Dada Salma kembang kempis setelah melayangkan tamparan pada suaminya itu. Amar sendiri tanya bisa melotot dengan pipi dan hati panas terbakar sebab di depan laki-laki lain, Salma bisa menjatuhkan harga dirinya dengan sebuah tamparan. Klaim"Kamu berani nampar aku demi laki-laki lain, Salma?""Kalau iya, memangnya kenapa? Kamu pantas mendapatkannya, Mas!""Salma, kamu-" tangan Amar sudah melayang di udara, nyaris saja ia daratkan tamparan serupa di pipi mulus Salma jika saja tangan Rega tak buru-buru menahan."Jangan berani mengangkat tanganmu untuk seorang wanita atau kamu siap dipanggil banci," ucap Rega dengan nada begitu rendah yang cukup untuk mengintimidasi Amar. Rega juga mencengkeram erat tangan Amar hingga laki-laki yang lebih pendek dari Rega beberapa centi itu meringis.Amar menyentak tangannya, akan tetapi, cengkeraman Rega yang begitu kuat nyatanya tak bisa dengan mudah Amar lepaskan."Lepaskan!" desis Amar.
Amar merasa dirinya tak ada harga diri sebagai kepala rumah tangga di rumah itu. Pasalnya, seharian ini, dari kedua isterinya tak ada yang menganggapnya ada.Amar merasa kesepian. la bingun harus masuk ke kamar siapa. Salma ataukah Ayu. Saat ini, ia hanya duduk melamun di sofa ruang tamu. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Matanya sudah mulai memberat, tapi ia belum bisa memutuskan akan tidur dimana."Kayanya tidur di kamar Ayu lebih baik untuk saat ini. Siapa tahu, Salma masih marah gara-gara kejadian sore tadi."Setelah memutuskan akan tidur di kamar Ayu, Amar pun bangkit dari duduknya. Perutnya masih sedikit lapar karena sore tadi hanya makan sedikit nasi sisa pagi hari dan satu butir telor yang diceplok oleh Ayu. Itupun rasanya keasinan karena Ayu terlalu banyak menaburkan garam."Yu, aku mau tidur disini, ya?" tanya Amar seraya mengetuk pintu kamar Ayu. Namun, beberapa kali ia mengetuk, tak ada jawaban dari dalam."Masa Ayu
Kali ini Sany benar-benar merasa kecewa dengan sikap Ayu. Padahal, ia selalu berusaha menunjukkan kepeduliannya terhadap Ayu, namun rupanya Ayu sama sekali tak melihatnya."Ya udah kalau emang mau lo, gue harus jauhin lo. Kali ini gue sadar, gue udah membela orang yang salah. Mungkin Kiki dan Rika benar, percuma gue belain orang gak tahu diri dan gak tahu terimakasih kaya lo, Ayu. Mulai sekarang, gue udah gak akan peduli lagi apapun tentang lo."Ayu mencebik saat Sany melenggang pergi dari sana untuk masuk ke dalam kelas. Ayu pun juga ikut masuk ke dalam kelas. Namun, kali ini Ayu memilih tempat duduk yang jauh dari tempat duduk Sany.Selama kelas berlangsung, Ayu terus berpikir tentang ancaman Arjun tadi pagi. la jadi sedikit menyesal telah menerima uang dua puluh juta itu. Tapi, di sisi lain ia juga membutuhkannya. Uang dari Amar sama sekali tak bisa diharapkan.Seperti yang sudah Arjun katakan, setelah perkuliahan selesai, Arjun meminta Ayu unt
Ayu sudah sadar ketika dirinya baru saja dipindahkan ke ruang perawatan. Mengedarkan pandangannya untuk memastikan bahwa kini dirinya sudah tidak ada di kamar hotel tadi.Ayu takut, rasanya saat dirinya digauli dengan kasar oleh Arjun masih begitu terasa. Tanpa sadar, ia mengeratkan pegangannya pada selimut yang menutupi tubuhnya hingga sebatas perut."Anda sudah sadar rupanya," ucap salah seorang dokter yang datang bersama seorang perawat.Ayu tak berkedip melihat dokter tampan itu. Apalagi saat dokter itu mendekat dan mengarahkan ujung stetoskop ke arah dadanya. Dingin, rasanya begitu dingin saat benda kecil itu menyentuh kulitnya. Tapi, hatinya terasa hangat entah kenapa."Siapa yang membawa saya kesini, Dok?" tanya Ayu penasaran. Sebab, ia tak sempat melihat seseorang yang menolongnya tadi."Saya. Kebetulan sebelum berangkat ke rumah sakit, saya ada sedikit perlu dengan kolega saya di hotel itu."Tanpa sadar Ayu tersenyum. Ia
Bu Asih kini sedang kebingungan. Pasalnya, kemarin para penagih hutang itu sudah datang ke rumahnya sembari mengancam. Jika hari ini ia tak kunjung membayat hutangnya, maka televisi dan kulkas di rumahnya akan dibawa."Duh! Harus hutang kemana lagi ini? Mana si Amar sekarang pelit banget. Kalau minta Salma, bukannya dikasih, dia malah sok ngungkit-ngungkit masa lalu. Mau jadi anak durhaka rupanya dia. Kalau Ayu, kira-kira masih punya uang gak, ya?"Di saat ia tengah pusing memikirkan semuanya, ponselnya berdering. Ada sebuah pesan masuk dari menantunya, Amar.[Bu, Ayu sekarang dirawat di rumah sakit. Ibu cepat kesini buat jagain dia. Aku besok sudah harus masuk kerja.]Tiba-tiba terlintas dalam pikiran bu Asih akan jalan keluar masalahnya.[Boleh. Tapi ada syaratnya.]Lama pesan itu tak kunjung dibuka oleh Amar. Bu Asih menaruh ponselnya di atas meja lalu ia hendak pergi ke kamar mandi sebelum pintu rumahnya digedor-gedor dengan
Amar sampai di rumah pukul sebelas malam. Pintu rumah sudah dikunci rapat oleh Salma hingga membuat Amar menggerutu sebab ketukan pintunya tak dipedulikan oleh Salma."Salma! Buka pintunya, dong, banyak nyamuk, nih, di luar. Salma!"Amar menggosok kedua lengannya karena hawadingin yang mulai menembus menyentuh kulit. Ditambah dengan nyamuk-nyamuk kecil kelaparan yang menyerang kaki hingga lehernya."Astaga! Kenapa gak aku telepon aja Salma dari tadi. Siapa tahu dia udah tidur terus gak denger kalau aku ketuk pintu," gumam Amar seraya mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya.Namun, lagi-lagi ia mengumpat saat mendapati ponselnya kehabisan daya. Karena kesal, Amar nyaris melempar ponselnya ke atas lantai jika saja ia tak ingat bahwa mulai besok jabatannya sudah terjun bebas dan gajinya tidak akan cukup untuk membeli ponsel baru."Masa aku harus tidur di luar, sih?"Karena sudah nyaris tiga puluh menit dan Salma tak ku
Amar terus saja menggerutu di sepanjang jalan pulang di atas motornya. Tadi, ia terkena marah oleh kepala divisi yang baru, sebab hari ini, ia tak bisa menjual produk sesuai target. Bahkan, produk itu hanya terjual tak sampai separuhnya."Sial! Ini semua gara-gara Mely dan Salma yang pakai acara ngadu segala ke bu Marwa."Hati Amar terasa amat dongkol. Belum lagi, tadi sebelum pulang kerja, Ayu mengiriminya pesan, meminta agar ia membelikan cumi asam manis, gurame bakar dan plencing kangkung beserta nasinya untuk dirinya dan sang ibu makan. Ayu bilang, ia dan ibunya tidak doyan makana rumah sakit."Bodoh amat, lah! Penyet lele juga sudah cukup, gumam Amar seraya kembali menaiki motornya setelah membeli dua bungkus nasi beserta lele penyet di dekat rumah sakit.Sampai di rumah sakit, Amar langsung menuju ke ruang rawat Ayu. Ia sedikit terkejut saat mendapati bilik tempat Ayu dirawat terlihat ramai. Rupanya sedang ada kunjungan dokter. Jadi, ada dok
Dengan tubuh sedikit gemetar, Amar mencoba mendekati Salma yang kini terduduk di atas lantai setelah ia menamparnya dengan kuat.Salma sendiri hanya bisa memegangi pipinya yang panas serta menahan rasa nyeri di bagian pelipisnya karena terbentur ujung meja rias. Amar menamparnya tak tanggung-tanggung hingga tubuynya terhuyung dan terjatuh hingga menabrak meja riasanya."Salma, kamu gak apa-apa, kan?" Amar mencoba menyentuh Salma, namun tangannya segera ditepis oleh Salma.Dengan tertatih, Salma mencoba bangkit. Tatapan tajam itu belum hilang sejak ia mendapatkan perlakuan kasar dari Amar.Segera Salma menyambar dompet, tas dan juga kunci mobil. Salma meninggalkan Amar tanpa sepatah katapun. Amar mencoba menyusul Salma, tapi rupanya langkah Salma begitu cepat hingga ia sudah berada di dalam mobil saat Amar baru saja turun dari teras."Salma! Mau kemana kamu, Salma? Argggh, sial !"Amar meninju angin untuk meluapkan kekesalann
Salma terus meremat tangannya sendiri saat ia menunggu hasil dari pemeriksaan dokter terhadap Rega di dalam sana. Salma sangat khawatir saat tadi ia mendapati Rega pingsan di dalam mobil.Seketika ia berteriak meminta tolong pada beberapa warga yang kebetulan lewat. Karena semua pintu mobil sudah terkunci dari dalam, Salma terpaksa meminta para warga untuk memecahkan kaca jendela. Biar, nanti ia yang akan menanggung semua kerusakannya."Gimana, Dok? Apa keadaannya parah?" tanya Salma saat seorang dokter keluar dari bilik tempat Rega ditangani."Kami harus memastikannya lebih dulu. Untuk itu, dokter Rega akan dirawat di rumah sakit ini untuk beberapa hari ke depan. Benturan di kepalanya sepertinya cukup keras hingga dia kehilangan cukup banyak darah. Beruntung stok darah yang dibutuhkan saat ini sedang tersedia. Dia juga akan menjalani beberapa pemeriksaan untuk mengetahui apakah benturan itu membuatnya mengalami luka dalam."Penjelasan dari dokter
Salma memutuskan untuk pulang dan menunda menjual mobilnya. Suasana hatinya sedang tak baik. Rega yang merasa khawatir akhirnya memaksa Salma untuk ikut bersama mobilnya. Ia menyuruh sopir pribadi sang mama untuk mengambil mobil Salma dan mengantarnya ke rumah Salma."Kamu yakin gak apa-apa?" tanya Rega lagi saat melihat Salma tengah memijat pelipisnya."Gak apa-apa, Mas," jawab Salma datar. Ia hanya ingin segera sampai di rumah.Tak sampai seperempat jam, mobil Rega sudah memasuki area pekarangan rumah Salma. Salma buru-buru membuka pintu. Begitu pula dengan Rega yang buru-buru keluar karena ingin membukakan pintu untuk Salma."Salma!" pekik Rega saat Salma nyaris ambruk ketika turun dari mobil.Kesadarannya masih ada dan Rega hanya memapahnya menuju ke dalam rumah. Rega mendudukkan Salma pada sofa panjang di ruang tamunya."Bentar, ya. Aku mau ambil peralatan dulu di mobil.Salma hanya mengangguk. Kepalanya tiba-tiba p
Suara Maya yang menggelegar mengundang atensi para pengunjung yang ada di dalam showroom tersebut. Haris kelabakan saat melihat kakaknya membuat keributan di tempatnya."Mbak Maya, jangan bikin ribut disini, Mbak!" tegur Haris yang merasa tak enak dengan para pengunjung.Maya menyentak tangan Haris yang berusaha menenangkannya. Ia menatap Haris dan Salma bergantian. Salma sendiri masih terdiam. Bingung harus menanggapi Maya seperti apa."Kamu mau bela dia, Ris? Kamu mau bela orang yang mau manfaatin mama?""Gak ada yang mau belas siapapun, Mbak. Aku cuma gak mau Mbak Maya dilihatin banyak orang kaya gini. Malu, mbak!"Maya baru sadar dengan apa yang ia lakukan. Setelahnya, ia menatap bengis ke arah Salma."Kamu, ayo ikut aku masuk ke ruangan Haris. Ada yang ingin aku bicarakan!" tukas Maya seraya meninggalkan Salma dan Haris yang masih mematung di tempat."Maya?" Maya menghentikan langkahnya saat Rega yang memang mengena
"Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mas. Ganti uang itu!" bentak Ayu pada Amar yang kini sudah kembali masuk ke dalam rumah."Berisik banget sih, Yu! Uang yang kita pinjam dari bos Danu juga dipake buat nebus kamu ke temen kamu terus sisanya buat kamu belanja-belanja. Ya udah seharusnya kalau kamu punya uang kamu yang bayar utangnya."Ayu masih tetap tidak terima. Padahal, rencananya uang itu akan ia gunakan untuk membeli barang-barang pribadi miliknya."Dasar suami kere, gak guna! Nyesel aku mau jadi selingkuhanmu!" bentak Ayu tepat di depan wajah Amar.Ayu terkejut saat Amar melempar tatapam tajam ke arahnya. Kilat marah terlihat jelas di kedua bola mata sekelam malam tersebut. Amar mengayunkan langkah perlahan menuju ke arah Ayu.Tiba-tiba saja Ayu merinding. Belum pernah ia mendapati Amat menatapnya sedemikian tajam. Suara gemeretak dari tulang jemari Amar ketika ia mengepalkan tangan membuat Ayu bergerak mundur karena merasa terancam.
Maya tertawa hingga mengundang raut wajah kebingungan dari bu Anis."Mama ini lagi becanda, ya? Gak lucu tahu, Ma. Adik Maya, kan, cuma Haris," ucap Maya masih dengan tawa yang menguar dari bibirnya."Mungkin kamu tidak ingat, May. Karena memang sedari Mama melahirkan dia, dia sama sekali tak pernah bertemu denganmu. Kamu masih berumur tiga tahun, jelas saja jika kamu tidak ingat bahwa pernah menantikan kehadirannya."Bu Anis berucap dengan raut wajah serius. Maya menatap lekat manik sang mama. Jelas tidak ada kebohongan disana. Hal itu pun membuat Maya seketika terdiam. Entah kenapa, ia tak bisa menerima hal itu jika memang yang dikatakan oleh mamanya adalah sebuah kebenaran."Enggak! Mama pasti bohong. Adik aku cuma Haris, Ma! Cuma Haris!"Maya bangkit dari duduknya lalu beranjak menuju kamarnya. Pintunya sedikit dibanting saat ia menutupnya. Bu Anis maklum dengan sikap yang ditunjukkan oleh Maya.Sama halnya dengan Salma, Maya
Bu Asih berdiri, menatap kesal ke arah Salma yang menurutnya sangat tidak sopan. Sesekali melirik amplop cokelat yang terlihat tebal itu. Tentu ia tertarik, tapi melihat cara Salma, ia menjadi sebal."Kamu punya sopan santun gak sih, Sal? Udah dididik malah kurang ajar!""Maaf, Bu. Aku juga gak akan gini kalau Ibu gak memulainya. Aku sudah tahu semuanya, tentang siapa ibu kandungku. Meski saat ini aku belum bisa menerima sepenuhnya kenyataan yang ada, tapi aku tidak akan membiarkan jika Ibu atau Ayu ingin menghasutku, mengatakan hal yang tidak-tidak tentang bu Anis apalagi sampai Ibumemerasnya."Mata bu Asih membola, bagaimana bisa Salma mengetahui rencananya itu. Ia tahu Salma telah berubah. Anak itu tidak akan main-main dengan ucapannya."Kamu ngomong apa sih, Sal? Jangan ngaco kamu! Aku tidak ingin menghasut siapa-siapa. Aku hanya ingin kamu tahu jika ibu kandungmu itu tak lebih baik dari aku. Dia yang sudah memberikanmu padaku. Dan j
"Pokoknya aku gak mau tahu. Kamu cepetan datengin tuh, mbak Salma dan minta hak kamu dari sebagian mobil itu.""Iya, Yu. Sabar kenapa, sih. Sah cerai juga baru satu jam yang lalu, kamu udah mencak-mencak aja," jawab Amar kesal karena sedari keluar dari gedung pengadilan tadi, Ayu tak henti-hentinya mengoceh."Gimana gak mencak-mencak, kamu udah bohongin aku. Katanya kamu bakal dapat separuh dari semua harta punya mbak Salma. Tahunya cuma mobil, itupun harus dibagi dua. Kamu juga bikin aku malu di depan orang-orang waktu mbak Salma bilang kalau harta kamu yang ada di rumah itu cuma satu rak sepatu plastik." Ayu melengos lagi, kesal jika mengingat kejadian beberapa saat lalu di dalam persidangan."Ya mau gimana lagi, memang cuma itu yang aku beli dari uangku. Kan, kamu yang lebih banyak merasakan uang gajiku, bahkan orang tua dan adikku saja kalah denganmu.""Itu memang sudah kewajiban kamu ya, Mas. Berani nikahin ya harus mau nafkahin," sahut Ayu t
Bu Asih terus saja menggerutu meskipun bu Anis sudah pergi dari hadapannya. Tadinya, ia berpikir jika ia akan mendapatkan uang ratusan juta dari bu Anis dan masih bisa untuk memintanya lagi kemudian hari. Namun, kenyataan pahit justru ia dapat.Jangankan untuk memerasnya terus menerus, saat ini saja ia hanya mendapatkan secuil dari yang pernah ia bayangkan sebelumnya.Karena kesal, bu Asih memilih untuk pergi ke rumah Amar setelah tahu kini Ayu tinggal disana."Yu... Ayu!" teriak bu Asih saat melihat pintu depan rumah Amar terbuka. Tak lama kemudian, Ayu keluar dari kamar dan menyambut sang ibu."Kenapa sih, Bu, kok teriak-teriak?""Ibu tuh lagi kesel tahu, gak?""Ya mana aku tahu.""Ibu kesel sama ibu kandungnya Salma." Ucapan bu Asih membuat Ayu menatap ibunya heran."Ibu kandungnya mbak Salma? Ibu udah ketemu sama dia?""Iya. Rupanya dia sekarang udah jadi orang kaya. Dulu aja buat bayar biaya lahira
"Uhuhu... benar, kan, dugaanku. Kalau bos muda ini pasti lagi kasmaran. Gak biasa-biasanya lihat mukanya ceria begitu. Dan apa aku tadi gak salah dengar? Anak SMA? Wow! Seleramu bagus juga, pilih yang seger-seger."Haris menepuk bibir teman sekaligus bawahannya itu hingga membuat pekikan kecil dari mulut lelaki di depannya."Hati-hati kalau ngomong. Eh, tapi bener juga, sih ." Tawa menguar dari mulut keduanya."Semoga sukses, Bos. Aku udah bosen lihat kamu terus-terusan sedih kalau lagi keinget dia."Tawa yang semula terdengar renyah itu kini berangsur menghilang. Rio yang melihat perubahan pada wajah Haris pun merasa tak enak."Ngopi aja, yuk. Kali ini, biar karwayan ini yang traktir. Bos cukup pesan dan menikmatinya.""Gas lah!"Nadya sampai di depan rumah milik ibunya. Ia berdecak kesal karena Amar tak menutup pintu rumah mereka padahal di dalam terlihat sangat sepi."Kebiasaan banget gak pernah nutup pintu,"