Share

Bab 6 Ketahuan

Penulis: Miss_Pupu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Apa yang Bu Tari lakukan di sini?!!"

Aku membeliak terkejut. Santi sudah berdiri di ambang pintu. Napas yang sempat memburu panas tiba-tiba seperti tersengal ditenggorokan. Belum sempat aku mencerna penemuan mengejutkan ini, tapi Santi malah kembali dan kini tampak menatapku nyalang.

"Saya, saya—" Aku sempat kebingungan harus membuat alasan apa.

"Lancang sekali, Bu Tari!"

Secepat kilat, Santi merebut kotak perhiasan dari tanganku. Tapi tunggu, perhiasan itu milikku, berani sekali dia merebutnya. Aku tak bergeming dan langsung merebut kembali kotak perhiasan itu.

"Ini milik saya!" tegasku.

"Bu Tari, apa-apaan sih. Ini milik saya kok." Santi tak mau memberikan. Gadis itu bersi keras mempertahankan kotak perhiasanku.

"Santi! Kalau memaksa, saya akan lapor polisi," ancamku hingga akhirnya reflek Santi melepaskan genggamannya.

Kedua bibir Santi nampak mengerut. Pembantuku itu seperti tengah menahan amarah. Tentu ia tak akan berani melawanku.

"Ini perhiasan saya, Santi. Saya memiliki surat-suratnya. Saya akan lapor polisi atas pencurian ini. Bahkan uang puluhan juta yang berada di laci lemari bisa dijadikan bukti kalau kamu sudah tidak jujur lagi," ancamku lagi. Aku berbicara dengan tegas seiring isi hati yang sudah memanas sedari tadi.

"Saya tidak mencuri, Bu. Jangan main tuduh sembarangan ya!" bantah Santi. Matanya membulat dan dia sudah berani melawanku.

"Kamu pikir perhiasan ini bisa jalan sendiri ke kamarmu?!" sergahku.

"Itu pemberian Bapak untuk saya! Puas?!" Santi menantanhku.

Aku dibuat terkesiap. Aliran darah seakan berhenti. Jantung ini berdegup lemah. Aku mengatur napas berkali-kali. Tetap tenang. Hingga akhirnya Mas Dani menghampiri kami berdua.

"Ada apa sih ribut-ribut?" Mas Dani melemparkan tatapan padaku dan Santi secara bergantian. "Santi, mengapa lama sekali ambil ponselnya?" lanjutnya bertanya pada Santi.

Santi nampak diam. Ia masih menahan amarah. Kulihat kedua tangannya dikepal.

"Mas, aku ingin bicara serius sama kamu," pintaku dengan tegas. Aku menarik tangan Mas Dani untuk mengikuti langkahku menuju kamar pribadiku, meninggalkan Santi yang masih membatu di kamarnya.

"Ada apa ini, Tari? Bukankah aku harus mengantar Santi ke super market?" Mas Dani protes.

Aku masih dengan langkahku menuju ruangan kamar. Sesampainya di sana, pintu kubanting hingga tertutup.

Brugh!

"Tari, apa-apaan ini?" Mas Dani masih saja bertanya seolah tak paham, atau mungkin pura-pura tak paham.

Kusodorkan kotak perhiasan ke hadapan Mas Dani. "Lihat perhiasan ini! Tahun lalu pernah kamu katakan perhiasan ini hilang. Aku menemukan ini di lemari Santi. Kamu telah memberikan perhiasan ini pada gadis tak tahu diri itu!" cercaku. "Aku kecewa sama kamu, Mas!" sambungku.

"Loh, perhiasannya ketemu? Syukurlah." Tanpa merasa berdosa, Mas Dani tampak menyeringai senang. Dia memelukku, namun kuhempaskan.

"Hentikan, Mas. Sandiwara apa lagi yang tengah kamu mainkan?!" sergahku.

"Tari, aku tidak bersandiwara. Aku sangat bahagia karena perhiasanmu telah kembali." Dengan nada suara yang lembut dan manja, Mas Dani tampak meyakinkanku.

"Kata Santi, kamu telah memberikan perhiasan ini kepadanya," tekanku lagi.

"Apa!" Mas Dani menautkan kedua alisnya. "Mana mungkin, Tar. Aku masih waras," bantah Mas Dani terkekeh.

"Katakan yang sebenarnya, Mas? Sebelum aku benar-benar melaporkan Santi ke kantor polisi," tekanku. Kali ini tak main-main.

"Aku tak tahu, Tari. Mana mungkin aku memberikan perhiasanmu pada Santi. Kamu pikir aku gila! Kamu jangan ngaco dong. Jangan tuduh aku yang aneh-aneh," jelas Mas Dani. Dia tetap bersi kukuh membantah tuduhanku.

"Santi yang katakan, perhiasan ini adalah pemberianmu. Bahkan parahnya, isi lemari Santi penuh dengan brand pakaian yang mahal. Brand pakaian yang aku miliki! Uang bernilai puluhan juta yang tak mungkin dimiliki pembantu. Belum lagi beberapa lembar pil KB. Apa maksud semua ini, Mas?!" setengah emosi aku berbicara. Hingga tubuh lemasku terduduk di atas kursi rias. Aku menekan dada yang bergetar lesu.

"Aku pun tidak tahu, Tari. Aku pun tak mengerti semua ini." Mas Dani masih membantah. Tapi kenapa rasanya aku jadi kesulitan percaya padanya. Siapa yang harus aku percaya. Aku tak pernah melihat rekaman yang aneh pada CCTV rumah.

"Jangan-jangan Santi yang mencuri semuanya ini, Tari," lanjut Mas Dani mengeluarkan tuduhan.

Aku mendongak terkejut. Masih dalam keadaan isi dada bergetar. "Mencuri?"

"Iya, Tar. Bisa saja Santi mencurinya. Ini tak boleh dibiarkan. Kita tak bisa menyimpan pencuri di rumah ini." Kali ini wajah Mas Dani terlihat emosi.

"Sepertinya kita harus benar-benar lapor polisi," tantangku.

"Jangan, Tari. Cukup kita usir saja Santi dari rumah ini," tolak Mas Dani.

"Belum tentu Santi jera." Aku terkekeh. "Kita laporkan saja ke kantor polisi," sambungku menekan.

"Urusannya akan panjang, Tari. Aku tidak mau berurusan dengan Polisi." Mas Dani bersi kukuh menolak.

"Kenapa? Kamu takut berurusan dengan penegak hukum?" Aku berkacak pinggang saat menantangnya.

"Bukan takut, Tar. Urusan kantor sudah menyita waktu, aku tidak mau menambah dengan urusan yang lebih rumit. Lagi pula, aku tidak mau rumah kita jadi sorotan. Percaya padaku, Tari. Kita usir saja Santi dari sini. Kita tak bisa memelihara pencuri di rumah ini."

Setelah pertimbangan panjang, akhrnya aku menyetujui saran dari Mas Dani. Sepertinya aku akan mengusir Santi dari rumah ini. Entah kenapa suara lembut Mas Dani yang selalu memasihatiku selalu saja melemahkan ego. Aku tak paham dengan diri yang selalu saja tunduk padanya.

Aku dan Mas Dani keluar dari kamar usai perdebatan, kami berdua menuju kamar Santi. Pintu kamar pembantu itu nampak masih terbuka. Tak ada Santi di dalamnya.

"Santi!" Suara bariton Mas Dani dengan lantang memanggil nama gadis itu.

Kulihat ke sekeliling sudut tak nampak Santi dimana-mana. Kami berdua masuk ke dalam kamar Santi, hingga menemukan secarik kertas berisi tulisan Santi.

"Ibu Tari, Bapak Dani. Saya sudah mendengar niat kalian yang akan mengusir saya. Saya bukan pencuri, saya tidak terima tuduhan ini. Saya memilih pergi sebelum kalian usir."

Aku tercengang usai membaca surat dari Santi. Gegas kubuka isi lemari yang ternyata sudah kosong. Santi telah membawa semua barang-barangnya termasuk uang puluhan juta itu. Beruntung perhiasanku telah aku amankan. Tapi, Santi tetap tak mau mengakui kesalahannya.

"Biarkan Santi pergi, jadi kita tak usah repot-repot mengusirnya." Dengan santainya Mas Dani berucap.

"Tapi Santi bersi keras tak mau disalahkan," timpalku.

"Mana ada pencuri ngaku, kalau ada pencuri ngaku, maka penjara akan cepat penuh." Mas Dani gegas meninggalkan kamar Santi. Aku pun mengikuti langkahnya.

Ya Tuhan, apa yang sebenanya terjadi. Rasanya aku kesulitan menerka semuanya. Mas Dani terlihat santai sampai kembali pergi dengan kendaraan roda empatnya.

Detik itu pula aku segera memerintah seseorang melalui sambungan telepon. "Tolong ikuti mobil Mas Dani. Sekarang!"

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Roroh Siti Rochmah
hah bikin emosi z nih sm tari, kbngetan bloonny. kterlaluan
goodnovel comment avatar
Tari Emawan
istri kebangetan gobloknya. thor ngarang ceritanya lebay absurd
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
blooon kelamaan tari
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 7 Sandiwara Suamiku

    Detik itu pula aku segera memerintah seseorang melalui sambungan telepon. "Tolong ikuti mobil Mas Dani. Sekarang!""Baik, Bu."Gegas aku menurunkan benda pipih itu dari telingaku. Berjalan mondar-mandir dalam keadaan gelisah menanti jawaban dari orang yang aku suruh."Mama lagi ngapain?" Meysa yang baru saja kembali usai dari rumah tetangga nampak menatapku aneh. Bagaimana tidak, Meysa melihatku berjalan mondar-mandir tak tentu tujuan sambil memainkan jemari pada layar ponsel. "Ah tidak apa-apa. Mey, makan siang dulu sana. Tadi Mama sudah masak." Aku mengalihkan perhatian.Putriku mengangguk. Dia tak lagi bertanya dan langsung melaksanakan perintahku. Namun tak lama setelah Meysa berlalu, putri kecilku itu terdengar berteriak memanggil Santi."Mba Santi!" "Mba...!""Mba Santi, dimana?"Sepertinya Meysa tengah mencari Santi. Aku bergegas menghampirinya di ruang makan."Ada apa, Mey? Mama suruh kamu makan, kok malah panggil Mba Santi sih," sahutku.Meysa terlihat kebingungan di dekat

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 8 Tertangkap Basah

    "Share location, Yudi. Saya akan segera ke sana sekarang juga!"Aku kembali menurunkan benda pipih dari telinga. Tanpa ada firasat apa-apa sebelumnya, entah kenapa hari ini terasa sangat memilukan hati."Tenang, Tari. Tenangkan hatimu." Gina mengusap punggungku. Dia pasti memahami perasaanku saat ini."Aku sudah berusaha tenang, Gin. Tapi sulit. Suamiku pergi bersama Santi. Apa aku benar-benar akan kehilangan Mas Dani setelah ini?" Air mata kembali merembes sebagai tanda bahwa rasa sakit di dalam hati tak bisa ditahan.Gina yang masih mengusap punggungku tampak turut sendu. "Semua akan baik-baik saja. Wanita seperti Santi tidak pantas merebut suamimu. Wanita murahan itu tidak pantas menghancurkan pernikahan kalian," tuturnya.Aku tak bisa berucap lagi sampai akhirnya Yudi mengirimkan lokasi keberadaan Mas Dani saat ini."Aku harus ke Bogor sekarang juga, Gin." Gegas kuberanjak dari tempat duduk."Tidak bisakah menunggu besok saja, Tari. Ini sudah sore. Jam berapa kita akan sampai di

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 9 Teh Manis Hangat Dari Pengkhianat

    Tatapan Mas Dani nampak terbelalak. Mungkin dia terkejut mendengar kalimat yang baru saja aku ucapkan."Bicara apa kamu, Tar. Aku sangat mencintai kamu. Tolong jangan bicara yang aneh- aneh. Santi bukan levelku." Mas Dani masih berkilah. Ia tak sadar dengan Santi yang tercengang dengan ucapannya.Bibir gadis bermuka dua itu terlihat mengerut sambil bergerak seakan ingin bicara sesuatu."Cukuplah, Dani. Jangan mengelak terus. Kamu sudah ketahuan berselingkuh masih saja membela diri." Gina menimpali. Sahabatku itu mungkin sudah geram."Jangan ikut campur kamu, Gina!" sentak Mas Dani. Jari telunjuknya melurus ke wajah Gina, namun aku segera menepisnya."Sudah, Mas. Kamu gak tahu malu ya," geramku pada Mas Dani."Tapi, Tar. Aku bersumpah hanya kamu yang aku cinta. Aku gak mungkin berselingkuh dengan Santi." Dengan memasang wajah memelas, Mas Dani masih saja tak mau mengaku. "Sayangnya aku sudah tak percaya dengan cintamu, Mas!" sergahku. Dada yang sudah terasa panas sedari tadi mulai tak

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 10 Tiba-tiba Jadi Linglung

    "Mama, kenapa?" Meysa meraih kepalaku. Aku mendengar dengan jelas, namun tak berapa lama aku tak mendengar apa-apa. Pandangan gelap gulita bagai tengah berada dalam mimpi.***"Mama!" Suara Meysa kembali terdengar. Suara putriku seakan terbawa oleh semilir angin. Sebelah tangan terasa diusap dengan lembut.Perlahan, aku berusaha membuka kelopak mata sedikit demi sedikit. Aku melihat langit-langit kamar dengan pandangan yang masih saja memudar Tunggu, dimana ini? Ini bukan langit-langit kamarku. Aku mengedip-ngedipkan mata guna memperbaiki pandangan."Akhirnya Mama bangun." Suara Meysa kembali terdengar riang. Kualihkan pandangan ke sumber suara."Mey," desisku seraya mengukir senyum. Bahagia rasanya dapat melihat putriku kembali."Mama." Meysa memeluk cukup erat. "Mama jangan sakit lagi, aku gak kau kehilangan Mama," sambungnya."Ini dimana, Mey?" Suara pelanku bertanya pada Meysa.Putri kecilku itu melonggarkan pelukan. "Kita ada di rumah sakit. Mama pingsan. Untung ada Papa yang m

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 11 Efek Obat-obatan Yang Berbahaya

    Aku berniat akan menghubungi dua temanku, namun ternyata ponselku tak bisa dinyalakan. "Lowbath lagi," kesalku."Aku bantu isi daya ya, Ma." Meysa menyodorkan telapak tangannya."Memangnya bisa?" Aku memastikan. Menatap wajah putriku."Bisa, Mama. Aku kan sudah besar. Masa ngisi baterai hape saja gak bisa," jawab Meysa dengan yakinnya. Aku mengukir senyum seraya mengangguk. Anakku memang sudah besar, aku tak menyadari itu."Aku isi di kamarku ya, Ma. Sambil ngerjain tugas sekolah," kata Meysa kemudian berlalu dari kamarku.Aku kembali sendirian di dalam kamar. Semakin kesini aku sering merasakan getaran lemas di dalam dada. Apakah obat-obatan yang selama ini aku konsumsi tidak ada efek berbahaya ya? Kok rasanya bikin dada gemetar dan panas. Belum lagi kepala semakin terasa berat dan pusing setiap kali meminumnya. Tapi aku tak bisa menolak, Mas Dani akan marah kalau aku membantah apalagi ini mungkin demi kebaikanku."Malam, Sayang." Suara Mas Dani terdengar menyapa saat jarum pada bend

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 12 Tolong! Suamiku Ingin Menyingkirkanku

    Keesokan harinya saat sinar mentari mulai menerobos jendela kamar, aku sudah membuka beberapa kaplet obat dan menaruh cangkangnya di atas nakas. Ini hari ke tiga aku tak meminum obat dan membuang isinya ke tempat sampah. Aku tak bisa membiarkan Mas Dani melumpuhkanku. Rasa sakit dalam dada kini berbalut kebencian yang mendalam.Ceklek!Begitu suara handle pintu diputar aku sudah kembali berbaring di atas ranjang."Tari, bangunlah." Mas Dani mengusap pipiku dengan lembut.Perlahan aku membuka kelopak mata lalu Mas Dani mengukir senyuman manis. Sayangnya senyuman itu busuk dan berniat membunuhku karena aku sudah mengingat semuanya."Aku sudah bangun, Mas," sahutku dengan melembutkan nada suara. Aku masih berpura-pura."Sarapan dulu ya, kamu harus minum obat sebelum aku berangkat ke kantor," kata Mas Dani."Tidak usah, Mas. Aku sudah minum obat lihat saja bekasnya," tahanku seraya meluruskan jari telunjuk ke atas nakas. Di sana sudah ada beberapa cangkang obat."Kenapa tidak menunggu aku

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 13 Ditalak Tiga

    Aku menelan saliva resah. Tanpa kusadari Mas Dani tiba-tiba kembali ke rumah. Aku, Bastian dan Gina panik tanpa bisa bersuara.Tok tok tok! "Tari, buka pintunya!" Mas Dani mengulangi.Bastian segera masuk ke dalam lemari, sementara Gina bersembunyi di toilet kamar.Aku memperbaiki napas yang memburu lebih kencang. Dadaku bergetar. Mas Dani tak boleh mengetahui keberadaan dua sahabatku sebab rencana kami belum terealisasi."Tari, sedang apa kamu? Buka pintunya!" Teriak Mas Dani lagi."Se-sebentar, Mas." sahutku seraya mengacak-acak rambut agar terlihat bagaikan orang yang baru saja bangun tidur.Ceklek!Mas Dani memutar handle pintu setelah aku membuka kuncinya. Tatapan mata suamiku cukup nanar, ia bergegas masuk ke kamar melewati tubuhku. Mas Dani mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar seperti tengah mencari sesuatu."Ada apa, Mas? Bukankah kamu sudah berangkat kerja?" tanyaku sekedar basa-basi."Aku kembali karena mengambil ponsel yang tertinggal. Aku mendengar kamu tengah berbic

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 14 Ketika Hati Telah Hancur

    "Ini rumahku, Mas. Kamu yang harus pergi!" sergahku. Mas Dani telah jauh berubah menjadi pria kejam."Itu dulu, Tari! Sekarang bukan lagi milikmu. Jika kamu pernah berniat mengusirku, maka hari ini kamu yang harus pergi tanpa membawa apa-apa. Aku berikan waktu satu jam untuk kamu berkemas dan pergi. Jangan sampai aku mengusirmu dengan kekerasan!" Tubuh gempal pria yang detik ini telah menjadi mantan suamiku tampak berlalu meninggalkan kamar. Saat ini hanya ada aku, Gina dan Bastian di kamar. Tangisanku kembali tumpah di pipi. "Aku tak punya apa-apa lagi," lirihku.Gina kemudian memelukku dari samping sambil mengusap punggungku. "Kamu masih punya aku. Bahkan kamu masih memiliki berlian yang sangat berharga, yakni Meysa," tuturnya."Aku tidak terima ini. Mas Dani mengambil semua aset-aset peninggalan orang tuaku," lirihku lagi."Aku bingung harus berbuat apa, saat semua aset kamu telah beralih atas nama Dani," timpal Bastian memperlihatkan wajah sendu. Mungkin dia turut sendu dengan ke

Bab terbaru

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 117 Gelora di Malam Pertama

    "Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 116 Hari Pernikahanku

    Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 115 Jatuh Cinta Lagi

    Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 114 Tatapannya Berbinar

    "Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 113 Siapa Yang Meninggal?

    "Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 112 Ibu Yang Bijaksana

    "Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 111 Menjelang Pernikahan

    "Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 110 Surat Dari Bastian

    "Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 109 Kesedihanku

    Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria

DMCA.com Protection Status