Nayla masuk ke dalam kamar dengan semangatnya yang hilang entah kemana. Berdiri ia menghadap ke nakas, melihat foto berbingkai yang terpajang di sana. Tiga tahun berlalu, Nayla masih saja setia dan hidup seperti orang bodoh untuk seseorang yang bahkan belum tentu mengharapkannya lagi. Bertahan, berharap, dan menanti. Hari-harinya ia habiskan untuk sesuatu yang percuma, dan tentunya belum pasti.
Ia merasa benar-benar bodoh, dan merasa ditipu. Mungkinkah kepergian pria itu hanya untuk menghindarinya? Iya, itu mungkin saja. Dua tahun menjalani hubungan dengan Nayla, bisa saja pria itu bosan. Ingin mengakhiri hubungan, tapi tidak tega dengan Nayla yang terlihat berharap akan dirinya. Hingga pergi tanpa sebuah kabar, dan tidak kembali menjadi jalan yang pria itu tempuh.
Nayla melangkah dengan kebencian, juga kekecewaan menuju nakas. Menutup foto berbingkai itu hingga melihatkan bagian belakangnya saja. Nayla menghela nafas beberapa kali mengurangi rasa sesak yang seketika menghampiri. Bahunya bergerak naik turun saking sulitnya ia bernafas.
Perlahan ia memejamkan mata. Membuka mata itu perlahan, lalu membalikkan foto berbingkai itu hingga memperlihatkan sisi depannya yang memperlihatkan gambar Nayla dan Damas yang tengah tersenyum lebar di sana.
"Argh!"
Nayla melempar bingkai foto itu ke dinding. Sampai kaca foto itu berubah menjadi serpihan-serpihan kecil. Nayla lantas menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. Menangis terisak kemudian.
"Ada apa, Nay?" tanya Midar, bunda Nayla. Wanita itu berlari menuju kamar Nayla saat mendengar suara benda pecah dari kamar putri semata wayangnya itu. Ia terkejut saat melihat Nayla menangis tersedu-sedu, dan lebih terkejut lagi saat melihat Nayla melempar fotonya dan Damas ke dinding sampai bingkai foto itu tidak lagi berbentuk. Bunda Midar masuk ke dalam kamar. Duduk di samping Nayla lalu mengusap punggung gadis itu perlahan. "Kenapa, Nay?" tanyanya lagi.
Nayla menarik tangannya turun. Ia lantas bersandar dibahu Bunda Midar dan meneruskan tangisnya di sana.
"Menangislah, Nak," kata Midar mengusap lengan atas Nayla, "kamu bisa cerita kalau kamu merasa udah siap."
"Jahat! Pembohong!" seru Nayla dalam isakan tangisnya, "Nayla udah nggak percaya lagi sama dia, Bun .. Nayla nggak mau nunggu dia lagi."
Bunda Midar mendorong Nayla untuk melihat wajah putrinya itu. "Kenapa? Hm?" tanyanya sembari menangkup kedua sisi wajah Nayla.
"Bunda pasti tau sendiri apa alasannya."
"Ibarat main air, kamu udah terlanjur basah ... jadi kenapa sekarang baru menyesal?"
Nayla diam. Tampaknya kebodohan itu bukan hanya disadari oleh Alga saja, ternyata Bunda Midar juga mengetahuinya. Meski pun begitu tidak sekali pun wanita itu menjatuhkan harapan Nayla, melainkan memberikan semangat untuknya.
"Sebenarnya Bunda nggak tega liat kamu begini, sayang ... tapi karna itu pilihan kamu, Bunda nggak mau ikut campur," tambahnya.
Nayla kembali menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan Bunda Midar, menangis lagi. "Tiga tahun aku nungguin dia. Tapi waktu selama itu kayaknya nggak ada harganya buat dia," lirihnya mengusap wajahnya, namun tetesan berikutnya kembali membasahi wajahnya, "Nayla bodoh, ya, Bunda?" tanya Nayla menatap wajah Bunda Midar.
"Nayla nggak bodoh," Bunda Midar berucap lembut, "cinta memang terkadang membutakan mata seseorang ... dan Nayla salah satu contohnya."
"Tapi Nayla masih ngarepin Damas, Bunda," lirih Nayla kembali dalam pelukan Bunda Midar, "Nayla berharap Damas kembali dan minta maaf karna udah buat Nayla nunggu lama."
Bunda Midar menghela nafas. "Bunda nggak bermaksud buat adu domba kamu sama Damas," ucapnya sebelum memulai kalimat yang menurutnya penting, "mungkin saja, Damas memiliki alasan tertentu ... tapi menurut Bunda, komunikasi antar pasangan itu perlu. Terlebih lagi, saat jarak sudah memisahkan. Nggak bisa kita hanya mengandalkan perasaan, karna perasaan itu bisa saja salah."
Nayla memalingkan wajah sembari memejamkan mata, menahan air matanya agar tidak lagi tumpah.
"Jadi Nayla harus gimana, Bunda?" tanya Nayla, "kalau harus menyerah, rasanya Nayla belum siap ... tapi di satu sisi, Nayla juga capek."
Bunda Midar mengusap lengan atas Nayla. "Tanyakan itu sama hatimu, Nak," ucapnya penuh perhatian, "apa pun nantinya pilihanmu, Bunda tetap hargai. Dan yang paling penting," Bunda Midar meletakkan telapak tangannya di sisi kanan wajah Nayla. "Bunda mau kamu bahagia."
Nayla tersenyum merasa terharu akan perhatian Bunda Midar. Bersyukur di saat-saat tersulit baginya masih banyak orang yang memberikan cinta dan perhatian.
Nayla berpikir ingin mengakhiri semuanya. Cinta, penantian, harapan. Nayla ingin mengakhiri semuanya. Tapi di sisi lain ada perasaan tak rela yang mengganggu.
"Ya udah, kamu istirahat aja, ya, tapi sebelum itu mandi dulu ... biar serpihan itu Bunda yang ngerjain."
"Makasih, Bunda," Nayla tersenyum. Perlahan ia bangkit dari duduknya. Meraih handuk yang tergantung di samping dinding kamar mandi lalu masuk ke kamar mandi untuk melakukan ritual bersih-bersih.
Nayla keluar dari kamar mandi tidak lagi mendapati Bunda Midar berada di kamarnya, begitu pun dengan serpihan-serpihan kaca yang berserak akibat perbuatannya. Nayla menghela nafas, merasa bersalah pada Bunda Midar karena ikut merasakan apa yang sedang ia alami.
Untuk beberapa saat Nayla bersiap-siap di dalam kamar. Ia kemudian keluar dan menghampiri Bunda Midar dan juga sang Ayah -- Fadil, yang tampak akan menikmati makan malam.
"Loh, nggak jadi istirahatnya, Nay?" tanya Bunda Midar, meletakkan mangkok sayuran ke atas meja lalu duduk berdampingan dengan Ayah Fadil.
"Enggak, Bunda, nanti aja," sahut Nayla sembari duduk di atas kursi berhadapan dengan sang Ayah.
Nayla menyendok makanan ke atas piring. Bukannya menikmati makan malamnya, Nayla malah sibuk melirik sang Ayah.
Menyadari tatapan sang Putri, Fadil menoleh lalu bertanya. "Kenapa, sayang?"
Nayla menunduk menatap piring di depannya. Untuk beberapa saat ia merasa bingung, namun dalam detik berikutnya Nayla mengangkat kepala. Tidak lagi melirik, melainkan saling bertatapan sekarang.
"Ayah nggak pengen nanya sesuatu sama, Nay?" tanya Nayla.
"Nanya apa, ya?" Ayah Fadil tampak berpikir, "uhm ... kamu gajian kapan, Nay?" tanyanya.
Nayla berkerut kening. Bukan pertanyaan itu yang ia harapkan. Tapi pertanyaan lain.
"Tanggal 5," sahut Nayla begitu saja. Ayah Fadil manggut-manggut. Nayla semakin bingung saja. "Ayah nggak mau nanya hal lain? Maksudnya, nggak ada yang mau ayah tanya lagi?"
Ayah Fadil kembali berpikir. "Nggak ada, deh, kayaknya," sahutnya.
Nayla menghela nafas. Semakin merasa bersalah saja. Tidak mungkin Ayah Fadil tidak mengetahui masalah yang Nayla hadapi. Jika pun sang Ayah tidak tau, Bunda Midar pasti akan memberitahukan pada pria itu. Tapi yang membuat Nayla bingung, tidak ada satu tanggapan pun dari pria itu. Bersikap biasa saja, itu yang pria itu lakukan.
"Nayla mau nyerah, Yah," kata Nayla membuat Ayah Fadil menatapnya. "Nayla nggak mau berharap lagi sama sesuatu yang nggak pasti."
"Kamu yakin?" tanya ayah Fadil setelah memandang wajah Nayla dan berpikir beberapa saat.
"Belum, Yah ... tapi, Nay, bakalan berusaha lebih baik dari sebelumnya."
Keesokan harinya..."Makan siang, Nay ... jangan kerja terus," sapa Ketrin. Berdiri di depan meja kerja Nayla."Loh, udah masuk jam makan siang, ya?"Ketrin menghela nafas. "Makanya, Nay, cari pacar. Biar ada yang ngingetin buat makan."Nayla tersenyum saja. Ia membereskan dokumen di atas meja kerja lalu bangkit dari kursi kerjanya."Cariin makanya," sahut Nayla."Gaya-gayaan lo, minta cariin sama gue. Padahal banyak cowok yang ngantri di belakang lo itu," balas Ketrin ketus.Nayla tertawa saja. Menggandeng lengan Ketrin berjalan bersama menuju kantin untuk makan siang.Ketrin adalah teman Nayla yang berasal dari Jakarta. Sudah dua tahun wanita itu dipindah tugaskan ke daerah terpencil di desa Nayla tinggal. Sulit untuk Ketrin bergaul disebabkan cara bicaranya yang terkesan angkuh, menurut teman-teman kantor. Tapi tidak dengan Nayla. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan perbedaan Ketrin. Dan untuk hubungan Nayla dan Damas, Ketrin sama sekali tidak tau tentang hubungan mereka. Yang Ket
Kesibukan orang-orang di depan sana tidak mampu mengalihkan perhatian wanita berusia 27 tahun itu dari lamunan. Kepalanya terus saja mengulang percakapan-percakapan serta kemungkinan yang Ketrin bicarakan. Ternyata kepalanya tidak mampu bersikap masa bodoh, seperti yang ia perlihatkan sebelumnya. Tidak mungkin! Itu hanya dugaan tak mendasar saja!Kalimat itu Nayla jadikan sebagai penghibur. Meski waktu penenangnya tidak berlangsung lama. Tapi setidaknya mampu mengurangi rasa sakit dikepalanya. "Iya, Damas bentar lagi pulang kok."Samar-samar Nayla mendengar percakapan itu dari luar sana, yang ternyata mampu mengalihkan perhatiannya kali ini. Nayla menyeringai miris. Bukan sekali, dua kali ia mendengar kalimat itu. Rasa berharap saat mendengar kata-kata itu kini berubah menjadi rasa bosan, muak. Usaha meyakinkan tanpa satu bukti kepastian membuat rasa lelah itu lebih menekan. Bahkan rindu terpendam itu kini berubah menjadi dendam. Niat meninggalkan itu semakin kuat saja meyakinkan.
Angin laut berhembus hingga ke daratan, memberikan kesan sejuk yang menyegarkan. Namun kesegaran itu tidak mampu menyejukkan hati Nayla yang terasa panas yang disebabkan oleh patah hati. Setelah memutuskan untuk menyerah atas segala penantian. Tidak bisa Nayla pungkiri jika hatinya lebih sakit dari sebelumnya. Rasa rindu yang semakin kuat membuat ia merasa menyesal atas keputusannya. Merasa terlalu mudah menyerah meski pun sudah tiga tahun lamanya ia menanti dalam ketidakpastian. Nayla mengangkat kepala. Pandangannya tidak sengaja menangkap sebuah dress yang tergantung dan terbungkus plastik putih transparan. Satu tahun lalu, Nayla membeli bahan kain dan menjahitkan bahan itu pada tukang jahit. Baju khusus yang ingin Nayla kenakan untuk menyambut kepulangan Damas nantinya. Tapi siapa sangka kalau pada akhirnya baju itu hanya akan menjadi pajangan saja dalam kamarnya. Sambil menanti kepulangan Damas. Nayla terus membayangkan saat ia mengenakan baju itu dan menyambut Damas pulang. P
Ketrin mendongak, mengalihkan pandangannya dari layar komputer di depannya, beralih ke atas meja, menatap plastik bertuliskan thank you di sana."Apaan, nih?" tanya Ketrin menoleh sekilas pada Nayla sembari meraih sesuatu yang dibungkus oleh sebuah plastik. Membuka pengikatnya, dan melihat isi di dalamnya. "Dress?" tanya Ketrin keheranan. "Buat gue?" tanyanya lagi memastikan dengan wajah heran. Nayla mengangguk. "Ah, seriusan lo?" Ketrin tidak percaya, "gue nggak suka dimainin kayak gini, ya."Nayla diam saja, tidak berniat memberikan penjelasan, hanya memandangi Ketrin biasa saja. "Beneran buat gue?" tanya Ketrin, meyakini jika dress itu memang Nayla berikan untuknya. "Tapi gue nggak lagi ulang tahun.""Emangnya harus nunggu kamu ulang tahun dulu, baru bisa kasih sesuatu?" Nayla balik bertanya. "Enggak, sih," sahut Ketrin cengengesan, "cuma gue bingung aja. Tumben-tumbenan amat lo ngasih gue beginian.""Ya kali, aku harus ngasih kamu dress tiap hari," kata Nayla, "emangnya kue da
Hati terasa tak tenang. Suasana terasa tak nyaman. Pandangan hanya mampu menyapu ruangan yang hanya diisi sepasang insan. Duduk berhadapan dengan meja sebagai pembatas antara keduanya. Nasi kotak juga jus buah tersedia di atas meja. Namun Nayla sama sekali tidak tertarik untuk menyentuhnya. "Ayo, makan."Suara ajakan itu seakan menegur Nayla, menyadarkannya dari lamunan. Namun bukan langsung menyentuh makanannya, Nayla justru memperhatikan Alga yang tengah nikmat menyantap makanan yang ia pesan. Ya, pada akhirnya Nayla tidak berhasil menolak tawaran Alga, dan pada akhirnya keduanya makan siang bersama, berdua, dalam ruangan Alga. _________"Makasih, Pak, tapi saya makan sendiri aja." Nayla berusaha menolak. Tak ingin terpengaruh dengan bisikan Ketrin, meski wanita itu memasang wajah bersalah. "Makan bareng saya dulu. Terima kasihnya nanti," sahut Alga tersenyum tipis pada Nayla. Nayla tidak langsung menyahut. Memandangi Alga memperjelas penolakannya. Namun bukannya menyerah, Alga
Sore itu Nayla pulang ke rumah. Merasa heran sebab di depan rumah Damas — gazebo, tidak lagi terlihat ibu Damas berada di sana, membanggakan putranya di depan teman-temannya. Nayla mengangkat bahu bersikap tidak peduli. Ibu Damas hendak melakukan apa pun, itu bukanlah urusan Nayla, selama itu tidak menyangkut pautkan dirinya.Nayla turun dari motor, memarkirkan motor itu di samping rumah. Berjalan sampai ke depan pintu mendapati sepasang sendal asing di sana. Berpikir jika sang bunda sedang kedatangan tamu saja. Baru saja Nayla menapakkan kaki di dalam rumah. Di ruang tengah ia mendengar samar-samar percakapan dari sana. Nayla mengenal suara itu. Suara sang bunda, juga ... ibu Damas. "Tolonglah, mbak, bujuk Nayla," ibu Damas terdengar memohon, "mbak, juga tau kalau Damas sangat mencintai Nayla ... kalau sampai Damas tau Nayla mengakhiri hubungan mereka seperti ini, Damas pasti merasa kecewa.""Aduh, bagaimana ya, Mar. Semuanya itu keputusan Nayla, aku nggak punya hak untuk ikut cam
Angin laut kian berhembus kencang ke daratan. Matahari sudah mulai turun, dan langit kini sudah berubah warna menjadi jingga. Tapi Nayla, gadis itu masih senantiasa berdiri di tempat pertama kali ia mengantar seseorang, yaitu sang kekasih yang pergi merantau ke negeri orang.Dari dermaga, tempat saat ini ia berdiri, Nayla memandangi laut luas yang tampak tak berujung. Beberapa kapal berukuran cukup besar sedang berlayar melintasi laut luas itu, dan beberapa kapal juga ada yang berlabuh di dermaga itu."Nayla!"Nayla tolehkan kepalanya saat seseorang menyerukan namanya."Mas Alga?" Nayla memperhatikan Alga yang berjalan menghampirinya, lalu berhenti dan berdiri berdampingan dengannya."Kamu masih di sini ternyata," ucap Alga, Nayla mengalihkan pandangannya, "aku nggak nyangka, setelah tiga tahun berlalu pun kamu masih nungguin dia ... dan selama tiga tahun itu juga nggak ada kabar dari dia.""Kamu sendiri, kan, juga tau, Mas, kalau hapeku hilang kemarin," Nayla mengulas senyum simpul.
Tiga tahun yang lalu...Nayla menatapi Damas yang tengah melamun. Entah apa yang sedang pria itu pikirkan. Mengabaikan nasi goreng yang kini sudah tersedia di atas meja di hadapannya.Ia ingin mengabaikan. Tapi tetap saja pandangannya tertoleh pada pria yang tengah memainkan nasi di depannya dengan sendok."Kamu kenapa, sih, Dam?" tanya Nayla akhirnya. Ia tidak bisa berdiam diri saja sebab pemandangan di hadapannya itu sangat meresahkan. "Kamu mikirin apa?" tanya Nayla lagi setelah tidak mendapat jawaban dari Damas."Nay," Damas meletakkan sendok di tangannya ke atas piring, benar-benar mengabaikan nasi goreng itu sekarang, "kamu pernah kepikiran buat nikah nggak?" tanyanya. Bukannya menjawab pertanyaan Nayla, pria itu malah balik bertanya.Nayla merasa sungkan untuk membahasnya. Tapi karena Damas sendiri yang memulainya lebih dulu, maka Nayla hanya perlu menjawab. "Pernah," jawabnya sembari mengangguk."Kamu mau nikah?" tanya Damas lagi.Nayla berkerut kening. "Sebenarnya kamu mau ba
Sore itu Nayla pulang ke rumah. Merasa heran sebab di depan rumah Damas — gazebo, tidak lagi terlihat ibu Damas berada di sana, membanggakan putranya di depan teman-temannya. Nayla mengangkat bahu bersikap tidak peduli. Ibu Damas hendak melakukan apa pun, itu bukanlah urusan Nayla, selama itu tidak menyangkut pautkan dirinya.Nayla turun dari motor, memarkirkan motor itu di samping rumah. Berjalan sampai ke depan pintu mendapati sepasang sendal asing di sana. Berpikir jika sang bunda sedang kedatangan tamu saja. Baru saja Nayla menapakkan kaki di dalam rumah. Di ruang tengah ia mendengar samar-samar percakapan dari sana. Nayla mengenal suara itu. Suara sang bunda, juga ... ibu Damas. "Tolonglah, mbak, bujuk Nayla," ibu Damas terdengar memohon, "mbak, juga tau kalau Damas sangat mencintai Nayla ... kalau sampai Damas tau Nayla mengakhiri hubungan mereka seperti ini, Damas pasti merasa kecewa.""Aduh, bagaimana ya, Mar. Semuanya itu keputusan Nayla, aku nggak punya hak untuk ikut cam
Hati terasa tak tenang. Suasana terasa tak nyaman. Pandangan hanya mampu menyapu ruangan yang hanya diisi sepasang insan. Duduk berhadapan dengan meja sebagai pembatas antara keduanya. Nasi kotak juga jus buah tersedia di atas meja. Namun Nayla sama sekali tidak tertarik untuk menyentuhnya. "Ayo, makan."Suara ajakan itu seakan menegur Nayla, menyadarkannya dari lamunan. Namun bukan langsung menyentuh makanannya, Nayla justru memperhatikan Alga yang tengah nikmat menyantap makanan yang ia pesan. Ya, pada akhirnya Nayla tidak berhasil menolak tawaran Alga, dan pada akhirnya keduanya makan siang bersama, berdua, dalam ruangan Alga. _________"Makasih, Pak, tapi saya makan sendiri aja." Nayla berusaha menolak. Tak ingin terpengaruh dengan bisikan Ketrin, meski wanita itu memasang wajah bersalah. "Makan bareng saya dulu. Terima kasihnya nanti," sahut Alga tersenyum tipis pada Nayla. Nayla tidak langsung menyahut. Memandangi Alga memperjelas penolakannya. Namun bukannya menyerah, Alga
Ketrin mendongak, mengalihkan pandangannya dari layar komputer di depannya, beralih ke atas meja, menatap plastik bertuliskan thank you di sana."Apaan, nih?" tanya Ketrin menoleh sekilas pada Nayla sembari meraih sesuatu yang dibungkus oleh sebuah plastik. Membuka pengikatnya, dan melihat isi di dalamnya. "Dress?" tanya Ketrin keheranan. "Buat gue?" tanyanya lagi memastikan dengan wajah heran. Nayla mengangguk. "Ah, seriusan lo?" Ketrin tidak percaya, "gue nggak suka dimainin kayak gini, ya."Nayla diam saja, tidak berniat memberikan penjelasan, hanya memandangi Ketrin biasa saja. "Beneran buat gue?" tanya Ketrin, meyakini jika dress itu memang Nayla berikan untuknya. "Tapi gue nggak lagi ulang tahun.""Emangnya harus nunggu kamu ulang tahun dulu, baru bisa kasih sesuatu?" Nayla balik bertanya. "Enggak, sih," sahut Ketrin cengengesan, "cuma gue bingung aja. Tumben-tumbenan amat lo ngasih gue beginian.""Ya kali, aku harus ngasih kamu dress tiap hari," kata Nayla, "emangnya kue da
Angin laut berhembus hingga ke daratan, memberikan kesan sejuk yang menyegarkan. Namun kesegaran itu tidak mampu menyejukkan hati Nayla yang terasa panas yang disebabkan oleh patah hati. Setelah memutuskan untuk menyerah atas segala penantian. Tidak bisa Nayla pungkiri jika hatinya lebih sakit dari sebelumnya. Rasa rindu yang semakin kuat membuat ia merasa menyesal atas keputusannya. Merasa terlalu mudah menyerah meski pun sudah tiga tahun lamanya ia menanti dalam ketidakpastian. Nayla mengangkat kepala. Pandangannya tidak sengaja menangkap sebuah dress yang tergantung dan terbungkus plastik putih transparan. Satu tahun lalu, Nayla membeli bahan kain dan menjahitkan bahan itu pada tukang jahit. Baju khusus yang ingin Nayla kenakan untuk menyambut kepulangan Damas nantinya. Tapi siapa sangka kalau pada akhirnya baju itu hanya akan menjadi pajangan saja dalam kamarnya. Sambil menanti kepulangan Damas. Nayla terus membayangkan saat ia mengenakan baju itu dan menyambut Damas pulang. P
Kesibukan orang-orang di depan sana tidak mampu mengalihkan perhatian wanita berusia 27 tahun itu dari lamunan. Kepalanya terus saja mengulang percakapan-percakapan serta kemungkinan yang Ketrin bicarakan. Ternyata kepalanya tidak mampu bersikap masa bodoh, seperti yang ia perlihatkan sebelumnya. Tidak mungkin! Itu hanya dugaan tak mendasar saja!Kalimat itu Nayla jadikan sebagai penghibur. Meski waktu penenangnya tidak berlangsung lama. Tapi setidaknya mampu mengurangi rasa sakit dikepalanya. "Iya, Damas bentar lagi pulang kok."Samar-samar Nayla mendengar percakapan itu dari luar sana, yang ternyata mampu mengalihkan perhatiannya kali ini. Nayla menyeringai miris. Bukan sekali, dua kali ia mendengar kalimat itu. Rasa berharap saat mendengar kata-kata itu kini berubah menjadi rasa bosan, muak. Usaha meyakinkan tanpa satu bukti kepastian membuat rasa lelah itu lebih menekan. Bahkan rindu terpendam itu kini berubah menjadi dendam. Niat meninggalkan itu semakin kuat saja meyakinkan.
Keesokan harinya..."Makan siang, Nay ... jangan kerja terus," sapa Ketrin. Berdiri di depan meja kerja Nayla."Loh, udah masuk jam makan siang, ya?"Ketrin menghela nafas. "Makanya, Nay, cari pacar. Biar ada yang ngingetin buat makan."Nayla tersenyum saja. Ia membereskan dokumen di atas meja kerja lalu bangkit dari kursi kerjanya."Cariin makanya," sahut Nayla."Gaya-gayaan lo, minta cariin sama gue. Padahal banyak cowok yang ngantri di belakang lo itu," balas Ketrin ketus.Nayla tertawa saja. Menggandeng lengan Ketrin berjalan bersama menuju kantin untuk makan siang.Ketrin adalah teman Nayla yang berasal dari Jakarta. Sudah dua tahun wanita itu dipindah tugaskan ke daerah terpencil di desa Nayla tinggal. Sulit untuk Ketrin bergaul disebabkan cara bicaranya yang terkesan angkuh, menurut teman-teman kantor. Tapi tidak dengan Nayla. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan perbedaan Ketrin. Dan untuk hubungan Nayla dan Damas, Ketrin sama sekali tidak tau tentang hubungan mereka. Yang Ket
Nayla masuk ke dalam kamar dengan semangatnya yang hilang entah kemana. Berdiri ia menghadap ke nakas, melihat foto berbingkai yang terpajang di sana. Tiga tahun berlalu, Nayla masih saja setia dan hidup seperti orang bodoh untuk seseorang yang bahkan belum tentu mengharapkannya lagi. Bertahan, berharap, dan menanti. Hari-harinya ia habiskan untuk sesuatu yang percuma, dan tentunya belum pasti. Ia merasa benar-benar bodoh, dan merasa ditipu. Mungkinkah kepergian pria itu hanya untuk menghindarinya? Iya, itu mungkin saja. Dua tahun menjalani hubungan dengan Nayla, bisa saja pria itu bosan. Ingin mengakhiri hubungan, tapi tidak tega dengan Nayla yang terlihat berharap akan dirinya. Hingga pergi tanpa sebuah kabar, dan tidak kembali menjadi jalan yang pria itu tempuh. Nayla melangkah dengan kebencian, juga kekecewaan menuju nakas. Menutup foto berbingkai itu hingga melihatkan bagian belakangnya saja. Nayla menghela nafas beberapa kali mengurangi rasa sesak yang seketika menghampiri. Ba
Tiga tahun yang lalu...Nayla menatapi Damas yang tengah melamun. Entah apa yang sedang pria itu pikirkan. Mengabaikan nasi goreng yang kini sudah tersedia di atas meja di hadapannya.Ia ingin mengabaikan. Tapi tetap saja pandangannya tertoleh pada pria yang tengah memainkan nasi di depannya dengan sendok."Kamu kenapa, sih, Dam?" tanya Nayla akhirnya. Ia tidak bisa berdiam diri saja sebab pemandangan di hadapannya itu sangat meresahkan. "Kamu mikirin apa?" tanya Nayla lagi setelah tidak mendapat jawaban dari Damas."Nay," Damas meletakkan sendok di tangannya ke atas piring, benar-benar mengabaikan nasi goreng itu sekarang, "kamu pernah kepikiran buat nikah nggak?" tanyanya. Bukannya menjawab pertanyaan Nayla, pria itu malah balik bertanya.Nayla merasa sungkan untuk membahasnya. Tapi karena Damas sendiri yang memulainya lebih dulu, maka Nayla hanya perlu menjawab. "Pernah," jawabnya sembari mengangguk."Kamu mau nikah?" tanya Damas lagi.Nayla berkerut kening. "Sebenarnya kamu mau ba
Angin laut kian berhembus kencang ke daratan. Matahari sudah mulai turun, dan langit kini sudah berubah warna menjadi jingga. Tapi Nayla, gadis itu masih senantiasa berdiri di tempat pertama kali ia mengantar seseorang, yaitu sang kekasih yang pergi merantau ke negeri orang.Dari dermaga, tempat saat ini ia berdiri, Nayla memandangi laut luas yang tampak tak berujung. Beberapa kapal berukuran cukup besar sedang berlayar melintasi laut luas itu, dan beberapa kapal juga ada yang berlabuh di dermaga itu."Nayla!"Nayla tolehkan kepalanya saat seseorang menyerukan namanya."Mas Alga?" Nayla memperhatikan Alga yang berjalan menghampirinya, lalu berhenti dan berdiri berdampingan dengannya."Kamu masih di sini ternyata," ucap Alga, Nayla mengalihkan pandangannya, "aku nggak nyangka, setelah tiga tahun berlalu pun kamu masih nungguin dia ... dan selama tiga tahun itu juga nggak ada kabar dari dia.""Kamu sendiri, kan, juga tau, Mas, kalau hapeku hilang kemarin," Nayla mengulas senyum simpul.