“Selamat! Katanya kalian akan menikah.” ucap Janeta dibarengi senyumnya.
“Terima kasih, Kak!” sahut Darna juga tersenyum.Mereka berdua lalu saling melepaskan jabatan tangan.“Aku turut senang karena Ratih telah menemukan jodohnya. Apalagi orang sekampung sendiri, tentu kalian sudah mengenal satu sama lainnya.” ucap Janeta.Darna kemudian duduk disini kanan Ratih. Kini Ratih berada di antara Janeta dan Darna.“Makasih Kak. Ratih juga doain agar Kak Janeta juga berjodoh dengan Kang Cecep. Orangnya sama baiknya.” sahut Ratih.Ucapan Ratih membuat Darna sedikit tercengang. Tapi itu hanya beberapa saat, lalu kemudian dia senyum-senyum sendiri. Sedangkan Janeta hanya tersenyum simpul. Malu juga diledekin oleh Ratih.“Kang Darna kok senyum-senyum sih?”“Enggak Ratih, Kang Darna cuma ingat beberapa hari yang lalu saat Kang Darna datang minta persetujuan pada Kang Cecep. Kang Cecep tengSesampai di kantor polisi, Janeta langsung diamankan ke dalam sel tahanan. Hanya dirinya sendiri saja di sana. Itu menunjukkan bahwa tingkat kejahatan di wilayah itu sangatlah rendah. Warga kampung sana sangat takut melanggar hukum. Dan kematian Pak Warno yang terdengar ganjil adalah kasus yang belum pernah terjadi di desa itu. Oleh karena itu lah mungkin yang menyebabkan banyak pihak sedikit lalai dan terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa kematian Pak Warno hanya kecelakaan saja atau paling tinggi bunuh diri. Karena memang tidak ada bukti kekerasan yang ditemukan di tubuh korban selain edema paru-paru yang disebabkan oleh banyaknya cairan yang memenuhi organ vital pernafasan tersebut. Kondisi itu mengakibatkan epiglotis menutup saluran pernafasan dan menyebabkan kematian. Hanya itulah yang disimpulkan sebagai penyebab kematian Pak Warno.Treeeng ..Pintu tahanan dibuka setelah sekitar dua jam lebih Janeta berada di sana. Dua orang petugas menggiring Janeta menuju
“Darnaa...?” terlompat gumaman dari mulut Janeta begitu melihat seorang pemuda dibawa masuk ke dalam ruangan itu.Polisi yang membawa Darna masuk melempar senyum sinis kepada Janeta.Darna dipersilahkan menduduki sebuah kursi yang posisinya berhadapan dengan Janeta. Pemuda itu terlihat salah tingkah dan menundukkan kepalanya.“Anda mengenal dia?” tanya polisi menatap Janeta lalu menunjuk ke arah Darna.Janeta sedikit tersenyum dan mengganti tolehannya kepada polisi.“Kami berkenalan tadi sore, beberapa menit sebelum saya dibawa kemari.” sahut Janeta tegas.Kini polisi itu berpaling kepada Darna.“Di mana Anda pertama kali melihat wanita ini?” tanyanya kepada Darna dan menunjuk Janeta.Darna terlihat gugup dan menatap Janeta lalu membuang pandangan ke arah lain.“Di rumah Pak Warno!” sahutnya kemudian cukup tegas.“Apa yang ia lakukan di sana?” kejar polisi
Pukul 10 pagi di rumah Nyonya Shania.“Kok Janeta belum datang juga? Tidak seperti biasanya ia terlambat.”Nyonya Shania mondar-mandir dari ruang tamu dan ke teras rumahnya. Berkali-kali ia melihat jam tangan yang bergelung manis di pergelangan tangannya.Waktu terus berjalan, namun Janeta yang ditunggu-tunggunya belum juga datang.Untuk kesekian kalinya ia coba menghubungi Janeta lewat ponselnya. Namun nada tidak aktif kembali menjawab panggilannya.“Tidak ada gunanya kamu menunggu tukang kebunmu itu. Dia tidak akan datang lagi selamanya.” Tiba-tiba suara Tuan Fidel menyeruak dalam kegelisahan Nyonya Shania. Ia menoleh tajam ke arah suaminya itu.“Apa maksudmu?” tanyanya dengan nada hambar.“Kalau saja Tuan Morat tidak melarang, sudah dari kemarin aku usir kau dari rumah ini.” dengus Nyonya Shania dalam hati.Tuan Fidel duduk di atas sofa. Di tangannya ia membawa sebuah cangkir
Pagi hari di rumah Ratih.Ratih terlihat bersiap pergi. Ia memakai celana jeans dan sebuah jaket menutupi kaos yang dikenakannya di bagian atas tubuhnya.Kini beberapa potong pakaian ia masukkan ke dalam tas ransel yang sudah agak usang. Bu Asih sudah beberapa kali berusaha menghalangi niat Ratih untuk pergi ke Jakarta, namun nampaknya tekad Ratih sudah sangat bulat. Ia dan Cecep sudah sepakat mencari Fitri dan menemukan barang bukti berupa baju berdarah yang mereka yakini adalah barang bukti tunggal untuk membebaskan Janeta dan Nyonya Shania dari segala tuduhan.“Ratih..! Dengar Ibu Nak, jangan melibatkan diri kamu dengan persoalan yang sangat besar ini. Jika Salma tahu, kamu akan ditangkap dan dikurung mereka kembali. Kamu tahu bukan? Mereka tidak sendiri Ratih!” tutur Bu Asih sambil mengelus bahu anak gadisnya yang masih sibuk melipat beberapa pakaian yang akan dibawa ke Jakarta.Ratih lalu menoleh kepada Bu Asih. Ia tersenyum.“Ibu tida
Sepeninggal Ratih dan Cecep, Darna dan Bu Asih terdiam membisu duduk berjejer di bangku panjang yang terletak di bawah pohon jambu.“Maafkan aku Bu, aku tidak bisa mencegah Ratih untuk pergi.” ucap Darna lirih.Bu Asih menghela nafas panjang dan tertahan sejenak di dadanya.“Apakah Ibu harus menjelaskan semuanya kepada Ratih dan Cecep, Darna?”“Jangan Buu... Aku mohon jangan! Itu bukan keputusan terbaik!” Cepat-cepat Darna berseru membantah keinginan Bu Asih.“Tapi Darna....“Sudahlah Bu. Mungkin sudah jalannya seperti ini. Aku tidak mau Ibu menderita menghadapi masalah yang sangat besar ini. Selama ini Ibu sudah terlalu banyak menderita.” jawab Darna dengan suara pilu. Ditatapnya wajah Bu Asih yang tertunduk bimbang.“Neng Janeta orang yang sangat baik. Tidak sepantasnya ia menderita seperti ini.” Suara Bu Asih sangat lirih dan sudah bercampur dengan isak tangis.“Tapi Bu
Sementara itu Tuan Fidel dan Bik Imah sudah sampai di kantor polisi. Mereka diminta datang guna untuk memberikan keterangan atas insiden yang terjadi pada diri Nyonya Shania.Tuan Fidel menggendong Arkhas dan Bik Imah membimbing tangan Ricana. Mereka memasang wajah sesedih mungkin di hadapan petugas polisi yang menanyai mereka berdua. Keduanya duduk menghadap sebuah meja dan di seberang meja ada seorang petugas polisi dengan laptop terbuka.Pertama kali petugas itu menanyakan identitas Tuan Fidel dan Bik Imah. Setelah menginput data ke laptopnya, polisi tersebut masuk ke pertanyaan seputar kejadian tadi pagi.“Coba ceritakan apa yang terjadi pada diri Nyonya Shania tadi pagi!” perintahnya kepada Tuan Fidel terlebih dahulu.“Waktu itu saya sedang berada di kamar, tiba-tiba saya mendengar Bik Imah berteriak histeris dan saya berlari ke ruang tamu dan mendapatkan istri saya sudah tergeletak dengan mulut berbusa.” jawab Tuan Fidel dengan fasih
“Sepertinya memang ini tempat tinggal Neng Janeta, Tih! Sebaiknya kita cepat masuk ke dalam sebelum polisi menggeledah rumah ini.” ucap Cecep sembari memperhatikan rumah tempat tinggal Janeta. Mereka sudah sampai di depan pagar rumah yang telah ditempati Janeta lebih dari setahun itu.Cecep segera membuka kunci gembok yang terpasang di pintu pagar dengan menggunakan anak kunci yang tergantung bersamaan dengan kunci motor milik Janeta. Dan sebentar saja mereka berhasil masuk ke halaman rumah Janeta. Di bagasi ada sebuah mobil yang terbungkus terpal khusus untuk menutupi mobil. Beberapa pasang sandal tersusun rapi di atas rak sandal yang tidak begitu besar dan tinggi.“Ayo cepat Kang, buka pintu rumahnya. Kasihan anjing Pak Warno yang kata Kak Janeta terkurung di dalam. Pasti kelaparan.” ucap Ratih cemas.“Tapi Tih, bagaimana kalau anjing itu tiba-tiba menyerang kita? Bukankah anjing Pak Warno itu sangat galak?” sahut Cecep nampak rag
Cecep melajukan sepeda motornya dengan kecepatan cukup tinggi. Mereka hampir mencapai perbatasan desa. Cuaca yang sedikit terik tidak mereka hiraukan. Yang terlintas dalam pikiran Cecep dan Ratih hanyalah bagaimana membebaskan Janeta dari segala tuntutan yang mereka yakini tidaklah kesalahannya.Lima menit kemudian mereka mendekati kantor polisi tempat Janeta ditahan. Si Hitam yang tadi tenang tiba-tiba resah. Ia seakan berontak dari pegangan Ratih yang memangkunya di belakang Cecep yang fokus mengendara.“Tenanglah Hitam, sebentar lagi kita akan sampai.” Ratih berusaha membujuk.Tapi bukannya tenang tapi si Hitam semakin berontak. Ketika sepeda motor mereka melewati kantor sektor polisi itu, si Hitam mengendus-ngendus dan mengarahkan mulutnya ke arah kantor tersebut. Ia juga menyalak cukup riuh. Penciumannya memang bekerja sangat baik. Anjing itu bisa mencium keberadaan Janeta tidak jauh dari dirinya.Semakin Ratih mencoba menahannya, semakin pula si
“Bu Asiiih....!”Janeta berlari ke jeruji besi yang mengurung Bu Asih. Bu Asih tengah duduk di lantai ruang tahanan.“Mengapa mesti Bu Asih yang menggantikan saya di sini, Bu?”Bu Asih berdiri di dari tempat ia duduk lalu berjalan mendekati Janeta yang berdiri di luar ruang tahanan. Tangan Janeta mencengkram erat besi-besi yang mengurung Bu Asih seakan ingin ia patahkan untuk membebaskan wanita itu.Ratih dan Cecep serta Bu Wati hanya terpaku membisu. Mereka berbaris berjejer di belakang Janeta. Mata mereka sembab dan kini pun masih basah. "Memang Ibu yang seharusnya berada di sini Neng. Ibu yang telah membunuh Pak Warno, bukan Neng." jawab Bu Asih tersenyum sambil menggenggam tangan Janeta yang ia julurkan di antara besi bulat berwarna hitam.“Taa..tapi mengapa Buu? Mengapa Ibu harus melakukan semua ini?”Bu Asih menghela nafas panjang. Ia melepaskan genggaman tangannya di tangan Janeta. Kedua pandangan matanya ia tumbukkan ke lantai ruang tahanan.
“Jaa...jadi Ratih sudah menyerahkan pakaianku itu kepada polisi?” gumam Abbas geram.“Ibunya akan masuk penjara, karena Bu Asihlah yang mendorong Pak Warno masuk ke dalam sumur. Aku hanya bertugas mengamankan anjingnya saja.” Sambung Abbas kembali bergumam. Tanpa sadar ia telah membuka semua rahasia pembunuhan Pak Warno.“Apaaa...? Bi Asih yang membunuh Pak Warno?” Kali ini justru Cecep yang terkejut. Ia mendekati Abbas lalu mengguncang bahu anak muda itu tanpa memperdulikan sepotong kayu yang masih dipegang oleh Abbas. Cecep seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Abbas.Wira hanya terpana mendengar cerita Abbas. Ia tidak cukup mengerti dengan percakapan Cecep dan Abbas. Sementara itu Bik Imah yang juga sudah berada di sana hanya menunduk resah. Sekali-kali ia melirik ke arah Cecep.“Siapa sebenarnya laki-laki ini?” tanya Bik Imah dalam hati.“Bi Asih? Apa kamu mengenal perempuan ya
Batu yang cukup besar tempat Abbas dan Wira duduk berjuntai dipayungi sebatang pohon besar yang cukup rindang. Daun-daun pohon itu melindungi keduanya dari sengatan matahari yang sudah mulai naik.Namun tanpa disadari mereka berdua, ada sesosok manusia yang bersembunyi di balik pohon besar itu. Ia tengah mendengarkan percakapan Abbas dan Wira.“Lalu apa yang kamu dapatkan dari kebodohanmu ini, Abbas? Apakah ini membuatmu kaya raya?” Agak sedikit kesal Wira bertanya kepada Abbas.Kembali Abbas menunduk. Dan kali ini malah semakin dalam. Lalu ia menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan berulang kali.“Yang Abbas dapatkan malah pengkhianatan. Abbas ternyata hanya diperalat oleh mereka.” Kali ini intonasi suara Abbas cukup keras. Tangannya terkepal.“Sudah kuduga!” jawab Wira lesu.“Paman!”“Ya..” Wira menyahuti keponakannya.“Ternyata Salma adalah selingkuhan Tuan Fidel.”“Tu.. Tuan Fidel siapa?” terbelalak mata Wira bertanya kepada Abbas.“Tuan
Kedua lelaki itu dipersilahkan Janeta untuk membersihkan badannya. Nampaknya mereka berdua memang membawa pakaian ganti hingga Janeta tidak perlu repot-repot memikirkan masalah itu.Janeta menyiapkan beberapa hidangan di meja makan. Dirinya yakin kedua orang tamunya itu tidak makan dengan teratur beberapa hari ini.“Maaf kedatangan kami telah membuat Neng sibuk.” ucap lelaki berpeci yang kini telah merubah panggilannya terhadap Janeta. Mungkin dia sudah mulai merasa akrab. Sedangkan Gunawan terlihat hanya terdiam di atas kursi rodanya. Pasti pikiran lelaki paruh baya itu masih tertuju kepada Salma putrinya yang kini sedang menjalani proses hukum di kantor polisi. Janeta dapat memahami kegundahan hati Gunawan. Mereka bertiga kini sudah berhadapan di meja makan milik Janeta. Janeta melemparkan senyuman kepada kedua lelaki itu.“Silahkan dinikmati hidangan seadanya, Pak!” ucap Janeta. Di atas meja sudah tertata rapi semangkuk besar nasi, telur dadar dan tumis bayam serta samba
“Tolong Pak! Jangan bawa Anak saya. Jika Anak saya di penjara, siapa yang akan merawat dan memberi saya makan, Pak!” seorang lelaki yang duduk di atas kursi roda terus memohon kepada polisi yang akan membawa Salma ke kantor polisi. Sedangkan seorang gadis juga duduk di atas kursi roda karena sebelah kakinya sudah di amputasi. Ia menunduk dan menangis dan mencoba menggapai bahu Gunawan yang tak lain adalah ayah kandungnya.Selama ini Salma memang di paksa mencari uang oleh ibu tirinya yang serakah. Sedangkan ayahnya cacat karena kecelakaan di tempat kerja. Mau tak mau Salma harus mencari uang sebanyak mungkin bagai mana pun caranya. Kalau tidak, ibu tirinya tidak akan mau mengurusi ayahnya dan juga mengancam akan membuang adik-adiknya. Walau pun berbeda ibu, Salma sangat menyayangi kedua adiknya buah perkawinan ayahnya dan ibu tirinya tersebut.Salma kini hanya bisa termenung. Ia menyadari bahwa mungkin saja hidupnya akan berakhir di penjara karena kejahatan y
“Syukurlah Anda sudah sehat kembali, Nyonya!”“Terima kasih Tuan Morat. Anda sudah banyak membantu saya.” jawab Nyonya Shania tersenyum kepada Tuan Morat yang satu-satunya orang yang diberi izin untuk menemuinya. Hal itu karena Tuan Morat merupakan kuasa hukum Nyonya Shania. Jadi ia sangat mempunyai kepentingan untuk bertemu dengan kliennya guna menanyakan apa yang terjadi sebenarnya terhadap Nyonya Shania.“Sebenarnya apa yang terjadi, Nyonya? Sudah bisakah Nyonya mengingat semua kejadian sebelum Nyonya jatuh pingsan karena meminum racun yang mematikan itu?” Tuan Morat mulai mengorek keterangan dari Nyonya Shania sambil menyalakan rekaman di ponselnya.“Pagi itu saya bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Saya menunggu kehadiran Janeta yang datang sudah terlambat.”“Sekitar jam berapa itu, Nyonya?” tanya Tuan Morat.“Sekitar jam 8.30 pagi.” jawab Shania sambil mengingat-ingat kejadia
Sejurus kemudian Janeta dan Cecep sudah sampai di sebuah cafe yang lumayan ramai dikunjungi sebagian besar anak muda namun ada juga beberapa orang yang mungkin pasangan suami istri. Suasana nyaman semakin tenang dengan alunan musik lembut. Cahaya remang-remang membuat suasana terasa sangat romantis. Cefe ini memang sangar cocok didatangi oleh pasangan yang tengah memadu cinta.Sekali-kali Cecep terlihat mencuri pandang kepada Janeta yang tampil sebagai wanita sempurna. Gaun hitam berbahan mengkilat dengan panjang lengan baju menutupi hingga pangkal siku, Janeta terlihat anggun dan feminim. Ditambah lagi dengan high hill walau tidak begitu tinggi namun mampu membuat Janeta benar-benar bagaikan seorang putri yang baru berusia 20 tahun. Dan ini adalah penampilan feminim Janeta yang pertama kali di dalam hidupnya. Biasanya Janeta lebih suka memakai celana jeans dan jaket. Tapi demi menghargai Sofia, Janeta tidak membantah untuk bergaun ria di malam itu. Namun dapat dipahami kalau J
Sore kini sudah merangkak ke ambang malam. Tidak terasa empat jam sudah mereka berempat berada di ruang khusus milik Om Rusmidi membahas tentang kasus pembunuhan Nyonya Lusy dan Pak Warno yang kami yakini adalah sebuah kasus pembunuhan berantai.“Oke Jane, Cecep, tugas kalian sudah selesai. Nanti Om akan meneruskan semua bukti-bukti yang telah berhasil kita kumpulkan kepada penyidik kepolisian. Dan kalian berdua silahkan menikmati hari-hari kalian tanpa harus terbebani apa pun. Kalian tidak perlu khawatir polisi akan mencari kalian karena duduk persoalannya mulai terang.” ucap Om Rusmidi yang sepertinya memberi angin kepada Janeta untuk lebih dekat dengan Cecep. Apalagi mendengar prestasi yang diukir oleh Cecep dari mulut Tuan Morat, Om Rusmidi makin menatap bangga kepada Cecep.“Baiklah Om, Tuan Morat, kami berdua undur diri.” ucap Janeta yang langsung dibalas senyuman oleh Om Rusmidi dan Tuan Morat.Janeta mengajak Cecep keluar dari rua
Tak lama kemudian Janeta dan Sofia kembali ke ruang tamu. Janeta membawa satu nampan berisi secangkir teh hangat yang asapnya masih menguap ke udara. Ia meletakkan cangkir itu persis di hadapan Cecep.“Silahkan diminum, Kang Cecep! Mumpung masih hangat!” ucap Janeta mempersilahkan.“Terima kasih, Neng!” sahut Cecep lalu mengangkat cangkir itu dan menghirup teh manis hangat yang segar buatan Janeta.Sofia yang sudah duduk di samping Janeta tersenyum ke arah Cecep, dan Cecep tiba-tiba merasa grogi karena merasa diperhatikan oleh Sofia.“Om kemana, Tan?” Janeta bertanya kepada Sofia untuk mengurangi rasa risih Cecep karena Sofia selalu memperhatikannya. Wanita itu sepertinya sangat berharap Janeta akan menikah dengan Cecep.“Tadi pagi-pagi sudah pergi bersama Bang Morat. Tidak tahu mereka mau ke mana. Biasalah Jane, mereka memang sahabat sejak kuliah dan hampir sepuluh tahun tidak bertemu langsung. Paling cuma ngobrol d