Hatiku hancur mendengar suara pria yang bersama Iren di dalam sana. Sungguh tidak menyangka, laki-laki yang mengucap janji di depan Allah dan Ayahku itu tidak punya harga diri sama sekali. Pria beristri masuk ke kamar tamu ibunya, apakah masih punya harga diri?
Aku tidak menyangka Mas Hasan berani berbuat seperti ini. Berduan dengan wanita yang tidak halal baginya. Pria dna wanita dewasa berduan di dalam ruang tertutup, banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Astagfirullah! Aku mengusap dadaku yang terasa sesek. Apa yang Mas Hasan lakukan di kamar Iren? Apa tadi, dia panggil Iren? Sayang? Siapa sebenarnya Iren ini? Bermacam pertanyaan menyinggahi pikiranku. Terbesit pikiran kotor, jangan-jangan di dalam sana mereka melakukan? Astagfirullah, aku beristigfar berulangkali untuk menenangkan hati."Hehehe ... Mas geli. Kamu ini, aku mau terkencing. Lepas!"Kutarik nafas panjang lalu menghembusnya perlahan. Mengaturnya emosi agar akal tetap waras. Mengumpulkan kesadaran agar tidak bertidak bar-bar. "Ya Tuhan, kuatkan aku. Luaskan sabarku seluas samudra," ucap hati kecilku memanjatkan doa.Tok! Tok! Tok!Ku ketuk pintu kamar berulangkali, tapi tidak ada yang membukanya dari dalam. Namun aku tidak putus asa, ku ulangi lagi ketukan, tapi tetap nihil.Baru saja tangan ini ingin menggedor pintu. "Kamu apa-apaan, Mila!" Suara bentakan dari belakangku, membuat aku spontan menoleh. Di sana Ibu sudah berkacak pinggang memandangku nyalang."Kamu ini, benar-benar tidak berakhlak ya! Kenapa kamu gedor-gedor pintu kamar Iren, hah?" tanya Ibu dengan suaranya yang naik satu oktaf."Bu, di dalam sana, Mas Hasan berduan dengan Iren. Mila ketuk pintunya dari tadi, tapi nggak di bukain , makanya mau Mila gedor," ucapku, memberitahu ibu agar tidak menyalahkanku."Halah, sembarangan kamu. Mana ada Hasan di dalam. Lagian, kalau memang Hasan ada di dalam, emang kenapa? Salahnya di mana?" Astagfirullah, aku mengucap istighfar mendengar penuturan Ibu. Apa beliau tidak tau, jika membiarkan anaknya dengan wanita yang tidak halal adalah dosa besar."Bu, Mila nggak mungkin salah dengar. Mila dengar ada Mas Hasan di dalam. Membiarkan Iren dan Mas Hasan berdua di dalam dosa besar, Bu," ucapku lembut, mencoba menyentuh hati Ibu. Aku yakin tak ada seorang ibu yang tega melihat anaknya berbuat dosa."Nggak usah sok tau kamu, Mila. Urus aja dirimu dan anakmu, nggak usah mengurusi Hasan, anakku!" bentak Ibu mengibaskan tangannya. Hatiku bagai dicakar. Sungguh perkataan Ibu sangat melukai perasaanku. Kutahan agar air mata tak turun di hadapannya."Mbak Mila," ucap Iren yang muncul dari balik pintu. Wanita itu mengucek mata, seperti baru bangun tidur, tapi aku tau itu hanya alasan saja."Kamu baru bangun, Sayang," tanya Ibu pada Iren lembut, berbeda sekali saat denganku tadi."Iya, Tante. Iren ketiduran tadi, maaf ya, Tan, Mbak." Aku menggelengkan kepala. Pintar sekali wanita ini memainkan drama. Jelas-jelas aku dengar tadi dia dan Mas Hasan di dalam cekikian. Bahkan aku mendengar jelas obrolan mereka."Tuh dengar sendiri 'kan? Makanya jangan suka menuduh, jatuhnya fitnah," ucap Ibu melirikku sinis."Emang Mbak Mila nuduh apa, Tan?" tanya Iren dengan wajah polos, tapi aku tau itu hanyalah topeng. Topeng yang menutupi semua kebusukkannya."Dia nih, nuduh kamu sama Hasan macam-macam di dalam, tapi sudahlah nggak usah di perpanjang. Mila ini memang rada-rada." Lagi-lagi hatiku hancur akibat ucapan pedas dari Ibu. Orang yang seharusnya menjaga harga diri menantunya, tapi malah menginjaknya di depan tamu.Tanpa peduli lagi pada ucapan ibu, aku menerobos masuk ke kamar Iren. Aku yakin sekali Mas Hasan ada di dalam. Aku nggak mungkin salah dengar!Ku susuri seluruh ruangan, tapi tak ada Mas Hasan di sana. Aneh! Jelas-jelas tadi aku dengar mereka ngobrol sambil cekikikan."Ada," tanya Ibu sinis. Aku keluar dari kamar Iren dengan hati yang kecewa."Sekarang memang aku belum punya bukti, tapi jika sampai aku mengetahui sesuatu. Apalagi ada perselingkuhan, aku tidak akan diam," ucapku menatap Ibu dan Iren bergantian.Kutarik nafas panjang lalu melepasnya perlahan, lalu menyeret langkah kaki meninggalkan Ibu dan Iren, tamu beracun. Seiring langkah kaki, bermacam rasa berkobar di dalam dada. Rasa marah, cemburu, benci, semua berbaur jadi satu."Maaf ya, Sayang. Mila memang begitu, selalu curigaan. Jangan diambil hati." Samar-samar, aku masih bisa mendengar ucapan Ibu menenangkan Iren.Aku tidak tau kenapa Ibu dari suamiku itu tidak pernah bisa menyukaiku. Selama ini, aku telah mencoba menjadi yang terbaik untuknya dan Mas Hasan, tapi tetap tidak bisa menembus dinding hatinya.Dimatanya, aku adalah menantu penebus hutang. Miris! Aku tak menyesali takdir Tuhan, tapi sebagai manusia biasa yang punya hati dan perasaan, hatiku sakit diperlakukan seperti ini. Cemburu melihatnya lebih dekat dengan Iren yang hanya tamu dibanding aku, bahkan Zulfa sekalipun.Kubuka pintu kamar, lalu masuk dan mengunci pintu. Duduk di depan meja rias, kupandangi setiap inci wajahku dibalik kaca."Ayah ... maafkan jika nanti Mila tak mampu bertahan. Selama ini Mila bersabar menjaga jodoh titipanmu, tapi sekarang, Mas Hasan sendiri yang merusaknya," ucapku menatap potocopy diri yang ada di balik cermin.Selama ini aku bertahan dengan apapun perlakuan Ibu dan Mas Hasan. Meskipun, dia selalu bersikap dingin dan tidak memperlakukanku layaknya seorang istri, tapi aku tetap berbakti. Namun kali ini hatiku sakit! Panggilan Sayang Mas Hasan pada Iren barusan, menggores hatiku. Meski tak terlihat, tapi sakitnya luar biasa. Panggilan itu harusnya milikku dan Zulfa, tapi dengan teganya ia memberi pada wanita lain. Wanita yang entah siapanya.Kutarik nafas panjang lalu menghelanya. Mengucap istighfar berulangkali agar setan tak merusak hati. Jangan sampai setan berhasil mempengaruhi, hingga aku tak bisa mengontrol diri dari menjambak atau menghajar Iren secara bar-bar. Itu hanya akan menjatuhkan harga diriku di depan wanita itu."Mila ... buruan masak!" Suara melengking Ibu menembus pintu, membuat aku tersentak kaget, tapi ku abaikan saja. Biarlah Ibu berteriak di luar sana, toh kalau lapar, ada Iren yang bisa memasakkan makanan untuknya.Kupandangi kembali pantulan diri ini, yang seakan menatap iba dari balik cermin. Pelan jari-jari merambah setiap inci yang ada di atas wajah. Kening, mata, hidung, pipi, mulut, semuanya. Tidaklah terlalu buruk, tapi kenap Mas Hasan seakan jijik menatapku. "Seburuk itu 'kah aku dimatamu Mas, hingga sampai sekarang kau belum juga bisa mencintaiku," tanyaku pada diri sendiri. Sesak nafas, rasanya kala mengingat ucapan yang selalu Mas Hasan lontarkan sebagai pengingat. "Pernikahan ini bukan keinginanku. Jadi kamu jangan berharap lebih." Begitulah ucapan yang sering Mas Hasan ucapkan. Bahkan saat malam pertama, dia sudah mengingatkan, tidak ada tempatku dihatinya, meskipun itu disudut hati. Miris sekali! Memiliki tapi bukan pemilik.Tak terasa air mata jatuh tanpa bisa di ku cegah lagi. Aku bisa terlihat kuat dan bersikap biasa saja di hadapan Ibu dan Mas Hasan, tapi sebenarnya aku sangat rapuh dan terpuruk. Hampir enam tahun menikah, walaupun pernikahan tanpa di dasari cinta, tapi bohong jika aku bilang tidak mencintai suamiku. Tanpa bisa di cegah, cinta itu tumbuh dan semakin mekar menguasai hati semenjak kehadiran Zulfa. Namun tidak dengan Mas Hasan. Kehadiran putriku pun tidak dapat mencairkan bongkahan es yang membekukan hati pria yang menghalalkanku di depan Ayah dan juga Tuhan itu. Dan sekarang, dia menambah daftar perbuatannya yang membuatku sakit dengan menghadirkan Iren di antara kami. Meskipun aku tidak tahu siapa Iren, dan apa hubungan mereka, tapi panggilan Sayangnya tadi, bisa kupastikan ada hubungan manis antara meraka berdua. "Aku bisa terima dengan semua perlakuanmu selama ini, Mas. Aku mohon jangan berkhianat. Karena, aku tidak bisa menerimanya. Aku bisa memaafkan apapun kecuali pengkhiana
Pikiran berkelana pada kejadian tadi siang di mall, dan percakapan antara Iren dan Mas Hasan. Apa maksud Iren berterus terang padaku. Apa sebenarnya yang terjadi pada mereka berdua. Sejak kapan mereka saling mengenal, kenapa terlihat begitu akrab sekali."Nanti dulu, apa seharian ini Mas Hasan tidak ke kantor." Aku mengingat sesuatu. Tidak biasanya pria pulang awal sebelum jam kerja berakhir. "Apa seharian ini Mas Hasan di rumah," batinku. Kugelengkan kepala mengusir rasa curiga, tapi rasa itu tetap memaksa masuk.Kejadian sewaktu aku melihat Mas Hasan keluar dari kamar Iren, dan kejadian di mall tadi, mengganggu pikiran. Seperti film berputar silih berganti di kelopak mata. Aku butuh penjelasan, ingin bertanya tapi takut malah akan memicu pertengkaran. Selain hanya curiga, aku juga belum punya bukti yang kuat tentang apa hubungan mereka. Bisa-bisa nanti malah kesalahan berbalik menyerangku. Mas Hasan bisa saja berkelit, dengan alasan di suruh Ibu. Apalagi sikap Ibu yang terlalu
Mecoba TegarAir mata tak lagi bisa kutahan. Rasa sakit yang Mas Hasan tancapkan di hati ini, menjalar ke seluruh anggota tubuh, hingga air mata terjun bebas berlomba keluar dari tempurungnya. Suami yang selama ini kucintai dan ku pertahankan dengan segenap jiwa, meskipun dia selalu dingin dan tak menganggapku ada. Kini laki-laki itu telah mematahkan hatiku menjadi dua. Menyakitiku tanpa ampun luar dan dalam. Walaupun tak berdarah tapi sakitnya luar biasa."Lantas ... kenapa kau tidak menceraikanku, Mas? Kenapa tidak melepaskanku jika memang aku bukanlah pemilik hatimu." Ku hapus kasar air mata. Meski hatiku hancur, tapi aku harus kuat. Aku hanya sendiri di dunia ini, jika aku tidak kuat, maka mereka akan semena-mena.Mas Hasan menatapku penuh amarah. Ke balas tatapannya dengan raut menantang. "Ceraikan! Ceraikan aku ... maka aku tidak akan butuh penjelasan darimu, dan aku tidak akan mencampuri urusanmu." Dia menyentak nafasnya kasar. "Belum saat," ucapnya datar, lalu membalikkan bad
Gagas kudorong daun pintu setelah memutar gagang. Setelah pintu kamar terbuka, kulihat Zulfa sedang duduk lesehan beralaskan karpet bulu memeluk boneka hello kittynya. Katanya itu boneka kesayangan. Ku kunci pintu untuk berjaga-jaga, jika nanti ada yang masuk. Meskipun aku tidak yakin ada yang ingin masuk ke sini. "Sayang, lagi apa?" tanyaku mendekat. "Lagi main sama Ketty, Bunda." Zulfa mengangkat kepalanya. Putriku itu mengelus kepala bonekanya. "Andai Ufa jadi Ketty, pasti enak. Pasti banyak yang sayang." Hatiku terenyuh mendengar kalimat terakhirnya. "Makan dulu, Nak. Ufa 'kan belum makan malam." Aku berjongkok, lalu melabuhkan tubuh di atas karpet, mengalihkan pikirannya, ikut duduk di sebelah anakku. Ia menganggukkan kepalanya pelan."Bunda sayang kok sama Zulfa. Bunda akan menutup semua ruang kosong di hati Zulfa dengan cinta dan kasih Bunda. Jadi, Zulfa nggak usah takut." Ku suap makanan, ke mulut anakku dengan perasaan hancur. Ibu mana yang tidak hancur melihat put
Setelah Zulfa tenang, kubawa dia ke kamar mandi, dan mengarahkannya untuk menggosok gigi. Anak seusia Zulfa, biasanya giginya akan cepat rusak. Karena, anak seusianya lagi senang-senangnya makan makanan yang manis seperti permen dan coklat. Namun tidak dengan Zulfa. Putriku sama sekali tidak suka dengan makanan yang manis-manis, katanya eneg dan bikin sakit tenggorokan. Sedari usia tiga tahun, dia juga sudah ku terapkan menggosok gigi sebelum tidur, agar giginya tidak menjadi sarang bakteri.Aku dan Zulfa sholat isya' berjamaah. Harusnya ada Mas Hasan di sini mengimami sholat kami, tapi itu hanya angan-angan. Air mataku tumpah, saat kudengar doa yang Zulfa langitkan setelah sholatnya. Meskipun diam dan tidak pernah mengeluh, ternyata kerinduannya terhadap sosok Mas Hasan terlalu besar.Hanya saat masih bayi saja ia merasakan gendongan Ayahnya. Itu pun sangat jarang sekali. Saat usia Zulfa menginjak dua tahun, Mas Hasan mulai cuek dan abai, seakan menjauhinya. Apalagi sikap Ibu yan
Aku masuk ke kamar mandi setelah masuk kamar Zulfa. Mencuci muka, menghilangkan sisa amarah yang di tinggalkan Iren di wajahku.Aku tidak mau, jangan sampai wanita itu ikut masuk ke alam mimpi jika tidak menghapus jejaknya. Setelah selesai, aku melangkah mendekati tempat tidur. Di atas kasur, Zulfa sudah tertidur nyenyak. Kupandangi wajah putri yang masih polos. Kasian anakku, harus ikut menanggung kepedihan yang ibunya rasakan.Air mata menetes membasahi pipi. Bukan aku tidak mau berjuang lagi, tapi sejauh manapun aku mencoba pasti akan sia-sia juga. Aku duduk di bibir ranjang. Kutatap lekat wajah anakku. Terbayang dulu ketika aku pernah mencoba untuk meluluhkan hati Mas Hasan."Mas ... aku kangen," ucapku melingkarkan kedua tangan di pinggang Mas Hasan. Menurunkan harga diriku, untuk mengemis kasihnya. Meski seringkali ditolak, tapi seringkali juga aku mencoba. Sesaat badan Mas Hasan menegang, tapi itu hanya sebentar saja."Apaan sih, kamu!" Mas Hasan melepas paksa tanganku yan
"Bu, sarapannya kok hanya nasi goreng." Benar 'kan apa aku bilang? Di sana bukan hanya ada Ibu tapi juga si setan pirang. Dasar tidak tahu diri! Sudah untung dimasakin masih aja cerewet. "Hey, Mila ... kenapa sarapannya hanya nasi goreng?" ucap Ibu. Suaranya melengking padahal aku ada di depannya. Kulirik Zulfa yang berdiri di dekat meja makan."Sayang, kamu tunggu Bunda di luar ya." Zulfa mengangguk lalu menyeret kaki kecilnya meninggalkan ruang makan. "Maaf, Bu. Tadi Mila kesiangan jadi hanya sempat masak itu aja," balasku pelan seraya mengeringkan tangan dengan handuk. Iren dan ibu sudah duduk cantik di meja makan. "Mbak ... susu buatku mana?" ucap Iren menanyakan susunya. Aku memang sengaja tidak membuatkan wanita itu susu, dan seterusnya tidak akan pernah lagi membuatkannya. Dia menatap meja makan yang hanya terhidang semangkok besar nasi goreng telor mata sapi dan air putih. Iren menautkan kedua alisnya dengan wajah di tekuk. "Maaf, Iren, aku nggak sempat. Kaki sama t
"Bu ... coba ibu ingat semua kebaikan Gunawan pada keluarga kita. Dia berikan bapak pekerjaan sehingga bisa mencukupi keluarga kita. Walaupiun Bapak hanya supir, tapi dia perlakukan Bapak layaknya saudara. Ayolah, Bu, Bapak sangat berharap Ibu setuju dan mau membujuk Hasan," ucap suamiku panjang lebar. Satu sisi aku membenarkan ucapan suamiku, satu sisi hatiku masih tidak rela. Hasan berdiri dari duduknya dan berlalu tanpa kata. "Kamu mau ke mana, San?" tanyaku, tapi orang yang ditanya hanya diam dan menghilang dibalik pintu kamarnya. Serba salah jadinya. Malas rasanya memikirkan masalah perjodohan yang hanya membuat kepalaku pusing. Dari sekian banyak laki-laki, kenapa juga Gunawan memilih anakku sebagai menantunya. Jangankan saling kenal, bertemu saja mereka tidak pernah. Apa anaknya Gunawan itu buruk rupa? Eh kayaknya nggak deh. Terakhir aku melihat anaknya Gunawan itu sebelum dia masuk pesantren, dan anaknya cantik hanya saja tertutup jilbabnya yang panjang. Anaknya terlalu
Aku duduk sendiri di balkon yang ada di lantai atas sembari menikmati bintang yang berkedip di tengah pekatnya malam. Masih dengan memakai mukenah, kunikmati saat terakhirku tinggal di toko ini. Rencananya, besok aku akan pindah kembali ke rumah orang tuaku.Ketegangan yang terjadi akhir-akhir ini terobati dengan melihat cahaya bintang yang berkedip. Dari dulu, aku suka sekali menengadah ke langit melihat benda yang terlihat kecil berkelap–kelip itu. Dengan melihat bintang, aku bisa mengalihkan rasa sakit untuk sementara.Aku meminta Lita ikut tinggal menemaniku di rumah itu nanti. Dalam keadaanku yang sudah hamil besar seperti ini, memang harus ada yang menemaniku di rumah. Takut nanti ada apa-apa di malam hari, jika aku hanya tinggal berdua dengan Zulfa."Iya, Bu, aku mau. Aku nggak mau, nanti nenek lampir itu ke sini trus ngapa-ngapain Ibu," ucapnya tadi siang saat ku ajak tinggal bersamaku. Hatiku geli mengingat Lita memberi gelar Mak Lampir pada Iren. Katanya nama itu cocok s
Maya! Saat teringat nama Maya, cepat kurogoh tas mencari ponselku. Sembari menunggu Mas Hasan, aku akan menghubungi Maya. Kemarin di toilet hotel, aku sempat menyimpan nomernya.Kutekan nomer Maya lalu menempelkan benda pipihku ke telinga. Tut! Tut! Tut! Nada dering terdengar menyapa indera pendengaranku."Halo," sapa suara di ujung sana. Suaranya terdengar malas-malasan."Halo ... ini aku, Iren," balasku tanpa basa–basi."Iya, aku tau. Ada apa? Kamu sudah berhasil menyingkirkan Mila?" tanyanya to the point. Aku mencabik bibir. Dasar ... pantas saja tidak dilirik Revan, sinisnya minta ampun."Belum ... justru aku menghubungimu untuk membuat kerjasama.""Kerjasama?" tanyanya. Sejenak aku terdiam. Mataku menatap ke jalan raya. Dari jauh, kulihat Mas Hasan muncul dengan memapah Ibu, tapi tunggu! Kenapa dia sama Aina.Hem!"Aku tidak bisa memberitahu sekarang. Rencana ini tidak bisa dibicarakan di telpon harus bertemu.""Oke ... ketemu di mana?" tanya Maya."Terserah kamu," balasku cep
"Tidak, Mas! Aku nggak mau turun, aku nggak mau tinggal di sini! Di sini itu sempit, Mas!" Suaraku mulai meninggi. Mana mungkin aku mau tinggal di tempat sempit seperti ini. Dapur di rumah yang dulu saja masih luas dari rumah ini."Ya sudah ... kalau kamu nggak mau sana jadi gembel, tinggal di jalan." Ibu berucap dengan nada sinis. Aku meneguk ludahku. Gembel ... tidak! Aku tidak mau jadi gembel."Ini semua gara-gara Mbak Mila! Dia sudah janji tidak akan mengambil apa-apa, tapi dia bohong. Lihat saja aku akan buat perhitungan dengannya!""Sudahlah, Ren. Kamu jangan menyalakan Mila ... itu harta orang tuanya wajar dia ambil. Jangan coba-coba kamu ngelakuin hal bodoh, Ren. Mila sedang hamil anakku."Kupingku rasanya panas! Bisa-bisanya Mas Hasan masih memikirkan Mila, sedangkan nasib kami sudah seperti ini. "Tidak, Mas! Semua itu berkat kamu! Kamu yang buat perusahaan itu maju. Jadi sudah sepantasnya itu jadi milik kamu. Kamu jangan terlalu bodoh jadi orang. Jangan karena terlalu mem
Saat Kulihat Lita muncul dari balik gorden, cepat kuangkat badanku berdiri dan berjalan menuju pintu utama.Di sini aku berdiri saat pertama kali Iren datang, di sini jugalah aku berdiri untuk menyaksikannya pergi."Aku akan membalasmu wanita sialan!" ucap Iren saat melewatiku. Dia berbalik lalu mendorong hingga kepalaku terbentur daun pintu. Dengan cepat Lita menghampiri. " Ibu nggak apa-apa?" tanyanya. Kugelengkan kepala berbohong, padahal kepalaku terasa pusing akibat benturan. "Pergi sana." Lita mendorong bahu Iren hingga mantan maduku itu terhuyung ke belakang lalu dengan cepat menarik tanganku masuk lalu menutup pintu. Aku mengintip dari balik tirai. Di teras rumah Iren terus saja berteriak memaki, meskipun suaminya sudah memintanya untuk masuk ke dalam mobil, tapi wanita itu tetap berteriak histeris memakiku.Astaghfirullah ... aku mengucap istighfar sembari mengurut dada."Begitulah, Bu ... kalau berteman dengan setan ... ya akhirnya jadi hantu 'kan!"Miris sekali! Begitulah
"Sejak kapan kamu menjadi pemilik rumah ini? Kamu lupa, kamu datang ke sini sebagai tamu dan akan keluar dari rumah ini juga sebagai tamu," ucapku santai sembari melipat kedua tangan di dada. Menghadapi orang seperti Iren tidak harus dengan cara bar-bar. Lagipula, aku bukan dia yang dikit- dikit emosi."Aku sekarang istri sah Mas Hasan. Jadi jelas aku nyonya di sini. Nggak usah banyak cing–cong cepat kalian pergi dari sini" ucapnya mengusirku lagi dan Lita. Kasian sekali, sebegitu pinginnya di akui Nyonya.Dari arah dalam muncul sosok mantan mertua. Mungkin mendengar teriakan Iren yang seperti suara Nenek Lampir itu."Mi–Mila ...." Ucapannya tergantung. Mungkin saking kagetnya melihatku hingga wanita paruh baya itu kehabisan kata-kata."Iya, Bu. Ini Mila. Ibu apa kabar?" tanyaku seraya menyungging senyum manis untuknya."Ma–mau ngapain kamu ke sini?" ucapnya tergagap, suaranya bergetar. Meskipun berusaha terlihat baik, tapi aku atau dalam hatinya sangat resah sekali."Mila datang in
"Kamu ...."Ucapan pak Ilham terputus. Baru saja pria paruh baya itu mau menjelaskan, Lita datang dengan nampan di tangannya. Laki-laki paruh baya yang baru kutau adalah teman Ayahku itu, terpaksa menutup kembali mulut menghentikan ucapan."Silahkan diminum, Pak,' ucap Lita sopan. Aku tersenyum melirik Lita. Gadis itu sedikit menunduk dan berlalu meninggalkan aku dan Pak Ilham.Pak Ilham membetulkan posisi duduknya, lalu berdeham sebelum melanjutkan bicara. "Semua aset yang ada itu milik Pak Gunawan, Ayah Kamu. Apa Pak Hasan tidak memberitahumu?" Aku menggeleng pelan. Dalam hati rasanya ingin memaki. Teganya mereka!"Aku tidak tau, Om. Kata mereka Ayah tidak mampu membayar hutang-hutangnya, maka semua harta jatuh ke tangan Mas Hasan.""Astagfirullah," ucap Pak Ilham sembari memegang dadanya. Mungkin dia kaget, sama sepertiku."Semua itu milik Ayahmu, termasuk rumah yang sekarang masih mereka tempati. Pak Hasan hanya diberi kuasa mengelolanya saja, tapi tetap milik kamu sebagai ahli w
Senyum sinis terukir di bibirnya yang merah menyala itu. Beraninya dia mengancam! "Terserah kamu, Ren. Aku tetap akan rujuk sama Mila. Jika kamu tidak setuju, kita bercerai saja."Mendengar kata cerai dari mulut Hasan spontan aku menoleh pada anak laki-lakiku itu."Kamu serius?" tanyaku menatap lekat matanya. Aku ingin mencari kebenaran di dalam sana. Dulu dia sangat mencintai Iren. Iren adalah cinta pertamanya, tapi kenapa sekarang dengan mudah ingin melepaskan wanita itu.Kutarik nafas panjang saat mendapati sesuatu di mata anakku. Memang tak ada lagi cinta untuk Iren di sana. Sebenarnya, aku sudah lama curiga, tepatnya saat Mila pergi dari rumah ini. Saat itu aku tau Hasan sudah mulai mencintai anak dari temanku itu."Tidak, Mas! Kamu tidak bisa memperlakukanku seperti ini. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!"Iren mengamuk membanting semua barang yang ada di dekatnya. Sesekali dia menjambak rambut pirangnya, hingga rambut sebahu itu menjadi acak-acakan. Aku sampai ngeri melihatnya seper
"Bentar, Bu Mila." Suara berat Pak Ilham spontan menghentikan langkahku. Aku membalikkan badan, lalu menatap pada lelaki yang baru kutahu adalah teman Ayahku. Kubalas tatapan teduhnya dengan seulas senyum tipis."Iya, Om.""Hati-hati ya, Nak. Jaga kandungan kamu."Senyumku melebar mendengar kata perhatiannya. "Iya, Om, terimakasih," balasku.Kupandangi semua yang ada di depan mata satu per satu. Mulai dari Ibu yang wajahnya terlihat tegang. Entah kenapa wajahnya seperti itu, padahal dulu wajah tua itu selalu saja angkuh. Mas Hasan yang menatapku dengan tatapan lembut, entahlah ... mungkin itu perasaanku saja, lagipula, aku sudah tidak berharap lagi. Iren ... apalagi wanita itu, dia menatapku dengan senyum penuh kemenangan. Seperti baru saja mendapat piala Oscar.Setelah puasa menatap, aku membalikkan badan sebelymnya mengucap salam. Kulangkahkan kaki seraya menggandeng tangan Zulfa keluar melewati pintu."Pak bisa pulang. Terimakasih sudah menunggu saya," ucapku pada Pak Asep yang se
"Mila sehat aja, Pak. Dia dan Hasan lagi menunggu bayi mereka yang sebentar lagi lahir." Bukan aku yang menjawab tapi Ibu. Wanita bertubuh sedikit berisi itu tersenyum sumringah pada Pak Ilham. Seolah bahagia menunggu kehadiran cucu. Kubuang pandangan pada Mas Hasan, pria itu hanya menunduk."Saya hanya ingin memastikan saja. Apakah Bu Mila bahagia.""Jelaslah bahagia, Pak. Orang sudah hamil besar begitu, kenapa pula tidak bahagia." Lagi-lagi Ibu yang menjawab.Aku menatap Pak Ilham. Dia sudah tau, jika aku dan Mas Hasan sudah bercerai, tapi kenapa masih berpura-pura."Baguslah, Bu, jika Bu Mila bahagia. Sesuai dengan keinginan Pak Gunawan."Kulihat Ibu tersenyum tipis. Senyuman tidak ikhlas. "Maaf, Om. Sebenarnya apa maksud saya dipanggil ke sini?" Kulirik dari ekor mata Ibu menatapku tajam, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu, apa maksud mereka menyuruhku datang dan berpura-pura seolah masih suami istri dengan Mas Hasan."Loh ... bukankah ini rumah Bu Mila? Apa maksudnya