Share

Bab 6

Author: Veny Agustina
last update Last Updated: 2022-06-15 22:40:43

Angin laut berhembus hingga ke daratan, memberikan kesan sejuk yang menyegarkan. Namun kesegaran itu tidak mampu menyejukkan hati Nayla yang terasa panas yang disebabkan oleh patah hati.

Setelah memutuskan untuk menyerah atas segala penantian. Tidak bisa Nayla pungkiri jika hatinya lebih sakit dari sebelumnya. Rasa rindu yang semakin kuat membuat ia merasa menyesal atas keputusannya. Merasa terlalu mudah menyerah meski pun sudah tiga tahun lamanya ia menanti dalam ketidakpastian.

Nayla mengangkat kepala. Pandangannya tidak sengaja menangkap sebuah dress  yang tergantung dan terbungkus plastik putih transparan. Satu tahun lalu, Nayla membeli bahan kain dan menjahitkan bahan itu pada tukang jahit. Baju khusus yang ingin Nayla kenakan untuk menyambut kepulangan Damas nantinya. Tapi siapa sangka kalau pada akhirnya baju itu hanya akan menjadi pajangan saja dalam kamarnya.

Sambil menanti kepulangan Damas. Nayla terus membayangkan saat ia mengenakan baju itu dan menyambut Damas pulang. Pria itu akan tersenyum lebar lalu mengatakan Nayla cantik dan sangat pantas mengenakan baju itu. Kala itu, saat membayangkannya saja Nayla sudah tersipu malu. Tapi hari ini, saat memikirkan hal itu Nayla menangis. Air matanya jatuh lebih deras dari sebelumnya. Jantungnya serasa ditekan dengan keras, sesak.

Setelah kehilangan sesuatu yang disayangkan, ternyata jauh lebih menyakitkan dari apa yang Nayla bayangkan. Sakit disebabkan oleh penantian, Nayla berpikir akan melegakan jika pengikat itu ia lepaskan. Dan setelah ia lakukan, seperti inilah ia sekarang. Menangis dalam kesedihan. Menyesal, tapi takut kecewa jika harus kembali.

"Keputusan yang kamu ambil itu udah benar, Nak."

Nayla menoleh, mendengar suara sang Bunda terasa dekat dengannya. Dan mendapati sang Bunda berdiri di depan pintu, menatapnya penuh perhatikan sambil berjalan masuk.

"Bunda," lirih Nayla menatap sang Bunda yang kini ikut duduk bersamanya di atas lantai kamar.

Bunda Midar merangkul pundak Nayla pelan lalu mengarahkan putrinya itu untuk tidur dalam pangkuannya. Nayla menurut saja, dan merasakan bunda Midar mengelus kepalanya dengan lembut.

"Hari ini kamu sakit. Tapi besok, keadaan kamu akan lebih baik," kata bunda Midar, Nayla diam saja mendengarkan, "kehilangan seseorang yang kita sayang itu memang menyakitkan. Bunda paham perasaan kamu. Tapi kamu juga harus memahami hati kamu, kalau dia juga pasti lelah."

"Tapi Nayla sayang Damas, Bunda," lirih Nayla, air matanya kembali mengalir.

"Bunda tau ... kalau kamu nggak sayang, nggak mungkin kamu nungguin dia, kan?" tanya Bunda, bukan berniat bertanya sebenarnya, "tapi kamu juga harus tau, Nay ... dibalik keputusasaan kamu, ada orang lain yang pengen liat kamu bahagia. Dibalik penantian kamu, ada orang lain juga yang mengharapkan perhatian kamu."

Nayla diam saja, mendengarkan. Siapa pula yang ingin mendapatkan perhatiannya. Ia saja tidak pernah dekat dengan lelaki mana pun.

"Kamu harus tau kalau kamu itu berharga, sayang," kata Bunda Midar lembut, "dan ditangan orang yang tepat, kamu akan menjadi ratu."

"Jadi menurut Bunda, Damas bukan orang yang tepat untuk, Nay?" tanya Nayla.

"Bisa jadi," Bunda Midar tidak yakin juga, "tapi kalau dia memang sayang dan peduli sama kamu. Dia pasti bakalan menjadikan kamu prioritasnya, paling enggak setelah keluarganya."

"Mana ada yang kayak gitu Bunda," keluh Nayla.

"Ada," bantah Bunda Midar, "cuma kebetulan kamu belum ketemu aja," tambahnya. "Kayak kamu yang menjadikan Damas prioritas kamu, pria yang kamu temui nanti juga pasti bakalan jadiin kamu prioritasnya ... kalau dia benar-benar peduli sama kamu, tentunya."

Nayla diam saja berpikir beberapa saat, lalu menghela nafas.

"Damas tau nggak ya, Bunda, kalau Nay, nungguin dia di sini selama ini?" tanyanya menerawang jauh.

"Bunda nggak tau," kata Bunda Midar tidak bermaksud memutuskan perasaan sang anak, "tapi dari sini kita belajar, pentingnya komunikasi antar pasangan."

Nayla mengangguk. "Seenggaknya Nay, udah ngelakuin yang terbaik selama bersama dia, dan saat nunggu dia. Jadi seenggaknya, Nay, nggak terlalu merasa bersalah."

"Seiring berjalannya waktu, kamu pasti baik-baik aja sayang."

_________

Di rumah Damas...

Ayah Damas berdiri gelisah. Berjalan bolak-balik sembari berpikir.

"Kenapa bisa jadi begini?" tanya Ayah Damas tampak frustasi. Sedangkan Ibu Damas duduk menangis di atas sofa di dalam rumah. "Kamu ngomong apa sama Nayla?" tanyanya pada sang istri.

"Aku nggak ngomong apa-apa, Yah," sahut Ibu Damas dalam tangisnya. Merasa bersalah, tapi takut untuk mengakui perbuatannya.

"Kalau kamu nggak ngomong apa-apa, nggak mungkin Nayla memutuskan hubungannya dengan Damas ... keputusan Nayla pasti ada alasannya!"

"Kenapa Ayah jadi nyalahin, ibu?" tanya ibu Damas menatap sang suami dengan air mata.

"Ayah bukan menyalahkan, Ibu ... tapi ibu juga tau sendiri gimana sifat Nayla. Dia itu gadis yang baik, dewasa ... kalau bukan karna ada penyebabnya, dia nggak mungkin begini."

"Bisa aja dia udah punya pria lain," sahut ibu Damas asal, berniat membela diri.

"Ngomong apa kamu, Bu!" kesal Ayah Damas, "kamu juga bisa lihat sendiri kalau Nayla itu nggak pernah kemana-mana, kecuali ke dermaga buat nungguin anak kita."

"Bisa jadi cuma alasan, Yah ... bisa aja dia beralasan begitu padahal mau ketemu pria lain. Buktinya setiap sore dia diantar sama Pak camat."

Ayah Damas menggisar rambut ke belakang dengan frustasi sembari menghela nafas.

"Mendengar perkataanmu, aku yakin kalau penyebab ini semua juga kamu, Bu," kata Ayah Damas pelan, namun terkesan dingin.

"Kenapa Ayah ngomong begitu?" Ibu Damas terkejut mendengar penuturan sang suami.

"Jadi apa lagi?" tanya Ayah Damas, "semenjak kehidupan kita berkecukupan, kamu memang nggak bisa menjaga mulutmu ... selalu ngomong ini, itu, sesuka hatimu."

"Apa salahnya kalau ibu membanggakan hasil kerja keras anak!"

"Memang nggak salah ... tapi waktu dan kondisinya itu nggak tepat!"

"Halah, Ayah selalu saja begitu ... sama kayak Damas."

"Seenggaknya kamu harus ngertiin perasaan anakmu, Bu," kata ayah Damas lebih lembut, "kalau udah kayak gini, kamu mau ngomong apa sama Damas?"

"Jangan kasih tau Damas, Yah," ibu Damas kembali menangis. "Ibu nggak bakalan sanggup liat dia sedih. Ibu nggak bakalan sanggup kalau Damas kecewa sama ibu."

"Seharusnya kamu pikirkan itu sebelum bertindak, Bu," kata Ayah Damas, "seperti kamu yang ingin anakmu bahagia, orang tua Nayla juga mengharapkan hal yang sama ... Ayah aja kasihan liat Nayla nungguin Damas yang sama sekali nggak ada kabar. Apa lagi orang tuanya, pasti mereka sakit."

"Iya, ibu paham," ibu Damas mengalah, "jadi sekarang ibu harus gimana, Yah?" tanyanya meminta pendapat.

"Bicara sama Damas. Ceritain yang sebenarnya sama dia ... mau gimana pun, Damas berhak tau semuanya."

"Apa?" Ibu Damas terkejut, "Ayah mau Damas benci sama ibu?!"

"Itu udah resiko, Bu ... apa yang ibu tanam, itu juga yang akan ibu tuai," nasehat sang suami, "ceritakan semuanya, kalau kamu nggak mau Damas semakin kecewa."

Ibu Damas tidak membalas perkataan sang suami. Perlahan kepalanya menunduk. Kedua tangannya menutup seluruh wajah, ia menangis lagi kemudian.

"Maafin, ibu, Yah," lirih ibu Damas, "ibu yang salah ... ibu yang terlalu terbuai dengan apa yang Damas hasilkan sampai nggak mempedulikan perasaan Nayla, juga orang tuanya. Ibu salah."

"Kalau ibu sudah paham. Minta maaflah."

Ibu Damas mengangkat kepala untuk melihat sang suami. "Kalau ibu minta maaf, apa Nayla mau memaafkan ibu dan kembali lagi sama Damas?"

"Bisa jadi iya, bisa juga enggak," sahut Ayah Damas, "mau gimana pun hasilnya, nggak ada salahnya kalau ibu minta maaf."

"Jadi Damas gimana, Yah?" Air mata ibu Damas kembali menetes.

"Kalau masalah dengan Nayla udah selesai, kita bicarakan baik-baik sama Damas."

Ibu Damas tidak menyahut. Hanya mampu menyesali keegoisannya. Dan menunggu hasil akhir dari segala kejelasannya.

***

Related chapters

  • Dermaga Penantian   Bab 7

    Ketrin mendongak, mengalihkan pandangannya dari layar komputer di depannya, beralih ke atas meja, menatap plastik bertuliskan thank you di sana."Apaan, nih?" tanya Ketrin menoleh sekilas pada Nayla sembari meraih sesuatu yang dibungkus oleh sebuah plastik. Membuka pengikatnya, dan melihat isi di dalamnya. "Dress?" tanya Ketrin keheranan. "Buat gue?" tanyanya lagi memastikan dengan wajah heran. Nayla mengangguk. "Ah, seriusan lo?" Ketrin tidak percaya, "gue nggak suka dimainin kayak gini, ya."Nayla diam saja, tidak berniat memberikan penjelasan, hanya memandangi Ketrin biasa saja. "Beneran buat gue?" tanya Ketrin, meyakini jika dress itu memang Nayla berikan untuknya. "Tapi gue nggak lagi ulang tahun.""Emangnya harus nunggu kamu ulang tahun dulu, baru bisa kasih sesuatu?" Nayla balik bertanya. "Enggak, sih," sahut Ketrin cengengesan, "cuma gue bingung aja. Tumben-tumbenan amat lo ngasih gue beginian.""Ya kali, aku harus ngasih kamu dress tiap hari," kata Nayla, "emangnya kue da

    Last Updated : 2022-07-11
  • Dermaga Penantian   Bab 8

    Hati terasa tak tenang. Suasana terasa tak nyaman. Pandangan hanya mampu menyapu ruangan yang hanya diisi sepasang insan. Duduk berhadapan dengan meja sebagai pembatas antara keduanya. Nasi kotak juga jus buah tersedia di atas meja. Namun Nayla sama sekali tidak tertarik untuk menyentuhnya. "Ayo, makan."Suara ajakan itu seakan menegur Nayla, menyadarkannya dari lamunan. Namun bukan langsung menyentuh makanannya, Nayla justru memperhatikan Alga yang tengah nikmat menyantap makanan yang ia pesan. Ya, pada akhirnya Nayla tidak berhasil menolak tawaran Alga, dan pada akhirnya keduanya makan siang bersama, berdua, dalam ruangan Alga. _________"Makasih, Pak, tapi saya makan sendiri aja." Nayla berusaha menolak. Tak ingin terpengaruh dengan bisikan Ketrin, meski wanita itu memasang wajah bersalah. "Makan bareng saya dulu. Terima kasihnya nanti," sahut Alga tersenyum tipis pada Nayla. Nayla tidak langsung menyahut. Memandangi Alga memperjelas penolakannya. Namun bukannya menyerah, Alga

    Last Updated : 2022-08-10
  • Dermaga Penantian   Bab 9

    Sore itu Nayla pulang ke rumah. Merasa heran sebab di depan rumah Damas — gazebo, tidak lagi terlihat ibu Damas berada di sana, membanggakan putranya di depan teman-temannya. Nayla mengangkat bahu bersikap tidak peduli. Ibu Damas hendak melakukan apa pun, itu bukanlah urusan Nayla, selama itu tidak menyangkut pautkan dirinya.Nayla turun dari motor, memarkirkan motor itu di samping rumah. Berjalan sampai ke depan pintu mendapati sepasang sendal asing di sana. Berpikir jika sang bunda sedang kedatangan tamu saja. Baru saja Nayla menapakkan kaki di dalam rumah. Di ruang tengah ia mendengar samar-samar percakapan dari sana. Nayla mengenal suara itu. Suara sang bunda, juga ... ibu Damas. "Tolonglah, mbak, bujuk Nayla," ibu Damas terdengar memohon, "mbak, juga tau kalau Damas sangat mencintai Nayla ... kalau sampai Damas tau Nayla mengakhiri hubungan mereka seperti ini, Damas pasti merasa kecewa.""Aduh, bagaimana ya, Mar. Semuanya itu keputusan Nayla, aku nggak punya hak untuk ikut cam

    Last Updated : 2022-09-12
  • Dermaga Penantian   Bab 1

    Angin laut kian berhembus kencang ke daratan. Matahari sudah mulai turun, dan langit kini sudah berubah warna menjadi jingga. Tapi Nayla, gadis itu masih senantiasa berdiri di tempat pertama kali ia mengantar seseorang, yaitu sang kekasih yang pergi merantau ke negeri orang.Dari dermaga, tempat saat ini ia berdiri, Nayla memandangi laut luas yang tampak tak berujung. Beberapa kapal berukuran cukup besar sedang berlayar melintasi laut luas itu, dan beberapa kapal juga ada yang berlabuh di dermaga itu."Nayla!"Nayla tolehkan kepalanya saat seseorang menyerukan namanya."Mas Alga?" Nayla memperhatikan Alga yang berjalan menghampirinya, lalu berhenti dan berdiri berdampingan dengannya."Kamu masih di sini ternyata," ucap Alga, Nayla mengalihkan pandangannya, "aku nggak nyangka, setelah tiga tahun berlalu pun kamu masih nungguin dia ... dan selama tiga tahun itu juga nggak ada kabar dari dia.""Kamu sendiri, kan, juga tau, Mas, kalau hapeku hilang kemarin," Nayla mengulas senyum simpul.

    Last Updated : 2022-05-24
  • Dermaga Penantian   Bab 2

    Tiga tahun yang lalu...Nayla menatapi Damas yang tengah melamun. Entah apa yang sedang pria itu pikirkan. Mengabaikan nasi goreng yang kini sudah tersedia di atas meja di hadapannya.Ia ingin mengabaikan. Tapi tetap saja pandangannya tertoleh pada pria yang tengah memainkan nasi di depannya dengan sendok."Kamu kenapa, sih, Dam?" tanya Nayla akhirnya. Ia tidak bisa berdiam diri saja sebab pemandangan di hadapannya itu sangat meresahkan. "Kamu mikirin apa?" tanya Nayla lagi setelah tidak mendapat jawaban dari Damas."Nay," Damas meletakkan sendok di tangannya ke atas piring, benar-benar mengabaikan nasi goreng itu sekarang, "kamu pernah kepikiran buat nikah nggak?" tanyanya. Bukannya menjawab pertanyaan Nayla, pria itu malah balik bertanya.Nayla merasa sungkan untuk membahasnya. Tapi karena Damas sendiri yang memulainya lebih dulu, maka Nayla hanya perlu menjawab. "Pernah," jawabnya sembari mengangguk."Kamu mau nikah?" tanya Damas lagi.Nayla berkerut kening. "Sebenarnya kamu mau ba

    Last Updated : 2022-05-24
  • Dermaga Penantian   Bab 3

    Nayla masuk ke dalam kamar dengan semangatnya yang hilang entah kemana. Berdiri ia menghadap ke nakas, melihat foto berbingkai yang terpajang di sana. Tiga tahun berlalu, Nayla masih saja setia dan hidup seperti orang bodoh untuk seseorang yang bahkan belum tentu mengharapkannya lagi. Bertahan, berharap, dan menanti. Hari-harinya ia habiskan untuk sesuatu yang percuma, dan tentunya belum pasti. Ia merasa benar-benar bodoh, dan merasa ditipu. Mungkinkah kepergian pria itu hanya untuk menghindarinya? Iya, itu mungkin saja. Dua tahun menjalani hubungan dengan Nayla, bisa saja pria itu bosan. Ingin mengakhiri hubungan, tapi tidak tega dengan Nayla yang terlihat berharap akan dirinya. Hingga pergi tanpa sebuah kabar, dan tidak kembali menjadi jalan yang pria itu tempuh. Nayla melangkah dengan kebencian, juga kekecewaan menuju nakas. Menutup foto berbingkai itu hingga melihatkan bagian belakangnya saja. Nayla menghela nafas beberapa kali mengurangi rasa sesak yang seketika menghampiri. Ba

    Last Updated : 2022-05-24
  • Dermaga Penantian   Bab 4

    Keesokan harinya..."Makan siang, Nay ... jangan kerja terus," sapa Ketrin. Berdiri di depan meja kerja Nayla."Loh, udah masuk jam makan siang, ya?"Ketrin menghela nafas. "Makanya, Nay, cari pacar. Biar ada yang ngingetin buat makan."Nayla tersenyum saja. Ia membereskan dokumen di atas meja kerja lalu bangkit dari kursi kerjanya."Cariin makanya," sahut Nayla."Gaya-gayaan lo, minta cariin sama gue. Padahal banyak cowok yang ngantri di belakang lo itu," balas Ketrin ketus.Nayla tertawa saja. Menggandeng lengan Ketrin berjalan bersama menuju kantin untuk makan siang.Ketrin adalah teman Nayla yang berasal dari Jakarta. Sudah dua tahun wanita itu dipindah tugaskan ke daerah terpencil di desa Nayla tinggal. Sulit untuk Ketrin bergaul disebabkan cara bicaranya yang terkesan angkuh, menurut teman-teman kantor. Tapi tidak dengan Nayla. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan perbedaan Ketrin. Dan untuk hubungan Nayla dan Damas, Ketrin sama sekali tidak tau tentang hubungan mereka. Yang Ket

    Last Updated : 2022-05-24
  • Dermaga Penantian   Bab 5

    Kesibukan orang-orang di depan sana tidak mampu mengalihkan perhatian wanita berusia 27 tahun itu dari lamunan. Kepalanya terus saja mengulang percakapan-percakapan serta kemungkinan yang Ketrin bicarakan. Ternyata kepalanya tidak mampu bersikap masa bodoh, seperti yang ia perlihatkan sebelumnya. Tidak mungkin! Itu hanya dugaan tak mendasar saja!Kalimat itu Nayla jadikan sebagai penghibur. Meski waktu penenangnya tidak berlangsung lama. Tapi setidaknya mampu mengurangi rasa sakit dikepalanya. "Iya, Damas bentar lagi pulang kok."Samar-samar Nayla mendengar percakapan itu dari luar sana, yang ternyata mampu mengalihkan perhatiannya kali ini. Nayla menyeringai miris. Bukan sekali, dua kali ia mendengar kalimat itu. Rasa berharap saat mendengar kata-kata itu kini berubah menjadi rasa bosan, muak. Usaha meyakinkan tanpa satu bukti kepastian membuat rasa lelah itu lebih menekan. Bahkan rindu terpendam itu kini berubah menjadi dendam. Niat meninggalkan itu semakin kuat saja meyakinkan.

    Last Updated : 2022-05-24

Latest chapter

  • Dermaga Penantian   Bab 9

    Sore itu Nayla pulang ke rumah. Merasa heran sebab di depan rumah Damas — gazebo, tidak lagi terlihat ibu Damas berada di sana, membanggakan putranya di depan teman-temannya. Nayla mengangkat bahu bersikap tidak peduli. Ibu Damas hendak melakukan apa pun, itu bukanlah urusan Nayla, selama itu tidak menyangkut pautkan dirinya.Nayla turun dari motor, memarkirkan motor itu di samping rumah. Berjalan sampai ke depan pintu mendapati sepasang sendal asing di sana. Berpikir jika sang bunda sedang kedatangan tamu saja. Baru saja Nayla menapakkan kaki di dalam rumah. Di ruang tengah ia mendengar samar-samar percakapan dari sana. Nayla mengenal suara itu. Suara sang bunda, juga ... ibu Damas. "Tolonglah, mbak, bujuk Nayla," ibu Damas terdengar memohon, "mbak, juga tau kalau Damas sangat mencintai Nayla ... kalau sampai Damas tau Nayla mengakhiri hubungan mereka seperti ini, Damas pasti merasa kecewa.""Aduh, bagaimana ya, Mar. Semuanya itu keputusan Nayla, aku nggak punya hak untuk ikut cam

  • Dermaga Penantian   Bab 8

    Hati terasa tak tenang. Suasana terasa tak nyaman. Pandangan hanya mampu menyapu ruangan yang hanya diisi sepasang insan. Duduk berhadapan dengan meja sebagai pembatas antara keduanya. Nasi kotak juga jus buah tersedia di atas meja. Namun Nayla sama sekali tidak tertarik untuk menyentuhnya. "Ayo, makan."Suara ajakan itu seakan menegur Nayla, menyadarkannya dari lamunan. Namun bukan langsung menyentuh makanannya, Nayla justru memperhatikan Alga yang tengah nikmat menyantap makanan yang ia pesan. Ya, pada akhirnya Nayla tidak berhasil menolak tawaran Alga, dan pada akhirnya keduanya makan siang bersama, berdua, dalam ruangan Alga. _________"Makasih, Pak, tapi saya makan sendiri aja." Nayla berusaha menolak. Tak ingin terpengaruh dengan bisikan Ketrin, meski wanita itu memasang wajah bersalah. "Makan bareng saya dulu. Terima kasihnya nanti," sahut Alga tersenyum tipis pada Nayla. Nayla tidak langsung menyahut. Memandangi Alga memperjelas penolakannya. Namun bukannya menyerah, Alga

  • Dermaga Penantian   Bab 7

    Ketrin mendongak, mengalihkan pandangannya dari layar komputer di depannya, beralih ke atas meja, menatap plastik bertuliskan thank you di sana."Apaan, nih?" tanya Ketrin menoleh sekilas pada Nayla sembari meraih sesuatu yang dibungkus oleh sebuah plastik. Membuka pengikatnya, dan melihat isi di dalamnya. "Dress?" tanya Ketrin keheranan. "Buat gue?" tanyanya lagi memastikan dengan wajah heran. Nayla mengangguk. "Ah, seriusan lo?" Ketrin tidak percaya, "gue nggak suka dimainin kayak gini, ya."Nayla diam saja, tidak berniat memberikan penjelasan, hanya memandangi Ketrin biasa saja. "Beneran buat gue?" tanya Ketrin, meyakini jika dress itu memang Nayla berikan untuknya. "Tapi gue nggak lagi ulang tahun.""Emangnya harus nunggu kamu ulang tahun dulu, baru bisa kasih sesuatu?" Nayla balik bertanya. "Enggak, sih," sahut Ketrin cengengesan, "cuma gue bingung aja. Tumben-tumbenan amat lo ngasih gue beginian.""Ya kali, aku harus ngasih kamu dress tiap hari," kata Nayla, "emangnya kue da

  • Dermaga Penantian   Bab 6

    Angin laut berhembus hingga ke daratan, memberikan kesan sejuk yang menyegarkan. Namun kesegaran itu tidak mampu menyejukkan hati Nayla yang terasa panas yang disebabkan oleh patah hati. Setelah memutuskan untuk menyerah atas segala penantian. Tidak bisa Nayla pungkiri jika hatinya lebih sakit dari sebelumnya. Rasa rindu yang semakin kuat membuat ia merasa menyesal atas keputusannya. Merasa terlalu mudah menyerah meski pun sudah tiga tahun lamanya ia menanti dalam ketidakpastian. Nayla mengangkat kepala. Pandangannya tidak sengaja menangkap sebuah dress yang tergantung dan terbungkus plastik putih transparan. Satu tahun lalu, Nayla membeli bahan kain dan menjahitkan bahan itu pada tukang jahit. Baju khusus yang ingin Nayla kenakan untuk menyambut kepulangan Damas nantinya. Tapi siapa sangka kalau pada akhirnya baju itu hanya akan menjadi pajangan saja dalam kamarnya. Sambil menanti kepulangan Damas. Nayla terus membayangkan saat ia mengenakan baju itu dan menyambut Damas pulang. P

  • Dermaga Penantian   Bab 5

    Kesibukan orang-orang di depan sana tidak mampu mengalihkan perhatian wanita berusia 27 tahun itu dari lamunan. Kepalanya terus saja mengulang percakapan-percakapan serta kemungkinan yang Ketrin bicarakan. Ternyata kepalanya tidak mampu bersikap masa bodoh, seperti yang ia perlihatkan sebelumnya. Tidak mungkin! Itu hanya dugaan tak mendasar saja!Kalimat itu Nayla jadikan sebagai penghibur. Meski waktu penenangnya tidak berlangsung lama. Tapi setidaknya mampu mengurangi rasa sakit dikepalanya. "Iya, Damas bentar lagi pulang kok."Samar-samar Nayla mendengar percakapan itu dari luar sana, yang ternyata mampu mengalihkan perhatiannya kali ini. Nayla menyeringai miris. Bukan sekali, dua kali ia mendengar kalimat itu. Rasa berharap saat mendengar kata-kata itu kini berubah menjadi rasa bosan, muak. Usaha meyakinkan tanpa satu bukti kepastian membuat rasa lelah itu lebih menekan. Bahkan rindu terpendam itu kini berubah menjadi dendam. Niat meninggalkan itu semakin kuat saja meyakinkan.

  • Dermaga Penantian   Bab 4

    Keesokan harinya..."Makan siang, Nay ... jangan kerja terus," sapa Ketrin. Berdiri di depan meja kerja Nayla."Loh, udah masuk jam makan siang, ya?"Ketrin menghela nafas. "Makanya, Nay, cari pacar. Biar ada yang ngingetin buat makan."Nayla tersenyum saja. Ia membereskan dokumen di atas meja kerja lalu bangkit dari kursi kerjanya."Cariin makanya," sahut Nayla."Gaya-gayaan lo, minta cariin sama gue. Padahal banyak cowok yang ngantri di belakang lo itu," balas Ketrin ketus.Nayla tertawa saja. Menggandeng lengan Ketrin berjalan bersama menuju kantin untuk makan siang.Ketrin adalah teman Nayla yang berasal dari Jakarta. Sudah dua tahun wanita itu dipindah tugaskan ke daerah terpencil di desa Nayla tinggal. Sulit untuk Ketrin bergaul disebabkan cara bicaranya yang terkesan angkuh, menurut teman-teman kantor. Tapi tidak dengan Nayla. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan perbedaan Ketrin. Dan untuk hubungan Nayla dan Damas, Ketrin sama sekali tidak tau tentang hubungan mereka. Yang Ket

  • Dermaga Penantian   Bab 3

    Nayla masuk ke dalam kamar dengan semangatnya yang hilang entah kemana. Berdiri ia menghadap ke nakas, melihat foto berbingkai yang terpajang di sana. Tiga tahun berlalu, Nayla masih saja setia dan hidup seperti orang bodoh untuk seseorang yang bahkan belum tentu mengharapkannya lagi. Bertahan, berharap, dan menanti. Hari-harinya ia habiskan untuk sesuatu yang percuma, dan tentunya belum pasti. Ia merasa benar-benar bodoh, dan merasa ditipu. Mungkinkah kepergian pria itu hanya untuk menghindarinya? Iya, itu mungkin saja. Dua tahun menjalani hubungan dengan Nayla, bisa saja pria itu bosan. Ingin mengakhiri hubungan, tapi tidak tega dengan Nayla yang terlihat berharap akan dirinya. Hingga pergi tanpa sebuah kabar, dan tidak kembali menjadi jalan yang pria itu tempuh. Nayla melangkah dengan kebencian, juga kekecewaan menuju nakas. Menutup foto berbingkai itu hingga melihatkan bagian belakangnya saja. Nayla menghela nafas beberapa kali mengurangi rasa sesak yang seketika menghampiri. Ba

  • Dermaga Penantian   Bab 2

    Tiga tahun yang lalu...Nayla menatapi Damas yang tengah melamun. Entah apa yang sedang pria itu pikirkan. Mengabaikan nasi goreng yang kini sudah tersedia di atas meja di hadapannya.Ia ingin mengabaikan. Tapi tetap saja pandangannya tertoleh pada pria yang tengah memainkan nasi di depannya dengan sendok."Kamu kenapa, sih, Dam?" tanya Nayla akhirnya. Ia tidak bisa berdiam diri saja sebab pemandangan di hadapannya itu sangat meresahkan. "Kamu mikirin apa?" tanya Nayla lagi setelah tidak mendapat jawaban dari Damas."Nay," Damas meletakkan sendok di tangannya ke atas piring, benar-benar mengabaikan nasi goreng itu sekarang, "kamu pernah kepikiran buat nikah nggak?" tanyanya. Bukannya menjawab pertanyaan Nayla, pria itu malah balik bertanya.Nayla merasa sungkan untuk membahasnya. Tapi karena Damas sendiri yang memulainya lebih dulu, maka Nayla hanya perlu menjawab. "Pernah," jawabnya sembari mengangguk."Kamu mau nikah?" tanya Damas lagi.Nayla berkerut kening. "Sebenarnya kamu mau ba

  • Dermaga Penantian   Bab 1

    Angin laut kian berhembus kencang ke daratan. Matahari sudah mulai turun, dan langit kini sudah berubah warna menjadi jingga. Tapi Nayla, gadis itu masih senantiasa berdiri di tempat pertama kali ia mengantar seseorang, yaitu sang kekasih yang pergi merantau ke negeri orang.Dari dermaga, tempat saat ini ia berdiri, Nayla memandangi laut luas yang tampak tak berujung. Beberapa kapal berukuran cukup besar sedang berlayar melintasi laut luas itu, dan beberapa kapal juga ada yang berlabuh di dermaga itu."Nayla!"Nayla tolehkan kepalanya saat seseorang menyerukan namanya."Mas Alga?" Nayla memperhatikan Alga yang berjalan menghampirinya, lalu berhenti dan berdiri berdampingan dengannya."Kamu masih di sini ternyata," ucap Alga, Nayla mengalihkan pandangannya, "aku nggak nyangka, setelah tiga tahun berlalu pun kamu masih nungguin dia ... dan selama tiga tahun itu juga nggak ada kabar dari dia.""Kamu sendiri, kan, juga tau, Mas, kalau hapeku hilang kemarin," Nayla mengulas senyum simpul.

DMCA.com Protection Status