"Bu ... coba ibu ingat semua kebaikan Gunawan pada keluarga kita. Dia berikan bapak pekerjaan sehingga bisa mencukupi keluarga kita. Walaupiun Bapak hanya supir, tapi dia perlakukan Bapak layaknya saudara. Ayolah, Bu, Bapak sangat berharap Ibu setuju dan mau membujuk Hasan," ucap suamiku panjang lebar. Satu sisi aku membenarkan ucapan suamiku, satu sisi hatiku masih tidak rela. Hasan berdiri dari duduknya dan berlalu tanpa kata. "Kamu mau ke mana, San?" tanyaku, tapi orang yang ditanya hanya diam dan menghilang dibalik pintu kamarnya. Serba salah jadinya. Malas rasanya memikirkan masalah perjodohan yang hanya membuat kepalaku pusing. Dari sekian banyak laki-laki, kenapa juga Gunawan memilih anakku sebagai menantunya. Jangankan saling kenal, bertemu saja mereka tidak pernah. Apa anaknya Gunawan itu buruk rupa? Eh kayaknya nggak deh. Terakhir aku melihat anaknya Gunawan itu sebelum dia masuk pesantren, dan anaknya cantik hanya saja tertutup jilbabnya yang panjang. Anaknya terlalu
Hurf!Kuhembus nafas lega. Coba saja kalau sampai Gunawan berani mecat suamiku. Jangan mentang-mentang sudah kaya, dia bisa berbuat seenaknya. Takkan pernah aku biarkan dia berbuat sesukanya pada keluargaku, terlebih pada Hasan!"Lah, terus ... kalau Bapak nggak kerja, kita hidup pake apa, Pak?" tanyaku. Hati mulai penasaran, jangan-jangan suamiku mau di jadikan bos di perusahaannya. Ya ... dikasih jabatan apa gitu."Ya dari Hasan lah, Bu."Aku mendengus kesal mendengar penuturan suamiku. Semua-semua mau di limpahkan pada Hasan. Padahal sudah enak, meskipun cuma jadi supir, tapi Gunawan kasih gaji yang lumayan besar padanya. Kerjanya juga tidak berat-berat amat, pake acara berhenti ini si Bapak. Apa dia pikir Hasan itu tidak butuh uang apa? Apalagi Hasan sudah punya Iren, pastilah dia mau membahagiakan pacarnya.**** Hari berganti hari, kuliat Hasan semakin tidak bersemangat untuk menjalani hidupnya. Anakku itu acuh seperti tidak ada gairah. Bulu-bulu halus mulai kelihatan tumbuh d
"Mila mana, Bu?" tanya Mas Gun sesaat setelah Aminah dan Ibunya menghempaskan badan di sofa. Kedua wanita berbeda usia itu duduk berdampingan. "Masih di kamar, Yah. Mau isya'an dulu katanya." Aku menggerakkan mulut membentuk huruf O. Bisa juga tuh si Mila. Sepertinya anak yang alim. "Ayo ... monggo diminum dulu." ucapan Mas Gun mengalihkan ku dari menebak-nebak seperti apa Mila, anak mereka.Tanpa basa–basi, tanganku menggapai cangkir yang baru di letakkan Aminah di atas meja. "Oh iya, San. Bagaimana pekerjaan kamu?" tanya mas Gun. Aku yang baru saja ingin menyeruput teh, melirik pada Hasan. "Baik, Om," ucap Hasan singkat, cepat dan padat."Bagus," ucap Gunawan. Ya ella ... satu ucapan Hasan, satu juga yang dia balas."Nanti, setelah menikah, perusahaan biar kamu yang jalankan, saya mau pensiun." Hampir saja aku tersedak teh panas. Aroma melati tersedot oleh hidung naik langsung ke otak. Cepat kuletakkan cangkir ke atas meja. Rasa nikmat yang baru saja menyentuh lidahku, kini
"Bukan itu, Bun. Mila hanya mau bersama Nenek di sisa-sisa waktu. Sebelum mengabdi sebagai istri."Uh ... dasar! Mengabdi sebagai istri? Aku terkekeh dalam hati mendengar ucapan Mila. Aku menoleh pada Hasan, kulihat raut wajahnya bias saja. Tidak ada raut senang dan tersanjung. "Iya, baiklah, Nduk. Kamu bisa tinggal sama Nenekmu, tapi setelah itu kamu harus ikut ke manapun suamimu perg setelah menikahi." "Inshaa Allah, Yah. Sama kalau boleh, Mila ...." Ucapannya terhenti. Seperti ragu ingin meneruskan kata-kata. Apa lagi ini! Hatiku deg-degan kembali. Sebel rasanya! Terlalu banyak permintaan. "Mila hanya ingan akad nikah saja, tanpa resepsi, Yah," ucapnya lagi meneruskan kata yang sempat terputus, lalu segera menunduk. Dasar! Enak saja ia berucap! Tidak mau resepsi? Apa dia pikir dia menikah sama patung? Hasan adalah anak lelakiku satu-satunya, pasti aku mau merayakan hari bersejarahnya itu.Hem! Aku berdeham, memancing perhatian! Semua orang menoleh padaku. "Bagaimana de
Kuseret langkah kaki menuju teras mendatangi Zulfa. Tak kupedulikan lagi teriakkan Ibu yang mengomel di dapur. Mau makan atau tidak terserah mereka saja. Yang penting, aku sudah menyediakan makanan untuk mereka. "Sudah siap, Sayang?" tanyaku pada Zulfa. Putriku itu duduk di kursi teras sambil memainkan jarinya. "Sudah, Bunda," jawabnya pelan."Bentar ya. Bunda pesan ojek dulu," ucapku seraya menghempaskan badan di kursi sebelah Zulfa. Tanganku merogoh tas mencari ponsel.Aku menatap Zulfa yang duduk di sebelahku. Gadis kecilku itu diam, tapi wajahnya terlihat sedih. Ku elus kepala anakku yang tertutup jilbab. Kasian dia, pagi-pagi sudah mendengar keributan antara Nenek dan Ibunya. "Zulfa kenapa, Nak?" tanyaku. Zulfa hanya menggeleng, kepalanya masih tetap tertunduk. "Ya, sudah ... ayo kita berangkat. Itu ojeknya sudah datang." Aku berdiri lalu mengulurkan tangan pada Zulfa. Kebetulan ojek pesananku juga sudah sampai. "Bunda ... Bunda jangan sedih ya. Ufa akan selalu sama
Merasa bosan iseng aku membuka aplikasi biru, sekedar mengalihkan pikiran. Sebenarnya aku tidak begitu aktif di sosial media, hanya sekedar pelempiasan dikala bosan, itu pun hanya melihat status teman-teman dan kabar berita. Tak ada yang menarik, segera kututup aplikasi biru dan beralih ke aplikasi hijau. Aku memicingkan mata tatkala melihat status Mas Hasan. Statusnya di unggah tadi pagi. Gambar tangan dua orang berbeda kelamin sedang bertaut, statusnya tanpa keterangan. Aku screen shut statusnya. Siapa tahu, suatu saat akan berguna. "Akan ku kumpulkan bukti sebelum bertindak, Mas. Diamku bukan berarti aku bodoh."Aku menggenggam ponsel dengan begitu kuat. "Bu, Ibu!" seru Lita tiba-tiba sudah di depanku. Gadis berjilbab ungu itu melambai-lambaikan tangannya di depan mata. "Astagfirullah ... kamu kebiasaan ya, Lit," ucapku sambil mengelus dada. Lita cengengesan. "Habisnya ... Ibu melamun. Dari tadi aku panggil nggak nyahut-nyahut," ucapnya. "Oh iya, Bu. Kemarin ada pel
Lita memang mengetahui masalah rumah tanggaku dengan Mas Hasan. Bukan aku yang memberitahu, tapi Lita pernah melihat sendiri perlakuan Ibu dan Mas Hasan padaku. Waktu itu Lita sedang main ke rumahku, tapi belum juga masuk ke dalam rumah, gadis itu sudah mendengar omelan Ibu. Lita langsung pulang tidak jadi main. Esoknya saat di toko ia langsung bertanya masalahnya.Aku masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi, setelah mendudukkan Zulfa di kursi depan samping supir. Ku panaskan sebentar mobil lalu membawa roda empat ku itu menuju taman. "Bun, Ufa mau main ayunan boleh?" tanya Zulfa, tangannya menunjuk ayunan yang ada di tengah taman. "Boleh, Sayang, tapi hati-hati ya, Nak." Zulfa mengangguk dan langsung berlari menghampiri ayunan. Di sana sudah ada seorang anak perempuan sedang bermain sendiri. Dari kejauhan aku memperhatikan. Anakku begitu senang bermain ayunan. Dia pun mulai ngobrol dengan anak yang ada di sebelahnya. Anakku memang mudah sekali bergaul, dia anak yang sup
Hampir KeceplosanKuhentikan langkah kaki, dan menarik tangan Zulfa yang sedang kugandeng, hingga Zulfa juga menghentikan langkahnya. Aku berjongkok mensejajarkan badanku dengan Zulfa."Sayang, kita itu hanya nginap di toko. Nanti juga kita pulang ke rumah, Nak. Zulfa nggak boleh ngomong kayak gitu, Nenek itu nggak marah. 'Kan Nenek kalau ngomong memang begitu, suaranya kencang."Zulfa mengangguk pelan. Kuangkat kembali badan berdiri, lalu mengajak Zulfa meneruskan langkah. Bagaimana pun, aku tidak mau Zulfa membenci Neneknya.Sampai di toko, aku membuka pintu separoh, lalu masuk dan menutup kembali pintu kaca itu, menguncinya dari dalam, lalu mencabut anak kunci. Biar nanti kalau Lita datang, dia bisa masuk menggunakan kunci yang ada padanya."Sayang, kamu masuk mandi ya. Bunda juga mau mandi ini," ucapku menyuruh Zulfa masuk ke kamarnya untuk mandi. Setelah putriku itu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu, aku menyeret langkah menuju kamarku.Baru saja membuka pintu kamar. Aku di
Aku duduk sendiri di balkon yang ada di lantai atas sembari menikmati bintang yang berkedip di tengah pekatnya malam. Masih dengan memakai mukenah, kunikmati saat terakhirku tinggal di toko ini. Rencananya, besok aku akan pindah kembali ke rumah orang tuaku.Ketegangan yang terjadi akhir-akhir ini terobati dengan melihat cahaya bintang yang berkedip. Dari dulu, aku suka sekali menengadah ke langit melihat benda yang terlihat kecil berkelap–kelip itu. Dengan melihat bintang, aku bisa mengalihkan rasa sakit untuk sementara.Aku meminta Lita ikut tinggal menemaniku di rumah itu nanti. Dalam keadaanku yang sudah hamil besar seperti ini, memang harus ada yang menemaniku di rumah. Takut nanti ada apa-apa di malam hari, jika aku hanya tinggal berdua dengan Zulfa."Iya, Bu, aku mau. Aku nggak mau, nanti nenek lampir itu ke sini trus ngapa-ngapain Ibu," ucapnya tadi siang saat ku ajak tinggal bersamaku. Hatiku geli mengingat Lita memberi gelar Mak Lampir pada Iren. Katanya nama itu cocok s
Maya! Saat teringat nama Maya, cepat kurogoh tas mencari ponselku. Sembari menunggu Mas Hasan, aku akan menghubungi Maya. Kemarin di toilet hotel, aku sempat menyimpan nomernya.Kutekan nomer Maya lalu menempelkan benda pipihku ke telinga. Tut! Tut! Tut! Nada dering terdengar menyapa indera pendengaranku."Halo," sapa suara di ujung sana. Suaranya terdengar malas-malasan."Halo ... ini aku, Iren," balasku tanpa basa–basi."Iya, aku tau. Ada apa? Kamu sudah berhasil menyingkirkan Mila?" tanyanya to the point. Aku mencabik bibir. Dasar ... pantas saja tidak dilirik Revan, sinisnya minta ampun."Belum ... justru aku menghubungimu untuk membuat kerjasama.""Kerjasama?" tanyanya. Sejenak aku terdiam. Mataku menatap ke jalan raya. Dari jauh, kulihat Mas Hasan muncul dengan memapah Ibu, tapi tunggu! Kenapa dia sama Aina.Hem!"Aku tidak bisa memberitahu sekarang. Rencana ini tidak bisa dibicarakan di telpon harus bertemu.""Oke ... ketemu di mana?" tanya Maya."Terserah kamu," balasku cep
"Tidak, Mas! Aku nggak mau turun, aku nggak mau tinggal di sini! Di sini itu sempit, Mas!" Suaraku mulai meninggi. Mana mungkin aku mau tinggal di tempat sempit seperti ini. Dapur di rumah yang dulu saja masih luas dari rumah ini."Ya sudah ... kalau kamu nggak mau sana jadi gembel, tinggal di jalan." Ibu berucap dengan nada sinis. Aku meneguk ludahku. Gembel ... tidak! Aku tidak mau jadi gembel."Ini semua gara-gara Mbak Mila! Dia sudah janji tidak akan mengambil apa-apa, tapi dia bohong. Lihat saja aku akan buat perhitungan dengannya!""Sudahlah, Ren. Kamu jangan menyalakan Mila ... itu harta orang tuanya wajar dia ambil. Jangan coba-coba kamu ngelakuin hal bodoh, Ren. Mila sedang hamil anakku."Kupingku rasanya panas! Bisa-bisanya Mas Hasan masih memikirkan Mila, sedangkan nasib kami sudah seperti ini. "Tidak, Mas! Semua itu berkat kamu! Kamu yang buat perusahaan itu maju. Jadi sudah sepantasnya itu jadi milik kamu. Kamu jangan terlalu bodoh jadi orang. Jangan karena terlalu mem
Saat Kulihat Lita muncul dari balik gorden, cepat kuangkat badanku berdiri dan berjalan menuju pintu utama.Di sini aku berdiri saat pertama kali Iren datang, di sini jugalah aku berdiri untuk menyaksikannya pergi."Aku akan membalasmu wanita sialan!" ucap Iren saat melewatiku. Dia berbalik lalu mendorong hingga kepalaku terbentur daun pintu. Dengan cepat Lita menghampiri. " Ibu nggak apa-apa?" tanyanya. Kugelengkan kepala berbohong, padahal kepalaku terasa pusing akibat benturan. "Pergi sana." Lita mendorong bahu Iren hingga mantan maduku itu terhuyung ke belakang lalu dengan cepat menarik tanganku masuk lalu menutup pintu. Aku mengintip dari balik tirai. Di teras rumah Iren terus saja berteriak memaki, meskipun suaminya sudah memintanya untuk masuk ke dalam mobil, tapi wanita itu tetap berteriak histeris memakiku.Astaghfirullah ... aku mengucap istighfar sembari mengurut dada."Begitulah, Bu ... kalau berteman dengan setan ... ya akhirnya jadi hantu 'kan!"Miris sekali! Begitulah
"Sejak kapan kamu menjadi pemilik rumah ini? Kamu lupa, kamu datang ke sini sebagai tamu dan akan keluar dari rumah ini juga sebagai tamu," ucapku santai sembari melipat kedua tangan di dada. Menghadapi orang seperti Iren tidak harus dengan cara bar-bar. Lagipula, aku bukan dia yang dikit- dikit emosi."Aku sekarang istri sah Mas Hasan. Jadi jelas aku nyonya di sini. Nggak usah banyak cing–cong cepat kalian pergi dari sini" ucapnya mengusirku lagi dan Lita. Kasian sekali, sebegitu pinginnya di akui Nyonya.Dari arah dalam muncul sosok mantan mertua. Mungkin mendengar teriakan Iren yang seperti suara Nenek Lampir itu."Mi–Mila ...." Ucapannya tergantung. Mungkin saking kagetnya melihatku hingga wanita paruh baya itu kehabisan kata-kata."Iya, Bu. Ini Mila. Ibu apa kabar?" tanyaku seraya menyungging senyum manis untuknya."Ma–mau ngapain kamu ke sini?" ucapnya tergagap, suaranya bergetar. Meskipun berusaha terlihat baik, tapi aku atau dalam hatinya sangat resah sekali."Mila datang in
"Kamu ...."Ucapan pak Ilham terputus. Baru saja pria paruh baya itu mau menjelaskan, Lita datang dengan nampan di tangannya. Laki-laki paruh baya yang baru kutau adalah teman Ayahku itu, terpaksa menutup kembali mulut menghentikan ucapan."Silahkan diminum, Pak,' ucap Lita sopan. Aku tersenyum melirik Lita. Gadis itu sedikit menunduk dan berlalu meninggalkan aku dan Pak Ilham.Pak Ilham membetulkan posisi duduknya, lalu berdeham sebelum melanjutkan bicara. "Semua aset yang ada itu milik Pak Gunawan, Ayah Kamu. Apa Pak Hasan tidak memberitahumu?" Aku menggeleng pelan. Dalam hati rasanya ingin memaki. Teganya mereka!"Aku tidak tau, Om. Kata mereka Ayah tidak mampu membayar hutang-hutangnya, maka semua harta jatuh ke tangan Mas Hasan.""Astagfirullah," ucap Pak Ilham sembari memegang dadanya. Mungkin dia kaget, sama sepertiku."Semua itu milik Ayahmu, termasuk rumah yang sekarang masih mereka tempati. Pak Hasan hanya diberi kuasa mengelolanya saja, tapi tetap milik kamu sebagai ahli w
Senyum sinis terukir di bibirnya yang merah menyala itu. Beraninya dia mengancam! "Terserah kamu, Ren. Aku tetap akan rujuk sama Mila. Jika kamu tidak setuju, kita bercerai saja."Mendengar kata cerai dari mulut Hasan spontan aku menoleh pada anak laki-lakiku itu."Kamu serius?" tanyaku menatap lekat matanya. Aku ingin mencari kebenaran di dalam sana. Dulu dia sangat mencintai Iren. Iren adalah cinta pertamanya, tapi kenapa sekarang dengan mudah ingin melepaskan wanita itu.Kutarik nafas panjang saat mendapati sesuatu di mata anakku. Memang tak ada lagi cinta untuk Iren di sana. Sebenarnya, aku sudah lama curiga, tepatnya saat Mila pergi dari rumah ini. Saat itu aku tau Hasan sudah mulai mencintai anak dari temanku itu."Tidak, Mas! Kamu tidak bisa memperlakukanku seperti ini. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!"Iren mengamuk membanting semua barang yang ada di dekatnya. Sesekali dia menjambak rambut pirangnya, hingga rambut sebahu itu menjadi acak-acakan. Aku sampai ngeri melihatnya seper
"Bentar, Bu Mila." Suara berat Pak Ilham spontan menghentikan langkahku. Aku membalikkan badan, lalu menatap pada lelaki yang baru kutahu adalah teman Ayahku. Kubalas tatapan teduhnya dengan seulas senyum tipis."Iya, Om.""Hati-hati ya, Nak. Jaga kandungan kamu."Senyumku melebar mendengar kata perhatiannya. "Iya, Om, terimakasih," balasku.Kupandangi semua yang ada di depan mata satu per satu. Mulai dari Ibu yang wajahnya terlihat tegang. Entah kenapa wajahnya seperti itu, padahal dulu wajah tua itu selalu saja angkuh. Mas Hasan yang menatapku dengan tatapan lembut, entahlah ... mungkin itu perasaanku saja, lagipula, aku sudah tidak berharap lagi. Iren ... apalagi wanita itu, dia menatapku dengan senyum penuh kemenangan. Seperti baru saja mendapat piala Oscar.Setelah puasa menatap, aku membalikkan badan sebelymnya mengucap salam. Kulangkahkan kaki seraya menggandeng tangan Zulfa keluar melewati pintu."Pak bisa pulang. Terimakasih sudah menunggu saya," ucapku pada Pak Asep yang se
"Mila sehat aja, Pak. Dia dan Hasan lagi menunggu bayi mereka yang sebentar lagi lahir." Bukan aku yang menjawab tapi Ibu. Wanita bertubuh sedikit berisi itu tersenyum sumringah pada Pak Ilham. Seolah bahagia menunggu kehadiran cucu. Kubuang pandangan pada Mas Hasan, pria itu hanya menunduk."Saya hanya ingin memastikan saja. Apakah Bu Mila bahagia.""Jelaslah bahagia, Pak. Orang sudah hamil besar begitu, kenapa pula tidak bahagia." Lagi-lagi Ibu yang menjawab.Aku menatap Pak Ilham. Dia sudah tau, jika aku dan Mas Hasan sudah bercerai, tapi kenapa masih berpura-pura."Baguslah, Bu, jika Bu Mila bahagia. Sesuai dengan keinginan Pak Gunawan."Kulihat Ibu tersenyum tipis. Senyuman tidak ikhlas. "Maaf, Om. Sebenarnya apa maksud saya dipanggil ke sini?" Kulirik dari ekor mata Ibu menatapku tajam, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu, apa maksud mereka menyuruhku datang dan berpura-pura seolah masih suami istri dengan Mas Hasan."Loh ... bukankah ini rumah Bu Mila? Apa maksudnya