Selama ini dua ruangan itu memang berhasil terhindar dari pantauan CCTV. Aku memasang hari ini demi mendapatkan fakta. Aku harap cerita Meysa hanya keliru dan Mas Dani masih tetap setia padaku.
Dua orang pria itu memang mengerjakan tugas dengan baik, mereka keluar dari rumah sepuluh menit lebih awal sebelum kepulangan Santi. "Ibu, ini belanjaannya." Suara Santi mengagetkanku. Ia menyerahkan paper bag yang berisi belanjaan yang aku pinta. "Terima kasih," ucapku basa-basi. "Memangnya Ibu Tari mau kemana?" tanyanya. Santi nampak duduk di dekat Meysa. Dia mengusap lembut rambut purtiku. "Ke Bali," jawabku singkat. Raut wajah Santi terkejut. "Berapa lama, Bu?" "Dua hari," jawabku lagi, masih singkat. Perasaanku tiba-tiba berubah dingin pada Santi, padahal gadis itu belum tentu bersalah. Ya Tuhan, maafkan aku. Setelah semuanya terbukti, aku akan meminta maaf pada Santi atas sikapku ini. "Wah liburan ya, Bu. Saya sendirian dong di rumah." Wajah Santi nampak sendu. "Kamu tidak sendiri. Mas Dani tidak ikut kok." Aneh sekali wajah Santi seketika menyeringai senang setelah mendengar jawabanku yang terakhir. Tak ada balasan apa-apa, gadis itu terlihat senyum-senyum dengan pandangan tak tentu arah. Santi meninggalkan ruangan, dia beranjak ke ruangan yang lain. "Ma, kok Papa gak ikut. Nanti dipijitin Mba Santi lagi, kasian Papa kesakitan lagi nanti," protes Meysa dengan polosnya. Putri kecilku itu terlihat yakin dengan ceritanya, maka aku pun yakin dengan rencanaku. "Tidak apa-apa, Mey. Mama sudah bilang pada Papa. Papa gak akan dipijitin Mba Santi lagi. Kita liburan saja ya bersenang-senang. Jangan berpikiran buruk." Kupeluk tubuh mungil Meysa. Kuusap punggungnya. Menenangkan perasaannya agar menghapus pikiran buruknya. Setelah menitipkan rumah dan Mas Dani pada Santi, sore ini aku berdalih terbang ke Bali. Padahal posisiku yang sebenarnya bersembunyi di Jakarta di rumah sepupuku. Meysa sempat protes, namun aku berhasil membuat pengertian padanya. Malam ini dadaku berdebar resah. Malam ini aku siap memantau rekaman CCTV di rumahku yang sudah terhubung dengan leptop pribadiku. Layar monitor leptop menampilkan semua sudut ruangan di rumahku yang nampak sepi. Tak terlihat Mas Dani mau pun Santi. Tak ada suara perbincangan bahkan suara rintihan seperti yang diceritakan Meysa. Aku gusar, resah sendirian. Apa yang tengah terjadi dengan keluargaku? Aku merasa pekat tentang kecurigaan pada Mas Dani. Namun sampai saat ini masih saja kesulitan mendapatkan bukti. "Mas, kamu dimana?" Aku menempelkan ponsel pintar dan bertanya pada Mas Dani melalui sambungan telepon. "Aku sedang di luar. Kamu bisa cek CCTV 'kan, Tari? Aku sedang meeting dengan client," jawab Mas Dani di seberang sana. Apa! Mas Dani kok bisa tahu kalau aku bisa mengecek CCTV rumah? Ya ampun. Pantas saja rumah sepi. Lalu dimana Mas Dani? Apa dia malah bersama Laura? Dadaku kian menggebu resah hingga gugup dan memilih menyudahi sambungan telepon. Dua hari dua malam tak ada bukti rekaman mencurigakan apa pun. Aktivitas di rumah terlihat berjalan seperti biasanya tak ada yang aneh. Aku memutuskan pulang karena Meysa tak bisa libur terlalu lama. Mungkin memang tak terjadi apa-apa antara Santi dan Mas Dani. Aku berusaha tetap tenang. *** Di sofa ruang tengah aku duduk seraya menyenderkan kepala pada bahu kursi. Hari ini libur ke kantor sebab hari minggu. "San, stok belanjaan sudah habis. Kamu belanja ya ke super market," perintahku pada Santi. "Loh biasanya kan Bu Tari yang belanja," balas Santi menatapku aneh. "Saya gak enak badan. Tolong kamu yang belanja ya," pintaku. Kali ini aku tak membuat alasan. Badan terasa gak enak sementara stok kebutuhan dapur habis. "Mas, kamu mau kemana?" Diwaktu yang bersamaan Mas Dani keluar dari kamar dan sudah berpakaian rapih. "Mau ganti ban mobil," jawab Mas Dani. "Sekalian antar Santi belanja mau gak?" Kali ini aku meminta pada Mas Dani. Mendengar permintaanku, Mas Dani dan Santi nampak tercengang lalu saling melempar tatapan. "Apa-apaan sih kamu, Tar. Masa iya aku antar belanja pembantu," tolak Mas Dani. Tapi raut wajahnya biasa saja, tidak menampakan kekesalan. "Stok kebutuhan dapur habis, Mas. Aku sedang tak enak badan. Kalau Santi naik angkutan umum kan kasihan," terangku. "Gak apa-apa, Bu Tari. Saya bisa naik angutan umum kok," timpal Santi setelah lama terdiam. "Gak apa-apa, biar saya antar saja," sahut Mas Dani akhirnya. Entah kenapa batinku begitu kuat pada Santi. Hanya saja aku tak punya bukti apa-apa. Deru mobil sudah menyala. Dari jendela kamar, terlihat Santi masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi depan. Kendaraan roda empat yang dikemudikan Mas Dani melaju meninggalkan rumah. Setelah itu, aku pergi ke dapur karena tenggorokan terasa haus. Ketika langkah mendekat pintu kamar Santi, kedua kaki ini menunda langkah. Aku melirik kamar yang berukuran tiga meter di sampingku. Entah kenapa hati merasa kuat ingin masuk ke dalamnya. Tatkala handle pintu diputar, pintu kamar Santi terkunci. Gegas aku mengambil kunci serep yang kusimpan rapih, kunci serep ini hanya aku yang tahu. Aku berhasil masuk ke kamar Santi berkat kunci serep. Kamar gadis itu cukup rapih dan wangi. Tak kusangka pernak-perniknya pun mewah. Ini kali pertama aku masuk kamar permbantuku. Aku tahu ini tidak sopan, tapi hanya ingin membuktikan kalau Santi adalah gadis yang baik. Aku menolongnya karena orang tua Santi telah tiada. Aku menjadikannya pembantu guna membantu ekonominya. Tak lama, pandanganku beralih pada lemari di sampingku. Kulihat kuncinya masih menggantung hingga aku bisa membukanya. Mengejutkan, isi lemari Santi berisi pakaian yang mewah. Aku melihat brand pakaian Santi sama dengan brand yg aku pakai. Dadaku kian menggebu. Dari mana Santi membeli pakaian semahal ini? Jumlahnya bahkan sama dengan isi lemariku. Kemudian tatapanku beralih pada laci yang berada di bagian atas pakaian Santi. Aku menarik laci itu yang isinya bahkan membuat jantung seakan berhenti berdegup. Aku mengambil isi laci berupa perhiasan yang mirip seperti milikku yang hilang satu tahun lalu. Mulutku menganga karena terkejut. Tak ada yang menyamai perhiasan itu sebab peninggalan almarhum mamaku yang dipesan husus. Dari mana Santi mendapatkannya? Bukankah dulu Mas Dani pun sudah menyatakan hilang? Setelah perhiasan, aku juga melihat beberapa alat kontrasepsi berupa pil di dalam laci Santi. Untuk apa dia menggunakan alat kontrasepsi? Bukankah Santi masih gadis? Alat kontrasepsi itu bahkan berdampingan dengan beberapa gepok uang yang bernilai empat puluh juta. Lututku gemetar melihatnya. Pikiranku langsung lari kemana-mana. "Mustahil!" Aku menepis. Rasanya mustahil Santi memiliki uang sebanyak itu. "Apa yang Bu Tari lakukan di sini?!!""Apa yang Bu Tari lakukan di sini?!!"Aku membeliak terkejut. Santi sudah berdiri di ambang pintu. Napas yang sempat memburu panas tiba-tiba seperti tersengal ditenggorokan. Belum sempat aku mencerna penemuan mengejutkan ini, tapi Santi malah kembali dan kini tampak menatapku nyalang."Saya, saya—" Aku sempat kebingungan harus membuat alasan apa."Lancang sekali, Bu Tari!" Secepat kilat, Santi merebut kotak perhiasan dari tanganku. Tapi tunggu, perhiasan itu milikku, berani sekali dia merebutnya. Aku tak bergeming dan langsung merebut kembali kotak perhiasan itu."Ini milik saya!" tegasku."Bu Tari, apa-apaan sih. Ini milik saya kok." Santi tak mau memberikan. Gadis itu bersi keras mempertahankan kotak perhiasanku."Santi! Kalau memaksa, saya akan lapor polisi," ancamku hingga akhirnya reflek Santi melepaskan genggamannya.Kedua bibir Santi nampak mengerut. Pembantuku itu seperti tengah menahan amarah. Tentu ia tak akan berani melawanku."Ini perhiasan saya, Santi. Saya memiliki sura
Detik itu pula aku segera memerintah seseorang melalui sambungan telepon. "Tolong ikuti mobil Mas Dani. Sekarang!""Baik, Bu."Gegas aku menurunkan benda pipih itu dari telingaku. Berjalan mondar-mandir dalam keadaan gelisah menanti jawaban dari orang yang aku suruh."Mama lagi ngapain?" Meysa yang baru saja kembali usai dari rumah tetangga nampak menatapku aneh. Bagaimana tidak, Meysa melihatku berjalan mondar-mandir tak tentu tujuan sambil memainkan jemari pada layar ponsel. "Ah tidak apa-apa. Mey, makan siang dulu sana. Tadi Mama sudah masak." Aku mengalihkan perhatian.Putriku mengangguk. Dia tak lagi bertanya dan langsung melaksanakan perintahku. Namun tak lama setelah Meysa berlalu, putri kecilku itu terdengar berteriak memanggil Santi."Mba Santi!" "Mba...!""Mba Santi, dimana?"Sepertinya Meysa tengah mencari Santi. Aku bergegas menghampirinya di ruang makan."Ada apa, Mey? Mama suruh kamu makan, kok malah panggil Mba Santi sih," sahutku.Meysa terlihat kebingungan di dekat
"Share location, Yudi. Saya akan segera ke sana sekarang juga!"Aku kembali menurunkan benda pipih dari telinga. Tanpa ada firasat apa-apa sebelumnya, entah kenapa hari ini terasa sangat memilukan hati."Tenang, Tari. Tenangkan hatimu." Gina mengusap punggungku. Dia pasti memahami perasaanku saat ini."Aku sudah berusaha tenang, Gin. Tapi sulit. Suamiku pergi bersama Santi. Apa aku benar-benar akan kehilangan Mas Dani setelah ini?" Air mata kembali merembes sebagai tanda bahwa rasa sakit di dalam hati tak bisa ditahan.Gina yang masih mengusap punggungku tampak turut sendu. "Semua akan baik-baik saja. Wanita seperti Santi tidak pantas merebut suamimu. Wanita murahan itu tidak pantas menghancurkan pernikahan kalian," tuturnya.Aku tak bisa berucap lagi sampai akhirnya Yudi mengirimkan lokasi keberadaan Mas Dani saat ini."Aku harus ke Bogor sekarang juga, Gin." Gegas kuberanjak dari tempat duduk."Tidak bisakah menunggu besok saja, Tari. Ini sudah sore. Jam berapa kita akan sampai di
Tatapan Mas Dani nampak terbelalak. Mungkin dia terkejut mendengar kalimat yang baru saja aku ucapkan."Bicara apa kamu, Tar. Aku sangat mencintai kamu. Tolong jangan bicara yang aneh- aneh. Santi bukan levelku." Mas Dani masih berkilah. Ia tak sadar dengan Santi yang tercengang dengan ucapannya.Bibir gadis bermuka dua itu terlihat mengerut sambil bergerak seakan ingin bicara sesuatu."Cukuplah, Dani. Jangan mengelak terus. Kamu sudah ketahuan berselingkuh masih saja membela diri." Gina menimpali. Sahabatku itu mungkin sudah geram."Jangan ikut campur kamu, Gina!" sentak Mas Dani. Jari telunjuknya melurus ke wajah Gina, namun aku segera menepisnya."Sudah, Mas. Kamu gak tahu malu ya," geramku pada Mas Dani."Tapi, Tar. Aku bersumpah hanya kamu yang aku cinta. Aku gak mungkin berselingkuh dengan Santi." Dengan memasang wajah memelas, Mas Dani masih saja tak mau mengaku. "Sayangnya aku sudah tak percaya dengan cintamu, Mas!" sergahku. Dada yang sudah terasa panas sedari tadi mulai tak
"Mama, kenapa?" Meysa meraih kepalaku. Aku mendengar dengan jelas, namun tak berapa lama aku tak mendengar apa-apa. Pandangan gelap gulita bagai tengah berada dalam mimpi.***"Mama!" Suara Meysa kembali terdengar. Suara putriku seakan terbawa oleh semilir angin. Sebelah tangan terasa diusap dengan lembut.Perlahan, aku berusaha membuka kelopak mata sedikit demi sedikit. Aku melihat langit-langit kamar dengan pandangan yang masih saja memudar Tunggu, dimana ini? Ini bukan langit-langit kamarku. Aku mengedip-ngedipkan mata guna memperbaiki pandangan."Akhirnya Mama bangun." Suara Meysa kembali terdengar riang. Kualihkan pandangan ke sumber suara."Mey," desisku seraya mengukir senyum. Bahagia rasanya dapat melihat putriku kembali."Mama." Meysa memeluk cukup erat. "Mama jangan sakit lagi, aku gak kau kehilangan Mama," sambungnya."Ini dimana, Mey?" Suara pelanku bertanya pada Meysa.Putri kecilku itu melonggarkan pelukan. "Kita ada di rumah sakit. Mama pingsan. Untung ada Papa yang m
Aku berniat akan menghubungi dua temanku, namun ternyata ponselku tak bisa dinyalakan. "Lowbath lagi," kesalku."Aku bantu isi daya ya, Ma." Meysa menyodorkan telapak tangannya."Memangnya bisa?" Aku memastikan. Menatap wajah putriku."Bisa, Mama. Aku kan sudah besar. Masa ngisi baterai hape saja gak bisa," jawab Meysa dengan yakinnya. Aku mengukir senyum seraya mengangguk. Anakku memang sudah besar, aku tak menyadari itu."Aku isi di kamarku ya, Ma. Sambil ngerjain tugas sekolah," kata Meysa kemudian berlalu dari kamarku.Aku kembali sendirian di dalam kamar. Semakin kesini aku sering merasakan getaran lemas di dalam dada. Apakah obat-obatan yang selama ini aku konsumsi tidak ada efek berbahaya ya? Kok rasanya bikin dada gemetar dan panas. Belum lagi kepala semakin terasa berat dan pusing setiap kali meminumnya. Tapi aku tak bisa menolak, Mas Dani akan marah kalau aku membantah apalagi ini mungkin demi kebaikanku."Malam, Sayang." Suara Mas Dani terdengar menyapa saat jarum pada bend
Keesokan harinya saat sinar mentari mulai menerobos jendela kamar, aku sudah membuka beberapa kaplet obat dan menaruh cangkangnya di atas nakas. Ini hari ke tiga aku tak meminum obat dan membuang isinya ke tempat sampah. Aku tak bisa membiarkan Mas Dani melumpuhkanku. Rasa sakit dalam dada kini berbalut kebencian yang mendalam.Ceklek!Begitu suara handle pintu diputar aku sudah kembali berbaring di atas ranjang."Tari, bangunlah." Mas Dani mengusap pipiku dengan lembut.Perlahan aku membuka kelopak mata lalu Mas Dani mengukir senyuman manis. Sayangnya senyuman itu busuk dan berniat membunuhku karena aku sudah mengingat semuanya."Aku sudah bangun, Mas," sahutku dengan melembutkan nada suara. Aku masih berpura-pura."Sarapan dulu ya, kamu harus minum obat sebelum aku berangkat ke kantor," kata Mas Dani."Tidak usah, Mas. Aku sudah minum obat lihat saja bekasnya," tahanku seraya meluruskan jari telunjuk ke atas nakas. Di sana sudah ada beberapa cangkang obat."Kenapa tidak menunggu aku
Aku menelan saliva resah. Tanpa kusadari Mas Dani tiba-tiba kembali ke rumah. Aku, Bastian dan Gina panik tanpa bisa bersuara.Tok tok tok! "Tari, buka pintunya!" Mas Dani mengulangi.Bastian segera masuk ke dalam lemari, sementara Gina bersembunyi di toilet kamar.Aku memperbaiki napas yang memburu lebih kencang. Dadaku bergetar. Mas Dani tak boleh mengetahui keberadaan dua sahabatku sebab rencana kami belum terealisasi."Tari, sedang apa kamu? Buka pintunya!" Teriak Mas Dani lagi."Se-sebentar, Mas." sahutku seraya mengacak-acak rambut agar terlihat bagaikan orang yang baru saja bangun tidur.Ceklek!Mas Dani memutar handle pintu setelah aku membuka kuncinya. Tatapan mata suamiku cukup nanar, ia bergegas masuk ke kamar melewati tubuhku. Mas Dani mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar seperti tengah mencari sesuatu."Ada apa, Mas? Bukankah kamu sudah berangkat kerja?" tanyaku sekedar basa-basi."Aku kembali karena mengambil ponsel yang tertinggal. Aku mendengar kamu tengah berbic
"Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem
Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun
Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata
"Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu
"Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih
"Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S
"Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini
"Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji
Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria