Setelah kejadian malam itu, sikap Iren semakin menjadi-jadi. Kerana mendapat pembelaan dari Ibu, wanita itu merasa seperti di atas angin. Bersikap seenaknya saja, tak seperti tamu, tapi pemilik rumah. Sebenarnya, aku sudah muak dengan semua tingkahnya, tapi masih kutahan. Wanita itu pasti dibela Ibu, jika kami berselisih. Jadi menghindar adalah opsi terbaik saat ini. Bak kata pepatah, mengalah untuk menang.
Jam empat subuh aku terbangun dari tidur. Melirik ke samping, hatiku pilu mendapati hanya tidur sendiri di sini. Namun itu sudah biasa bagiku. Bukan sekali ini saja Mas Hasan tidak tidur di sini. Laki-laki itu bahkan memiliki kamar pribadinya sendiri. Hanya sesekali saja, jika dia mau berhubungan barulah akan tidur di kamar ini bersamaku. Sesuka hati, jika ingin maka pria itu akan datang, jika tidak, ya ... beginilah. Baju dan barang pribadinya juga hanya sedikit yang di simpan di kamar ini.
Namun sejak kedatangan Iren, Mas Hasan tidak lagi pernah masuk ke kamar ini. Dia bahkan tidak pernah melirik seakan enggan.
Turun dari tempat tidur, aku menapaki satu per satu lantai berkeramik putih menuju kamar mandi, untuk membersihkan diri. Aku sudah terbiasa membaca Al Qur'an sambil menunggu subuh. kebiasaan selama menjadi santri di pondok dulu.
Setelah sholat subuh, kulangkahkan kaki keluar kamar. Seperti biasa melakukan tugas negara, menyiapkan sarapan seluruh penghuni rumah. Belum sempurna tubuhku keluar dari kamar, aku melihat Mas Hasan keluar dari kamar Iren.
"Apa yang dilakukan Mas Hasan dikamar Iren? Apakah semalam Mas Hasan tidur di sana?" Bermacam pertanyaan memenuhi isi kepalaku.
Kupercepat langkah kaki mengejar Mas Hasan. Laki-laki itu menyeret langkah lebar menuju ke kamarnya.
"Apa yang kamu lakukan di kamar Iren, Mas?" tanyaku setelah berhasil mencekal tangannya. Laki-laki beralis tebal itu kaget, namun secepatnya berusaha menguasai diri.
"Apaan sih," ucapnya seraya menyentak tanganku. "Mana ada aku dari kamar Iren. Orang aku dari dapur," ucapnya menyangkal. Raut wajahnya sangar, seperti aku sedang menuduhnya. Padahal, jelas aku melihat, dia keluar dari kamar tamu.
"Aku lihat ya, Mas! Kamu bisa berbuat sesukamu padaku selama ini. Aku diam, tapi jika aku melihat kemungkaran di depan mata, maka aku tidak akan tinggal diam. Apalagi sampai kamu berzina." Pria yang masih memakai setelan baju tidur itu, mengeraskan rahangnya. Terpancar kilat amarah dari sorot mata.
"Gila kamu ya," ucapnya seraya berlalu dari hadapanku.
"Awas aja, Mas. Kalau memang kamu dan Iren bermain dibelakangku. Kau boleh tak menganggapku selama ini. Bahkan putriku yang anak kandungmu sendiri, kau perlakukan layaknya orang lain. Namun aku tidak akan tinggal diam jika kau mencurangiku," ucapku bicara sendiri.
Ku teruskan langkah kaki menuju dapur, untuk menyiapkan sarapan seisi rumah. Sedang asyik berkutat dengan berbagai peralatan dapur, Iren muncul dengan gaya centilnya, yang sangat memuakkan. mencemari pandangan mataku di pagi hari
"Hai, Mbak," sapanya dengan suara yang dibuat-buat, sambil mengibaskan rambutnya. Rambutnya yang basah menandakan jika tamu agung itu baru saja keramas.
Aku hanya melirik sebentar, tanpa berniat membalas sapaannya. Orang seperti Iren tidak bisa di ladeni, selalu menguras emosi. Begitulah ciri-ciri perebut.
Merasa diabaikan wanita itu menghampiri meja makan, menarik kursi lalu duduk sambil menopang dagunya dengan kedua tangan. Kuabaikan saja dia, anggap saja hantu yang tidak terlihat wujudnya.
"Mbak, susu buatku mana?" tanyanya tanpa rasa malu. Sudah seperti majikan kepada pembantunya.
Tanpa menjawab kusiapkan susu buatnya. Susu terlezat di pagi hari, yang di bikin dengan penuh rasa.
"Ini, Ren," ucapku diiringi senyum. Wanita berambut pirang itu, mengambil gelas yang kuletakkan di depannya, lalu meneguk isi dalam gelas itu.
"Wuek." Iren menyemburkan susu di dalam mulutnya. "Minuman apa ini, Mila," ucapnya melotot. Bahkan dia melupakan kata 'Mbak' yang selalu di sematkannya didepan namaku. Keluar 'kan sifat aslinya!
"Ya susu lah, Ren. Masak kopi, orang warnanya aja putih," jawabku santai.
"Iya ... anak kecil juga tau ini susu bukan kopi. Maksud aku, kenapa rasanya asin." Aku terkekeh melihat wajahnya yang memerah.
"Up! Maaf, Ren. Aku salah masukin garam. Tadinya mau kumasukin ke sup, eh malah masuk ke susumu." Dalam hati aku bersorak riang. Siapa suruh asal perintah, orang lagi masak juga.
"Awas kamu, aku aduin Tante." Aku hanya mengangkat bahu cuek. Terserah mau ngadu ke presiden juga tidak masalah.
Tak berapa lama Ibu dan Mas Hasan tiba di meja makan. Keduanya langsung menghempaskan badannya ke atas kursi. Sekilas aku melirik Iren yang melipat mukanya. Sudah seperti telor dadar gosong.
"Kamu kenapa, Ren. Kok pagi-pagi mukanya di tekuk gitu," tanya Ibu. Iren melirikku sekilas. Dalam hati aku menghitung mundur, sebentar lagi drama akan di mulai.
"Tadi, Iren minta tolong Mbak Mila bikinin susu, Tante. Mbak Mila malah bikin susunya asin. Ini Tan, coba rasa," jawabnya dengan suara sedih. Dasar munafik!
Ibu menatapku tajam, dari sorot matanya, dapat kulihat jika wanita itu tidak suka menerima laporan tamunya. Begitupun Mas Hasan, pria itu melirikku dengan lirikan tajam, setajam silet, namun Ayah dari putriku itu tetap mengunci mulutnya.
"Kenapa sih, Mila," tanya Ibu sinis. "Bisa kah bersikap sedikit baik pada tamu Ibu. Jangan cari gara-gara terus! Ibu itu malu liat kelakuan kamu!" ujarnya lagi, masih dengan nada sinis.
Aku menghela nafas berat. Bagaimanapun aku membela diri, tetap aku juga yang salah pada akhirnya.
"Maaf, Bu. Tadi Mila lagi masak, waktu Iren minta di bikinin susu. Nggak sengaja garam yang harusnya masuk ke dalam sup, malah masuk ke gelas Iren. Maaf ya, Ren," ucapku penuh penyesalan, tapi penyesalan palsu. Jika dia pintar berdrama, kenapa aku tidak? Kamu memang pemainnya, tapi aku yang akan menjadi sutradara, Ren!
"Ya udah, sana bikinin lagi yang baru." Ibu menyuruh sambil mengibaskan tangannya.
Kuanggukkan kepala pelan. "Iya, Bu," ucapku lalu segera menyeret langkah ke dapur. Iren tersenyum senang mendapat pembelaan dari Ibu. Biarlah, yang penting aku bisa membalas perbuatannya, meskipun secara tidak langsung.
Biarlah sekarang dia merasa menang, akan kubalas tamu songong itu dengan cara yang lembut, diam tapi menghanyutkan.
Aku membuatkan Iren segelas susu baru. Setelah itu kembali ke meja makan. Di depan sana aku malihat, Iren ngobrol dengan Ibu, sesekali melirik pada Mas Hasan yang sedang menatapnya lekat. Sesekali kedua manusia itu saling melempar senyum malu-malu. Seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran. Hatiku sakit menyaksikan, suamiku tersenyum pada wanita lain. Senyum itu seharusnya milikku, tapi aku tak pernah menikmatinya. Mas Hasan selalu bersikap dingin dan menutup diri.
"Ini susunya," ucapku meletakkan gelas di depan Iren. Kulirik Mas Hasan yang sudah menundukkan pandangannya ke piring. Pria itu sama sekali tidak merasa bersalah. Dia mengunyah makanan di mulutnya tanpa beban.
"Makasih, Mbak." Suara manja yang dibuat-buat Iren, semakin membuat gejolak di dalam dada seakan ingin meledak ke luar.
"Sabar, Mila." Kubalikkan badan seraya memegang dada yang terasa sesak. Membujuk hati, agar tidak merasa sakit.
Entah sampai kapan bertahan seperti ini, jika setiap hari bertemu dan menyaksikan di depan mata, suami lirik-lirikan dengan wanita lain.
"Lihatlah, Mas. Jangan sampai kamu menyesal kelak, disaat sudah kehilangan. Jika terbukti, kamu selingkuh, maka aku takkan bertahan. semua kesalahanmu, bisa aku maafkan, termasuk sikapmu selama ini, tapi tidak dengan pengkhianatan."
"Mas ... kapan mau ngajakin aku ke kantormu. Aku sudah ngak sabar pingin kerja di sana bareng kamu." Telingaku masih bisa menangkap ucapan manja Iren. Entah apa lagi yang mereka bicara. Kupercepat langkahku menuju kamar Zulfa.
Melihat Zulfa, adalah tujuanku saat ini. Putriku adalah obat penawar bagi semua kegundahan hati.
"Sudah bangun, Nak. Ayo mandi, habis itu kita berangkat ke toko," ucap dan arahku pada Zulfa. Gadis dengan rambut lurus itu mengangguk, seraya mengangkat badannya dari tempat tidur. Perlahan dia menurunkan kakinya menapaki lantai. Ku ulurkan tangan padanya, lalu menuntun ke kamar mandi
"Kita nggak sarapan dulu, Bun," tanya putriku polos, saat kubawa dia menuju ruang tamu. Kugelengkan kepala sebagai jawaban. Gadis kecilku itu hanya membulatkan mulut. Lewat ekor mata, ku lihat di meja makan sudah tidak ada siapa-siapa, tapi piring bekas maka masih nongkrong di sana. Biarlah, seksli-sekali seperti itu. Biar mereka tau membersihkannya sendiri, terutama Iren, tamu yang berniat tinggal selamanya di sini.
"Nenek kemana Bunda." Mata Zulfa liar mengitari seisi ruang, mencari Neneknya, ingin pamit. Meskipun seringkali dicuekin, tapi tak membuat anakku lupa untuk meminta restu dari Ibu saat ingin ke luar rumah.
"Nenek mungkin di kamarnya. Yuk kita pamit sama Nenek," ajakku. Zulfa mengikuti langkahku ke kamar ibu.
Belum sempat aku mengetuk pintu, samar-samar kudengar suara dari kamar Ibu.
"Kamu cantik banget, Sayang. Makanya Hasan nggak bisa move on," ucap Ibu memuji Iren. Tanganku yang ingin mengetuk pintu mengambang di udara.
"Tante bisa aja. Makasih ya, Tan," balas Iren. kupandangi Zulfa yang juga mendengar pembicaraan Ibu dan Iren. Putriku itu hanya menatapku polos. Mungkin otak kecilnya belum bisa mencerna apa isi pembicaraan. Di dalam dada segumpal daging berdenyut nyeri. Siapa sebenarnya Iren ini. Kenapa Ibu bilang Mas Hasan sulit move on. Apakah Iren dan Mas Hasan sepasang kekasih di masa lalu.
"Ngapain kalian di sini! Nguping?" Aku tersentak mendengar bentakan Ibu. Kelamaan bengong membuatku tak menyadari jika pintu sudah terbuka lebar.
"Ngapain kalian di sini! Nguping?" Aku tersentak mendengar bentakan Ibu. Kelamaan bengong membuatku tak menyadari jika pintu sudah terbuka lebar."Ng–nggak kok, Bu. Mila sama Zulfa mau pamit ke toko," ucapku tergagap. Degup jantung belum juga reda akibat kaget karena bentakan Ibu."Ya sudah, sana pergi." Ibu mengibaskan tangannya. "Zulfa pergi dulu ya, Nek," pamit Zulfa mengulurkan tangannya. Namun Ibu hanya menatap tangan kecil putriku tanpa berniat menyambut. Kutelan cairan dalam mulut. Meski seringkali mendapat perlakuan seperti ini, tapi anakku tak pernah berhenti untuk mencoba. Berharap, suatu saat nanti, hati neneknya akan luluh."Hem." Ibu hanya berdeham, tanpa menatap putriku."Kasian kamu, Nak," batinku berteriak. Sakit! Perih! Ya Allah anakku.Kepalaku terangkat menatap Ibu dan juga Iren. Jika dilihat dari pakaian mereka yang sudah rapi, sepertinya kedua wanita beda usia itu mau keluar. Keduanya nampak serasi, seperti Ibu dan anak. Hatiku lagi-lagi berandai-andai. Seandain
Tanpa canggung Iren menggandeng mesra tangan Mas Hasan. Sepertinya sudah biasa mereka melakukan itu, terlihat dari cara mereka melakukannya. "Kok, ada Nenek sama Tante Iren juga, Bun?" tanya Zulfa. Putriku itu menatap Ayahnya dari kejauhan dengan tatapan yang ... entahlah. Mungkin itu adalah tatapan iri, atau bahkan tatapan kecewa. Selama ini, gadis kecilku itu tak pernah mendapatkan haknya. Jalan bersama Ayahnya, seperti yang sedang ia saksikan di depan mata sekarang. Aku mengambil ponsel tanpa menjawab pertanyaan Zulfa. Tangan ini lincah memainkan benda persegi empat di tangan. Memotret, siapa tau bisa berguna suatu saat nanti. "Ayo bunda." Zulfa menarik tanganku, mendekat pada Mas Hasan. Tubuh serasa melayang mendapat perlakuan spontan dari anakku."Ayah," panggil Zulfa setelah berada tepat di belakang Ayahnya. Mas Hasan kaget setelah membalikkan badannya. Pria itu langsung melepas gandengan tangan Iren. Wajahnya menegang ketika mata kami saling bertemu. Kulihat Iren cembe
Hatiku hancur mendengar suara pria yang bersama Iren di dalam sana. Sungguh tidak menyangka, laki-laki yang mengucap janji di depan Allah dan Ayahku itu tidak punya harga diri sama sekali. Pria beristri masuk ke kamar tamu ibunya, apakah masih punya harga diri?Aku tidak menyangka Mas Hasan berani berbuat seperti ini. Berduan dengan wanita yang tidak halal baginya. Pria dna wanita dewasa berduan di dalam ruang tertutup, banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Astagfirullah! Aku mengusap dadaku yang terasa sesek. Apa yang Mas Hasan lakukan di kamar Iren? Apa tadi, dia panggil Iren? Sayang? Siapa sebenarnya Iren ini? Bermacam pertanyaan menyinggahi pikiranku. Terbesit pikiran kotor, jangan-jangan di dalam sana mereka melakukan? Astagfirullah, aku beristigfar berulangkali untuk menenangkan hati."Hehehe ... Mas geli. Kamu ini, aku mau terkencing. Lepas!" Kutarik nafas panjang lalu menghembusnya perlahan. Mengaturnya emosi agar akal tetap waras. Mengumpulkan kesadaran agar tidak bertidak
Tak terasa air mata jatuh tanpa bisa di ku cegah lagi. Aku bisa terlihat kuat dan bersikap biasa saja di hadapan Ibu dan Mas Hasan, tapi sebenarnya aku sangat rapuh dan terpuruk. Hampir enam tahun menikah, walaupun pernikahan tanpa di dasari cinta, tapi bohong jika aku bilang tidak mencintai suamiku. Tanpa bisa di cegah, cinta itu tumbuh dan semakin mekar menguasai hati semenjak kehadiran Zulfa. Namun tidak dengan Mas Hasan. Kehadiran putriku pun tidak dapat mencairkan bongkahan es yang membekukan hati pria yang menghalalkanku di depan Ayah dan juga Tuhan itu. Dan sekarang, dia menambah daftar perbuatannya yang membuatku sakit dengan menghadirkan Iren di antara kami. Meskipun aku tidak tahu siapa Iren, dan apa hubungan mereka, tapi panggilan Sayangnya tadi, bisa kupastikan ada hubungan manis antara meraka berdua. "Aku bisa terima dengan semua perlakuanmu selama ini, Mas. Aku mohon jangan berkhianat. Karena, aku tidak bisa menerimanya. Aku bisa memaafkan apapun kecuali pengkhiana
Pikiran berkelana pada kejadian tadi siang di mall, dan percakapan antara Iren dan Mas Hasan. Apa maksud Iren berterus terang padaku. Apa sebenarnya yang terjadi pada mereka berdua. Sejak kapan mereka saling mengenal, kenapa terlihat begitu akrab sekali."Nanti dulu, apa seharian ini Mas Hasan tidak ke kantor." Aku mengingat sesuatu. Tidak biasanya pria pulang awal sebelum jam kerja berakhir. "Apa seharian ini Mas Hasan di rumah," batinku. Kugelengkan kepala mengusir rasa curiga, tapi rasa itu tetap memaksa masuk.Kejadian sewaktu aku melihat Mas Hasan keluar dari kamar Iren, dan kejadian di mall tadi, mengganggu pikiran. Seperti film berputar silih berganti di kelopak mata. Aku butuh penjelasan, ingin bertanya tapi takut malah akan memicu pertengkaran. Selain hanya curiga, aku juga belum punya bukti yang kuat tentang apa hubungan mereka. Bisa-bisa nanti malah kesalahan berbalik menyerangku. Mas Hasan bisa saja berkelit, dengan alasan di suruh Ibu. Apalagi sikap Ibu yang terlalu
Mecoba TegarAir mata tak lagi bisa kutahan. Rasa sakit yang Mas Hasan tancapkan di hati ini, menjalar ke seluruh anggota tubuh, hingga air mata terjun bebas berlomba keluar dari tempurungnya. Suami yang selama ini kucintai dan ku pertahankan dengan segenap jiwa, meskipun dia selalu dingin dan tak menganggapku ada. Kini laki-laki itu telah mematahkan hatiku menjadi dua. Menyakitiku tanpa ampun luar dan dalam. Walaupun tak berdarah tapi sakitnya luar biasa."Lantas ... kenapa kau tidak menceraikanku, Mas? Kenapa tidak melepaskanku jika memang aku bukanlah pemilik hatimu." Ku hapus kasar air mata. Meski hatiku hancur, tapi aku harus kuat. Aku hanya sendiri di dunia ini, jika aku tidak kuat, maka mereka akan semena-mena.Mas Hasan menatapku penuh amarah. Ke balas tatapannya dengan raut menantang. "Ceraikan! Ceraikan aku ... maka aku tidak akan butuh penjelasan darimu, dan aku tidak akan mencampuri urusanmu." Dia menyentak nafasnya kasar. "Belum saat," ucapnya datar, lalu membalikkan bad
Gagas kudorong daun pintu setelah memutar gagang. Setelah pintu kamar terbuka, kulihat Zulfa sedang duduk lesehan beralaskan karpet bulu memeluk boneka hello kittynya. Katanya itu boneka kesayangan. Ku kunci pintu untuk berjaga-jaga, jika nanti ada yang masuk. Meskipun aku tidak yakin ada yang ingin masuk ke sini. "Sayang, lagi apa?" tanyaku mendekat. "Lagi main sama Ketty, Bunda." Zulfa mengangkat kepalanya. Putriku itu mengelus kepala bonekanya. "Andai Ufa jadi Ketty, pasti enak. Pasti banyak yang sayang." Hatiku terenyuh mendengar kalimat terakhirnya. "Makan dulu, Nak. Ufa 'kan belum makan malam." Aku berjongkok, lalu melabuhkan tubuh di atas karpet, mengalihkan pikirannya, ikut duduk di sebelah anakku. Ia menganggukkan kepalanya pelan."Bunda sayang kok sama Zulfa. Bunda akan menutup semua ruang kosong di hati Zulfa dengan cinta dan kasih Bunda. Jadi, Zulfa nggak usah takut." Ku suap makanan, ke mulut anakku dengan perasaan hancur. Ibu mana yang tidak hancur melihat put
Setelah Zulfa tenang, kubawa dia ke kamar mandi, dan mengarahkannya untuk menggosok gigi. Anak seusia Zulfa, biasanya giginya akan cepat rusak. Karena, anak seusianya lagi senang-senangnya makan makanan yang manis seperti permen dan coklat. Namun tidak dengan Zulfa. Putriku sama sekali tidak suka dengan makanan yang manis-manis, katanya eneg dan bikin sakit tenggorokan. Sedari usia tiga tahun, dia juga sudah ku terapkan menggosok gigi sebelum tidur, agar giginya tidak menjadi sarang bakteri.Aku dan Zulfa sholat isya' berjamaah. Harusnya ada Mas Hasan di sini mengimami sholat kami, tapi itu hanya angan-angan. Air mataku tumpah, saat kudengar doa yang Zulfa langitkan setelah sholatnya. Meskipun diam dan tidak pernah mengeluh, ternyata kerinduannya terhadap sosok Mas Hasan terlalu besar.Hanya saat masih bayi saja ia merasakan gendongan Ayahnya. Itu pun sangat jarang sekali. Saat usia Zulfa menginjak dua tahun, Mas Hasan mulai cuek dan abai, seakan menjauhinya. Apalagi sikap Ibu yan
Aku duduk sendiri di balkon yang ada di lantai atas sembari menikmati bintang yang berkedip di tengah pekatnya malam. Masih dengan memakai mukenah, kunikmati saat terakhirku tinggal di toko ini. Rencananya, besok aku akan pindah kembali ke rumah orang tuaku.Ketegangan yang terjadi akhir-akhir ini terobati dengan melihat cahaya bintang yang berkedip. Dari dulu, aku suka sekali menengadah ke langit melihat benda yang terlihat kecil berkelap–kelip itu. Dengan melihat bintang, aku bisa mengalihkan rasa sakit untuk sementara.Aku meminta Lita ikut tinggal menemaniku di rumah itu nanti. Dalam keadaanku yang sudah hamil besar seperti ini, memang harus ada yang menemaniku di rumah. Takut nanti ada apa-apa di malam hari, jika aku hanya tinggal berdua dengan Zulfa."Iya, Bu, aku mau. Aku nggak mau, nanti nenek lampir itu ke sini trus ngapa-ngapain Ibu," ucapnya tadi siang saat ku ajak tinggal bersamaku. Hatiku geli mengingat Lita memberi gelar Mak Lampir pada Iren. Katanya nama itu cocok s
Maya! Saat teringat nama Maya, cepat kurogoh tas mencari ponselku. Sembari menunggu Mas Hasan, aku akan menghubungi Maya. Kemarin di toilet hotel, aku sempat menyimpan nomernya.Kutekan nomer Maya lalu menempelkan benda pipihku ke telinga. Tut! Tut! Tut! Nada dering terdengar menyapa indera pendengaranku."Halo," sapa suara di ujung sana. Suaranya terdengar malas-malasan."Halo ... ini aku, Iren," balasku tanpa basa–basi."Iya, aku tau. Ada apa? Kamu sudah berhasil menyingkirkan Mila?" tanyanya to the point. Aku mencabik bibir. Dasar ... pantas saja tidak dilirik Revan, sinisnya minta ampun."Belum ... justru aku menghubungimu untuk membuat kerjasama.""Kerjasama?" tanyanya. Sejenak aku terdiam. Mataku menatap ke jalan raya. Dari jauh, kulihat Mas Hasan muncul dengan memapah Ibu, tapi tunggu! Kenapa dia sama Aina.Hem!"Aku tidak bisa memberitahu sekarang. Rencana ini tidak bisa dibicarakan di telpon harus bertemu.""Oke ... ketemu di mana?" tanya Maya."Terserah kamu," balasku cep
"Tidak, Mas! Aku nggak mau turun, aku nggak mau tinggal di sini! Di sini itu sempit, Mas!" Suaraku mulai meninggi. Mana mungkin aku mau tinggal di tempat sempit seperti ini. Dapur di rumah yang dulu saja masih luas dari rumah ini."Ya sudah ... kalau kamu nggak mau sana jadi gembel, tinggal di jalan." Ibu berucap dengan nada sinis. Aku meneguk ludahku. Gembel ... tidak! Aku tidak mau jadi gembel."Ini semua gara-gara Mbak Mila! Dia sudah janji tidak akan mengambil apa-apa, tapi dia bohong. Lihat saja aku akan buat perhitungan dengannya!""Sudahlah, Ren. Kamu jangan menyalakan Mila ... itu harta orang tuanya wajar dia ambil. Jangan coba-coba kamu ngelakuin hal bodoh, Ren. Mila sedang hamil anakku."Kupingku rasanya panas! Bisa-bisanya Mas Hasan masih memikirkan Mila, sedangkan nasib kami sudah seperti ini. "Tidak, Mas! Semua itu berkat kamu! Kamu yang buat perusahaan itu maju. Jadi sudah sepantasnya itu jadi milik kamu. Kamu jangan terlalu bodoh jadi orang. Jangan karena terlalu mem
Saat Kulihat Lita muncul dari balik gorden, cepat kuangkat badanku berdiri dan berjalan menuju pintu utama.Di sini aku berdiri saat pertama kali Iren datang, di sini jugalah aku berdiri untuk menyaksikannya pergi."Aku akan membalasmu wanita sialan!" ucap Iren saat melewatiku. Dia berbalik lalu mendorong hingga kepalaku terbentur daun pintu. Dengan cepat Lita menghampiri. " Ibu nggak apa-apa?" tanyanya. Kugelengkan kepala berbohong, padahal kepalaku terasa pusing akibat benturan. "Pergi sana." Lita mendorong bahu Iren hingga mantan maduku itu terhuyung ke belakang lalu dengan cepat menarik tanganku masuk lalu menutup pintu. Aku mengintip dari balik tirai. Di teras rumah Iren terus saja berteriak memaki, meskipun suaminya sudah memintanya untuk masuk ke dalam mobil, tapi wanita itu tetap berteriak histeris memakiku.Astaghfirullah ... aku mengucap istighfar sembari mengurut dada."Begitulah, Bu ... kalau berteman dengan setan ... ya akhirnya jadi hantu 'kan!"Miris sekali! Begitulah
"Sejak kapan kamu menjadi pemilik rumah ini? Kamu lupa, kamu datang ke sini sebagai tamu dan akan keluar dari rumah ini juga sebagai tamu," ucapku santai sembari melipat kedua tangan di dada. Menghadapi orang seperti Iren tidak harus dengan cara bar-bar. Lagipula, aku bukan dia yang dikit- dikit emosi."Aku sekarang istri sah Mas Hasan. Jadi jelas aku nyonya di sini. Nggak usah banyak cing–cong cepat kalian pergi dari sini" ucapnya mengusirku lagi dan Lita. Kasian sekali, sebegitu pinginnya di akui Nyonya.Dari arah dalam muncul sosok mantan mertua. Mungkin mendengar teriakan Iren yang seperti suara Nenek Lampir itu."Mi–Mila ...." Ucapannya tergantung. Mungkin saking kagetnya melihatku hingga wanita paruh baya itu kehabisan kata-kata."Iya, Bu. Ini Mila. Ibu apa kabar?" tanyaku seraya menyungging senyum manis untuknya."Ma–mau ngapain kamu ke sini?" ucapnya tergagap, suaranya bergetar. Meskipun berusaha terlihat baik, tapi aku atau dalam hatinya sangat resah sekali."Mila datang in
"Kamu ...."Ucapan pak Ilham terputus. Baru saja pria paruh baya itu mau menjelaskan, Lita datang dengan nampan di tangannya. Laki-laki paruh baya yang baru kutau adalah teman Ayahku itu, terpaksa menutup kembali mulut menghentikan ucapan."Silahkan diminum, Pak,' ucap Lita sopan. Aku tersenyum melirik Lita. Gadis itu sedikit menunduk dan berlalu meninggalkan aku dan Pak Ilham.Pak Ilham membetulkan posisi duduknya, lalu berdeham sebelum melanjutkan bicara. "Semua aset yang ada itu milik Pak Gunawan, Ayah Kamu. Apa Pak Hasan tidak memberitahumu?" Aku menggeleng pelan. Dalam hati rasanya ingin memaki. Teganya mereka!"Aku tidak tau, Om. Kata mereka Ayah tidak mampu membayar hutang-hutangnya, maka semua harta jatuh ke tangan Mas Hasan.""Astagfirullah," ucap Pak Ilham sembari memegang dadanya. Mungkin dia kaget, sama sepertiku."Semua itu milik Ayahmu, termasuk rumah yang sekarang masih mereka tempati. Pak Hasan hanya diberi kuasa mengelolanya saja, tapi tetap milik kamu sebagai ahli w
Senyum sinis terukir di bibirnya yang merah menyala itu. Beraninya dia mengancam! "Terserah kamu, Ren. Aku tetap akan rujuk sama Mila. Jika kamu tidak setuju, kita bercerai saja."Mendengar kata cerai dari mulut Hasan spontan aku menoleh pada anak laki-lakiku itu."Kamu serius?" tanyaku menatap lekat matanya. Aku ingin mencari kebenaran di dalam sana. Dulu dia sangat mencintai Iren. Iren adalah cinta pertamanya, tapi kenapa sekarang dengan mudah ingin melepaskan wanita itu.Kutarik nafas panjang saat mendapati sesuatu di mata anakku. Memang tak ada lagi cinta untuk Iren di sana. Sebenarnya, aku sudah lama curiga, tepatnya saat Mila pergi dari rumah ini. Saat itu aku tau Hasan sudah mulai mencintai anak dari temanku itu."Tidak, Mas! Kamu tidak bisa memperlakukanku seperti ini. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!"Iren mengamuk membanting semua barang yang ada di dekatnya. Sesekali dia menjambak rambut pirangnya, hingga rambut sebahu itu menjadi acak-acakan. Aku sampai ngeri melihatnya seper
"Bentar, Bu Mila." Suara berat Pak Ilham spontan menghentikan langkahku. Aku membalikkan badan, lalu menatap pada lelaki yang baru kutahu adalah teman Ayahku. Kubalas tatapan teduhnya dengan seulas senyum tipis."Iya, Om.""Hati-hati ya, Nak. Jaga kandungan kamu."Senyumku melebar mendengar kata perhatiannya. "Iya, Om, terimakasih," balasku.Kupandangi semua yang ada di depan mata satu per satu. Mulai dari Ibu yang wajahnya terlihat tegang. Entah kenapa wajahnya seperti itu, padahal dulu wajah tua itu selalu saja angkuh. Mas Hasan yang menatapku dengan tatapan lembut, entahlah ... mungkin itu perasaanku saja, lagipula, aku sudah tidak berharap lagi. Iren ... apalagi wanita itu, dia menatapku dengan senyum penuh kemenangan. Seperti baru saja mendapat piala Oscar.Setelah puasa menatap, aku membalikkan badan sebelymnya mengucap salam. Kulangkahkan kaki seraya menggandeng tangan Zulfa keluar melewati pintu."Pak bisa pulang. Terimakasih sudah menunggu saya," ucapku pada Pak Asep yang se
"Mila sehat aja, Pak. Dia dan Hasan lagi menunggu bayi mereka yang sebentar lagi lahir." Bukan aku yang menjawab tapi Ibu. Wanita bertubuh sedikit berisi itu tersenyum sumringah pada Pak Ilham. Seolah bahagia menunggu kehadiran cucu. Kubuang pandangan pada Mas Hasan, pria itu hanya menunduk."Saya hanya ingin memastikan saja. Apakah Bu Mila bahagia.""Jelaslah bahagia, Pak. Orang sudah hamil besar begitu, kenapa pula tidak bahagia." Lagi-lagi Ibu yang menjawab.Aku menatap Pak Ilham. Dia sudah tau, jika aku dan Mas Hasan sudah bercerai, tapi kenapa masih berpura-pura."Baguslah, Bu, jika Bu Mila bahagia. Sesuai dengan keinginan Pak Gunawan."Kulihat Ibu tersenyum tipis. Senyuman tidak ikhlas. "Maaf, Om. Sebenarnya apa maksud saya dipanggil ke sini?" Kulirik dari ekor mata Ibu menatapku tajam, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu, apa maksud mereka menyuruhku datang dan berpura-pura seolah masih suami istri dengan Mas Hasan."Loh ... bukankah ini rumah Bu Mila? Apa maksudnya