"Ngapain kalian di sini! Nguping?" Aku tersentak mendengar bentakan Ibu. Kelamaan bengong membuatku tak menyadari jika pintu sudah terbuka lebar.
"Ng–nggak kok, Bu. Mila sama Zulfa mau pamit ke toko," ucapku tergagap. Degup jantung belum juga reda akibat kaget karena bentakan Ibu."Ya sudah, sana pergi." Ibu mengibaskan tangannya. "Zulfa pergi dulu ya, Nek," pamit Zulfa mengulurkan tangannya. Namun Ibu hanya menatap tangan kecil putriku tanpa berniat menyambut. Kutelan cairan dalam mulut. Meski seringkali mendapat perlakuan seperti ini, tapi anakku tak pernah berhenti untuk mencoba. Berharap, suatu saat nanti, hati neneknya akan luluh."Hem." Ibu hanya berdeham, tanpa menatap putriku."Kasian kamu, Nak," batinku berteriak. Sakit! Perih! Ya Allah anakku.Kepalaku terangkat menatap Ibu dan juga Iren. Jika dilihat dari pakaian mereka yang sudah rapi, sepertinya kedua wanita beda usia itu mau keluar. Keduanya nampak serasi, seperti Ibu dan anak. Hatiku lagi-lagi berandai-andai. Seandainya dan seandainya. Tin! Tin! Tin!Suara nyaring klakson dari luar, menandakan ojek online pesanku sudah tiba. Ku ulurkan tangan pada Zulfa. Mengajaknya segera berangkat. "Sayang salim sama nenek dulu," ucap ku pada zulfa. Lagi putriku mengulurkan tangannya pada Ibu. Namun Ibu hanya menatap tangan anakku datar, tanpa reaksi apapun. Aku selalu mengajarkan putriku untuk berlaku sopan pada orang tua. Terlebih pada Ibu dan Mas Hasan, yang notabenenya adalah Ayah dan Neneknya sendiri. Meskipun selama ini, Ibu dan Mas Hasan memperlakukan zulfa seperti orang asing, tapi tanpa kenal lelah putriku tetap melakukannya. Aku yakin, suatu saat Ibu pasti akan luluh hatinya. Batu saja, jika terus menerus tersiram air pasti akan melunak, inikan pula hati manusia."Nek, Salim," ucap Zulfa, setelah tak mendapatkan reaksi dari Ibu. Dengan ogah-ogahan, Ibu mengulurkan tangannya pada Zulfa, lalu menariknya cepat. Belum sempurna Zulfa mencium tangannya. Aku hanya bisa mengurut dada melihat pemandangan itu. Sakit! Sangat sakit sekali melihat putriku di perlakukan seperti itu.Iren mengulurkan tangannya pada Zulfa. Wanita itu dengan pongahnya minta di salim putriku. Zulfa menatapku sejenak, setelah mendapatkan anggukan dariku, Zulfa meraih tangan yang di ulurkan Iren lalu menciumnya takzim."Aw ... sakit," ucap Iren mendorong tubuh Zulfa hingga putriku terjerembab ke lantai. Aku yang melihat putriku di dorong seperti itu, spontan mendorong Iren, hingga wanita itu berada di posisi yang sama dengan putriku. Duduk di lantai."Aduh sakit, Tante," ucap Iren mengadu pada Ibu. Ibu mendelik padaku. Wajahnya sangar seakan ingin menelanku hidup-hidup."Mila! Kamu kenapa mendorong Iren!" bentak Ibu. Aku menatap Iren yang masih duduk di lantai."Ibu nggak liat dia dorong Zulfa," balasku seraya melangkah menghampiri Zulfa. "Kamu nggak pa-pa, Sayang?" tanyaku pada putriku. Kuangkat tubuh kecil anakku berdiri. Gadis kecilku itu menangis! Entah kerana sakit atau apa, tapi melihat air matanya membuatku menatap Iren dengan tatapan nyalang."Dia menggigit tanganku, Tan," ucap Iren. Kupandangi Zulfa yang menundukkan wajahnya. Aku tau, pasti ada penyebabnya jika Zulfa melakukan ini. Dia bukan anak yang nakal. Zulfa tak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. "Ayo, Sayang." Aku menggandeng tangan Zulfa menuntunnya ke luar, tanpa menanggapi ucapan Iren. Ku genggam erat setiap jemari anakku. Mengatakan lewat genggaman, kusampaikan padanya, tidak apa-apa, aku percaya padanya"Dasar anak sama ibu sama saja. Barbar." Aku masih bisa mendengar cacian Ibu sebelum melewati pintu. Tak peduli apa yang ingin mereka lakukan, dan mau kemana. Kutapaki setiap lantai menuju pintu sampai ke pagar rumah, menaiki ojek yang siap membawaku ke toko. Toko yang membuat aku merasa menjadi diriku sendiri, bebas mengeluarkan keinginan.Sampai di toko, aku mengerjakan pekerjaan seperti biasa. Zulfa sudah naik ke lantai atas ruko diantar oleh Lita. Jika di rumah kami bukanlah siapa-siapa, tapi di sini di ruko dua lantai ini, aku dan anakku adalah seorang bos. Meskipun aku tak pernah berpikiran seperti itu. Aku menganggap semua karyawanku seperti saudara. Namun kenyataannya, aku adalah atasan mereka. Ruko berlantai dua ini adalah rumah kedua bagiku. Di lantai atas dilengkapi dengan fasilitas lengkap layaknya sebuah rumah, dan di sini juga aku menyembunyikan semua yang ku miliki dari Mas Hasan dan Ibu, suami dan mertuaku. Belum saatnya mereka tahu. Biarlah mereka berfikir, jika aku hanya menantu yang miskin. "Bunda ...." panggil Zulfa berlari menuruni anak tangga. "Jangan lari-lari, Sayang. Nanti jatuh," ucapku saat melihat Zulfa menuruni anak tangga dengan sedikit belari. "Bunda. Ayuk kita jalan-jalan. Ufa bosan, " rengek putriku manja sambil menarik-narik lenganku. Kulihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Hampir jam sebelas. "Hmm .. mau jalan kemana, Nak?" tanyaku seraya mencubit gemas pipi gembulnya. Melihatnya merengek seperti ini, sangat membuatku merasa senang. Soalnya Zulfa adalah anak yang pengertian. Jarang sekali dia merengek minta jalan seperti ini. "Ke mol aja. Ufa mau beli boneka besar, Bunda," ucapnya antusias seraya menaikkan kedua tangannya ke atas seakan menggambarkan besar bonekanya. "Ok, Sayang. Bentar Bunda siap-siap, Zulfa tunggu di sini dulu." Jari menunjuk kursi dan menyuruhnya duduk disitu sembari menungguku bersiap. Aku membuka laci mengambil kunci mobil, berniat memanasi mobil yang sudah lama terbungkus di samping ruko. Mobil yang jarang sekali kupakai. Bukannya tidak mau memakainya, sebagai transportasi bolak–balik rumah dan toko, tapi belum waktunya aku memperlihatkan siapa aku sebenarnya. Wanita miskin, yang di nikahi hanya sebagai penebus hutang.Setelah menghidupkan mesin mobil, aku masuk kembali ke dalam ruko. Mengambil tas, dan mengajak Zulfa yang sedang duduk sendiri."Yuk! Sayang. Kita jalan sekarang ya," ajakku padanya. Zulfa mengangguk cepat lalu mengangkat tubuhnya dari atas kursi. Kami jalan beriringan menuju pintu."Lit, saya tinggal dulu ya. Mau ngajak tuan putri jalan," pamitku pada Lita. Gadis berjilbab ungu itu mengangguk seraya menyatukan jari jempol dan jari telunjuk, menjadi lingkaran. Sampai di mall aku langsung memarkirkan mobilku di parkiran mall, lalu turun dan memutari mobil menuju pintu sebelah.Aku dan Zulfa memasuki mall dengan bergandengan tangan. Seiring langkah kaki, putri tersenyum riang. Sesekali dia bercerita jika ingin membeli boneka besar, untuk di jadikan teman baru. "Bunda itu 'kan Ayah," tunjuk Zulfa ke seberang toko dari tempat kami memilih boneka.Mataku liar mengikuti jari telunjuk Zulfa, dan benar saja di seberang sana, Mas Hasan sedang berdiri sendiri. Tak lama kemudian Ibu dan Iren keluar dari butik. Dua wanita beda generasi itu sepertinya baru saja selesai belanja. Terlihat dari banyaknya paper bag yang sedang bergantung di tangan keduanya.Tanpa canggung Iren menggandeng mesra tangan Mas Hasan. Sepertinya sudah biasa mereka melakukan itu, terlihat dari cara mereka melakukannya. "Kok, ada Nenek sama Tante Iren juga, Bun?" tanya Zulfa. Putriku itu menatap Ayahnya dari kejauhan dengan tatapan yang ... entahlah. Mungkin itu adalah tatapan iri, atau bahkan tatapan kecewa. Selama ini, gadis kecilku itu tak pernah mendapatkan haknya. Jalan bersama Ayahnya, seperti yang sedang ia saksikan di depan mata sekarang. Aku mengambil ponsel tanpa menjawab pertanyaan Zulfa. Tangan ini lincah memainkan benda persegi empat di tangan. Memotret, siapa tau bisa berguna suatu saat nanti. "Ayo bunda." Zulfa menarik tanganku, mendekat pada Mas Hasan. Tubuh serasa melayang mendapat perlakuan spontan dari anakku."Ayah," panggil Zulfa setelah berada tepat di belakang Ayahnya. Mas Hasan kaget setelah membalikkan badannya. Pria itu langsung melepas gandengan tangan Iren. Wajahnya menegang ketika mata kami saling bertemu. Kulihat Iren cembe
Hatiku hancur mendengar suara pria yang bersama Iren di dalam sana. Sungguh tidak menyangka, laki-laki yang mengucap janji di depan Allah dan Ayahku itu tidak punya harga diri sama sekali. Pria beristri masuk ke kamar tamu ibunya, apakah masih punya harga diri?Aku tidak menyangka Mas Hasan berani berbuat seperti ini. Berduan dengan wanita yang tidak halal baginya. Pria dna wanita dewasa berduan di dalam ruang tertutup, banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Astagfirullah! Aku mengusap dadaku yang terasa sesek. Apa yang Mas Hasan lakukan di kamar Iren? Apa tadi, dia panggil Iren? Sayang? Siapa sebenarnya Iren ini? Bermacam pertanyaan menyinggahi pikiranku. Terbesit pikiran kotor, jangan-jangan di dalam sana mereka melakukan? Astagfirullah, aku beristigfar berulangkali untuk menenangkan hati."Hehehe ... Mas geli. Kamu ini, aku mau terkencing. Lepas!" Kutarik nafas panjang lalu menghembusnya perlahan. Mengaturnya emosi agar akal tetap waras. Mengumpulkan kesadaran agar tidak bertidak
Tak terasa air mata jatuh tanpa bisa di ku cegah lagi. Aku bisa terlihat kuat dan bersikap biasa saja di hadapan Ibu dan Mas Hasan, tapi sebenarnya aku sangat rapuh dan terpuruk. Hampir enam tahun menikah, walaupun pernikahan tanpa di dasari cinta, tapi bohong jika aku bilang tidak mencintai suamiku. Tanpa bisa di cegah, cinta itu tumbuh dan semakin mekar menguasai hati semenjak kehadiran Zulfa. Namun tidak dengan Mas Hasan. Kehadiran putriku pun tidak dapat mencairkan bongkahan es yang membekukan hati pria yang menghalalkanku di depan Ayah dan juga Tuhan itu. Dan sekarang, dia menambah daftar perbuatannya yang membuatku sakit dengan menghadirkan Iren di antara kami. Meskipun aku tidak tahu siapa Iren, dan apa hubungan mereka, tapi panggilan Sayangnya tadi, bisa kupastikan ada hubungan manis antara meraka berdua. "Aku bisa terima dengan semua perlakuanmu selama ini, Mas. Aku mohon jangan berkhianat. Karena, aku tidak bisa menerimanya. Aku bisa memaafkan apapun kecuali pengkhiana
Pikiran berkelana pada kejadian tadi siang di mall, dan percakapan antara Iren dan Mas Hasan. Apa maksud Iren berterus terang padaku. Apa sebenarnya yang terjadi pada mereka berdua. Sejak kapan mereka saling mengenal, kenapa terlihat begitu akrab sekali."Nanti dulu, apa seharian ini Mas Hasan tidak ke kantor." Aku mengingat sesuatu. Tidak biasanya pria pulang awal sebelum jam kerja berakhir. "Apa seharian ini Mas Hasan di rumah," batinku. Kugelengkan kepala mengusir rasa curiga, tapi rasa itu tetap memaksa masuk.Kejadian sewaktu aku melihat Mas Hasan keluar dari kamar Iren, dan kejadian di mall tadi, mengganggu pikiran. Seperti film berputar silih berganti di kelopak mata. Aku butuh penjelasan, ingin bertanya tapi takut malah akan memicu pertengkaran. Selain hanya curiga, aku juga belum punya bukti yang kuat tentang apa hubungan mereka. Bisa-bisa nanti malah kesalahan berbalik menyerangku. Mas Hasan bisa saja berkelit, dengan alasan di suruh Ibu. Apalagi sikap Ibu yang terlalu
Mecoba TegarAir mata tak lagi bisa kutahan. Rasa sakit yang Mas Hasan tancapkan di hati ini, menjalar ke seluruh anggota tubuh, hingga air mata terjun bebas berlomba keluar dari tempurungnya. Suami yang selama ini kucintai dan ku pertahankan dengan segenap jiwa, meskipun dia selalu dingin dan tak menganggapku ada. Kini laki-laki itu telah mematahkan hatiku menjadi dua. Menyakitiku tanpa ampun luar dan dalam. Walaupun tak berdarah tapi sakitnya luar biasa."Lantas ... kenapa kau tidak menceraikanku, Mas? Kenapa tidak melepaskanku jika memang aku bukanlah pemilik hatimu." Ku hapus kasar air mata. Meski hatiku hancur, tapi aku harus kuat. Aku hanya sendiri di dunia ini, jika aku tidak kuat, maka mereka akan semena-mena.Mas Hasan menatapku penuh amarah. Ke balas tatapannya dengan raut menantang. "Ceraikan! Ceraikan aku ... maka aku tidak akan butuh penjelasan darimu, dan aku tidak akan mencampuri urusanmu." Dia menyentak nafasnya kasar. "Belum saat," ucapnya datar, lalu membalikkan bad
Gagas kudorong daun pintu setelah memutar gagang. Setelah pintu kamar terbuka, kulihat Zulfa sedang duduk lesehan beralaskan karpet bulu memeluk boneka hello kittynya. Katanya itu boneka kesayangan. Ku kunci pintu untuk berjaga-jaga, jika nanti ada yang masuk. Meskipun aku tidak yakin ada yang ingin masuk ke sini. "Sayang, lagi apa?" tanyaku mendekat. "Lagi main sama Ketty, Bunda." Zulfa mengangkat kepalanya. Putriku itu mengelus kepala bonekanya. "Andai Ufa jadi Ketty, pasti enak. Pasti banyak yang sayang." Hatiku terenyuh mendengar kalimat terakhirnya. "Makan dulu, Nak. Ufa 'kan belum makan malam." Aku berjongkok, lalu melabuhkan tubuh di atas karpet, mengalihkan pikirannya, ikut duduk di sebelah anakku. Ia menganggukkan kepalanya pelan."Bunda sayang kok sama Zulfa. Bunda akan menutup semua ruang kosong di hati Zulfa dengan cinta dan kasih Bunda. Jadi, Zulfa nggak usah takut." Ku suap makanan, ke mulut anakku dengan perasaan hancur. Ibu mana yang tidak hancur melihat put
Setelah Zulfa tenang, kubawa dia ke kamar mandi, dan mengarahkannya untuk menggosok gigi. Anak seusia Zulfa, biasanya giginya akan cepat rusak. Karena, anak seusianya lagi senang-senangnya makan makanan yang manis seperti permen dan coklat. Namun tidak dengan Zulfa. Putriku sama sekali tidak suka dengan makanan yang manis-manis, katanya eneg dan bikin sakit tenggorokan. Sedari usia tiga tahun, dia juga sudah ku terapkan menggosok gigi sebelum tidur, agar giginya tidak menjadi sarang bakteri.Aku dan Zulfa sholat isya' berjamaah. Harusnya ada Mas Hasan di sini mengimami sholat kami, tapi itu hanya angan-angan. Air mataku tumpah, saat kudengar doa yang Zulfa langitkan setelah sholatnya. Meskipun diam dan tidak pernah mengeluh, ternyata kerinduannya terhadap sosok Mas Hasan terlalu besar.Hanya saat masih bayi saja ia merasakan gendongan Ayahnya. Itu pun sangat jarang sekali. Saat usia Zulfa menginjak dua tahun, Mas Hasan mulai cuek dan abai, seakan menjauhinya. Apalagi sikap Ibu yan
Aku masuk ke kamar mandi setelah masuk kamar Zulfa. Mencuci muka, menghilangkan sisa amarah yang di tinggalkan Iren di wajahku.Aku tidak mau, jangan sampai wanita itu ikut masuk ke alam mimpi jika tidak menghapus jejaknya. Setelah selesai, aku melangkah mendekati tempat tidur. Di atas kasur, Zulfa sudah tertidur nyenyak. Kupandangi wajah putri yang masih polos. Kasian anakku, harus ikut menanggung kepedihan yang ibunya rasakan.Air mata menetes membasahi pipi. Bukan aku tidak mau berjuang lagi, tapi sejauh manapun aku mencoba pasti akan sia-sia juga. Aku duduk di bibir ranjang. Kutatap lekat wajah anakku. Terbayang dulu ketika aku pernah mencoba untuk meluluhkan hati Mas Hasan."Mas ... aku kangen," ucapku melingkarkan kedua tangan di pinggang Mas Hasan. Menurunkan harga diriku, untuk mengemis kasihnya. Meski seringkali ditolak, tapi seringkali juga aku mencoba. Sesaat badan Mas Hasan menegang, tapi itu hanya sebentar saja."Apaan sih, kamu!" Mas Hasan melepas paksa tanganku yan
Aku duduk sendiri di balkon yang ada di lantai atas sembari menikmati bintang yang berkedip di tengah pekatnya malam. Masih dengan memakai mukenah, kunikmati saat terakhirku tinggal di toko ini. Rencananya, besok aku akan pindah kembali ke rumah orang tuaku.Ketegangan yang terjadi akhir-akhir ini terobati dengan melihat cahaya bintang yang berkedip. Dari dulu, aku suka sekali menengadah ke langit melihat benda yang terlihat kecil berkelap–kelip itu. Dengan melihat bintang, aku bisa mengalihkan rasa sakit untuk sementara.Aku meminta Lita ikut tinggal menemaniku di rumah itu nanti. Dalam keadaanku yang sudah hamil besar seperti ini, memang harus ada yang menemaniku di rumah. Takut nanti ada apa-apa di malam hari, jika aku hanya tinggal berdua dengan Zulfa."Iya, Bu, aku mau. Aku nggak mau, nanti nenek lampir itu ke sini trus ngapa-ngapain Ibu," ucapnya tadi siang saat ku ajak tinggal bersamaku. Hatiku geli mengingat Lita memberi gelar Mak Lampir pada Iren. Katanya nama itu cocok s
Maya! Saat teringat nama Maya, cepat kurogoh tas mencari ponselku. Sembari menunggu Mas Hasan, aku akan menghubungi Maya. Kemarin di toilet hotel, aku sempat menyimpan nomernya.Kutekan nomer Maya lalu menempelkan benda pipihku ke telinga. Tut! Tut! Tut! Nada dering terdengar menyapa indera pendengaranku."Halo," sapa suara di ujung sana. Suaranya terdengar malas-malasan."Halo ... ini aku, Iren," balasku tanpa basa–basi."Iya, aku tau. Ada apa? Kamu sudah berhasil menyingkirkan Mila?" tanyanya to the point. Aku mencabik bibir. Dasar ... pantas saja tidak dilirik Revan, sinisnya minta ampun."Belum ... justru aku menghubungimu untuk membuat kerjasama.""Kerjasama?" tanyanya. Sejenak aku terdiam. Mataku menatap ke jalan raya. Dari jauh, kulihat Mas Hasan muncul dengan memapah Ibu, tapi tunggu! Kenapa dia sama Aina.Hem!"Aku tidak bisa memberitahu sekarang. Rencana ini tidak bisa dibicarakan di telpon harus bertemu.""Oke ... ketemu di mana?" tanya Maya."Terserah kamu," balasku cep
"Tidak, Mas! Aku nggak mau turun, aku nggak mau tinggal di sini! Di sini itu sempit, Mas!" Suaraku mulai meninggi. Mana mungkin aku mau tinggal di tempat sempit seperti ini. Dapur di rumah yang dulu saja masih luas dari rumah ini."Ya sudah ... kalau kamu nggak mau sana jadi gembel, tinggal di jalan." Ibu berucap dengan nada sinis. Aku meneguk ludahku. Gembel ... tidak! Aku tidak mau jadi gembel."Ini semua gara-gara Mbak Mila! Dia sudah janji tidak akan mengambil apa-apa, tapi dia bohong. Lihat saja aku akan buat perhitungan dengannya!""Sudahlah, Ren. Kamu jangan menyalakan Mila ... itu harta orang tuanya wajar dia ambil. Jangan coba-coba kamu ngelakuin hal bodoh, Ren. Mila sedang hamil anakku."Kupingku rasanya panas! Bisa-bisanya Mas Hasan masih memikirkan Mila, sedangkan nasib kami sudah seperti ini. "Tidak, Mas! Semua itu berkat kamu! Kamu yang buat perusahaan itu maju. Jadi sudah sepantasnya itu jadi milik kamu. Kamu jangan terlalu bodoh jadi orang. Jangan karena terlalu mem
Saat Kulihat Lita muncul dari balik gorden, cepat kuangkat badanku berdiri dan berjalan menuju pintu utama.Di sini aku berdiri saat pertama kali Iren datang, di sini jugalah aku berdiri untuk menyaksikannya pergi."Aku akan membalasmu wanita sialan!" ucap Iren saat melewatiku. Dia berbalik lalu mendorong hingga kepalaku terbentur daun pintu. Dengan cepat Lita menghampiri. " Ibu nggak apa-apa?" tanyanya. Kugelengkan kepala berbohong, padahal kepalaku terasa pusing akibat benturan. "Pergi sana." Lita mendorong bahu Iren hingga mantan maduku itu terhuyung ke belakang lalu dengan cepat menarik tanganku masuk lalu menutup pintu. Aku mengintip dari balik tirai. Di teras rumah Iren terus saja berteriak memaki, meskipun suaminya sudah memintanya untuk masuk ke dalam mobil, tapi wanita itu tetap berteriak histeris memakiku.Astaghfirullah ... aku mengucap istighfar sembari mengurut dada."Begitulah, Bu ... kalau berteman dengan setan ... ya akhirnya jadi hantu 'kan!"Miris sekali! Begitulah
"Sejak kapan kamu menjadi pemilik rumah ini? Kamu lupa, kamu datang ke sini sebagai tamu dan akan keluar dari rumah ini juga sebagai tamu," ucapku santai sembari melipat kedua tangan di dada. Menghadapi orang seperti Iren tidak harus dengan cara bar-bar. Lagipula, aku bukan dia yang dikit- dikit emosi."Aku sekarang istri sah Mas Hasan. Jadi jelas aku nyonya di sini. Nggak usah banyak cing–cong cepat kalian pergi dari sini" ucapnya mengusirku lagi dan Lita. Kasian sekali, sebegitu pinginnya di akui Nyonya.Dari arah dalam muncul sosok mantan mertua. Mungkin mendengar teriakan Iren yang seperti suara Nenek Lampir itu."Mi–Mila ...." Ucapannya tergantung. Mungkin saking kagetnya melihatku hingga wanita paruh baya itu kehabisan kata-kata."Iya, Bu. Ini Mila. Ibu apa kabar?" tanyaku seraya menyungging senyum manis untuknya."Ma–mau ngapain kamu ke sini?" ucapnya tergagap, suaranya bergetar. Meskipun berusaha terlihat baik, tapi aku atau dalam hatinya sangat resah sekali."Mila datang in
"Kamu ...."Ucapan pak Ilham terputus. Baru saja pria paruh baya itu mau menjelaskan, Lita datang dengan nampan di tangannya. Laki-laki paruh baya yang baru kutau adalah teman Ayahku itu, terpaksa menutup kembali mulut menghentikan ucapan."Silahkan diminum, Pak,' ucap Lita sopan. Aku tersenyum melirik Lita. Gadis itu sedikit menunduk dan berlalu meninggalkan aku dan Pak Ilham.Pak Ilham membetulkan posisi duduknya, lalu berdeham sebelum melanjutkan bicara. "Semua aset yang ada itu milik Pak Gunawan, Ayah Kamu. Apa Pak Hasan tidak memberitahumu?" Aku menggeleng pelan. Dalam hati rasanya ingin memaki. Teganya mereka!"Aku tidak tau, Om. Kata mereka Ayah tidak mampu membayar hutang-hutangnya, maka semua harta jatuh ke tangan Mas Hasan.""Astagfirullah," ucap Pak Ilham sembari memegang dadanya. Mungkin dia kaget, sama sepertiku."Semua itu milik Ayahmu, termasuk rumah yang sekarang masih mereka tempati. Pak Hasan hanya diberi kuasa mengelolanya saja, tapi tetap milik kamu sebagai ahli w
Senyum sinis terukir di bibirnya yang merah menyala itu. Beraninya dia mengancam! "Terserah kamu, Ren. Aku tetap akan rujuk sama Mila. Jika kamu tidak setuju, kita bercerai saja."Mendengar kata cerai dari mulut Hasan spontan aku menoleh pada anak laki-lakiku itu."Kamu serius?" tanyaku menatap lekat matanya. Aku ingin mencari kebenaran di dalam sana. Dulu dia sangat mencintai Iren. Iren adalah cinta pertamanya, tapi kenapa sekarang dengan mudah ingin melepaskan wanita itu.Kutarik nafas panjang saat mendapati sesuatu di mata anakku. Memang tak ada lagi cinta untuk Iren di sana. Sebenarnya, aku sudah lama curiga, tepatnya saat Mila pergi dari rumah ini. Saat itu aku tau Hasan sudah mulai mencintai anak dari temanku itu."Tidak, Mas! Kamu tidak bisa memperlakukanku seperti ini. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!"Iren mengamuk membanting semua barang yang ada di dekatnya. Sesekali dia menjambak rambut pirangnya, hingga rambut sebahu itu menjadi acak-acakan. Aku sampai ngeri melihatnya seper
"Bentar, Bu Mila." Suara berat Pak Ilham spontan menghentikan langkahku. Aku membalikkan badan, lalu menatap pada lelaki yang baru kutahu adalah teman Ayahku. Kubalas tatapan teduhnya dengan seulas senyum tipis."Iya, Om.""Hati-hati ya, Nak. Jaga kandungan kamu."Senyumku melebar mendengar kata perhatiannya. "Iya, Om, terimakasih," balasku.Kupandangi semua yang ada di depan mata satu per satu. Mulai dari Ibu yang wajahnya terlihat tegang. Entah kenapa wajahnya seperti itu, padahal dulu wajah tua itu selalu saja angkuh. Mas Hasan yang menatapku dengan tatapan lembut, entahlah ... mungkin itu perasaanku saja, lagipula, aku sudah tidak berharap lagi. Iren ... apalagi wanita itu, dia menatapku dengan senyum penuh kemenangan. Seperti baru saja mendapat piala Oscar.Setelah puasa menatap, aku membalikkan badan sebelymnya mengucap salam. Kulangkahkan kaki seraya menggandeng tangan Zulfa keluar melewati pintu."Pak bisa pulang. Terimakasih sudah menunggu saya," ucapku pada Pak Asep yang se
"Mila sehat aja, Pak. Dia dan Hasan lagi menunggu bayi mereka yang sebentar lagi lahir." Bukan aku yang menjawab tapi Ibu. Wanita bertubuh sedikit berisi itu tersenyum sumringah pada Pak Ilham. Seolah bahagia menunggu kehadiran cucu. Kubuang pandangan pada Mas Hasan, pria itu hanya menunduk."Saya hanya ingin memastikan saja. Apakah Bu Mila bahagia.""Jelaslah bahagia, Pak. Orang sudah hamil besar begitu, kenapa pula tidak bahagia." Lagi-lagi Ibu yang menjawab.Aku menatap Pak Ilham. Dia sudah tau, jika aku dan Mas Hasan sudah bercerai, tapi kenapa masih berpura-pura."Baguslah, Bu, jika Bu Mila bahagia. Sesuai dengan keinginan Pak Gunawan."Kulihat Ibu tersenyum tipis. Senyuman tidak ikhlas. "Maaf, Om. Sebenarnya apa maksud saya dipanggil ke sini?" Kulirik dari ekor mata Ibu menatapku tajam, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu, apa maksud mereka menyuruhku datang dan berpura-pura seolah masih suami istri dengan Mas Hasan."Loh ... bukankah ini rumah Bu Mila? Apa maksudnya