Abah mengambil map itu lalu mengeluarkan isinya. Aku tidak perlu melihat lagi karena sudah membaca dengan rinci semua isi hasil lab yang kini ada di tangan Abah. Karena baik Abah, Ibu dan Umi juga sudah tahu tentang hal ini, tidak ada yang bicara lagi. Sebagai orang tua mereka pasti sedih karena harus kehilangan waktu bersama cucu kandung selama tiga tahun ini. Tapi, di sisi lain mereka juga sudah terlanjur sayang pada Rahman sebagai cucu laki-laki di keluarga ini. “Kenapa Rum? Apa alasan kamu menukar Karina dengan Rahman? Mereka hanya anak-anak yang tidak berdosa Rum. Kenapa kamu harus membuat Karina menderita hingga di aniaya oleh wanita itu?” Deretan pertanyaan itu akhirnya terlontar juga dari mulut Mas Adi untuk adik maduku itu. Kedua tangan Rumi sudah meremas baju gamisnya di atas paham hingga tangannya jadi terkepal erat. Detik demi detik berlalu hingga berubah menjadi menit. Rumi tidak kunjung menjawab pertanyaan suami kami. Aku yang melihat Umi hendak membuka mulut lagi sege
Aku mengucap kata hamdalah dalam hati. Talak tiga itu berarti satu kemungkinan untuk rujuk menjadi sangat kecil sekali. Karena Rumi harus menikah lagi dengan pria lain jika ingin kembali bersama dengan Mas Adi. Lalu, jika Rumi berpisah dari pria itupun, karena kerelaan kedua belah pihak. Pria seperti itu di sebut sebagai muhalil. Tidak mudah menemukan pria yang mau menikah lalu bercerai dengan tujuan agar wanita yang ia nikahi bisa kembali bersama dengan mantan suaminya itu. Walaupun tidak ada yang tidak mungkin jika Rumi punya uang untuk membayar seorang pria menjadi muhalil untuknya dan Mas Adi. Berbanding terbalik denganku, raut wajah Rumi tampak sangat kaget. Tubuhnya gemetar hebat dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya. Ia pasti tidak percaya dengan kata talak yang baru saja di ucapkan oleh Mas Adi padanya. Bukan hanya satu talak. Tapi, talak tiga sekaligus yang menyatakan jika Rumi bukan lagi istri kedua Mas Adi dan adik maduku. “Mas aku mohon tarik kembali kata talakmu
Rumi kembali menangis seperti tadi. Isak tangisnya membuat anak-anak menjadi bingung. Apalagi Rahman yang menatap penuh kebencian ke arah Karina. Tidak lama kemudian Rumi sudah melepaskan pelukannya dari Karina. "Maafkan Mama sayang." Hanya itu kata yang terucap dari bibir Rumi yang bergetar. Entah Tumi benar-benar menyesal atau dia sedang berakting."Jangan peluk dia lagi Ma." Rengek Rahman manja. Matanya semakin sinis menatap ke arah Karina. Anak yang baru berumur tiga tahun itu sudah di ajarkan banyak hal yang buruk. Membuatku jadi merasa kasihan pada Rahman.Tanpa Rahman tahu jika dia hanya anak angkat Rumi. Sedangkan Karina adalah anak kandunya dari wanita yang selama ini di anggapnya sebagai Mama. Jika Rahman tahu tentang semua kebenaran yang masih kami sembunyikan saat dewasa kelak, entah sikap apa yang akan ia ambil. Merasa bersyukur karena di rawat oleh Mas Adi yang berasal dari keluarga berkecukupan. Atau merasa sedih karena sudah terpisah dari keluarga kandungnya."Iya maa
Saat kelopak mataku terbuka, hal pertama yang aku lihat adalah Mas Adi sedang bersandar dengan sikunya menatapku lekat. Membuatku jad malu seketika. “Kamu ngapain sih Mas? Aneh banget.” Tanyaku dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. Bukannya menjawab pertanyaanku, Mas Adi justru tertawa lalu mengecup bibirku cepat. “Mas cuma lihat istriku yang cantik masih tidur.” Godanya seperti saat kami masih baru menikah dulu. Kemesraan yang membuatku merasa di ratukan oleh Mas Adi. “Gombal.” Aku memukul bahunya pelan. Mas Adi justru semakin tertawa keras melihatku yang malu. Dia mengecup bibirku lagi dengan lembut. Matanya menatapku penuha kasih sayang, membuatku merasakan cinta yang kembali bersemi setelah sempat padam. “Kamu masuk ke kamar mandi dulu Dek. Sebentar lagi waktu subuh.” Aku menganggukan kepala lalu mengambl baju ganti dari dalam lemari. Kakiku melangkah menuju kamar mandi di dalam kamar ini untuk mandi dan keramas. Karena tadi malam kami kembali menikmati kebersamaan y
POV Rumi Setelah keluar dari pabrik karena pengurangan karyawan, akhirnya aku di terima bekerja di toko baju terkenal di toko ini. Ada berbagai macam baju di toko ini yang banyak di sukai oleh para pembeli. Mulai dari baju pria dan wanita dewasa, baju untuk remaja hingga anak-anak pun ada. Tidak ketinggalan satu set baju keluarga untuk lebaran. Semua baju ini dari satu brand pabrik yang sama. Aku dan Mama kembali punya harapan untuk hidup ke depannya. Dengan menganlkan gaji dari toko ini yang lebih tinggi dari toko baju yang lain. Hari pertama bekerja, aku dan tiga karyawan yang lain di bimbing oleh manajer toko ini. Namanya Mbak Gita. Dia mengatakan pemiliknya adalah pasangan suami istri. Si istri adalah anak dari pemilik pabrik brand baju-baju ini di buat. Sedangkan si suami adalah guru di sekolah asrama yang juga milik kelurga pria itu. Untuk pengelolaan semua toko, baik toko utama dan toko cabang hanya di urus oleh si suami yang bernama Pak Adi. Sedangkan istrinya bernama Bu Nad
Keesokan harinya aku membawakann kotak makan ke toko dengan alasan jika keluargaku sedang ada acara. Rencana pertama berhasil. Pak Adi sudah mau makan makanan pemberianku. Hari-hari terus berlalu, aku terus membawakannya makan siang. Sedikit berbohong jika aku juga membagikan makanan itu pada karyawan yang lain. Padahal tidak. Aku sudah bisa merasakan perubahan sikap Pak Adi padaku. Terlihat dari wajahnya yang memerah malu atau saat ia sedang menatap mataku dalam penuh cinta. Pendekatan yang kulakukan selama satu minggu ini sukses besar. Aku juga memberanikan diri menyatakan perasaanku pada Pak Adi untuk di pinang sebagai istri kedua. Hingga pernyataan cintaku pada Pak Adi akhirnya di terima. Pelet yang di berikan dukun itu benar-benar manjur. Membuat aku menyimpan dompet kecil khusus untuk menyimpan kertas itu. Dompet yang berisi kertas dengan nama lengkap dan tanggal lahir MasAdi. Akan aku jaga barang ini dengan baik. Karena jika kertas ini sudah hilang, mala pelet yang ada pada d
Perhatian Mas Adi sudah sempurna aku ambil alih. Kini aku tidak perlu lagi bersikap pura-pura baik di depan Mbak Nada. Rasanya juga sudah terlalu malas untuk merebut hati Ibu dan Umi. Pakai cara halus seperti yang aku lakukan pada Mas Adi juga sudah aku coba berulang kali. Tapi, selama itu pula jadi gagal. Hari ini kami berkumpul di rumah Umi. Usia kehamilanku sudah menginjak trimester ketiga. Lebih tepatnya tujuh bulan. Setiap memeriksakan kandungan, aku tidak pernah ingin melakukan usg dengan Mas Adi dengan alasan agar menjadi kejutan untuk dirinya saat anak ini lahir. Semua keluarga Mas Adi sudah berkumpul di rumah ini. Nasya sibuk bermain bersama semua keponakan Mas Adi. Aku sendiri sudah membantu Umi menyiapkan masakan di dapur. Kebetulan sekali saat sedang mengambil dompet yang tertinggal, aku melihat Nasya sedang main petak umpet dengan Alfian dan Dani. Kedua putra Mbak Aisyah, kakak tiri Mas Adi. Anak itu memilih bersembunyi di dalam mobil. Kepalaku terus menoleh ke kanan da
Tiga tahun berlalu dengan cepat. Rahman dan Karina sudah tumbuh menjadi anak balita yang aktif. Entah bagaimana keadaan Karina sekadang. Aku sendiri sudah tidak berniat untuk mencari tahu kabar Karina lagi. Yang penting aku masih rutin mengirim uang sebesar satu juta pada Rahmi setiap bulannya. Berbeda denganku yang tidak berniat untuk menemui anak kandung, Rahmi akan datang ke rumah ini sebulan dua kali untuk membersihkan rumah. Sekaligus agar bisa melihat Rahman dari jarak dekat. “Dia mirip banget sama Bapaknya.” Sering kali aku mendengar Rahmi bergumam tentang hal itu sendiri saat menatap Rahman yang asyik bermain hp. Dapat aku lihat sorot ketinduan yang teramat besar dari mata Rahmi. Tapi, hal itu sama sekali tidak masalah untukku. Karena rahasiaku selama ini aman. Biarlah Rahmi yang menjaga Rahman dari jauh. Aku sedang bersantai di depan TV menonton drama kesukaanku. Berbeda dengan saat Mas Adi ada di rumah ini, aku mencari muka padanya dengan cara bermain dengan Rahman. Jika M