Mas Dani nampak mengerutkan dahinya. Namun raut wajahnya seketika berubah setelah membaca berkas yang kuberikan tadi.
"Dari mana kamu mendapatkan ini, Tari?" Tanpa terlihat gugup Mas Dani bertanya lagi padaku. "Tak perlu tanya dari mana aku mendapatkan bukti kesehatan itu. Aku ingin penjelasan dari kamu, Mas. Apa yang sedang kamu sembunyikan dariku?" tegasku. Namun bukannya menjawab, kulihat bola mata Mas Dani nampak berkaca-kaca. Dia membatu dalam beberapa detik sambil mengedip-ngedipkan kelopak matanya seolah tengah menahan air mata. "Kenapa diam, Mas? Tolong jelaskan! Itu adalah hasil pemeriksaan kesehatan satu minggu lalu. Tertera dengan jelas mengenai kondisi ginjalmu yang sehat, tapi kenapa kemarin kamu—" "Cukup, Tari!" sentak Mas Dani memotong kalimatku. Ini adalah kali pertama dia membentakku. "Hasil pemeriksaan ini palsu. Aku sengaja memalsukan karena urusan pekerjaan. Kamu pikir, investor mana yang sudi bekerja sama dengan manusia penyakitan seperti aku hah?!" terangnya. "Apa! Palsu?" Aku menelaah wajah Mas Dani dengan seksama. Apa Bastian yang telah membohongiku. "Iya. Aku tahu, berkas ini dari Bastian 'kan?" Mas Dani bertanya dengan tegas. Aku mengangguk pelan sambil menunduk. Aku seakan tak bisa mengelak. "Sudah kuduga, Tari. Bastian ingin menghancurkan karirku. Aku sudah susah payah membuat berkas kesehatan palsu ini demi perusahaan kita. Jauhi Bastian, karena jika tidak, kamu akan termakan oleh tuduhannya." Entah kenapa penjelasan Mas Dani sore ini membuatku langsung percaya. Setiap kalimat yang kelur dari mulutnya membuatku selalu yakin mengenai kejujurannya. Hingga pada akhirnya, aku yang meminta maaf pada Mas Dani atas kekeliruan ini. Mungkin karena aku terlalu mencintainya hingga tak rela melihat suamiku kesakitan. Aku pun tak lagi mendengarkan tuduhan Bastian pada Mas Dani. Aku memilih menjauhi Bastian agar tak menimbulkan prasangka buruk. Setelah satu minggu berlalu Mas Dani mulai kembali ke kantor. Pagi ini bahkan kami sibuk menyiapkan berkas-berkas yang harus dibawa. Ketika aku menghampiri Meysa di kamarnya, putriku masih saja terdiam di atas ranjang. "Mey, kok belum siap-siap? Mama akan antar kamu ke sekolah," tanyaku pada Meysa. Aku segera duduk di sampingnya. "Ma, aku tak bersemangat." Putri kecilku menurunkan tatapannya. "Loh! Kenapa?" Seketika dahi ini mengkerut. Meysa membeku dalam beberapa detik hingga akhirnya dia kembali bicara. "Aku mau di rumah saja mijitin Papa." "Tak usah, Mey. Papa sudah sehat tak usah kamu pijitin," balasku. "Papa masih sakit, Ma. Kemarin Papa dipijitin Mba Santi sampai merintih lagi." Meysa terkekeuh. Aku menggelengkan kepala. Sepertinya Meysa salah paham lagi. "Dipijitin dimana, Mey? Papa 'kan gak suka dipijit," bantahku lagi. "Kemarin, Ma. Setiap sepulang sekolah aku sering melihat Papa dipijitin sama Mba Santi. Tapi gak lama pintunya di tutup lalu Papa merintih kesakitan." Degh! Cerita apa lagi yang dimaksud Meysa? Entah kenapa napas ini tiba-tiba terasa sulit dikendalikan. "Mungkin Meysa salah lihat. Dimana Papa dipijit Mba Santi?" Masih berusaha menepis sebab rumah ini terpasang CCTV dan aku tak pernah mendapat rekaman yang aneh-aneh. "Di kamar Mba Santi," jawab Meysa dengan cepat. Area kamar Santi memang tak terjangkau kamera CCTV dan aku baru menyadari itu. Aku memijat pelipis. Kekeliruan kemarin baru saja selesai, kini Meysa mengatakan cerita barunya. Anak sekecil Meysa terasa mustahil untuk berdusta. Namun harus tetap tabayyun. Harus mencari tahu fakta yang sesungguhnya. Meysa tetap aku antar ke sekolah setelah berusaha dirayu. Ketika aku dan Mas Dani telah sampai di kantor. Kami berdua masuk ke ruangan masing-masing hingga tak lagi banyak bercakap. Pekerjaanku sedikit terganggu akibat masih memikirkan cerita anakku. Maka saat jam makan siang tiba, aku bergegas menemui Mas Dani di ruangannya. "Nanti malam ya sekali lagi." Aku menunda mengetuk pintu saat suara manja Mas Dani terdengar dari dalam ruangannya. Dengan siapa Mas Dani berbicara? Aku yang penasaran segera menempelkan daun telinga pada pintu. "Tidak akan pernah ada yang tahu termasuk Tari." Suara Mas Dani kembali terdengar manja. Namaku disebut dalam percakapan. Dadaku menggebu penuh rasa penasaran. Dengan siapa Mas Dani berbicara. "Bu Tari, sedang apa?" Suara sopran mengagetkanku di depan pintu. Seketika terperanjat kemudian memperbaiki cardigan sekedar mengalihkan perhatian. "Tidak sedang apa-apa," jawabku sedikit gugup. Sekertaris Mas Dani itu mengukir senyum tanda tanya padaku kemudian masuk ke ruangan Mas Dani. Ah sial! Kegiatan menguping ini tak bisa dilanjutkan. Aku pun membuntuti langkah sekertaris muda itu kemudian duduk di kursi yang berseberangan dengan Mas Dani. Sebelum kedatanganku bersama Laura, di ruangan ini hanya ada Mas Dani. Bisa dipastikan Mas Dani baru saja berbicara lewat telepon dengan seseorang. Apa dia ada main dengan sekertarisnya? Tatapan ini melirik nanar pada Laura—sekertaris suamiku. "Ibu Tari, mengapa menatap saya seperti itu?" Laura nampak menyadari tatapanku. "Tidak apa-apa. Pekerjaan kamu selalu bagus, saya harap kamu selalu bekerja dengan baik dan tak mengecewakan saya," ucapku dengan tegas pada Laura. Gadis itu memang cantik, bisa saja Mas Dani tergoda padanya. "Tentu saja, Bu Tari." Laura kembali tersenyum. Tampak ramah dan selalu sopan. Setelah ia me menyerahkan berkas ke atas meja Mas Dani, gadis itu keluar usai berpamitan untuk makan siang. "Tar, kok bicara kamu seperti itu pada Laura? Dia tak pernah macam-macam loh. Jangan menyinggung perasaannya." Tiba-tiba Mas Dani menegurku. Saat ini hanya ada aku dan Mas Dani di ruangan ini. "Aku hanya bicara apa adanya, Mas. Kerja Laura memang bagus. Maka dari itu aku memujinya," elakku. "Tapi aku rasa ada yang lain dari nada bicara kamu." Rupanya Mas Dani mampu menerka kecurigaanku padanya. "Tidak ada maksud apa-apa, Mas. Sudahlah tak usah dibahas lagi. Aku menghadap karena ada yang ingin aku sampaikan pada kamu, Mas." Aku segera mengalihkan perbincangan sebab ada yang lebih penting lagi yakni mengenai rencanaku. Mas Dani menatapku. Menunggu ungkapan dariku. "Aku akan pergi ke Bali dalam dua hari, Mas," ungkapku akhirnya. Mas Dani nampak menrerutkan dahi. "Untuk apa? Bukankah tidak ada pekerjaan di sana?" Ia nampak ragu. "Ada kepentingan dengan keluargaku, Mas. Semalam sepupuku menelepon. Ada proyek yang meminta persetujuanku," dalihku. Mas Dani manggut-manggut sambil menarik sudut bibirnya ke bawah. Sepertinya dia tak percaya tapi aku terus berusaha meyakinkannya hingga Mas Dani memberikan izinnya. "Oke. Bagaimana dengan Meysa?" tanya Mas Dani memastikan. "Meysa akan aku bawa. Sekalian jalan-jalan, Mas. Aku berangkat nanti sore." Aku semakin antusias. "Oke." Mas Dani mengiyakan. Setelah mendapatkan izin, aku langsung pulang lebih cepat. Pukul 3 sore aku sudah sampai di rumah dan meminta Santi mengemas beberapa pakaian yang akan aku bawa. "Santi, tolong belikan alat-alat mandi di mini market depan komplek," titahku yang segera dilaksanakan Santi. Gadis itu pergi dan aku segera melancarkan aksi. Dua orang pria berseragam hitam, masuk ke dalam rumahku untuk memasang kamera CCTV di kamar Santi dan ruangan belakang dekat kamar mandi.Selama ini dua ruangan itu memang berhasil terhindar dari pantauan CCTV. Aku memasang hari ini demi mendapatkan fakta. Aku harap cerita Meysa hanya keliru dan Mas Dani masih tetap setia padaku.Dua orang pria itu memang mengerjakan tugas dengan baik, mereka keluar dari rumah sepuluh menit lebih awal sebelum kepulangan Santi."Ibu, ini belanjaannya." Suara Santi mengagetkanku. Ia menyerahkan paper bag yang berisi belanjaan yang aku pinta."Terima kasih," ucapku basa-basi."Memangnya Ibu Tari mau kemana?" tanyanya. Santi nampak duduk di dekat Meysa. Dia mengusap lembut rambut purtiku."Ke Bali," jawabku singkat.Raut wajah Santi terkejut. "Berapa lama, Bu?""Dua hari," jawabku lagi, masih singkat. Perasaanku tiba-tiba berubah dingin pada Santi, padahal gadis itu belum tentu bersalah. Ya Tuhan, maafkan aku. Setelah semuanya terbukti, aku akan meminta maaf pada Santi atas sikapku ini."Wah liburan ya, Bu. Saya sendirian dong di rumah." Wajah Santi nampak sendu."Kamu tidak sendiri. Mas D
"Apa yang Bu Tari lakukan di sini?!!"Aku membeliak terkejut. Santi sudah berdiri di ambang pintu. Napas yang sempat memburu panas tiba-tiba seperti tersengal ditenggorokan. Belum sempat aku mencerna penemuan mengejutkan ini, tapi Santi malah kembali dan kini tampak menatapku nyalang."Saya, saya—" Aku sempat kebingungan harus membuat alasan apa."Lancang sekali, Bu Tari!" Secepat kilat, Santi merebut kotak perhiasan dari tanganku. Tapi tunggu, perhiasan itu milikku, berani sekali dia merebutnya. Aku tak bergeming dan langsung merebut kembali kotak perhiasan itu."Ini milik saya!" tegasku."Bu Tari, apa-apaan sih. Ini milik saya kok." Santi tak mau memberikan. Gadis itu bersi keras mempertahankan kotak perhiasanku."Santi! Kalau memaksa, saya akan lapor polisi," ancamku hingga akhirnya reflek Santi melepaskan genggamannya.Kedua bibir Santi nampak mengerut. Pembantuku itu seperti tengah menahan amarah. Tentu ia tak akan berani melawanku."Ini perhiasan saya, Santi. Saya memiliki sura
Detik itu pula aku segera memerintah seseorang melalui sambungan telepon. "Tolong ikuti mobil Mas Dani. Sekarang!""Baik, Bu."Gegas aku menurunkan benda pipih itu dari telingaku. Berjalan mondar-mandir dalam keadaan gelisah menanti jawaban dari orang yang aku suruh."Mama lagi ngapain?" Meysa yang baru saja kembali usai dari rumah tetangga nampak menatapku aneh. Bagaimana tidak, Meysa melihatku berjalan mondar-mandir tak tentu tujuan sambil memainkan jemari pada layar ponsel. "Ah tidak apa-apa. Mey, makan siang dulu sana. Tadi Mama sudah masak." Aku mengalihkan perhatian.Putriku mengangguk. Dia tak lagi bertanya dan langsung melaksanakan perintahku. Namun tak lama setelah Meysa berlalu, putri kecilku itu terdengar berteriak memanggil Santi."Mba Santi!" "Mba...!""Mba Santi, dimana?"Sepertinya Meysa tengah mencari Santi. Aku bergegas menghampirinya di ruang makan."Ada apa, Mey? Mama suruh kamu makan, kok malah panggil Mba Santi sih," sahutku.Meysa terlihat kebingungan di dekat
"Share location, Yudi. Saya akan segera ke sana sekarang juga!"Aku kembali menurunkan benda pipih dari telinga. Tanpa ada firasat apa-apa sebelumnya, entah kenapa hari ini terasa sangat memilukan hati."Tenang, Tari. Tenangkan hatimu." Gina mengusap punggungku. Dia pasti memahami perasaanku saat ini."Aku sudah berusaha tenang, Gin. Tapi sulit. Suamiku pergi bersama Santi. Apa aku benar-benar akan kehilangan Mas Dani setelah ini?" Air mata kembali merembes sebagai tanda bahwa rasa sakit di dalam hati tak bisa ditahan.Gina yang masih mengusap punggungku tampak turut sendu. "Semua akan baik-baik saja. Wanita seperti Santi tidak pantas merebut suamimu. Wanita murahan itu tidak pantas menghancurkan pernikahan kalian," tuturnya.Aku tak bisa berucap lagi sampai akhirnya Yudi mengirimkan lokasi keberadaan Mas Dani saat ini."Aku harus ke Bogor sekarang juga, Gin." Gegas kuberanjak dari tempat duduk."Tidak bisakah menunggu besok saja, Tari. Ini sudah sore. Jam berapa kita akan sampai di
Tatapan Mas Dani nampak terbelalak. Mungkin dia terkejut mendengar kalimat yang baru saja aku ucapkan."Bicara apa kamu, Tar. Aku sangat mencintai kamu. Tolong jangan bicara yang aneh- aneh. Santi bukan levelku." Mas Dani masih berkilah. Ia tak sadar dengan Santi yang tercengang dengan ucapannya.Bibir gadis bermuka dua itu terlihat mengerut sambil bergerak seakan ingin bicara sesuatu."Cukuplah, Dani. Jangan mengelak terus. Kamu sudah ketahuan berselingkuh masih saja membela diri." Gina menimpali. Sahabatku itu mungkin sudah geram."Jangan ikut campur kamu, Gina!" sentak Mas Dani. Jari telunjuknya melurus ke wajah Gina, namun aku segera menepisnya."Sudah, Mas. Kamu gak tahu malu ya," geramku pada Mas Dani."Tapi, Tar. Aku bersumpah hanya kamu yang aku cinta. Aku gak mungkin berselingkuh dengan Santi." Dengan memasang wajah memelas, Mas Dani masih saja tak mau mengaku. "Sayangnya aku sudah tak percaya dengan cintamu, Mas!" sergahku. Dada yang sudah terasa panas sedari tadi mulai tak
"Mama, kenapa?" Meysa meraih kepalaku. Aku mendengar dengan jelas, namun tak berapa lama aku tak mendengar apa-apa. Pandangan gelap gulita bagai tengah berada dalam mimpi.***"Mama!" Suara Meysa kembali terdengar. Suara putriku seakan terbawa oleh semilir angin. Sebelah tangan terasa diusap dengan lembut.Perlahan, aku berusaha membuka kelopak mata sedikit demi sedikit. Aku melihat langit-langit kamar dengan pandangan yang masih saja memudar Tunggu, dimana ini? Ini bukan langit-langit kamarku. Aku mengedip-ngedipkan mata guna memperbaiki pandangan."Akhirnya Mama bangun." Suara Meysa kembali terdengar riang. Kualihkan pandangan ke sumber suara."Mey," desisku seraya mengukir senyum. Bahagia rasanya dapat melihat putriku kembali."Mama." Meysa memeluk cukup erat. "Mama jangan sakit lagi, aku gak kau kehilangan Mama," sambungnya."Ini dimana, Mey?" Suara pelanku bertanya pada Meysa.Putri kecilku itu melonggarkan pelukan. "Kita ada di rumah sakit. Mama pingsan. Untung ada Papa yang m
Aku berniat akan menghubungi dua temanku, namun ternyata ponselku tak bisa dinyalakan. "Lowbath lagi," kesalku."Aku bantu isi daya ya, Ma." Meysa menyodorkan telapak tangannya."Memangnya bisa?" Aku memastikan. Menatap wajah putriku."Bisa, Mama. Aku kan sudah besar. Masa ngisi baterai hape saja gak bisa," jawab Meysa dengan yakinnya. Aku mengukir senyum seraya mengangguk. Anakku memang sudah besar, aku tak menyadari itu."Aku isi di kamarku ya, Ma. Sambil ngerjain tugas sekolah," kata Meysa kemudian berlalu dari kamarku.Aku kembali sendirian di dalam kamar. Semakin kesini aku sering merasakan getaran lemas di dalam dada. Apakah obat-obatan yang selama ini aku konsumsi tidak ada efek berbahaya ya? Kok rasanya bikin dada gemetar dan panas. Belum lagi kepala semakin terasa berat dan pusing setiap kali meminumnya. Tapi aku tak bisa menolak, Mas Dani akan marah kalau aku membantah apalagi ini mungkin demi kebaikanku."Malam, Sayang." Suara Mas Dani terdengar menyapa saat jarum pada bend
Keesokan harinya saat sinar mentari mulai menerobos jendela kamar, aku sudah membuka beberapa kaplet obat dan menaruh cangkangnya di atas nakas. Ini hari ke tiga aku tak meminum obat dan membuang isinya ke tempat sampah. Aku tak bisa membiarkan Mas Dani melumpuhkanku. Rasa sakit dalam dada kini berbalut kebencian yang mendalam.Ceklek!Begitu suara handle pintu diputar aku sudah kembali berbaring di atas ranjang."Tari, bangunlah." Mas Dani mengusap pipiku dengan lembut.Perlahan aku membuka kelopak mata lalu Mas Dani mengukir senyuman manis. Sayangnya senyuman itu busuk dan berniat membunuhku karena aku sudah mengingat semuanya."Aku sudah bangun, Mas," sahutku dengan melembutkan nada suara. Aku masih berpura-pura."Sarapan dulu ya, kamu harus minum obat sebelum aku berangkat ke kantor," kata Mas Dani."Tidak usah, Mas. Aku sudah minum obat lihat saja bekasnya," tahanku seraya meluruskan jari telunjuk ke atas nakas. Di sana sudah ada beberapa cangkang obat."Kenapa tidak menunggu aku
"Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem
Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun
Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata
"Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu
"Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih
"Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S
"Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini
"Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji
Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria