Nayla menatapi Damas yang tengah melamun. Entah apa yang sedang pria itu pikirkan. Mengabaikan nasi goreng yang kini sudah tersedia di atas meja di hadapannya.
Ia ingin mengabaikan. Tapi tetap saja pandangannya tertoleh pada pria yang tengah memainkan nasi di depannya dengan sendok.
"Kamu kenapa, sih, Dam?" tanya Nayla akhirnya. Ia tidak bisa berdiam diri saja sebab pemandangan di hadapannya itu sangat meresahkan. "Kamu mikirin apa?" tanya Nayla lagi setelah tidak mendapat jawaban dari Damas.
"Nay," Damas meletakkan sendok di tangannya ke atas piring, benar-benar mengabaikan nasi goreng itu sekarang, "kamu pernah kepikiran buat nikah nggak?" tanyanya. Bukannya menjawab pertanyaan Nayla, pria itu malah balik bertanya.
Nayla merasa sungkan untuk membahasnya. Tapi karena Damas sendiri yang memulainya lebih dulu, maka Nayla hanya perlu menjawab. "Pernah," jawabnya sembari mengangguk.
"Kamu mau nikah?" tanya Damas lagi.
Nayla berkerut kening. "Sebenarnya kamu mau bahas apa, sih?"
Damas menghela nafas. "Akhir-akhir ini aku kepikiran buat nikah sama kamu Nay ... kamu pasti kepikiran juga, kan?" tanyanya lagi.
Nayla tersenyum. "Umurku udah 24 tahun, Dam ... bohong kalau aku bilang nggak kepikiran," ucapnya.
"Aku mau merantau, Nay."
Nayla tertegun, memandang Damas bingung. Apa hubungannya merantau dengan membahas pernikahan?
"Aku mau cari modal, sekalian buat biaya pernikahan kita," lanjut Damas menjelaskan, "aku mau mewujudkan pernikahan impian kamu."
"Kenapa harus merantau? Kenapa nggak kerja di sini aja?"
"Kamu, kan, tau gaji di sini nggak seberapa, Nay ... belum lagi aku harus bantu biaya kehidupan kami ... uang yang didapat nggak bakalan cukup, Nay."
Nayla diam saja. Tidak tau harus menjawab apa.
"Cuma setahun sampai dua tahun aja, Nay ... setelah uangnya terkumpul, aku pulang dan ngelamar kamu."
"Ibu sama Bapak kamu nggak bisa bantu?" tanya Nayla, membayangkan jauh dari Damas saja ia tidak sanggup, "maksudku bukan minta, tapi minjam ... aku bakal bantu kamu mulangin uang itu nanti setelah kita nikah."
"Andai bisa begitu, Nay," lirih Damas, meski tidak menjelaskan Nayla sudah tau apa maksudnya.
"Berangkatnya kapan, kalau kamu pergi?" tanya Nayla setelah diam beberapa saat.
"Lusa," sahut Damas, "aku berangkat bareng Rusli," tambahnya kemudian.
Nayla diam. Lagi. Tidak tau harus bicara apa. Damas tampak tertekan. Mungkin benar-benar memikirkan kelanjutan hubungannya dengan Nayla, dan kehidupan keluarganya.
"Pergilah," ucap Nayla pelan. Dengan berat hati ia mencoba mengizinkan.
"Kamu ngizinin aku?" tanya Damas memastikan.
Nayla mengangguk. "Iya."
Damas merasa terharu, ia genggam tangan Nayla lembut. "Terima kasih, Nay ... aku bakalan kerja dengan giat supaya bisa pulang cepat dan segera menikah sama kamu."
Nayla tersenyum saja, lalu mengangguk.
Dua hari telah berlalu. Saat ini Nayla sedang berada di rumah Damas, berkumpul dengan keluarga Damas untuk mengantar kepergian pria itu.
"Kamu hati-hati di jalan, ya, Nak ... kalau udah sampai jangan lupa kabari ibu," kata ibu Damas mengantarkan pria itu ke depan pintu.
"Iya, buk," sahut Damas, "ibu sama bapak juga kalau ada apa-apa, jangan lupa kabari Damas," tambahnya.
"Tenang aja ... ibu sama bapak, nggak perlu kamu pikirkan," sambut bapak Damas sembari menepuk pundak pria itu pelan.
"Ibu sama bapak cuma bisa antar kamu sampai sini," kata ibu Damas berusaha menahan air mata, "biar Nayla yang ngantar kamu sampai pelabuhan."
Damas mengangguk. Sungkeman pada kedua orang tuanya berpamitan. Damas berangkat ditemani Nayla. Tiba di tempat sudah mendapati Rusli duduk menunggunya.
"Aku telat?" tanya Damas pada Rusli.
"Enggak," sahut Rusli, "langkahmu pas karna nggak perlu nunggu lama." Rusli bangkit dari duduknya. "Ayo!" ajaknya. "Oh, mau perpisahan dulu, ya?" tanyanya menggoda Nayla dan Damas, lalu berjalan lebih dulu masuk ke dalam kapal.
Damas menggenggam tangan Nayla lalu tersenyum lembut. "Kamu hati-hati di sini, ya ... kalau aku udah sampai, aku bakalan langsung hubungi kamu." Damas mengecup kening Nayla, mengusap lembut kepala gadis itu kemudian.
"Kamu yang hati-hati di sana ... jangan lupain aku."
Damas mengangguk. "Aku pergi, ya."
Nayla mengangguk. Tersenyum samar memandangi Damas yang berjalan masuk ke dalam kapal. Seketika pandangan Nayla buram oleh genangan air mata yang siap mengalir.
Terompet tanda kapal akan segera berangkat pun berbunyi. Nayla melambaikan tangan pada Damas. Perlahan air mata pun menetes di pipinya.
Nayla menjatuhkan tubuhnya, berjongkok. Memukul-mukul dadanya yang seketika terasa sesak. Isakan tangis pun tidak lagi mampu ia tahan. Damas sudah pergi, meninggalkan Nayla seorang diri dengan rasa rindu yang semakin menambah rasa sesak itu. Dua tahun. Nayla bahkan sudah merindukan Damas, bahkan sebelum pria itu pergi.
Dengan wajahnya yang basah Nayla mendongak memandang seseorang yang saat ini menyentuh kedua lengan atasnya dan menariknya untuk berdiri.
"Mas Alga," suara Nayla bergetar. Air mata itu kembali mengalir tanpa bisa ia tahan.
"Ayo, pulang," ajak Alga, berjalan berdampingan dengan Nayla, memapah gadis itu.
Nayla menoleh ke belakang, melihat kapal yang Damas tumpangi sebelum akhirnya ia benar-benar pergi.
Rasa rindu semakin tidak sanggup untuk Nayla tahan. Air mata pun terus mengalir membasahi pipinya. Tubuhnya seketika terasa lemah hingga tidak sanggup untuk ia gerakkan. Hanya berguling di dalam kamar sembari menatapi fotonya bersama Damas.
"Kalau aku udah pulang nanti, kamu mau oleh-oleh apa?" tanya Damas sehari sebelum keberangkatannya.
"Belum juga pergi, udah cerita oleh-oleh aja."
Damas terkekeh. "Itu persiapan supaya aku cepat pulang."
Nayla mendesah. "Belum juga pergi, udah cerita pulang aja."
Dimas terkekeh lagi. Menarik Nayla dalam pelukannya. Nayla menyandarkan kepala di dada Damas.
"Belum apa-apa, tapi aku udah kangen kamu aja," kata Damas mengikuti cara bicara Nayla.
Tak menggubris gurauan Damas, Nayla mendongakkan kepala untuk melihat Damas. "Kamu nggak bakalan ngelirik cewek lain di sana nanti, kan?"
Damas tertawa. "Kamu lucu banget, sih," ucapnya mencubit pipi Nayla gemas.
"Sakit, Damas," Nayla menepis tangan Damas hingga lepas dari pipinya.
Damas tertawa. Bahkan lebih keras dari sebelumnya. Tapi sesaat kemudian senyumnya mereda, berganti dengan raut bingung.
"Kenapa, Nay?"
Nayla tersenyum samar. "Kayaknya aku bakalan kangen masa-masa berdua sama kamu, Dam."
"Jelaslah!" seru Damas percaya diri, "jahat banget kalau kamu sampai nggak kangen sama aku."
Nayla melirik Damas tajam, membuat pria itu seketika diam. Menampilkan giginya, cengengesan. Perlahan kepala Damas menunduk, mengecup mata Nayla bergantian.
"Biar nggak kebiasaan," bisiknya.
Nayla memalingkan wajah, menyembunyikan senyumnya.
"Kalau mau senyum, senyum aja ... nggak usah ditahan."
"Ih, apaan, sih!" Nayla mencubit pinggang Damas. Bukannya kesakitan, pria itu malah tertawa kegirangan. Melingkarkan kedua lengannya pada tubuh Nayla, memeluk tubuh gadis itu erat.
Nayla masuk ke dalam kamar dengan semangatnya yang hilang entah kemana. Berdiri ia menghadap ke nakas, melihat foto berbingkai yang terpajang di sana. Tiga tahun berlalu, Nayla masih saja setia dan hidup seperti orang bodoh untuk seseorang yang bahkan belum tentu mengharapkannya lagi. Bertahan, berharap, dan menanti. Hari-harinya ia habiskan untuk sesuatu yang percuma, dan tentunya belum pasti. Ia merasa benar-benar bodoh, dan merasa ditipu. Mungkinkah kepergian pria itu hanya untuk menghindarinya? Iya, itu mungkin saja. Dua tahun menjalani hubungan dengan Nayla, bisa saja pria itu bosan. Ingin mengakhiri hubungan, tapi tidak tega dengan Nayla yang terlihat berharap akan dirinya. Hingga pergi tanpa sebuah kabar, dan tidak kembali menjadi jalan yang pria itu tempuh. Nayla melangkah dengan kebencian, juga kekecewaan menuju nakas. Menutup foto berbingkai itu hingga melihatkan bagian belakangnya saja. Nayla menghela nafas beberapa kali mengurangi rasa sesak yang seketika menghampiri. Ba
Keesokan harinya..."Makan siang, Nay ... jangan kerja terus," sapa Ketrin. Berdiri di depan meja kerja Nayla."Loh, udah masuk jam makan siang, ya?"Ketrin menghela nafas. "Makanya, Nay, cari pacar. Biar ada yang ngingetin buat makan."Nayla tersenyum saja. Ia membereskan dokumen di atas meja kerja lalu bangkit dari kursi kerjanya."Cariin makanya," sahut Nayla."Gaya-gayaan lo, minta cariin sama gue. Padahal banyak cowok yang ngantri di belakang lo itu," balas Ketrin ketus.Nayla tertawa saja. Menggandeng lengan Ketrin berjalan bersama menuju kantin untuk makan siang.Ketrin adalah teman Nayla yang berasal dari Jakarta. Sudah dua tahun wanita itu dipindah tugaskan ke daerah terpencil di desa Nayla tinggal. Sulit untuk Ketrin bergaul disebabkan cara bicaranya yang terkesan angkuh, menurut teman-teman kantor. Tapi tidak dengan Nayla. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan perbedaan Ketrin. Dan untuk hubungan Nayla dan Damas, Ketrin sama sekali tidak tau tentang hubungan mereka. Yang Ket
Kesibukan orang-orang di depan sana tidak mampu mengalihkan perhatian wanita berusia 27 tahun itu dari lamunan. Kepalanya terus saja mengulang percakapan-percakapan serta kemungkinan yang Ketrin bicarakan. Ternyata kepalanya tidak mampu bersikap masa bodoh, seperti yang ia perlihatkan sebelumnya. Tidak mungkin! Itu hanya dugaan tak mendasar saja!Kalimat itu Nayla jadikan sebagai penghibur. Meski waktu penenangnya tidak berlangsung lama. Tapi setidaknya mampu mengurangi rasa sakit dikepalanya. "Iya, Damas bentar lagi pulang kok."Samar-samar Nayla mendengar percakapan itu dari luar sana, yang ternyata mampu mengalihkan perhatiannya kali ini. Nayla menyeringai miris. Bukan sekali, dua kali ia mendengar kalimat itu. Rasa berharap saat mendengar kata-kata itu kini berubah menjadi rasa bosan, muak. Usaha meyakinkan tanpa satu bukti kepastian membuat rasa lelah itu lebih menekan. Bahkan rindu terpendam itu kini berubah menjadi dendam. Niat meninggalkan itu semakin kuat saja meyakinkan.
Angin laut berhembus hingga ke daratan, memberikan kesan sejuk yang menyegarkan. Namun kesegaran itu tidak mampu menyejukkan hati Nayla yang terasa panas yang disebabkan oleh patah hati. Setelah memutuskan untuk menyerah atas segala penantian. Tidak bisa Nayla pungkiri jika hatinya lebih sakit dari sebelumnya. Rasa rindu yang semakin kuat membuat ia merasa menyesal atas keputusannya. Merasa terlalu mudah menyerah meski pun sudah tiga tahun lamanya ia menanti dalam ketidakpastian. Nayla mengangkat kepala. Pandangannya tidak sengaja menangkap sebuah dress yang tergantung dan terbungkus plastik putih transparan. Satu tahun lalu, Nayla membeli bahan kain dan menjahitkan bahan itu pada tukang jahit. Baju khusus yang ingin Nayla kenakan untuk menyambut kepulangan Damas nantinya. Tapi siapa sangka kalau pada akhirnya baju itu hanya akan menjadi pajangan saja dalam kamarnya. Sambil menanti kepulangan Damas. Nayla terus membayangkan saat ia mengenakan baju itu dan menyambut Damas pulang. P
Ketrin mendongak, mengalihkan pandangannya dari layar komputer di depannya, beralih ke atas meja, menatap plastik bertuliskan thank you di sana."Apaan, nih?" tanya Ketrin menoleh sekilas pada Nayla sembari meraih sesuatu yang dibungkus oleh sebuah plastik. Membuka pengikatnya, dan melihat isi di dalamnya. "Dress?" tanya Ketrin keheranan. "Buat gue?" tanyanya lagi memastikan dengan wajah heran. Nayla mengangguk. "Ah, seriusan lo?" Ketrin tidak percaya, "gue nggak suka dimainin kayak gini, ya."Nayla diam saja, tidak berniat memberikan penjelasan, hanya memandangi Ketrin biasa saja. "Beneran buat gue?" tanya Ketrin, meyakini jika dress itu memang Nayla berikan untuknya. "Tapi gue nggak lagi ulang tahun.""Emangnya harus nunggu kamu ulang tahun dulu, baru bisa kasih sesuatu?" Nayla balik bertanya. "Enggak, sih," sahut Ketrin cengengesan, "cuma gue bingung aja. Tumben-tumbenan amat lo ngasih gue beginian.""Ya kali, aku harus ngasih kamu dress tiap hari," kata Nayla, "emangnya kue da
Hati terasa tak tenang. Suasana terasa tak nyaman. Pandangan hanya mampu menyapu ruangan yang hanya diisi sepasang insan. Duduk berhadapan dengan meja sebagai pembatas antara keduanya. Nasi kotak juga jus buah tersedia di atas meja. Namun Nayla sama sekali tidak tertarik untuk menyentuhnya. "Ayo, makan."Suara ajakan itu seakan menegur Nayla, menyadarkannya dari lamunan. Namun bukan langsung menyentuh makanannya, Nayla justru memperhatikan Alga yang tengah nikmat menyantap makanan yang ia pesan. Ya, pada akhirnya Nayla tidak berhasil menolak tawaran Alga, dan pada akhirnya keduanya makan siang bersama, berdua, dalam ruangan Alga. _________"Makasih, Pak, tapi saya makan sendiri aja." Nayla berusaha menolak. Tak ingin terpengaruh dengan bisikan Ketrin, meski wanita itu memasang wajah bersalah. "Makan bareng saya dulu. Terima kasihnya nanti," sahut Alga tersenyum tipis pada Nayla. Nayla tidak langsung menyahut. Memandangi Alga memperjelas penolakannya. Namun bukannya menyerah, Alga
Sore itu Nayla pulang ke rumah. Merasa heran sebab di depan rumah Damas — gazebo, tidak lagi terlihat ibu Damas berada di sana, membanggakan putranya di depan teman-temannya. Nayla mengangkat bahu bersikap tidak peduli. Ibu Damas hendak melakukan apa pun, itu bukanlah urusan Nayla, selama itu tidak menyangkut pautkan dirinya.Nayla turun dari motor, memarkirkan motor itu di samping rumah. Berjalan sampai ke depan pintu mendapati sepasang sendal asing di sana. Berpikir jika sang bunda sedang kedatangan tamu saja. Baru saja Nayla menapakkan kaki di dalam rumah. Di ruang tengah ia mendengar samar-samar percakapan dari sana. Nayla mengenal suara itu. Suara sang bunda, juga ... ibu Damas. "Tolonglah, mbak, bujuk Nayla," ibu Damas terdengar memohon, "mbak, juga tau kalau Damas sangat mencintai Nayla ... kalau sampai Damas tau Nayla mengakhiri hubungan mereka seperti ini, Damas pasti merasa kecewa.""Aduh, bagaimana ya, Mar. Semuanya itu keputusan Nayla, aku nggak punya hak untuk ikut cam
Angin laut kian berhembus kencang ke daratan. Matahari sudah mulai turun, dan langit kini sudah berubah warna menjadi jingga. Tapi Nayla, gadis itu masih senantiasa berdiri di tempat pertama kali ia mengantar seseorang, yaitu sang kekasih yang pergi merantau ke negeri orang.Dari dermaga, tempat saat ini ia berdiri, Nayla memandangi laut luas yang tampak tak berujung. Beberapa kapal berukuran cukup besar sedang berlayar melintasi laut luas itu, dan beberapa kapal juga ada yang berlabuh di dermaga itu."Nayla!"Nayla tolehkan kepalanya saat seseorang menyerukan namanya."Mas Alga?" Nayla memperhatikan Alga yang berjalan menghampirinya, lalu berhenti dan berdiri berdampingan dengannya."Kamu masih di sini ternyata," ucap Alga, Nayla mengalihkan pandangannya, "aku nggak nyangka, setelah tiga tahun berlalu pun kamu masih nungguin dia ... dan selama tiga tahun itu juga nggak ada kabar dari dia.""Kamu sendiri, kan, juga tau, Mas, kalau hapeku hilang kemarin," Nayla mengulas senyum simpul.
Sore itu Nayla pulang ke rumah. Merasa heran sebab di depan rumah Damas — gazebo, tidak lagi terlihat ibu Damas berada di sana, membanggakan putranya di depan teman-temannya. Nayla mengangkat bahu bersikap tidak peduli. Ibu Damas hendak melakukan apa pun, itu bukanlah urusan Nayla, selama itu tidak menyangkut pautkan dirinya.Nayla turun dari motor, memarkirkan motor itu di samping rumah. Berjalan sampai ke depan pintu mendapati sepasang sendal asing di sana. Berpikir jika sang bunda sedang kedatangan tamu saja. Baru saja Nayla menapakkan kaki di dalam rumah. Di ruang tengah ia mendengar samar-samar percakapan dari sana. Nayla mengenal suara itu. Suara sang bunda, juga ... ibu Damas. "Tolonglah, mbak, bujuk Nayla," ibu Damas terdengar memohon, "mbak, juga tau kalau Damas sangat mencintai Nayla ... kalau sampai Damas tau Nayla mengakhiri hubungan mereka seperti ini, Damas pasti merasa kecewa.""Aduh, bagaimana ya, Mar. Semuanya itu keputusan Nayla, aku nggak punya hak untuk ikut cam
Hati terasa tak tenang. Suasana terasa tak nyaman. Pandangan hanya mampu menyapu ruangan yang hanya diisi sepasang insan. Duduk berhadapan dengan meja sebagai pembatas antara keduanya. Nasi kotak juga jus buah tersedia di atas meja. Namun Nayla sama sekali tidak tertarik untuk menyentuhnya. "Ayo, makan."Suara ajakan itu seakan menegur Nayla, menyadarkannya dari lamunan. Namun bukan langsung menyentuh makanannya, Nayla justru memperhatikan Alga yang tengah nikmat menyantap makanan yang ia pesan. Ya, pada akhirnya Nayla tidak berhasil menolak tawaran Alga, dan pada akhirnya keduanya makan siang bersama, berdua, dalam ruangan Alga. _________"Makasih, Pak, tapi saya makan sendiri aja." Nayla berusaha menolak. Tak ingin terpengaruh dengan bisikan Ketrin, meski wanita itu memasang wajah bersalah. "Makan bareng saya dulu. Terima kasihnya nanti," sahut Alga tersenyum tipis pada Nayla. Nayla tidak langsung menyahut. Memandangi Alga memperjelas penolakannya. Namun bukannya menyerah, Alga
Ketrin mendongak, mengalihkan pandangannya dari layar komputer di depannya, beralih ke atas meja, menatap plastik bertuliskan thank you di sana."Apaan, nih?" tanya Ketrin menoleh sekilas pada Nayla sembari meraih sesuatu yang dibungkus oleh sebuah plastik. Membuka pengikatnya, dan melihat isi di dalamnya. "Dress?" tanya Ketrin keheranan. "Buat gue?" tanyanya lagi memastikan dengan wajah heran. Nayla mengangguk. "Ah, seriusan lo?" Ketrin tidak percaya, "gue nggak suka dimainin kayak gini, ya."Nayla diam saja, tidak berniat memberikan penjelasan, hanya memandangi Ketrin biasa saja. "Beneran buat gue?" tanya Ketrin, meyakini jika dress itu memang Nayla berikan untuknya. "Tapi gue nggak lagi ulang tahun.""Emangnya harus nunggu kamu ulang tahun dulu, baru bisa kasih sesuatu?" Nayla balik bertanya. "Enggak, sih," sahut Ketrin cengengesan, "cuma gue bingung aja. Tumben-tumbenan amat lo ngasih gue beginian.""Ya kali, aku harus ngasih kamu dress tiap hari," kata Nayla, "emangnya kue da
Angin laut berhembus hingga ke daratan, memberikan kesan sejuk yang menyegarkan. Namun kesegaran itu tidak mampu menyejukkan hati Nayla yang terasa panas yang disebabkan oleh patah hati. Setelah memutuskan untuk menyerah atas segala penantian. Tidak bisa Nayla pungkiri jika hatinya lebih sakit dari sebelumnya. Rasa rindu yang semakin kuat membuat ia merasa menyesal atas keputusannya. Merasa terlalu mudah menyerah meski pun sudah tiga tahun lamanya ia menanti dalam ketidakpastian. Nayla mengangkat kepala. Pandangannya tidak sengaja menangkap sebuah dress yang tergantung dan terbungkus plastik putih transparan. Satu tahun lalu, Nayla membeli bahan kain dan menjahitkan bahan itu pada tukang jahit. Baju khusus yang ingin Nayla kenakan untuk menyambut kepulangan Damas nantinya. Tapi siapa sangka kalau pada akhirnya baju itu hanya akan menjadi pajangan saja dalam kamarnya. Sambil menanti kepulangan Damas. Nayla terus membayangkan saat ia mengenakan baju itu dan menyambut Damas pulang. P
Kesibukan orang-orang di depan sana tidak mampu mengalihkan perhatian wanita berusia 27 tahun itu dari lamunan. Kepalanya terus saja mengulang percakapan-percakapan serta kemungkinan yang Ketrin bicarakan. Ternyata kepalanya tidak mampu bersikap masa bodoh, seperti yang ia perlihatkan sebelumnya. Tidak mungkin! Itu hanya dugaan tak mendasar saja!Kalimat itu Nayla jadikan sebagai penghibur. Meski waktu penenangnya tidak berlangsung lama. Tapi setidaknya mampu mengurangi rasa sakit dikepalanya. "Iya, Damas bentar lagi pulang kok."Samar-samar Nayla mendengar percakapan itu dari luar sana, yang ternyata mampu mengalihkan perhatiannya kali ini. Nayla menyeringai miris. Bukan sekali, dua kali ia mendengar kalimat itu. Rasa berharap saat mendengar kata-kata itu kini berubah menjadi rasa bosan, muak. Usaha meyakinkan tanpa satu bukti kepastian membuat rasa lelah itu lebih menekan. Bahkan rindu terpendam itu kini berubah menjadi dendam. Niat meninggalkan itu semakin kuat saja meyakinkan.
Keesokan harinya..."Makan siang, Nay ... jangan kerja terus," sapa Ketrin. Berdiri di depan meja kerja Nayla."Loh, udah masuk jam makan siang, ya?"Ketrin menghela nafas. "Makanya, Nay, cari pacar. Biar ada yang ngingetin buat makan."Nayla tersenyum saja. Ia membereskan dokumen di atas meja kerja lalu bangkit dari kursi kerjanya."Cariin makanya," sahut Nayla."Gaya-gayaan lo, minta cariin sama gue. Padahal banyak cowok yang ngantri di belakang lo itu," balas Ketrin ketus.Nayla tertawa saja. Menggandeng lengan Ketrin berjalan bersama menuju kantin untuk makan siang.Ketrin adalah teman Nayla yang berasal dari Jakarta. Sudah dua tahun wanita itu dipindah tugaskan ke daerah terpencil di desa Nayla tinggal. Sulit untuk Ketrin bergaul disebabkan cara bicaranya yang terkesan angkuh, menurut teman-teman kantor. Tapi tidak dengan Nayla. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan perbedaan Ketrin. Dan untuk hubungan Nayla dan Damas, Ketrin sama sekali tidak tau tentang hubungan mereka. Yang Ket
Nayla masuk ke dalam kamar dengan semangatnya yang hilang entah kemana. Berdiri ia menghadap ke nakas, melihat foto berbingkai yang terpajang di sana. Tiga tahun berlalu, Nayla masih saja setia dan hidup seperti orang bodoh untuk seseorang yang bahkan belum tentu mengharapkannya lagi. Bertahan, berharap, dan menanti. Hari-harinya ia habiskan untuk sesuatu yang percuma, dan tentunya belum pasti. Ia merasa benar-benar bodoh, dan merasa ditipu. Mungkinkah kepergian pria itu hanya untuk menghindarinya? Iya, itu mungkin saja. Dua tahun menjalani hubungan dengan Nayla, bisa saja pria itu bosan. Ingin mengakhiri hubungan, tapi tidak tega dengan Nayla yang terlihat berharap akan dirinya. Hingga pergi tanpa sebuah kabar, dan tidak kembali menjadi jalan yang pria itu tempuh. Nayla melangkah dengan kebencian, juga kekecewaan menuju nakas. Menutup foto berbingkai itu hingga melihatkan bagian belakangnya saja. Nayla menghela nafas beberapa kali mengurangi rasa sesak yang seketika menghampiri. Ba
Tiga tahun yang lalu...Nayla menatapi Damas yang tengah melamun. Entah apa yang sedang pria itu pikirkan. Mengabaikan nasi goreng yang kini sudah tersedia di atas meja di hadapannya.Ia ingin mengabaikan. Tapi tetap saja pandangannya tertoleh pada pria yang tengah memainkan nasi di depannya dengan sendok."Kamu kenapa, sih, Dam?" tanya Nayla akhirnya. Ia tidak bisa berdiam diri saja sebab pemandangan di hadapannya itu sangat meresahkan. "Kamu mikirin apa?" tanya Nayla lagi setelah tidak mendapat jawaban dari Damas."Nay," Damas meletakkan sendok di tangannya ke atas piring, benar-benar mengabaikan nasi goreng itu sekarang, "kamu pernah kepikiran buat nikah nggak?" tanyanya. Bukannya menjawab pertanyaan Nayla, pria itu malah balik bertanya.Nayla merasa sungkan untuk membahasnya. Tapi karena Damas sendiri yang memulainya lebih dulu, maka Nayla hanya perlu menjawab. "Pernah," jawabnya sembari mengangguk."Kamu mau nikah?" tanya Damas lagi.Nayla berkerut kening. "Sebenarnya kamu mau ba
Angin laut kian berhembus kencang ke daratan. Matahari sudah mulai turun, dan langit kini sudah berubah warna menjadi jingga. Tapi Nayla, gadis itu masih senantiasa berdiri di tempat pertama kali ia mengantar seseorang, yaitu sang kekasih yang pergi merantau ke negeri orang.Dari dermaga, tempat saat ini ia berdiri, Nayla memandangi laut luas yang tampak tak berujung. Beberapa kapal berukuran cukup besar sedang berlayar melintasi laut luas itu, dan beberapa kapal juga ada yang berlabuh di dermaga itu."Nayla!"Nayla tolehkan kepalanya saat seseorang menyerukan namanya."Mas Alga?" Nayla memperhatikan Alga yang berjalan menghampirinya, lalu berhenti dan berdiri berdampingan dengannya."Kamu masih di sini ternyata," ucap Alga, Nayla mengalihkan pandangannya, "aku nggak nyangka, setelah tiga tahun berlalu pun kamu masih nungguin dia ... dan selama tiga tahun itu juga nggak ada kabar dari dia.""Kamu sendiri, kan, juga tau, Mas, kalau hapeku hilang kemarin," Nayla mengulas senyum simpul.