Sejak hari itu, jarak Nina dan Nick makin terasa jauh. Setiap berpapasan dengan Nick, Nina memilih menghindar. Hal tersebut cukup kontras terlihat. Gosip mengenai Nick perlahan memang mulai padam, seiring sebuah undangan pernikahan mendarat di meja masing-masing karyawan.
Nina sama sekali tidak diberi tahu perihal ini sebelumnya. Untunglah ia menemukannya satu di meja security sebelum masuk kantor. Kebiasaannya nongkrong bersama bapak-bapak keamanan ternyata cukup berguna hari ini.
"Ha? Udah disebar hari ini? Mampus gue. Bakal diserbu gue hari ini, mending gua kagak masuk aja dah." Nina beringsut meninggalkan area perkantoran.
"Eh, Nin, lo mau ke mana?" tanya Sisca yang berpapasan dengannya di gerbang depan.
"Eh, itu, anu ... Hp gue ketinggalan. Mau balik dulu, ye. Oke, bye!" Nina buru-buru kabur sebelum Sisca menyadari kebohongannya.
Dugaan Nina benar, belum sampai separuh jalan menuju rumah, ponselnya tak henti berdering. Panggilan selanjutnya tak dapat Nina abaikan, Nick menelponnya.
"Ha, halo," jawab Nina.
"Nin, awak tu kat mane?" tanya Nick. Suaranya terdengar panik. Ia bahkan sampai lupa perang dinginnya dengan Nina.
"Di... Di jalan, why?"
"Awak tu ke yang kasi undangan ke orang-orang hari ne?"
"No, bukan gue kok. Gue kira malah elu. Kalau bukan lu, ho, pasti Om Sandy, ni."
"Oh God. Please, help me. Ne semue orang dah bising nak cari kebenaran. I tak tahu nak cakap ape."
"Ya, elo juga ngapain di situ. Mo ngomong apa? Udah, kabur aja."
"Macam mane nak kabur, die orang kumpul semue kat depan tu."
"Hm, oh iya, yaudah, lo keluar lewat pantry gih, ne gue jemput, ya. Lo keluar, lewat tangga darurat, trus masuk ke pantry. Di sana ada pintu keluar. Gue tunggu di sana."
"Oh, oke. Cepat siket, ye."
"Ish, iya." Nina menutup telpon, "Bawel juga ni orang," rutuknya.
Jalanan kembali ternyata cukup macet, Nina harus mencari jalan alternatif lain yang menyebabkan mobilnya harus memutar jalan sedikit lebih jauh. Saat sampai, rupanya Nick sudah menunggu di ujung jalan. Nick pun lekas masuk, seperti maling yang dikejar polisi.
"Go, Nina! I ketahuan kabur, Go!"
"Iye... sabar," jawab Nina grogi.
Nina pun menginjak gasnya segera, meninggalkan lokasi penjemputan.
"Fiuh!" ujar mereka serempak.
Entah siapa yang memulai, kedua tersangka ini akhirnya tertawa bersama, geli sendiri menyadari situasi mereka yang bak artis dikejar paparazi. Nina menepikan mobilnya karena tak tahan menahan tawa.
"Gila banget ini. Kita udah kayak partner in crime tau gak? Masak kabur begini, bukannya ngundang baek-baek, ya? Hahaha."
"Hahaha, eh, tapi yang awak tu cakap betul lah. Nape pulak kite lari, kan?" tanya Nick bingung.
"Ya, mereka juga, napa beringas gitu sih ngejarnya? Kayak debt collector nagih utang aja."
"Betul juga." Nick kembali tertawa, ia merasa konyol saat mengingat sikap teman-temannya itu.
Setelahnya mereka hanya terdiam, beberapa kali mata mereka kemudian bertemu. Lalu keduanya kembali berusaha mengalihkan pandangan, sampai kemudian seseorang menepuk kaca mobil dengan keras.
"Heh, keluar kalian. Balik ke kantor sekarang juga!" Om Sandy dengan muka galak menangkap basah mereka berdua.
"Alamak, matilah kita," rengek Nina.
***
Aula kantor mendadak seram dan suram. Sepasang muda-mudi yang tertangkap basah kabur dari kantor setelah undangan pernikahannya tersebar, kini sedang duduk sebagai pesakitan. Keduanya menunduk, antara malu dan takut yang bersatu.Ruangan ber-AC itu mendadak terasa gerah. Lampu neon yang hanya satu dinyalakan terlihat berkedip-kedip. Suasana introgasi benar-benar membuat mental para pesakitan jadi down. Nick yang masih saja sok cool, terlihat menatap lurus ke depan.
"Jadi, Nick. Kenapa lo merahasiakan hubungan lo sama Nina?" Indra–salah seorang karyawan senior mulai bertanya.
"Because, i don't like to share my private life," jawabnya cuek.
Nina cukup kagum dengan jawaban calon suaminya itu. Ia bahkan spontan memberi tepuk tangan. Ia baru berhenti setelah semua mata melotot ke arahnya.
"Nina, kenapa lo nyebarin gosip kalau Nick gay? Rupanya lo nikah ama dia, apa lo sengaja supaya Nick gak digodain cewek lain?" tanya Sisca.
Nick ikut mengawasi Nina, sepertinya ia juga bertanya hal yang sama.
"Eh, itu .... Eh, gak gitu ya ceritanya. Gue cuma nanya ke elo waktu itu. Lo sendiri yang ngartiin beda, Sis." Melihat mata Nick melotot, Nina merasa jawabannya kurang memuaskan. "Ya, kalau karena itu kalian pada gak berani godain Nick, bagus berarti, gue berhasil, hehehe, sambung Nina cengengesan.
Jawabannya yang kedua ternyata cukup mendapat respon positif dari Nick. Pria itu sedikit mengulas senyum. Nina merasa lega.
"Jadi, kalian berdua saling mencintai?" tanya salah seorang lagi.
Pertanyaan itu sukses membuat Nina dan Nick tidak berkutik. Tidak ada yang tergerak untuk menjawab. Semua kini dipeluk kabut keheningan.
"Aduh, ini pada ngapain sik? Gue udah berasa jadi pasangan mesum yang ke-gap sama satpol PP ini. Lo semua lagi kagak ada kerjaan apa?" Nina mulai gerah.
Namun, kemudian sebuah suara letusan mengagetkan semua.
"Yeay, wife and husband wanna be," teriak seseorang dari belakang yang tak lain dan tak bukan adalah Om Sandy.
Sebuah trolly dengan kue tart lengkap dengan kembang api tersusun di atasnya. Sebuah poster bertuliskan : "Bridal shower Party, Nick & Nina" tertulis di sana.
"Jangan nangis, Beb. Kita udah tau sejak kemarin kok. Hari ini kita mau bikin kejutan ama lo berdua." Sisca sebagai Mc memulai acara.
Nick dan Nina saling berpandangan dan membuat ekspresi bertanya. Namun, keduanya sama-sama bingung dan cukup terkejut dengan pesta ini.
Nina dan Nick kemudian didandani bak raja dan ratu. Pesta kekinian ala-ala sosialita itu berjalan cukup meriah.
"Dan, puncak acaranya. Nick, lo musti ngulang saat lo ngelamar Nina di depan kita semua," usul sang MC.
Nick dan Nina kembali berpandangan, kenyataannya lamaran resmi ala prince dan princess itu memang tak pernah ada. Nick bahkan tak pernah membicarakannya langsung pada Nina.
"Nah, anggap ini cincinnya. Sekarang lo Nick lamar Nina," pimpin Sisca sambil menyerahkan cincin entah dari mana.
"Come on, Nick. Berlutut!" sorak salah seorang dari belakang.
"Ayo, nick. Tunjukin ke kita mesranya kamu, penasaran nih." Suara lain ikut mengompori.
Nick dan Nina merasa salah tingkah. Nina juga yakin Nick gak bakal mau melakukan apa yang diperintahkan si pengarah acara. Karena, ya, Nick memang seperti itu, cool dan kaku.
Namun, kali ini Nina salah. Nick benar-benar berlutut di hadapannya, meraih tangan Nina perlahan ke arahnya.
"Nina, There are many ways to be happy in this life, but all i really need is you. You are the one I've been waiting for my whole life." Hening sesaat, Nick terlihat grogi, "So, Nina, will you marry me?" Suara Nick terdengar cukup dalam. Musik yang tadi terdengar, memang sudah berhenti saat Nick berlutut. Suasana mendadak sunyi, hanya suara Nick yang terdengar tegas.
Nina merinding, meski ia menduga hal ini hanya acting saja, tapi ia cukup terbawa suasana. Matanya mendadak basah, haru membuncah di dadanya. Lama ia tak mampu berkata-kata, sampai Sisca memberi kode.
"A... Ai will, i do," jawabnya haru. Air mata yang sejak tadi tertahan di sudut matanya luruh, dadanya semakin terasa sesak saat Nick menyematkan cincin ke jari manisnya.
Semua orang kemudian bertepuk tangan. Kehebohan kembali terjadi. Saat itulah Nina sadar, semua tak nyata, ini hanya bagian dari acara. Rasa perih seakan menjalar naik ke dadanya.
Pagi-pagi Bia sudah sibuk menarik paksa Nina untuk melakukan persiapan pranikah yang hanya tinggal menghitung hari. Nina beruntung, Om Sandy memberikan kelonggaran pekerjaan padanya. Jadi Nina bisa fokus mempersiapkan dirinya menjelang pernikahan. "Ogah! Duh, kenapa sih pake perawatan segala. Orang nikah formalitas juga, demi hubungan bilateral dua negara," tolak Nina saat Bia memaksanya ikut. Ia lebih memilih berhela-hela di kasur sambil bermain game di ponsel pintarnya. "Set dah, lo kira lo putri mahkota yang nikah karena menyelamatkan negara? Udahlah cepet! Jangan bikin malu lo, ya, Lele. Masak penganten muka gosong kayak pantat panci, kuku kayak manusia purba abis garukin tanah, parah lu emang. Itu lagi rambut, kapan terakhir lo keramas? Huwek, sumpah, ye, lo bener-bener bau ikan lele di empang tau gak?" komentar Bia kejam. "Tau, yang mulutnya mangap tiap lo boker, ya kan?" balas Nina cuek.
Pria di hadapan Nina memang tak seperti saat pertama berjumpa, enam tahun yang lalu. Nina masih ingat ketika itu, mereka bertemu saat selebrasi mapala ke Gunung Gede. Nina menyukai penampilan Luka yang santai, berambut gondrong, dan suka berpetualang. Memori pertemuan mereka pertama kali pun masih terekam jelas di pikirannya, ia memang sulit melupakan semua itu. Pria itu pernah menyelamatkan hidupnya. "Eh, lo rombongan mana?" tanya seorang pria pada seorang gadis yang tersasar di gunung ini karena asik mengambil foto. Udara dingin di puncak gunung membuat tubuhnya mulai membeku. Beberapa kali ia sudah mencoba menyusuri jalan yang ia yakini sebagai jalan yang sama ketika rombongannya mendaki tadi. Namun, entah kenapa ia selalu kembali ke tempat yang sama. Tenaganya mulai habis, kelelahan dan ketakutan membuat energinya mulai menipis. Langit senja tiba, keindahan matahari menjelang terbenam tak lagi mampu ia nikmati. Jarak pandang sa
Subuh belum lagi tiba, tapi kesibukan sudah mulai terdengar di rumah Nina. Meski acara tidak dilangsungkan di rumah, tapi semua persiapan dimulai dari tempat ini. Sebuah taman di komplek rumah Nina akan menjadi lokasi sekaligus latar belakang pengucapan janji suci dan resepsi. Nina mau tak mau harus rela wajahnya didandani full cover meski sebelumnya wajah polosnya itu hampir tak pernah tersentuh kosmetik. Nina sudah berpesan sejak awal kalau make-upnya haruslah minimalis. Ia tak ingin terlihat a memakai topeng, meski topeng itu sendiri melekat di wajahnya, ya, topeng kebahagiaan semu. Ia harus mengatur senyum, meski dalam hatinya kini kembali terluka.Pertemuannya dengan Luka masih membekas di hatinya, menyisakan gelisah yang berkesinambungan. Apalagi karena ponselnya rusak setelah itu. Nick memang sudah membelikan Nina yang baru karena merasa ikut bersalah menarik Nina. Namun, bukan itu yang Nina sesali. "Duh, tahan dikit dong, Mbak
Mau tak mau Nina dan Nick harus mengulang adegan tadi. Nick menyentuh bahu Nina pelan, lalu mengecup kening istrinya itu dengan lembut. Desir panas mengalir cepat ke jantung Nina, menyisakan perasaan aneh yang memutar perutnya. Mereka menyelesaikan adegan dengan pose pelukan yang kaku. Untunglah setelahnya dilanjut foto keluarga. Kehebohan keluarga akhirnya mampu mencairkan kegugupan pasangan baru itu. *** Nina sudah berusaha agar tidak lekas masuk kamar. Ia menyibukkan diri dengan bermain bersama Hana–keponakannya. Nick sepertinya masih asik ngobrol bersama orang tua Nina dan keluarganya. Hana kemudian terlihat mengantuk dan akhirnya tertidur di pangkuan Nina. Bia pun segera menggendong anaknya menuju kamar. Nina mengekor. "Mau ngapain lu ikutin gue, Lele. Sono ke kamar lu, siap-siap kek," usir Bia. "Siap-siap apa?" tanya Nina polos. "Halah, Lele, sok lugu lu. Ciye... Ciye, ada yang
"Kamu ini, malah nyuruh suaminya bawa beginian," omel Mama. "Yaelah, Ma. Masak gitu aja gak boleh. Papa aku aja gak masalah nyuci piring," bantah Nina. "Ih, beda, Nin. Kamu masih baru, jangan langsung keliatan gragasnya gitu lah. Apalagi masih di rumah mama, nanti kalau udah rumah sendiri baru deh kesepakatan kalian berdua." Kata-kata Mama membuat Nina kaget "Rumah sendiri? Mama mo ngusir Nina? Gak mau, Nina mau tinggal sama Mama Papa." mata Nina berkaca-kaca menatap Mama. "Duh, ni anak, paling bisa aja bikin mamanya mewek. Ya, siapa juga yang gak mau Nin. Tapi mama tahu banget rasanya, kalau udah menikah itu baik di rumah orang tua atau mertua, tetap aja asing rasanya. Lebih nyaman di rumah sendiri lah, meskipun cuma kontrakan kecil." Mama menggenggam tangan bungsunya itu. "Tapi, Ma..." "Mama tahu, kamu sama Nick masih belum ada rasa. Tapi seiring waktu, pasti benih
Nick dalam posisi memeluknya, spontan kantuk Nina hilang dan duduk secara tiba-tiba. Wajahnya terasa memanas, adegan tadi membuat dadanya berdebar-debar. Nick rupanya ikut terkejut dengan gerakan Nina yang tiba-tiba. "Kenape?" tanyanya kaget, sambil mengucek-ngucek mata. "Oh, ehm, gak. Itu, azan." Nina pun lekas bangun dari posisinya dan lari menuju kamar mandi. Nina menghela napas lega. Meski sejak zaman sekolah dulu temannya lebih banyak kaum lelaki, tapi tentu saja saat ini situasinya beda. Ia belum siap menerima sentuhan dari Nick. Ia juga tidak tahu kapan akan siap, membayangkannya saja membuat Nina bergidik ngeri. *** Nina belum juga menuntaskan cutinya meski ia sendiri sebenarnya sudah bosan di rumah terus. "Mama mau ke mana?" tanyanya ketika melihat Mama berdandan rapi. "Mau ke rumah Tante Marina. Ada
Sudah sekitar lima menit dua orang berlainan jenis itu terjebak dalam perih yang tak berujung. Keheningan seakan menjadi atmosfer yang cukup menyejukkan, membuat keduanya enggan beranjak."Maafkan aku, Nin. Seharusnya aku lupakan saja semua dan melanjutkan hidup. Tapi sepertinya luka yang bercampur rasa cinta dan dendam membuatku sulit menghapus semua. Apalagi ketika kita kembali bertemu, meski saat itu aku tidak tahu kalau semua telah terlambat." Luka terlihat menunduk menahan perih yang Nina tidak tahu seberapa banyak.Nina merasa lukanya tidak ada apa-apanya sekarang. Apa yang dialami Luka sepertinya lebih perih. Nina memberanikan diri menyentuh pelan pundak Luka. Berharap bisa memberi kekuatan pada pria yang pernah merajai hatinya itu. Namun, yang terjadi kemudian di luar dugaannya.Luka menoleh sesaat, lalu meraih Nina ke dalam pelukannya. Nina cukup terkejut, ia tahu hal ini salah. Tetapi pelukan itu terlalu hangat d
Popcorn ukuran besar dan dua cangkir es kopi menemani mereka menonton. Nick dengan santai dan cuek, merebahkan tubuhnya di samping Nina. Nina mendadak gugup. Santai, Nin. Santai aja, kek gak pernah deket ama cowok aja lu. Biasa dulu templok kayak sarden di kosan Bobo santai aja lu. Mana cowok semua lagi, kenapa lu jadi cupu gini, batinnya. Nina pun menghela napas, lalu ikut berbaring di samping Nick. Ia berusaha secuek mungkin, dan menganggap Nick selevel dengan teman-teman kuliahnya dulu. Namun, tentu saja semua berubah tergantung respon dan keadaan. Entah kenapa, Nick mendekatkan lengannya, dan menaruh kepala Nina di atasnya. Malam itu Nick seakan berubah, dengan santai ia merangkul bahu Nina sambil menikmati popcorn. Usaha Nina untuk tampil cuek tadi gagal total. Sekarang ia benar-benar tidak bisa mengontrol bunyi jantungnya yang seperti hendak melompat keluar. Apalagi ketika aroma maskulin
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi para penghuni rumah masih enggan beranjak dari ruang keluarga. Seolah masing-masing enggan melepas kehangatan yang ada. Suara tawa, dan lelucon silih berganti. Beberapa juga masih tengah sibuk dengan koper yang akan mereka bawa. Esok orang tua Nick dan Nina akan kembali ke negara asal mereka. Mama Nina tengah mengemas oleh-oleh untuk cucunya–Hana, ketika memandang Nina yang terlihat lebih pendiam. Nina adalah anak yang paling heboh di keluarga nya. Setiap acara kumpul keluarga, tidak lengkap tanpa kehadiran si tukang banyol–Nina. Namun, belakangan Nina memang jadi lebih pendiam, apalagi sejak berada di tempat ini. Wajar saja mamanya sedikit cemas ketika meninggalkannya hanya berdua saja bersama Nick. "Bener kamu gak apa-apa kami tinggal, Nin? Kalau memang berat mama .... ""Gak apa-apa, Ma. Nina baik-baik aja kok. Alhamdulillah Nick kan juga sudah jauh lebih baik."Nina berusaha meyakinkan ibuny
"Oke, Let's go .... "Nina lekas menarik tangan Nick. Ia tak ingin prianya itu mengira kalau dirinya sudah tidak mampu lagi melakukan apapun, termasuk menyetir mobil ke rumah sakit. Nina hanya tak ingin membuat Nick lelah. Namun, kadang niat baik sering disalah artikan, dan ia tak ingin Nick mengira begitu. Nina merapatkan syal yang menutupi leher Nick. Ia menggelayut manja di lengan suaminya itu. Matahari di awal musim semi telah tampak, dan rasanya cukup hangat. Nina sangat bersyukur musim berganti, ia sejujurnya tidak terlalu suka musim dingin. "Nin, ade hal yang nak saye cakap," ujar Nick tiba-tiba. Nina mengangkat kepalanya dan menatap Nick. Pria itu masih sama mempesonanya. "Hm, i know, you wanna protect me, but... Don't feel guilty about anything. I'm good. And i feel better when you coming here, stay around me. So... Just be you, Nin."Mata Nina mulai berkaca-kaca. Kata-kata Nick menancap lurus ke jantungnya, dan tera
"OMG, gue udah kayak pasangan mesum digerebek satpol PP," gumam Nina saat menuruni tangga, menyusul Nick yang lebih dulu turun menuju pintu. Nick segera membukakan pintu ketika tidak dapat melihat tamu dari layar kamera pengawas. mungkin tertutup salju, pikirnya.Nick hampir terjatuh ketika pria tinggi itu menyerbu masuk dan langsung memeluknya erat."Oh, Bro, sorry gue baru datang. gue baru tau keadaan lu beberapa hari yang lalu, langsung deh gue ke mari."Pria berwajah bule itu langsung menghujani Nick dengan berbagai pertanyaan tanpa sempat bagi Nick untuk menjawab."Justin?" sapa Nina meyakinkan saat ia melihat tamunya."Wow, Nina. Wah tega lu Nin gak kasih kabar ke gue," protes Justin sambil memasang tampang sebal.Sebelum Nina sempat protes, kakak iparnya itu sudah menyerbu memeluknya. "Be tough, ya, Nin. Gue yakin lu pasti kuat," bisik Justin sambil menepuk bahu Nina. Mendadak hatinya merasa h
Minggu ini orang tua Nina akan datang mengunjungi Nick. Beberapa hari ini Nina terlihat bersemangat, apalagi ketika mendengar Bia dan keluarganya akan ikut bersama. Nina sudah kangen berat dengan keponakannya–Hana–yang menggemaskan. Nina membantu salah seorang asisten rumah tangga yang disewa untuk membantu menyiapkan kamar untuk para tamu. "Tak penat ke?" tanya Nick yang salut melihat istrinya yang terlihat masih semangat mondar-mandir. Beberapa kamar di rumah ini memang banyak yang sudah terlalu lama kosong. Sementara keluarga Nick harus berkunjung ke kampung halaman daddynya untuk ikut memperingati hari kematian neneknya Nick. Arthur tentu saja terpaksa ikut, pemuda itu kini terlihat lebih patuh, apalagi jika yang menyuruhnya adalah Nick. Entah ia memang ingin berubah, atau hanya tak ingin berdebat dengan kakaknya yang sedang sakit itu. He afraid that i might be dead in argue, pikir Nick. Namun, tentu saja Nick tidak pernah mengatakannya langsung, adiknya itu kadang punya te
Nina cukup kaget dengan perubahan emosional Nick. Pria itu tidak seperti yang ia kenal. Nick benar-benar seperti bangunan yang sudah rapuh, tak tersisa semangat dan optimis di dalam dirinya. Nina cukup terpukul, apalagi dengan pemikiran yang menurut Nina konyol tentang dirinya."Nick, stop it. Kalau aku mikir begitu, ngapain aku ke sini? Ngapain setahun ini aku nungguin kamu yang menghilang begitu aja. Aku tahu, saat ini kamu dalam kondisi terburuk, I know it. So, sekarang mending kita sama-sama berusaha, aku di sini buat kamu Nick. Aku akan nemani kamu untuk keluar dari kondisi ini. Please, don't give up!"Kali ini mau tak mau Nina kembali ikut terisak. Dadanya sesak melihat Nick. Pria itu terdiam, ia merasa makin bersalah setelah membuat Nina ikut menangis.Nick kemudian bangkit dan duduk di tepi temoat tidur, menatap Nina dalam, lalu menarik wanita itu dan memeluknya erat. Menghirup aroma rambut Nina yang ia rindukan.
Nina mengerjapkan mata berulang kali ketika bau menyengat menyeruak masuk ke hidungnya. Kepalanya seolah dihantam palu raksasa yang dipukulkan berulang kali hingga kepalanya seakan kulit kacang yang keras hingga membuat sebentar lagi akan meledak dan pecah."Nina .... Wake up, please!"Suara Nick terngiang-ngiang di telinganya. Bayangan pria itu kemudian hadir lalu berlalu, Nina berteriak mencegahnya pergi."Nick, tunggu!" panggilnya.Namun, pria itu bergeming, Nina meraung sekerasnya. Sekali lagi bau menyengat membuatnya pusing dan resah, ia kemudian merasakan pipinya disentuh. Nina terkejut, kemudian berusaha membuka mata. Ia terbaring di salah satu ranjang rumah sakit, ia merasa bingung."Nin, wake up!"Nina benar-benar mendengar suara Nick yang kini berada di sampingnya. Ia tidak sedang bermimpi, pria itu menatapnya lem
Nina berusaha menutupi jetlag parah yang dirasakannya setelah menempuh perjalanan lebih dari empat belas jam itu. Mereka mendarat di London tepat saat jam makan siang.Nina kemudian menuju toilet saat orang tua Nick dan Arthur nemilih meja di salah satu restauran. Saat di toilet Nina membasuh wajahnya untuk mengurangi rasa pusing yang dirasakannya, tapi tentu saja itu tidak terlalu membantu. Bahkan segelas kopi yang diberikan oleh Arthur pun masih membuatnya mual. Entah karena jetlag, atau stres karena tidak sabar bertemu dengan Nick, yang jelas Nina memilih diam dan enggan nenyentuh makan siangnya. Setelah dibujuk sedemikian rupa Nina akhirnya berhasil menelan sepotong puding susu yang kemudian dipesannya.Birmingham tidak terlalu dekat, butuh sekitar dua jam lebih jika ditempuh melalui jalan darat. Keluarga Nick sudah memesan sebuah jet pribadi langganannya untuk menuju kota bagian negeri Britania Raya itu. Tentu saja hal itu m
Tamu-tamu sudah pulang, menuju malam Nina pun telah menuju kamar. Perasaannya terasa lapang. Kabar Nick membuatnnya memang terguncang, tapi di sisi lain ia tenang. Ternyata Nick tidaklah berniat meninggalkannya, atau berlarut marah pada peristiwa terakhir yang menerpa. Ia yakin Nick saat ini pun memikirkannya, merindukannya.Nina memandangi wajahnya di cermin. Lingkaran hitam di matanya harus segera hilang. Ia tak ingin Nick melihatnya dalam kondisi begini. Bagaimana pun, ia harus tampir prima ketika bertemu Nick yang direncanakan dalam beberapa hari lagi."Nick ...."Tangis Nina kembali pecah saat menatap foto pernikahan mereka di atas meja. Mungkin untuk pertama kali, ia merasa benar-benar sangat takut kehilangan Nick. Tanpa ia sadari, cinta itu telah tumbuh di hatinya. Entah sejak kapan, tapi akarnya sangat kuat menghujam di dasar paling terdalam hatinya."Nick, Please, bertahanl
Di belahan bumi sebelah barat sedang berada pada puncak musim dingin. Nick merapatkan kembali selimut tebal miliknya meski semua itu seolah tidak berarti. Tubuhnya terasa memburuk saja.Hari ini adalah pertama bagi Nick menjalani kemoterapi setelah berusaha berulang kali menolak. Bibinya yang merawat Nick selama di Inggris telah berulang kali membujuk, tapi Nick sulit sekali memutuskan. Ia masih menolak mengakui keberadaan penyakit itu di tubuhnya.Nick meraih ponselnya di samping tempat tidurnya. Ia harus berusaha mengalihkan pikiran untuk mengatasi mual yang teramat sangat. Mungkin isi perutnya sudah lebih dari dua puluh kali menyesak ingin keluar. Beberapa kali sudah ia bolak-balik wastafel.Jarinya lagi-lagi menekan galeri foto. Wajah wanita itu masih memenuhi isi galeri fotonya. Nina yang sedang tersenyum, cemberut, tertawa, bahkan sedang tertidur pulas di pelukannya, itu lagi yang ia lihat berulang-ulang.Sejenakp semua