Beranda / Romansa / Deportation / 3. Kencan Dadakan

Share

3. Kencan Dadakan

Penulis: Syifa Aim Bine
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Parkiran sudah tampak sepi di jam ini. Langit mendung menggiring awan kelabu membuat beberapa orang bergegas mencari perlindungan, agar serbuan hujan tak membasahi badan. Tetesan pertama mulai turun sebagai peringatan akan rombongan air yang akan menyerbu belakangan. Angin pun turut mendramatisir keadaan.

Nina tak sempat menolak ketika tangan dingin Nick menarik jemarinya meninggalkan bangunan berlantai dua puluh tujuh itu. Setetes air dari langit sempat hinggap di tangan Nick yang tetap tegas menggenggam tangannya, membawa Nina menuju tempat parkir di mana Nick memarkir mobil HRV hitam miliknya. Nina bahkan tak mampu menghindar ketika Nick membukakan pintu di samping kemudi untuknya. Tanpa perlawanan berarti, ia masuk dan duduk. Kepalanya terlalu sibuk menafsirkan semua kejadian yang tak terbayangkan sebelumnya itu.

"So, kemane biasenye orang kat sini pegi dating?" tanya Nick yang sudah duduk di belakang kemudi.

"Ha?" Nina yang masih belum fokus, malah tambah bingung ditanyai hal yang memang belum pernah dilakukannya itu.

"Ok, forget it. Just do it, right?"

Nina tak dapat mengartikan ekspresi Nick. Sekilas pria di sampingnya itu memang kelihatan sedang marah. Namun, melihat gerakan Nick yang salah tingkah, ia seakan tak dapat menutupi kegugupannya.

Awan tak mampu menahan volume air lebih lama lagi. Hujan mengguyur kota metropolitan itu dengan deras. Nick tetap menyalakan mobilnya lalu mobil berjalan perlahan.

"Em ... Nick," panggil Nina kemudian.

"Hm," jawab Nick tanpa menoleh. Hawa dingin di luar sepertinya telah menyerbu masuk ke dalam. Angin dari AC mobil semakin membuat suasana ikut beku dan kaku.

"Em, boleh makan dulu, gak? Gue laper."

Meski merasa tak enak hati, Nina tak bisa menahan lebih lama bunyi perutnya. Ia bahkan sudah siap siaga kalau Nick makin murka dan menurunkannya di tepi jalan. Ia rela, asal bertemu pengganjal perutnya. Satu hal yang sulit Nina abaikan adalah rasa laparnya.

Alih-alih marah, Nick malah tertawa dan menoleh ke arahnya. Anehnya, situasi beku tadi seakan mendadak mencair. Udara dingin yang berkeliaran di antara mereka seakan menguap.

"Oke," ujarnya lembut. Lalu kembali menjalankan kemudi.

"Fiuh," gumam Nina lega.

***

Suasana restauran dengan menu utama pizza itu untungnya tidak terlalu ramai. Setelah memesan, mereka kembali merasa canggung. Memang beberapa kali mereka berada satu meja saat makan, terutama saat rapat atau office gathering. Namun, baru kali ini hanya mereka berdua duduk di satu meja.

"Em, sorry, saye tak tahu tempat makan lain kat sini," ujar Nick.

Nina makin merasa canggung, belum pernah Nick bicara agak lunak padanya. Biasanya dengan nada datar dan dingin ketika membicarakan masalah kerjaan.

"It's oke. Gue mah, apa aja doyan. Apa lagi kalo laper." Nina berusaha sesantai dan seasik biasanya. Namun, cukup sulit mengajak orang se-cool Nick berseloroh. Buktinya, ia hanya senyum sesaat, lalu kembali sibuk dengan ponsel pinternya.

"Yaelah, belum jadi bininya aja gua udah dicuekin. Nasib lo Nin," gumamnya.

"What? Eh, sorry ade trouble siket di *Jabo satu. Awak nak cakap ape?" tanya Nick, mengira kalau Nina bicara padanya.

Nina cuma menggeleng sambil memaksakan senyum, yang penting baginya sekarang adalah lekas makan, lalu pulang. Baginya, kencan ini sudah gagal sejak awal. Mereka seperti dua orang asing yang tak sengaja duduk di satu meja.

Doa Nina terkabul, seorang pelayan wanita kemudian datang membawakan pesanan mereka. Satu pan pizza ukuran reguler berikut minumannya terhidang di meja. Nina tak menunggu siapa yang akan mulai pertama, perutnya terlalu lapar untuk sopan santun saat ini. Ia pun langsung menyambar potongan pizza daging sapi itu dan langsung melahapnya. Nick pun sepertinya tak terlalu perduli. Ia pun mengambil satu potong dan memindahkannya ke piring. Mereka pun larut dalam keheningannya masing-masing.

"Oke, jom saye antar pulang," ujar Nick setelah saling memenangkan perdebatan siapa yang membayar makanan.

"Eh, gak usah. Gue pesen ojol aja. Lagian udah deket juga kok," kilahnya.

"Tak payah, saye pun nak sampaikan hal tadi ngan Mama Papa awak tu." Tanpa sempat Nina memberikan alasan lain, Nick langsung memimpin jalan menuju mobilnya.

Hujan memang telah usai, menyisakan jejak basah di jalan dan rerumputan. Nina berusaha mengejar Nick, membayangkan respon orang tuanya yang mengetahui mereka berkencan–meski makan malam ini belum bisa dikatakan kencan–membuatnya bergidik ngeri.

"Nick! Tunggu ...." Sekali lagi alam tak berpihak pada Nina.

Siapa juga yang membuat jalan untuk pengunjung difabel ini penuh pasir sehingga jika tersiram air hujan permukaannya jadi licin. Sepatu kets Nina slip, ia meluncur tak terkendali. Jangan membayangkan adegan slow motion ala-ala drama ketika sang pria dengan sigap menangkap tubuh sang wanita ke pelukannya. Kenyataannya, kaki Nina menabrak kaki Nick dari belakang, Nick kehilangan keseimbangan, dan sukses mendarat ke tubuh Nina. Dan itu kali pertama seumur hidup Nina merasakan yang namanya pingsan.

***

Bau menyengat akhirnya membuat Nina sadar. Sepertinya kepalanya terbentur cukup keras sehingga ia kehilangan kesadaran. Tirai putih dan bau karbol yang khas, Nina langsung bisa menebak ia sekarang berada di mana.

"Nin, are you okay?" Nick ternyata berada di sampingnya.

Nick kelihatan panik, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Nina untuk memastikan wanita itu masih bernapas. Sikapnya itu justru membuat Nina canggung, belum pernah ada pria yang berada di posisi sedekat itu dengannya. Ia bahkan bisa menghirup aroma parfum maskulin pria itu. Untunglah Nick segera menjauh dan lekas mencari dokter.

"Duh, nasib lo, Nin. Belum nikah udah kdrt," gumamnya lagi sambil meringis menahan sakit.

Tak lama beberapa orang datang, seorang dokter dan kedua orang tuanya. Dengan sigap sang dokter memeriksa Nina kembali.

"Sebaiknya memang kita lakukan ct-scan," jelas sang dokter.

"Nina, kamu gak apa-apa, Nak? Kok sampe pingsan begini, sih?" Mama mulai menyalurkan kepanikannya.

"Sorry, Ma. Saye yang salah sebab jatuh timpe Nina," jelas Nick cepat. Nina sempat melotot menyadari Nick memanggil mamanya dengan sebutan Mama.

"Nimpa Nina, ini gimana sih? Kok jadi ambigu?" balas Mama.

"Ih, mama, gitu aja gak paham. Jatuh, Ma, kepleset." Meski masing pusing, Nina mencoba menjelaskan. Tidak ingin orang tuanya malah mikir aneh-aneh akibat bahasa Nick yang beda.

"Oh, Mama kira ketimpa gimana." Mama Nina malah senyum-senyum simpul dan saling berpandangan dengan papanya Nina.

"Duh, travelling aja nih pikiran ortu gue," gumam Nina sambil memegang kepalanya yang tambah sakit.

Setelah dipindahkan ke brankar, Nina kemudian dibawa ke ruang ct-scan. Setelahnya entah kenapa Nina merasa sangat mengantuk. Ia bahkan tidak sadar bagaimana kejadian selanjutnya. Ia terbangun ketika jam di dinding menunjukkan angka satu. Sebelumnya ia mengira setelah pemeriksaan, ia akan diperbolehkan pulang. Namun, ternyata dugaannya salah. Ia sekarang berada di ruang perawatan, tangannya pun dipasangi cairan infus.

"Duh, kok sampai dirawat sih gue," gumamnya.

"Ma ...," panggilnya.

"Ye, Are you oke, Nin?" Ternyata yang datang malah Nick.

"Lah, kok elo sih. Mama gue mana?" tanyanya kesal.

"Go home, awak nak ape? Biar saye tolong ambikkan," tawar Nick.

"Yaelah, nyokap gue. Benar berarti si Bia bilang, gua cuma anak angkat. Masak lagi sakit begini ditinggalin ama orang lain," keluh Nina asal, tak perduli jika Nick mendengarnya. Saat ini ia rasanya mau menangis sangking kesalnya.

"Sorry, tadi Mama kelihatan tak sihat. Asma die kambuh, so, biar lah saye yang jage awak. Accident ni pun sebab saye kan, jadi tak pe lah kalau saye temankan?" Suara Nick terdengar sendu. Nina melirik, pria itu terlihat merasa bersalah atas kejadian yang menimpa Nina.

"Iye, terserah, sih. Masalahnya gue mo pipis ini, masak gue minta temenin ama lo!"

Bab terkait

  • Deportation    4. Lamaran

    Setelahnya, Nina tidur dan terbangun beberapa kali. Nina termasuk jarang sakit, apalagi sampai dirawat seperti ini. Wajar saja ia jadi risih saat pertama tidur di rumah sakit. Nick bilang ia menderita geger otak ringan. Namun, untuk memastikan tidak ada kerusakan serius untuk sementara ia harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Karena Nick yang menjaga malam ini, Nina memilih tetap memejamkan mata meski tidak sedang tertidur. Ia terlalu sungkan jika harus berbicara atau minta tolong pada pria itu.Om Sandy benar, pria itu benar-benar gila kerja. Tiap Nina terbangun, pasti Nick sedang berada di depan laptopnya. Ia berhenti hanya ketika akan salat, lalu kembali menghadap layar."Perasaan kerjaan kantor gue gak sebanyak itu deh. Eh, apa bagian gue aja yg kurang banyak, ya? Auah. Kebayang kan kalo lo jadi istrinya, istri pertamanya kerjaan, Nin. Gak ada harapan bahagia lo emang," gumam Nina saat Nick ke toilet.Saat Nick k

  • Deportation    5. Mrs Stewart Wannabe

    "Nicholas Adams Stewart, kek gak asing nama belakangnya. Di mana gue pernah baca, ya?" gumam Bia saat membaca formulir pengajuan nikah Nina. Semua berkas itu sudah selesai, hanya tinggal sidang mereka di kedutaan Malaysia esok hari.Nina memang terima bersih dalam urusan ini. Semua diurus oleh Nick dan keluarganya. Nina seakan tanpa beban, setelah keluar dari rumah sakit ia beraktivitas seperti biasanya."Auah," balas Nina cuek. Ia sedang mencari sesuatu di dalam lemari."Titus," cetus si kecil Hana. Keponakan kecilnya itu menyela sang Bunda saat sedang bermain puzzle di kamar Nina."Ho, iye, si tikus, pinter anak Bunda, nama tikus di film itu ya, Hana, hahaha," ejek Bia."Stuart itu woy!" sela Nina tanpa menoleh."Eh, salah. Oh, iya, kan yang main Twilight itu, ya, Nin. Wah, Tante Nina bakal semarga ama artis Hollywood loh Han."Hana yang tidak paham masi

  • Deportation    6. Salah Paham

    Apa yang Nina lihat tadi malam membuatnya tak fokus seharian. Beberapa kali ia mengawasi Nick secara diam-diam, meyakinkan kalau yang dilihatnya kemarin tidaklah benar."Hey! Ngapain sih lo, Nin. Celingak-celinguk, hayo, ngintipin Nick, ya? Lo naksir, ya?" tanya Sisca–teman sekantornya.Orang di kantor memang belum tahu mengenai rencana pernikahan Nick dan Nina. Mereka sepakat akan memberi pengumuman setelah undangan selesai dicetak."Eh, Sis. Menurut lo, si Nick itu normal, gak?" tanya Nina saat mereka minum kopi di cafetaria samping kantor. Nick saat itu baru saja lewat."Nggak!" jawab Sisca asal."Nah ... Nah, bener kan kecurigaan gue. Lo pernah liat dia jalan ama cowok juga, ya?" tanya Sisca."Ya pernah lah, sama Pak Sandy, sama Dio, Bagas, semua temen kantor kita kan emang dominan cowok." Sisca menjawab cuek sambil memaikan ponselnya."Ih, bukan

  • Deportation    7. Pria Berdarah Dingin

    "Bohong! Masa sih sodara? Beda gitu tampang kalian," balas Nina tak mau kalah telak."Seriously, sebenanye Daddy saye sebelum berkahwin ngan Mom, pernah menikah di Bali. Lepas tu die orang divorce. Justin, abang saye tu stay ngan Mak die di Bali. Kenape die blond, sebab Mak die from USA. Kite orang jumpe pun mase tu je, sebelumnye tak pernah." Nick dengan tenang menjelaskan. Ia justru merasa lucu karena tuduhan yang Nina beberkan berdasarkan foto itu."Oooh." Seluruh yang hadir mendengar penjelasan Nick dengan khidmad."Kalau tak pecaye, ni saye vcall jap." Nick kemudian membuat panggilan video dengan Justin–abangnya.Di sisi lain, Nina ingin siap-siap mau kabur, tapi dengan sigap Om Sandy menangkapnya. Nina pun terpaksa duduk di ujung sofa sambil berharap tubuhnya benar-benar tenggelam."Hay, bro. Are you busy?" tanya Nick ketika panggilannya dija

  • Deportation    8. Baper

    Sejak hari itu, jarak Nina dan Nick makin terasa jauh. Setiap berpapasan dengan Nick, Nina memilih menghindar. Hal tersebut cukup kontras terlihat. Gosip mengenai Nick perlahan memang mulai padam, seiring sebuah undangan pernikahan mendarat di meja masing-masing karyawan.Nina sama sekali tidak diberi tahu perihal ini sebelumnya. Untunglah ia menemukannya satu di meja security sebelum masuk kantor. Kebiasaannya nongkrong bersama bapak-bapak keamanan ternyata cukup berguna hari ini."Ha? Udah disebar hari ini? Mampus gue. Bakal diserbu gue hari ini, mending gua kagak masuk aja dah." Nina beringsut meninggalkan area perkantoran."Eh, Nin, lo mau ke mana?" tanya Sisca yang berpapasan dengannya di gerbang depan."Eh, itu, anu ... Hp gue ketinggalan. Mau balik dulu, ye. Oke, bye!" Nina buru-buru kabur sebelum Sisca menyadari kebohongannya.Dugaan Nina benar, belum sampai separuh jalan menuju ru

  • Deportation    9. Spare Time

    Pagi-pagi Bia sudah sibuk menarik paksa Nina untuk melakukan persiapan pranikah yang hanya tinggal menghitung hari. Nina beruntung, Om Sandy memberikan kelonggaran pekerjaan padanya. Jadi Nina bisa fokus mempersiapkan dirinya menjelang pernikahan. "Ogah! Duh, kenapa sih pake perawatan segala. Orang nikah formalitas juga, demi hubungan bilateral dua negara," tolak Nina saat Bia memaksanya ikut. Ia lebih memilih berhela-hela di kasur sambil bermain game di ponsel pintarnya. "Set dah, lo kira lo putri mahkota yang nikah karena menyelamatkan negara? Udahlah cepet! Jangan bikin malu lo, ya, Lele. Masak penganten muka gosong kayak pantat panci, kuku kayak manusia purba abis garukin tanah, parah lu emang. Itu lagi rambut, kapan terakhir lo keramas? Huwek, sumpah, ye, lo bener-bener bau ikan lele di empang tau gak?" komentar Bia kejam. "Tau, yang mulutnya mangap tiap lo boker, ya kan?" balas Nina cuek.

  • Deportation    10. Luka

    Pria di hadapan Nina memang tak seperti saat pertama berjumpa, enam tahun yang lalu. Nina masih ingat ketika itu, mereka bertemu saat selebrasi mapala ke Gunung Gede. Nina menyukai penampilan Luka yang santai, berambut gondrong, dan suka berpetualang. Memori pertemuan mereka pertama kali pun masih terekam jelas di pikirannya, ia memang sulit melupakan semua itu. Pria itu pernah menyelamatkan hidupnya. "Eh, lo rombongan mana?" tanya seorang pria pada seorang gadis yang tersasar di gunung ini karena asik mengambil foto. Udara dingin di puncak gunung membuat tubuhnya mulai membeku. Beberapa kali ia sudah mencoba menyusuri jalan yang ia yakini sebagai jalan yang sama ketika rombongannya mendaki tadi. Namun, entah kenapa ia selalu kembali ke tempat yang sama. Tenaganya mulai habis, kelelahan dan ketakutan membuat energinya mulai menipis. Langit senja tiba, keindahan matahari menjelang terbenam tak lagi mampu ia nikmati. Jarak pandang sa

  • Deportation    11. Pernikahan Bilateral

    Subuh belum lagi tiba, tapi kesibukan sudah mulai terdengar di rumah Nina. Meski acara tidak dilangsungkan di rumah, tapi semua persiapan dimulai dari tempat ini. Sebuah taman di komplek rumah Nina akan menjadi lokasi sekaligus latar belakang pengucapan janji suci dan resepsi. Nina mau tak mau harus rela wajahnya didandani full cover meski sebelumnya wajah polosnya itu hampir tak pernah tersentuh kosmetik. Nina sudah berpesan sejak awal kalau make-upnya haruslah minimalis. Ia tak ingin terlihat a memakai topeng, meski topeng itu sendiri melekat di wajahnya, ya, topeng kebahagiaan semu. Ia harus mengatur senyum, meski dalam hatinya kini kembali terluka.Pertemuannya dengan Luka masih membekas di hatinya, menyisakan gelisah yang berkesinambungan. Apalagi karena ponselnya rusak setelah itu. Nick memang sudah membelikan Nina yang baru karena merasa ikut bersalah menarik Nina. Namun, bukan itu yang Nina sesali. "Duh, tahan dikit dong, Mbak

Bab terbaru

  • Deportation    46. Warming Heart

    Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi para penghuni rumah masih enggan beranjak dari ruang keluarga. Seolah masing-masing enggan melepas kehangatan yang ada. Suara tawa, dan lelucon silih berganti. Beberapa juga masih tengah sibuk dengan koper yang akan mereka bawa. Esok orang tua Nick dan Nina akan kembali ke negara asal mereka. Mama Nina tengah mengemas oleh-oleh untuk cucunya–Hana, ketika memandang Nina yang terlihat lebih pendiam. Nina adalah anak yang paling heboh di keluarga nya. Setiap acara kumpul keluarga, tidak lengkap tanpa kehadiran si tukang banyol–Nina. Namun, belakangan Nina memang jadi lebih pendiam, apalagi sejak berada di tempat ini. Wajar saja mamanya sedikit cemas ketika meninggalkannya hanya berdua saja bersama Nick. "Bener kamu gak apa-apa kami tinggal, Nin? Kalau memang berat mama .... ""Gak apa-apa, Ma. Nina baik-baik aja kok. Alhamdulillah Nick kan juga sudah jauh lebih baik."Nina berusaha meyakinkan ibuny

  • Deportation    45. Harapan

    "Oke, Let's go .... "Nina lekas menarik tangan Nick. Ia tak ingin prianya itu mengira kalau dirinya sudah tidak mampu lagi melakukan apapun, termasuk menyetir mobil ke rumah sakit. Nina hanya tak ingin membuat Nick lelah. Namun, kadang niat baik sering disalah artikan, dan ia tak ingin Nick mengira begitu. Nina merapatkan syal yang menutupi leher Nick. Ia menggelayut manja di lengan suaminya itu. Matahari di awal musim semi telah tampak, dan rasanya cukup hangat. Nina sangat bersyukur musim berganti, ia sejujurnya tidak terlalu suka musim dingin. "Nin, ade hal yang nak saye cakap," ujar Nick tiba-tiba. Nina mengangkat kepalanya dan menatap Nick. Pria itu masih sama mempesonanya. "Hm, i know, you wanna protect me, but... Don't feel guilty about anything. I'm good. And i feel better when you coming here, stay around me. So... Just be you, Nin."Mata Nina mulai berkaca-kaca. Kata-kata Nick menancap lurus ke jantungnya, dan tera

  • Deportation    44. Insecure

    "OMG, gue udah kayak pasangan mesum digerebek satpol PP," gumam Nina saat menuruni tangga, menyusul Nick yang lebih dulu turun menuju pintu. Nick segera membukakan pintu ketika tidak dapat melihat tamu dari layar kamera pengawas. mungkin tertutup salju, pikirnya.Nick hampir terjatuh ketika pria tinggi itu menyerbu masuk dan langsung memeluknya erat."Oh, Bro, sorry gue baru datang. gue baru tau keadaan lu beberapa hari yang lalu, langsung deh gue ke mari."Pria berwajah bule itu langsung menghujani Nick dengan berbagai pertanyaan tanpa sempat bagi Nick untuk menjawab."Justin?" sapa Nina meyakinkan saat ia melihat tamunya."Wow, Nina. Wah tega lu Nin gak kasih kabar ke gue," protes Justin sambil memasang tampang sebal.Sebelum Nina sempat protes, kakak iparnya itu sudah menyerbu memeluknya. "Be tough, ya, Nin. Gue yakin lu pasti kuat," bisik Justin sambil menepuk bahu Nina. Mendadak hatinya merasa h

  • Deportation    43. Candu

    Minggu ini orang tua Nina akan datang mengunjungi Nick. Beberapa hari ini Nina terlihat bersemangat, apalagi ketika mendengar Bia dan keluarganya akan ikut bersama. Nina sudah kangen berat dengan keponakannya–Hana–yang menggemaskan. Nina membantu salah seorang asisten rumah tangga yang disewa untuk membantu menyiapkan kamar untuk para tamu. "Tak penat ke?" tanya Nick yang salut melihat istrinya yang terlihat masih semangat mondar-mandir. Beberapa kamar di rumah ini memang banyak yang sudah terlalu lama kosong. Sementara keluarga Nick harus berkunjung ke kampung halaman daddynya untuk ikut memperingati hari kematian neneknya Nick. Arthur tentu saja terpaksa ikut, pemuda itu kini terlihat lebih patuh, apalagi jika yang menyuruhnya adalah Nick. Entah ia memang ingin berubah, atau hanya tak ingin berdebat dengan kakaknya yang sedang sakit itu. He afraid that i might be dead in argue, pikir Nick. Namun, tentu saja Nick tidak pernah mengatakannya langsung, adiknya itu kadang punya te

  • Deportation    42. Salju Di Kaca Jendela

    Nina cukup kaget dengan perubahan emosional Nick. Pria itu tidak seperti yang ia kenal. Nick benar-benar seperti bangunan yang sudah rapuh, tak tersisa semangat dan optimis di dalam dirinya. Nina cukup terpukul, apalagi dengan pemikiran yang menurut Nina konyol tentang dirinya."Nick, stop it. Kalau aku mikir begitu, ngapain aku ke sini? Ngapain setahun ini aku nungguin kamu yang menghilang begitu aja. Aku tahu, saat ini kamu dalam kondisi terburuk, I know it. So, sekarang mending kita sama-sama berusaha, aku di sini buat kamu Nick. Aku akan nemani kamu untuk keluar dari kondisi ini. Please, don't give up!"Kali ini mau tak mau Nina kembali ikut terisak. Dadanya sesak melihat Nick. Pria itu terdiam, ia merasa makin bersalah setelah membuat Nina ikut menangis.Nick kemudian bangkit dan duduk di tepi temoat tidur, menatap Nina dalam, lalu menarik wanita itu dan memeluknya erat. Menghirup aroma rambut Nina yang ia rindukan.

  • Deportation    41. Batas Terbawah

    Nina mengerjapkan mata berulang kali ketika bau menyengat menyeruak masuk ke hidungnya. Kepalanya seolah dihantam palu raksasa yang dipukulkan berulang kali hingga kepalanya seakan kulit kacang yang keras hingga membuat sebentar lagi akan meledak dan pecah."Nina .... Wake up, please!"Suara Nick terngiang-ngiang di telinganya. Bayangan pria itu kemudian hadir lalu berlalu, Nina berteriak mencegahnya pergi."Nick, tunggu!" panggilnya.Namun, pria itu bergeming, Nina meraung sekerasnya. Sekali lagi bau menyengat membuatnya pusing dan resah, ia kemudian merasakan pipinya disentuh. Nina terkejut, kemudian berusaha membuka mata. Ia terbaring di salah satu ranjang rumah sakit, ia merasa bingung."Nin, wake up!"Nina benar-benar mendengar suara Nick yang kini berada di sampingnya. Ia tidak sedang bermimpi, pria itu menatapnya lem

  • Deportation    40. Wajah Lain Nick

    Nina berusaha menutupi jetlag parah yang dirasakannya setelah menempuh perjalanan lebih dari empat belas jam itu. Mereka mendarat di London tepat saat jam makan siang.Nina kemudian menuju toilet saat orang tua Nick dan Arthur nemilih meja di salah satu restauran. Saat di toilet Nina membasuh wajahnya untuk mengurangi rasa pusing yang dirasakannya, tapi tentu saja itu tidak terlalu membantu. Bahkan segelas kopi yang diberikan oleh Arthur pun masih membuatnya mual. Entah karena jetlag, atau stres karena tidak sabar bertemu dengan Nick, yang jelas Nina memilih diam dan enggan nenyentuh makan siangnya. Setelah dibujuk sedemikian rupa Nina akhirnya berhasil menelan sepotong puding susu yang kemudian dipesannya.Birmingham tidak terlalu dekat, butuh sekitar dua jam lebih jika ditempuh melalui jalan darat. Keluarga Nick sudah memesan sebuah jet pribadi langganannya untuk menuju kota bagian negeri Britania Raya itu. Tentu saja hal itu m

  • Deportation    39. I'll Be Waiting for you

    Tamu-tamu sudah pulang, menuju malam Nina pun telah menuju kamar. Perasaannya terasa lapang. Kabar Nick membuatnnya memang terguncang, tapi di sisi lain ia tenang. Ternyata Nick tidaklah berniat meninggalkannya, atau berlarut marah pada peristiwa terakhir yang menerpa. Ia yakin Nick saat ini pun memikirkannya, merindukannya.Nina memandangi wajahnya di cermin. Lingkaran hitam di matanya harus segera hilang. Ia tak ingin Nick melihatnya dalam kondisi begini. Bagaimana pun, ia harus tampir prima ketika bertemu Nick yang direncanakan dalam beberapa hari lagi."Nick ...."Tangis Nina kembali pecah saat menatap foto pernikahan mereka di atas meja. Mungkin untuk pertama kali, ia merasa benar-benar sangat takut kehilangan Nick. Tanpa ia sadari, cinta itu telah tumbuh di hatinya. Entah sejak kapan, tapi akarnya sangat kuat menghujam di dasar paling terdalam hatinya."Nick, Please, bertahanl

  • Deportation    38. Sakit Yang Sesungguhnya

    Di belahan bumi sebelah barat sedang berada pada puncak musim dingin. Nick merapatkan kembali selimut tebal miliknya meski semua itu seolah tidak berarti. Tubuhnya terasa memburuk saja.Hari ini adalah pertama bagi Nick menjalani kemoterapi setelah berusaha berulang kali menolak. Bibinya yang merawat Nick selama di Inggris telah berulang kali membujuk, tapi Nick sulit sekali memutuskan. Ia masih menolak mengakui keberadaan penyakit itu di tubuhnya.Nick meraih ponselnya di samping tempat tidurnya. Ia harus berusaha mengalihkan pikiran untuk mengatasi mual yang teramat sangat. Mungkin isi perutnya sudah lebih dari dua puluh kali menyesak ingin keluar. Beberapa kali sudah ia bolak-balik wastafel.Jarinya lagi-lagi menekan galeri foto. Wajah wanita itu masih memenuhi isi galeri fotonya. Nina yang sedang tersenyum, cemberut, tertawa, bahkan sedang tertidur pulas di pelukannya, itu lagi yang ia lihat berulang-ulang.Sejenakp semua

DMCA.com Protection Status