencuri,” ujar Samy. “Kita tidak mungkin menangkap pencuri berdua.”“Kamu takut?” tatapan mata Hera mengecam.“Bukan itu,” sahutnya. Namun cewek itu sudah melangkah ke dalam rerimbunan jagung.“Dasar keras kepala!” gumam Samy. Ia tidak tega melihat cewek itu sendirian. Akhirnya nekat masuk mengikutinya masu
Bab nektEuforia Menuju Farm JohanSebuah mobil jepp warna biru meluncur meninggalkan kota Kranviile. Terdapat enam penumpang dengan wajah penuh keceriaan. Mereka tak lain adalah Linda, Jean dan Farah. Sementara tiga lelaki, Roy dan tua temannya, Jo dan Kim. Mereka nekad berangkat ke Farm Sriwilli tanpa Tasya dan Hera. Sudah berbagai cara membujuk dan memaksa kedua cewek itu tetapi tak berhasil. Awalnya Linda memaksa Tasya dan Hera ikut serta sebagai pemangu perjalanan karena keduanya memiliki pengalaman banyak Farm Sriwilli.Setelah melewati hampir dua jam, mereka berhenti di sebuah kedai makan. Hal itu dikarenakan Jim ingin buang air kecil.Sambil menunggu cowok bertubuh gempal itu, Linda dan yang lain melihat-lihat area sekitar ladang jagung yang masih hijau segar. Mereka tak membeli perbekalan, karena Jean sud
Tak berapa lama seorang polisi lokal yang sedang berpatroli menemukan mobil terbengkalai. Dia memeriksa mobil dengan cup yang masih terbuka. Sesaat dia meneliti di sekitar ladang kering tapi tak menemukan siapa-siapa. Lalu polisi berusia setengah abad itu masuk ke ladang kering berisi semak. Dia berinisiatif mencari sumber mata air, karena sudah dipastikan pemilik mobil mencari air untuk mengisi radiator.Beberapa saat polisi itu melihat sungai kecil. Secara perlahan dan penuh waspada dia menelusuri sungai tersebut. Di sana dia agak kecewa karena tak menemukan siapa-siapa. Namun saat dia hendak berbalik, polisi itu secara tak sengaja terkatuk sesuatu yang menyebabkannya jatuh. Dia memekik tertahan, saat melihat seseorang tergeletak dengan mulut terbuka. Di bagian leher terdapat bekas jeratan atau cekikan kuat. Dia yakin, orang tak bernyawa itu adalah pemilik mobil yang terbengkalai di jalan.Se
Tidak membuang banyak waktu lagi bagi Samy untuk segera sampai di pertanian Sriwilli. Dengan menumpang angkutan yang membawa jerami kering, Samy menuju pertanian milik Johan Farm. Hanya membutuhkan waktu dua jam, dia sampai di rumah tua bekas kediaman keluarga Johan itu. Setelah turun, Samy menebarkan pandangan ke pertanian kering itu. Sekilas memorinya mengenang ladang jagung Johan Farm yang penuh dengan monster kutukan yang meninggalkan ceceran darah dari teman-temannya.Suasana panas, membawa Samy untuk segera masuk ke rumah tua milik Kakek Johan. Perlahan Samy melintasi pelataran luas itu. Kondisi rumah sepertinya sudah jauh berbeda dari tiga tahun yang lalu. Area sekitar rumah juga sudah lapang. Hanya menyisakan bekas batang jagung kering. Jadi pertanian tersebut terlihat tidak seseram dulu. Hanya saja Samy masih terus waspada karena bagaimanapun juga tempat itu masih
Suasana masih sore, ketika Samy berada dalam perjalanan bus menuju Sriwilli. Dia masih cemas ketika turun di perbatasan kota sudah malam. Karena jika malam, kendaraan umum menuju Sriwilli Farm sangat sulit. Jarang ada angkutan yang mau menuju ke desa kecil itu. Terlebih setelah tragedi mengerikan tiga tahun yang lalu.Samy mendengus kesal, ketika kekhawatirannya terjadi. Dia sampai di batas kota ketika malam turun. Itu artinya dia tidak bisa kemana-mana di tempat itu. Akhirnya dia memilih untuk mengingap di motel tersebut dan melanjutkan perjalananan esok harinya.Setelah memesan kamar, Samy langsung memutuskan istirahat. Rasa lelah benar-benar menyergap dirinya. Bukan lelah dari fisik saja, melainkan dari pikiran yang sepanjang perjalanan terus menyelimutinya. Terutama, saat dalam perjalanan tadi. Samy terus mendapat penglihatan Sriwilli Farm banjir darah. Darah dan mayat seperti lautan yang menggenang. Penglihatan itu sangat menger
Meskipun sudah lebih baik dan terbiasa hidup dengan pernglihatan masa depan, Samy masih sering dihantui mimpi-mimpi aneh dalam tidurnya. Dalam mimpi tersebut dia tiba-tiba berada di sebuah ladang jagung yang luas. Tempat asing itu nampak begitu mengerikan dengan ratusan burung gagak berterbangan di langit ladang tersebut. Sehingga ladang itu terlihat gelap seperti malam. Samy semakin terkejut begitu mendapati dirinya sedang terikat di tiang pemancang. Semakin meronta melepaskan diri, semakin kuat lilitan tali itu mengeratnya. Samy hanya bisa menjerit dalam belenggu yang mengerikan. Dan pada detik berikutnnya burung gagak lenyap entah kemana.Seolah ada dorongan kuat dalam hati, Samy kepikiran tempat mengerikan itu. Sehingga dia memutuskan untuk pergi kesana. Samy yang sudah tidak bisa menahan diri lagi, pergi ke Sriwilli keesokan harinya dengan berbekal uang yang diberikan Tasya tanpa sepengetahuan Hera.&
Tak menyangka sama sekali kalau nasib Samy perlahan berubah. Hal itu diawali dengan kekuatan penglihatan yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. Kekuatan yang awalnya membuatnya takut, perlahan mulai membawa keberuntungan. Setidaknya, Samy sudah mulai diharagai di kota Kranville. Sesuatu yang tak pernah dapatkan di tempat tinggal paman dan bibinya selama ini.Malam ini tak seperti biasanya, Tasya berkunjung ke tempat kosnya. Kunjungan cewek itu sontak membuat Samy salah tingkah. Terlebih ketika teringat pelukannya saat menolongnya dari kecelakaan itu.“Pastinya kamu belum makan malam?” tanya Tasya sambil menyodorkan kue kering yang sempat di toko seberang jalan.Samy mengangguk malu-malu. Sikapnya tak pernah berubah sejak dulu. Pemalu dan mudah salah tingkah.“Terima kasih,” jawabnya sambil mulai makan.Tasya memperhatikan cara makan Samy yang seperti k
Ternyata rencana ketiga cewek super tengil di kampus Kranville tidak main-main. Mereka memiliki tekad bulat untuk pergi ke pertanian Sriwili. Tentunya rencana itu tanpa sepengetahuan`pihak kampus karena jelas tidak akan disetujuinya. Mendengar rencana gila itu, Roy si berandal kampus serta dua temannya antusias saat Linda memberitahunya. “Kapan kita berangkat?” tanya Roy sambil membenarkan ikat kepalanya dari kain slayer. “Rencananya akhir pekan ini.” Jean memberitahu. “So, apa kita cuma berenam kesana?” tanya Roy lagi. “Siapa lagi?” sahut Linda. Roy tersenyum nakal. “Bagaimana dua cewek aneh itu?” Linda langsung tahu siapa yang dimaksud. “Mereka akan menentang rencana kita.” “Kok bisa?” Roy penasaran. “Kalau mereka ikut, tentu lebih
Sepulang acara karnaval membuat Tasya gelisah. Dia merasa harus segera membantu Samy secepatnya. Selain kasihan, dia juga masih merasa memiliki harapan cintanya kepada pria itu. Meskipun sekarang Samy tak memiliki pesona apapun. Hera memberikan usul supaya Samy mengontrak tempat dekat dengan kampus. Dengan syarat jangan sampai Linda dan kawan-kawannya tahu. Bisa gawat urusannya kalau sampai mereka tahu ada cowok simpanan. Mereka pasti akan mengira yang aneh-aneh dan bisa cepat viral di kampus. Keesokan harinya, Tasya dan Lindan menemui Samy di pasar Kranville. Awalnya mereka dibuat putus asa karena tak menjumpai pria tersebut. Namun ketika mereka hendak pulang, Samy muncul di depannya. “Aku akan membantumu. Ikutlah kami, Sam!” ujar Hera. Samy mengangguk. Tanpa sepatah kata sedikit pun. “Sam, apa yang terjadi denganmu. Kita sudah lama sekali tak bertemu... Akhirnya Ta
Sepulang acara karnaval membuat Tasya gelisah. Dia merasa harus segera membantu Samy secepatnya. Selain kasihan, dia juga masih merasa memiliki harapan cintanya kepada pria itu. Meskipun sekarang Samy tak memiliki pesona apapun.Hera memberikan usul supaya Samy mengontrak tempat dekat dengan kampus. Dengan syarat jangan sampai Linda dan kawan-kawannya tahu. Bisa gawat urusannya kalau sampai mereka tahu ada cowok simpanan. Mereka pasti akan mengira yang aneh-aneh dan bisa cepat viral di kampus.Keesokan harinya, Tasya dan Lindan menemui Samy di pasar Kranville. Awalnya mereka dibuat putus asa karena tak menjumpai pria tersebut. Namun ketika mereka hendak pulang, Samy muncul di depannya.“Aku akan membantumu. Ikutlah kami, Sam!” ujar Hera.Samy mengangguk. Tanpa sepatah kata sedikit pun.“Sam, apa yang