Home / Romansa / Deportation / 14. Perihnya Luka

Share

14. Perihnya Luka

Author: Syifa Aim Bine
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Nick dalam posisi memeluknya, spontan kantuk Nina hilang dan duduk secara tiba-tiba. Wajahnya terasa memanas, adegan tadi membuat dadanya berdebar-debar. Nick rupanya ikut terkejut dengan gerakan Nina yang tiba-tiba.

"Kenape?" tanyanya kaget, sambil mengucek-ngucek mata. 

"Oh, ehm, gak. Itu, azan." Nina pun lekas bangun dari posisinya dan lari menuju kamar mandi. 

Nina menghela napas lega. Meski sejak zaman sekolah dulu temannya lebih banyak kaum lelaki, tapi tentu saja saat ini situasinya beda. Ia belum siap menerima sentuhan dari Nick. Ia juga tidak tahu kapan akan siap, membayangkannya saja membuat Nina bergidik ngeri. 

***

Nina belum juga menuntaskan cutinya meski ia sendiri sebenarnya sudah bosan di rumah terus. 

"Mama mau ke mana?" tanyanya ketika melihat Mama berdandan rapi. 

"Mau ke rumah Tante Marina. Ada

Syifa Aim Bine

Nina dan Luka terdiam, meraba perih yang sekian lama terendap di dasar palung tak berujung. Menyesakkan dada, mungkin itulah gambaran perasaan kedua insan itu saat ini.

| Like
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Deportation    15. Kencan Ke dua

    Sudah sekitar lima menit dua orang berlainan jenis itu terjebak dalam perih yang tak berujung. Keheningan seakan menjadi atmosfer yang cukup menyejukkan, membuat keduanya enggan beranjak."Maafkan aku, Nin. Seharusnya aku lupakan saja semua dan melanjutkan hidup. Tapi sepertinya luka yang bercampur rasa cinta dan dendam membuatku sulit menghapus semua. Apalagi ketika kita kembali bertemu, meski saat itu aku tidak tahu kalau semua telah terlambat." Luka terlihat menunduk menahan perih yang Nina tidak tahu seberapa banyak.Nina merasa lukanya tidak ada apa-apanya sekarang. Apa yang dialami Luka sepertinya lebih perih. Nina memberanikan diri menyentuh pelan pundak Luka. Berharap bisa memberi kekuatan pada pria yang pernah merajai hatinya itu. Namun, yang terjadi kemudian di luar dugaannya.Luka menoleh sesaat, lalu meraih Nina ke dalam pelukannya. Nina cukup terkejut, ia tahu hal ini salah. Tetapi pelukan itu terlalu hangat d

  • Deportation    16. Tersentuh

    Popcorn ukuran besar dan dua cangkir es kopi menemani mereka menonton. Nick dengan santai dan cuek, merebahkan tubuhnya di samping Nina. Nina mendadak gugup. Santai, Nin. Santai aja, kek gak pernah deket ama cowok aja lu. Biasa dulu templok kayak sarden di kosan Bobo santai aja lu. Mana cowok semua lagi, kenapa lu jadi cupu gini, batinnya. Nina pun menghela napas, lalu ikut berbaring di samping Nick. Ia berusaha secuek mungkin, dan menganggap Nick selevel dengan teman-teman kuliahnya dulu. Namun, tentu saja semua berubah tergantung respon dan keadaan. Entah kenapa, Nick mendekatkan lengannya, dan menaruh kepala Nina di atasnya. Malam itu Nick seakan berubah, dengan santai ia merangkul bahu Nina sambil menikmati popcorn. Usaha Nina untuk tampil cuek tadi gagal total. Sekarang ia benar-benar tidak bisa mengontrol bunyi jantungnya yang seperti hendak melompat keluar. Apalagi ketika aroma maskulin

  • Deportation    17. Chemistry

    Nina terkejut, tetapi tubuhnya seakan terpaku di sana. Sentuhan itu lebih kuat dari sengatan listrik yang pernah menyentrumnya waktu praktik di laboratorium elektrik dulu. Bibir Nick yang sedingin es justru meleburkan rasa beku di hatinya. Nina sempat memejamkan mata sesaat. Aroma feromon menguar seiring suasana, cahaya dan waktu yang tepat. Kedua insan ini cukup terhanyut dalam aroma memabukkan sebelum ingatannya kembali ketika nada dering ponselnya berbunyi. Lekas Nina melepaskan diri. Peristiwa barusan membuat kakinya lemah, hampir saja ia luruh ke lantai kalau saja tidak ada dinding di bagian belakangnya. Dengan tangan gemetar, ia merogoh ponsel di tas tangannya. Panggilan dari Mama. Nina berupaya mengatur napas sebelum menggeser layar ponselnya. Nick sudah meninggalkannya dan lebih dulu masuk. Pria itu juga gugup, beberapa kali ia menarik napas demi mengisi tangki oksigen di paru-parunya. Nina berhasil menguasai kegugupannya.

  • Deportation    18. Siapa Yang Memulai?

    "Ha?" tanya Nina dengan strategi memasang tampang bodoh. "Luka, hm, something like that? Not really sure, saye cume dengar awak tu sebut hal tu waktu tido. Mase tu saye nak salin baju," jelas Nick. "Ehm, masak sih? Salah dengar kali. Mungkin maksud gue takut luka kali. Ya, kali aja gue mimpi ngiris bawang." Meski gugup, Nina berhasil mencari alasan bagus untuk menutupi kegelisahannya. Nina lega, setidaknya Nick tahu nama itu bukan dari riwayat panggilan di ponselnya atau melihat langsung. Jadi Nina masih bisa mengalihkan kecurigaan ke hal lain. Dan sepertinya usaha Nina berhasil, Nick manggut-manggut tanda paham. Nina menghela napas lega. "Awak nak breakfast ape? Tak de apepun kat sini," tanya Nick sambil membuka laci-laci di dapurnya. "Nah, itu ada mie instan. Lo gak suka?" Nina mendapati penampakan mie instan saat Nick membuka laci di atas kepalanya.

  • Deportation    19. Bayang-bayang Nick

    Nina merasakan jantungnya berdebar. Tetapi jantung Nick dua kali terasa lebih cepat ketika tangan Nina menyentuh bagian dada Nick, tempat beradanya benda yang merupakan tanda kehidupan itu. Wajah Nick semakin dekat dengan wajahnya. Entah siapa yang memulai, kini jarak itu terpangkas habis. Entah sejak kapan pula suhu air yang memancar dari shower itu berubah dingin. Nina merasakan bibirnya mulai menggigil. Namun, setelah bibir Nick menempel, kehangatan milik pria itu seakan mengalir di seluruh aliran darahnya. Kehangatan yang menciptakan gejolak aneh di perutnya. Jiwanya ingin berontak, tetapi tubuhnya merespon berbeda. Kini ia semakin larut dalam ciuman yang terasa semakin intim itu. Keadaan makin tak terkendali sampai air berhenti mengucur. Mesin otomatis itu tiba-tiba mati. Nina baru sadar, ia sudah terlalu jauh. Apa ini saatnya? batinnya. Sejujurnya ia belum siap m

  • Deportation    20. Ketahuan

    Suasana jam makan siang membuat jalanan ibu kota kembali macet. Panas matahari tak kalah terik, membakar setiap yang berjalan tanpa perisai. Nick menatap enggan rumah makan padang yang cukup terkenal di dekat kantor mereka. Beberapa orang terlihat mengantre hingga ke pintu depan. Nick sudah membayangkan betapa sesak dan panasnya suasana di dalam. "Tak ade tempat yang lebih sejuk and tak crowded ke?" tanyanya pada Nina. Nina yang duduk di sampingnya langsung mengingat salah satu tempat yang pernah didatanginya. Sejujurnya bahkan tak pernah lekang dari ingatannya. Tempat itu cukup sejuk, makanannya juga lumayan enak, dan lokasinya pun sebenarnya tidak terlalu jauh dari kantor mereka. Namun, Nina ragu, ia enggan bertemu Luka di sana. Hm, entar ketemu gak ya? Ah, keknya gak mungkin deh. Sebanyak tempat di kota ini, masak sih dia cuma ke sana? Bodo' ah, yang penting ngadem.... "A

  • Deportation    21. Jealous?

    Nina tak berani menatap Nick. Ia tahu Nick meliriknya beberapa kali. Entah kenapa Nina merasa tatapan Nick kali ini tidak bersahabat. Aura dingin nan menyeramkan mengacaukan atmosfer. Perasaan gelisah ternyata terus menyelimuti Nina. Bahkan saat pulang kantor Nick menyuruhnya untuk pulang duluan. Nina tak berani bertanya. Ia lekas meninggalkan gedung dan memesan ojek online. Di rumah ia bertemu Bia. Kakaknya itu sedang menyuapi anaknya di taman belakang. Nina mendekat, berharap bisa curhat. "Ngapain lo monyong gitu? Gak salah lo gue panggil lele. Mirip banget dah, kurang kumisnya aja, hahaha," gelak Bia. "Ish, paan sih. Empati dikit kek, tanyain kenapa cemberut adikku sayang, gitu kek," rajuk Nina. "Hilih, najis. Ck, yaudah, laki lo mana? Kok lu pulang sendiri? Gara-gara itu lo cemberut? Berantem ya?" tanya Bia. "Ntu dia." N

  • Deportation    22. Kamar temaram

    Nina masih akan marah ketika merasakan tarikan tangan Nick yang memangkas jarak di antara mereka. Lalu saat bibir mereka menyatu, ia sebenarnya masih ingin mengulang pidatonya yang tanpa sensor itu. Namun, ciuman itu begitu lembut dan memabukkan. Nina dapat mencecap rasa mint yang manis dari mulut pria itu. Ketika Nina ingin menarik diri, Nick malah memperdalam ciumannya. Ia menarik wanita itu ke dalam pelukannya, Nina tak berkutik. Tubuhnya seakan melemah dan terbuai. Ia bahkan tak sadar, kapan Nick berhasil membopongnya hingga ke kamar. Dengan lembut Nick membelai rambutnya-yang entah kapan tanpa penutup dan terurai. Ia masih tak bisa mengerti kenapa tak ada perlawanan saat Nick menyentuhnya kemudian membawa mereka pada percintaan yang sesungguhnya. Ciuman menjadi hal yang candu, setiap sentuhan menjadi racun yang memabukkan. Nina enggan menolak, malah tubuhnya dengan primitif meminta dan mendamba. Nick menciptakan alunan nada baru untuk Nina, seperti

Latest chapter

  • Deportation    46. Warming Heart

    Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi para penghuni rumah masih enggan beranjak dari ruang keluarga. Seolah masing-masing enggan melepas kehangatan yang ada. Suara tawa, dan lelucon silih berganti. Beberapa juga masih tengah sibuk dengan koper yang akan mereka bawa. Esok orang tua Nick dan Nina akan kembali ke negara asal mereka. Mama Nina tengah mengemas oleh-oleh untuk cucunya–Hana, ketika memandang Nina yang terlihat lebih pendiam. Nina adalah anak yang paling heboh di keluarga nya. Setiap acara kumpul keluarga, tidak lengkap tanpa kehadiran si tukang banyol–Nina. Namun, belakangan Nina memang jadi lebih pendiam, apalagi sejak berada di tempat ini. Wajar saja mamanya sedikit cemas ketika meninggalkannya hanya berdua saja bersama Nick. "Bener kamu gak apa-apa kami tinggal, Nin? Kalau memang berat mama .... ""Gak apa-apa, Ma. Nina baik-baik aja kok. Alhamdulillah Nick kan juga sudah jauh lebih baik."Nina berusaha meyakinkan ibuny

  • Deportation    45. Harapan

    "Oke, Let's go .... "Nina lekas menarik tangan Nick. Ia tak ingin prianya itu mengira kalau dirinya sudah tidak mampu lagi melakukan apapun, termasuk menyetir mobil ke rumah sakit. Nina hanya tak ingin membuat Nick lelah. Namun, kadang niat baik sering disalah artikan, dan ia tak ingin Nick mengira begitu. Nina merapatkan syal yang menutupi leher Nick. Ia menggelayut manja di lengan suaminya itu. Matahari di awal musim semi telah tampak, dan rasanya cukup hangat. Nina sangat bersyukur musim berganti, ia sejujurnya tidak terlalu suka musim dingin. "Nin, ade hal yang nak saye cakap," ujar Nick tiba-tiba. Nina mengangkat kepalanya dan menatap Nick. Pria itu masih sama mempesonanya. "Hm, i know, you wanna protect me, but... Don't feel guilty about anything. I'm good. And i feel better when you coming here, stay around me. So... Just be you, Nin."Mata Nina mulai berkaca-kaca. Kata-kata Nick menancap lurus ke jantungnya, dan tera

  • Deportation    44. Insecure

    "OMG, gue udah kayak pasangan mesum digerebek satpol PP," gumam Nina saat menuruni tangga, menyusul Nick yang lebih dulu turun menuju pintu. Nick segera membukakan pintu ketika tidak dapat melihat tamu dari layar kamera pengawas. mungkin tertutup salju, pikirnya.Nick hampir terjatuh ketika pria tinggi itu menyerbu masuk dan langsung memeluknya erat."Oh, Bro, sorry gue baru datang. gue baru tau keadaan lu beberapa hari yang lalu, langsung deh gue ke mari."Pria berwajah bule itu langsung menghujani Nick dengan berbagai pertanyaan tanpa sempat bagi Nick untuk menjawab."Justin?" sapa Nina meyakinkan saat ia melihat tamunya."Wow, Nina. Wah tega lu Nin gak kasih kabar ke gue," protes Justin sambil memasang tampang sebal.Sebelum Nina sempat protes, kakak iparnya itu sudah menyerbu memeluknya. "Be tough, ya, Nin. Gue yakin lu pasti kuat," bisik Justin sambil menepuk bahu Nina. Mendadak hatinya merasa h

  • Deportation    43. Candu

    Minggu ini orang tua Nina akan datang mengunjungi Nick. Beberapa hari ini Nina terlihat bersemangat, apalagi ketika mendengar Bia dan keluarganya akan ikut bersama. Nina sudah kangen berat dengan keponakannya–Hana–yang menggemaskan. Nina membantu salah seorang asisten rumah tangga yang disewa untuk membantu menyiapkan kamar untuk para tamu. "Tak penat ke?" tanya Nick yang salut melihat istrinya yang terlihat masih semangat mondar-mandir. Beberapa kamar di rumah ini memang banyak yang sudah terlalu lama kosong. Sementara keluarga Nick harus berkunjung ke kampung halaman daddynya untuk ikut memperingati hari kematian neneknya Nick. Arthur tentu saja terpaksa ikut, pemuda itu kini terlihat lebih patuh, apalagi jika yang menyuruhnya adalah Nick. Entah ia memang ingin berubah, atau hanya tak ingin berdebat dengan kakaknya yang sedang sakit itu. He afraid that i might be dead in argue, pikir Nick. Namun, tentu saja Nick tidak pernah mengatakannya langsung, adiknya itu kadang punya te

  • Deportation    42. Salju Di Kaca Jendela

    Nina cukup kaget dengan perubahan emosional Nick. Pria itu tidak seperti yang ia kenal. Nick benar-benar seperti bangunan yang sudah rapuh, tak tersisa semangat dan optimis di dalam dirinya. Nina cukup terpukul, apalagi dengan pemikiran yang menurut Nina konyol tentang dirinya."Nick, stop it. Kalau aku mikir begitu, ngapain aku ke sini? Ngapain setahun ini aku nungguin kamu yang menghilang begitu aja. Aku tahu, saat ini kamu dalam kondisi terburuk, I know it. So, sekarang mending kita sama-sama berusaha, aku di sini buat kamu Nick. Aku akan nemani kamu untuk keluar dari kondisi ini. Please, don't give up!"Kali ini mau tak mau Nina kembali ikut terisak. Dadanya sesak melihat Nick. Pria itu terdiam, ia merasa makin bersalah setelah membuat Nina ikut menangis.Nick kemudian bangkit dan duduk di tepi temoat tidur, menatap Nina dalam, lalu menarik wanita itu dan memeluknya erat. Menghirup aroma rambut Nina yang ia rindukan.

  • Deportation    41. Batas Terbawah

    Nina mengerjapkan mata berulang kali ketika bau menyengat menyeruak masuk ke hidungnya. Kepalanya seolah dihantam palu raksasa yang dipukulkan berulang kali hingga kepalanya seakan kulit kacang yang keras hingga membuat sebentar lagi akan meledak dan pecah."Nina .... Wake up, please!"Suara Nick terngiang-ngiang di telinganya. Bayangan pria itu kemudian hadir lalu berlalu, Nina berteriak mencegahnya pergi."Nick, tunggu!" panggilnya.Namun, pria itu bergeming, Nina meraung sekerasnya. Sekali lagi bau menyengat membuatnya pusing dan resah, ia kemudian merasakan pipinya disentuh. Nina terkejut, kemudian berusaha membuka mata. Ia terbaring di salah satu ranjang rumah sakit, ia merasa bingung."Nin, wake up!"Nina benar-benar mendengar suara Nick yang kini berada di sampingnya. Ia tidak sedang bermimpi, pria itu menatapnya lem

  • Deportation    40. Wajah Lain Nick

    Nina berusaha menutupi jetlag parah yang dirasakannya setelah menempuh perjalanan lebih dari empat belas jam itu. Mereka mendarat di London tepat saat jam makan siang.Nina kemudian menuju toilet saat orang tua Nick dan Arthur nemilih meja di salah satu restauran. Saat di toilet Nina membasuh wajahnya untuk mengurangi rasa pusing yang dirasakannya, tapi tentu saja itu tidak terlalu membantu. Bahkan segelas kopi yang diberikan oleh Arthur pun masih membuatnya mual. Entah karena jetlag, atau stres karena tidak sabar bertemu dengan Nick, yang jelas Nina memilih diam dan enggan nenyentuh makan siangnya. Setelah dibujuk sedemikian rupa Nina akhirnya berhasil menelan sepotong puding susu yang kemudian dipesannya.Birmingham tidak terlalu dekat, butuh sekitar dua jam lebih jika ditempuh melalui jalan darat. Keluarga Nick sudah memesan sebuah jet pribadi langganannya untuk menuju kota bagian negeri Britania Raya itu. Tentu saja hal itu m

  • Deportation    39. I'll Be Waiting for you

    Tamu-tamu sudah pulang, menuju malam Nina pun telah menuju kamar. Perasaannya terasa lapang. Kabar Nick membuatnnya memang terguncang, tapi di sisi lain ia tenang. Ternyata Nick tidaklah berniat meninggalkannya, atau berlarut marah pada peristiwa terakhir yang menerpa. Ia yakin Nick saat ini pun memikirkannya, merindukannya.Nina memandangi wajahnya di cermin. Lingkaran hitam di matanya harus segera hilang. Ia tak ingin Nick melihatnya dalam kondisi begini. Bagaimana pun, ia harus tampir prima ketika bertemu Nick yang direncanakan dalam beberapa hari lagi."Nick ...."Tangis Nina kembali pecah saat menatap foto pernikahan mereka di atas meja. Mungkin untuk pertama kali, ia merasa benar-benar sangat takut kehilangan Nick. Tanpa ia sadari, cinta itu telah tumbuh di hatinya. Entah sejak kapan, tapi akarnya sangat kuat menghujam di dasar paling terdalam hatinya."Nick, Please, bertahanl

  • Deportation    38. Sakit Yang Sesungguhnya

    Di belahan bumi sebelah barat sedang berada pada puncak musim dingin. Nick merapatkan kembali selimut tebal miliknya meski semua itu seolah tidak berarti. Tubuhnya terasa memburuk saja.Hari ini adalah pertama bagi Nick menjalani kemoterapi setelah berusaha berulang kali menolak. Bibinya yang merawat Nick selama di Inggris telah berulang kali membujuk, tapi Nick sulit sekali memutuskan. Ia masih menolak mengakui keberadaan penyakit itu di tubuhnya.Nick meraih ponselnya di samping tempat tidurnya. Ia harus berusaha mengalihkan pikiran untuk mengatasi mual yang teramat sangat. Mungkin isi perutnya sudah lebih dari dua puluh kali menyesak ingin keluar. Beberapa kali sudah ia bolak-balik wastafel.Jarinya lagi-lagi menekan galeri foto. Wajah wanita itu masih memenuhi isi galeri fotonya. Nina yang sedang tersenyum, cemberut, tertawa, bahkan sedang tertidur pulas di pelukannya, itu lagi yang ia lihat berulang-ulang.Sejenakp semua

DMCA.com Protection Status