Nina masih akan marah ketika merasakan tarikan tangan Nick yang memangkas jarak di antara mereka. Lalu saat bibir mereka menyatu, ia sebenarnya masih ingin mengulang pidatonya yang tanpa sensor itu. Namun, ciuman itu begitu lembut dan memabukkan. Nina dapat mencecap rasa mint yang manis dari mulut pria itu. Ketika Nina ingin menarik diri, Nick malah memperdalam ciumannya. Ia menarik wanita itu ke dalam pelukannya, Nina tak berkutik. Tubuhnya seakan melemah dan terbuai.
Ia bahkan tak sadar, kapan Nick berhasil membopongnya hingga ke kamar. Dengan lembut Nick membelai rambutnya-yang entah kapan tanpa penutup dan terurai. Ia masih tak bisa mengerti kenapa tak ada perlawanan saat Nick menyentuhnya kemudian membawa mereka pada percintaan yang sesungguhnya. Ciuman menjadi hal yang candu, setiap sentuhan menjadi racun yang memabukkan. Nina enggan menolak, malah tubuhnya dengan primitif meminta dan mendamba. Nick menciptakan alunan nada baru untuk Nina, seperti
Adegan 17+ Harap kebijakan pembaca 🙏
Benar saja, papa dan mama Nina sudah nongol di pintu depan. Membawa barang-barang Nina dan tidak lupa membawa sarapan."Pasti kamu belum masak kan, Nin?" sindir Mama saat mereka berdua menuju dapur.Mampus gue, untung Nick gak denger. Mak gue kadang mulutnya udah kayak mertua di sinetron yah, sindirannya setajam silet. Batin Nina.Nina hanya cengengesan mendengar kata mamanya. Nina segera membuatkan teh untuk sarapan bersama. Lalu membantu mama menyiapkan sarapan berupa lontong medan.Dih, kirain masak. Taunya beli juga, batinnya lagi."Sebenarnya tadi mama udah masak, cuma ingat bawain kamu sarapan baru di jalan tadi." Mama seakan bisa membaca cemooh Nina meski hanya dalam hati, Nina jadi malu. Mata Nina tak lepas dari Nick yang berada di sampingnya. Pria itu terlihat gusar, ia hanya mengaduk-aduk sarapannya. "Makanlah, gak enak sama mama yang udah capek-capek bawain," bisiknya. Padahal sebenarnya karena ia khawatir Nick masuk angin jika gak sarapan. Namun, hal itu cukup berhasil.
Nina dan beberapa orang yang ada di ruangan itu serempak memandangi pria jangkung yang baru saja tiba. Wajah pria berwajah tirus itu terlihat tak kalah sedih. Isak tangisnya terdengar. "Arthur?" mommy Nick tampak terkejut. Setelahnya, wajah lembut itu kembali melunak, matanya kembali basah. Ia menjangkau wajah pemuda itu perlahan, lalu menerimanya ke dalam pelukan. Keduanya menangis sesegukan. Nina memperhatikan meski dalam hati bertanya-tanya, siapa gerangan pria itu. Ia melirik Nick, suaminya itu hanya mematung dan mengabaikan drama yang terjadi. Hey, ini siapa? Kok cuek gitu? batin Nina. Ia berharap Nick menjelaskan padanya. Namun, percuma, suaminya itu bahkan buang muka. "How is he?" tanya pria yang bernama Arthur itu. "Jom, kite tengok," ajak mommy Nick. M
Nina merasakan sosok di hadapannya begitu dekat. Ia bahkan dapat merasakan hembusan napas pria itu di wajahnya. Awalnya Nina berpikir kalau itu Nick, ternyata dugaannya salah. Sewaktu membuka mata wajah Arthur begitu dekat. Nina kaget, ia sampai berdiri secara spontan. Hingga kepalanya membentur wajah Arthur dengan cukup keras. "Ouch!" pekik pria itu menahan sakit di bagian bawah dagunya. "Ups, sorry. Gue kaget tadi soalnya." Mampus, bahasa asli gue keluar. Die ngerti kagak ye? batin Nina. "It's oke. Gue juga kaget," jawab Arthur santai, meski sesekali masih meringis kesakitan. Eh, dia bisa bahasa gue? "Eh, lo bisa ...." "Sst, ini antara kita aja. Gue pernah stay di Indo. But no body knows. So, antara kita aja, ya," bisiknya pelan.
Mobil melaju menembus kemacetan kota yang mulai terlihat. Arthur bak pembalap memacu mobil sport itu dengan kecepatan tinggi. Nina sampai harus berpegangan erat pada seatbeltnya sambil melafazkan doa yang ia tahu. Rasanya terlalu nahas jika ia harus mati di negeri orang seperti sekarang. Tak sampai lima belas menit, mobil mereka sampai di parkiran. Arthur dan Nick gegas berlari menuju tempat ayah mereka. Nina mengekor dari belakang. "Nin, awak call Jason, please," ujar Nick disela kepanikannya. "Sorry, hape gue tinggal," jawabnya menyesal. "Nah, pakai my phone." Nick menyerahkan ponsel pintarnya. "Wait! Kodenya?" "two seven double zero," ujar Nick sebelum melesat meninggalkan Nina." "Dua tujuh, nol nol," ulang Nina. Hm, angka dua tujuh lagi. Tanggal lahir gue, batin Nina. Kemudian ia segera mencari nomor Jason dan menekan tanda menghubungi. "Halo, Jason? Ni gue Nina. Jas ...." "Gue udah di bawah Nin. Gue langsung ke sini tadi dari bandara. Lantai berapa ruangannya?" Nina ke
"Encik Dua tujuh?" tanya Nina bingung sekaligus penasaran.Sang EO melirik pada mommy Nick sekilas sebelum memperbaiki kekeliruan yang telah dibuatnya."Eh, tak delah. Ehm, mirip pelanggan saye, jer. Tapi taklah, mate saye ni dah mulai tue agaknye. Encik jauh lebih lawe lah. Eh, ape orang Indon cakap? Ayu, cantik banget," ujarnya menirukan logat negaranya.Nina enggan berdebat, cukup ia merekam apa yang ia dengar saat ini. Namun, ia tidak dapat mengelak dari pikirannya yang kini melayang jauh.Apa Nick punya pacar? Dua tujuh? Jadi angka itu....Dadanya tiba-tiba saja terasa nyeri. Selama ini ia pikir kalau angka itu adalah tentang dirinya. Ternyata bukan, ada orang lain yang memang bergelar angka itu, entah apa maksudnya. Yang pasti Nina akan mencari tahu.Alih-alih bertanya pada mommy Nick, Nina lebih memilih mengorek informasi dari orang yang ia percaya–Kak Siti. Sore itu asisten rumah tangga keluarga Nick itu tengah sibuk menyiram bunga di halaman. Pelan-pelan Nina mendekatinya."Ka
Undangan telah disebar melalui para sahabat maupun media sosial. Keluarga Nick memang cukup tersohor, apalagi di kalangan pembesar di negara yang berbasis kerajaan itu. Tamu-tamu besar akan hadir. Meski sejak awal Nick ingin konsepnya sederhana dan kekeluargaan, tetapi ia tidak bisa menolak basa-basi dari para relasi yang membantu bisnis keluarganya selama ini. Sehingga, mau tak mau perhelatan ini cukup terasa mewah meski diadakan di rumah. Dua hari menjelang hari-H, keluarga Nina telah sampai di KL. Nina senang bukan kepalang saat bertemu Bia dan mamanya. Beberapa kali ia memeluk dua orang wanita paling berarti di hidupnya itu. "Iih, Lele, lepasin gue! Pa-paan sih, lu. Kayak gak pernah ketemu seabad aja. Belom juga sebulan, norak deh. Tuh, baru nyadar kan lu betapa ngangeninnya gue?" ujar Bia jumawa. Namun, kali ini Nina tidak membantah. Jauh dari rumah seperti sekarang membuatnya sangat rindu pada ocehan ka
Nina mencoba menjauhi Luka. Ia kini tahu bahwa Luka mendengar obrolannya tadi. Setidaknya itulah dugaannya. Namun, perhatian Luka menurutnya sudah melanggar batas. Dan saat ini ia masih terluka, Nina hanya ingin sendiri. "Stop, Luka. Kamu udah melewati batas. Apapun yang terjadi dalam pernikahan aku, bukan ranah kamu untuk mencoba ikut campur." Mata Nina memanas, sesaat saja semua tertumpah. Saat ini ia sulit menahan semuanya lagi. Ia enggan membahas hal itu lagi. Luka tidak tinggal diam, ia lekas merengkuh tubuh Nina ke dalam pelukannya. Dan Nina bisa merasakan, pria itu ikut terisak. Hati Nina luruh, tapi ia segera sadar sedang berada dimana. Segera Nina melepaskan pelukan Luka dan berlari ke kamarnya. Luka hanya bisa terdiam saat itu terjadi. Ia juga sadar lokasi saat ini tidak tepat. Saat ini ia hanya ingin Nina tahu, kalau ada orang yang tetap ingin memperjuangkan senyuman di wajahnya.
Arthur tiba-tiba datang dan menarik Nina. Sekarang Nina bak ratu diantara para pria bridesmaids. Di situ juga ada Jason dan Luka yang menatapnya. "Ha, bagus awak kat sini je ngan kite orang, ye kan?" ujar Arthur. "Halah, sok malay pulak, biasa lo gue, njir!" ejek Jason. "Sst, Abang ni. Cukup kita aja yang tahu, ya gak Nin?" Arthur menyenggol bahu Nina. "Nin? Eh gue bini Abang lu ye." Nina kaget mendengar Arthur tidak memanggilnya dengan sebutan Kakak. "Halah, mulai deh sok tue. Tar tua beneran loh, ah, Nick gak denger ini," bisiknya. "Sialan ni anak emang. Jangan dengerin Nin, dia emang rada-rada emang. Gue aja malu sebagai abangnya," gelak Jason. Nina ikut tergelak. Akhirnya ia bisa tersenyum di sini. Ia kini tidak peduli lagi pada Nick dan semua tamu pentingnya. Arthur, Jason dan Luka sukses membuat mood Nina kembali. Ia k
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi para penghuni rumah masih enggan beranjak dari ruang keluarga. Seolah masing-masing enggan melepas kehangatan yang ada. Suara tawa, dan lelucon silih berganti. Beberapa juga masih tengah sibuk dengan koper yang akan mereka bawa. Esok orang tua Nick dan Nina akan kembali ke negara asal mereka. Mama Nina tengah mengemas oleh-oleh untuk cucunya–Hana, ketika memandang Nina yang terlihat lebih pendiam. Nina adalah anak yang paling heboh di keluarga nya. Setiap acara kumpul keluarga, tidak lengkap tanpa kehadiran si tukang banyol–Nina. Namun, belakangan Nina memang jadi lebih pendiam, apalagi sejak berada di tempat ini. Wajar saja mamanya sedikit cemas ketika meninggalkannya hanya berdua saja bersama Nick. "Bener kamu gak apa-apa kami tinggal, Nin? Kalau memang berat mama .... ""Gak apa-apa, Ma. Nina baik-baik aja kok. Alhamdulillah Nick kan juga sudah jauh lebih baik."Nina berusaha meyakinkan ibuny
"Oke, Let's go .... "Nina lekas menarik tangan Nick. Ia tak ingin prianya itu mengira kalau dirinya sudah tidak mampu lagi melakukan apapun, termasuk menyetir mobil ke rumah sakit. Nina hanya tak ingin membuat Nick lelah. Namun, kadang niat baik sering disalah artikan, dan ia tak ingin Nick mengira begitu. Nina merapatkan syal yang menutupi leher Nick. Ia menggelayut manja di lengan suaminya itu. Matahari di awal musim semi telah tampak, dan rasanya cukup hangat. Nina sangat bersyukur musim berganti, ia sejujurnya tidak terlalu suka musim dingin. "Nin, ade hal yang nak saye cakap," ujar Nick tiba-tiba. Nina mengangkat kepalanya dan menatap Nick. Pria itu masih sama mempesonanya. "Hm, i know, you wanna protect me, but... Don't feel guilty about anything. I'm good. And i feel better when you coming here, stay around me. So... Just be you, Nin."Mata Nina mulai berkaca-kaca. Kata-kata Nick menancap lurus ke jantungnya, dan tera
"OMG, gue udah kayak pasangan mesum digerebek satpol PP," gumam Nina saat menuruni tangga, menyusul Nick yang lebih dulu turun menuju pintu. Nick segera membukakan pintu ketika tidak dapat melihat tamu dari layar kamera pengawas. mungkin tertutup salju, pikirnya.Nick hampir terjatuh ketika pria tinggi itu menyerbu masuk dan langsung memeluknya erat."Oh, Bro, sorry gue baru datang. gue baru tau keadaan lu beberapa hari yang lalu, langsung deh gue ke mari."Pria berwajah bule itu langsung menghujani Nick dengan berbagai pertanyaan tanpa sempat bagi Nick untuk menjawab."Justin?" sapa Nina meyakinkan saat ia melihat tamunya."Wow, Nina. Wah tega lu Nin gak kasih kabar ke gue," protes Justin sambil memasang tampang sebal.Sebelum Nina sempat protes, kakak iparnya itu sudah menyerbu memeluknya. "Be tough, ya, Nin. Gue yakin lu pasti kuat," bisik Justin sambil menepuk bahu Nina. Mendadak hatinya merasa h
Minggu ini orang tua Nina akan datang mengunjungi Nick. Beberapa hari ini Nina terlihat bersemangat, apalagi ketika mendengar Bia dan keluarganya akan ikut bersama. Nina sudah kangen berat dengan keponakannya–Hana–yang menggemaskan. Nina membantu salah seorang asisten rumah tangga yang disewa untuk membantu menyiapkan kamar untuk para tamu. "Tak penat ke?" tanya Nick yang salut melihat istrinya yang terlihat masih semangat mondar-mandir. Beberapa kamar di rumah ini memang banyak yang sudah terlalu lama kosong. Sementara keluarga Nick harus berkunjung ke kampung halaman daddynya untuk ikut memperingati hari kematian neneknya Nick. Arthur tentu saja terpaksa ikut, pemuda itu kini terlihat lebih patuh, apalagi jika yang menyuruhnya adalah Nick. Entah ia memang ingin berubah, atau hanya tak ingin berdebat dengan kakaknya yang sedang sakit itu. He afraid that i might be dead in argue, pikir Nick. Namun, tentu saja Nick tidak pernah mengatakannya langsung, adiknya itu kadang punya te
Nina cukup kaget dengan perubahan emosional Nick. Pria itu tidak seperti yang ia kenal. Nick benar-benar seperti bangunan yang sudah rapuh, tak tersisa semangat dan optimis di dalam dirinya. Nina cukup terpukul, apalagi dengan pemikiran yang menurut Nina konyol tentang dirinya."Nick, stop it. Kalau aku mikir begitu, ngapain aku ke sini? Ngapain setahun ini aku nungguin kamu yang menghilang begitu aja. Aku tahu, saat ini kamu dalam kondisi terburuk, I know it. So, sekarang mending kita sama-sama berusaha, aku di sini buat kamu Nick. Aku akan nemani kamu untuk keluar dari kondisi ini. Please, don't give up!"Kali ini mau tak mau Nina kembali ikut terisak. Dadanya sesak melihat Nick. Pria itu terdiam, ia merasa makin bersalah setelah membuat Nina ikut menangis.Nick kemudian bangkit dan duduk di tepi temoat tidur, menatap Nina dalam, lalu menarik wanita itu dan memeluknya erat. Menghirup aroma rambut Nina yang ia rindukan.
Nina mengerjapkan mata berulang kali ketika bau menyengat menyeruak masuk ke hidungnya. Kepalanya seolah dihantam palu raksasa yang dipukulkan berulang kali hingga kepalanya seakan kulit kacang yang keras hingga membuat sebentar lagi akan meledak dan pecah."Nina .... Wake up, please!"Suara Nick terngiang-ngiang di telinganya. Bayangan pria itu kemudian hadir lalu berlalu, Nina berteriak mencegahnya pergi."Nick, tunggu!" panggilnya.Namun, pria itu bergeming, Nina meraung sekerasnya. Sekali lagi bau menyengat membuatnya pusing dan resah, ia kemudian merasakan pipinya disentuh. Nina terkejut, kemudian berusaha membuka mata. Ia terbaring di salah satu ranjang rumah sakit, ia merasa bingung."Nin, wake up!"Nina benar-benar mendengar suara Nick yang kini berada di sampingnya. Ia tidak sedang bermimpi, pria itu menatapnya lem
Nina berusaha menutupi jetlag parah yang dirasakannya setelah menempuh perjalanan lebih dari empat belas jam itu. Mereka mendarat di London tepat saat jam makan siang.Nina kemudian menuju toilet saat orang tua Nick dan Arthur nemilih meja di salah satu restauran. Saat di toilet Nina membasuh wajahnya untuk mengurangi rasa pusing yang dirasakannya, tapi tentu saja itu tidak terlalu membantu. Bahkan segelas kopi yang diberikan oleh Arthur pun masih membuatnya mual. Entah karena jetlag, atau stres karena tidak sabar bertemu dengan Nick, yang jelas Nina memilih diam dan enggan nenyentuh makan siangnya. Setelah dibujuk sedemikian rupa Nina akhirnya berhasil menelan sepotong puding susu yang kemudian dipesannya.Birmingham tidak terlalu dekat, butuh sekitar dua jam lebih jika ditempuh melalui jalan darat. Keluarga Nick sudah memesan sebuah jet pribadi langganannya untuk menuju kota bagian negeri Britania Raya itu. Tentu saja hal itu m
Tamu-tamu sudah pulang, menuju malam Nina pun telah menuju kamar. Perasaannya terasa lapang. Kabar Nick membuatnnya memang terguncang, tapi di sisi lain ia tenang. Ternyata Nick tidaklah berniat meninggalkannya, atau berlarut marah pada peristiwa terakhir yang menerpa. Ia yakin Nick saat ini pun memikirkannya, merindukannya.Nina memandangi wajahnya di cermin. Lingkaran hitam di matanya harus segera hilang. Ia tak ingin Nick melihatnya dalam kondisi begini. Bagaimana pun, ia harus tampir prima ketika bertemu Nick yang direncanakan dalam beberapa hari lagi."Nick ...."Tangis Nina kembali pecah saat menatap foto pernikahan mereka di atas meja. Mungkin untuk pertama kali, ia merasa benar-benar sangat takut kehilangan Nick. Tanpa ia sadari, cinta itu telah tumbuh di hatinya. Entah sejak kapan, tapi akarnya sangat kuat menghujam di dasar paling terdalam hatinya."Nick, Please, bertahanl
Di belahan bumi sebelah barat sedang berada pada puncak musim dingin. Nick merapatkan kembali selimut tebal miliknya meski semua itu seolah tidak berarti. Tubuhnya terasa memburuk saja.Hari ini adalah pertama bagi Nick menjalani kemoterapi setelah berusaha berulang kali menolak. Bibinya yang merawat Nick selama di Inggris telah berulang kali membujuk, tapi Nick sulit sekali memutuskan. Ia masih menolak mengakui keberadaan penyakit itu di tubuhnya.Nick meraih ponselnya di samping tempat tidurnya. Ia harus berusaha mengalihkan pikiran untuk mengatasi mual yang teramat sangat. Mungkin isi perutnya sudah lebih dari dua puluh kali menyesak ingin keluar. Beberapa kali sudah ia bolak-balik wastafel.Jarinya lagi-lagi menekan galeri foto. Wajah wanita itu masih memenuhi isi galeri fotonya. Nina yang sedang tersenyum, cemberut, tertawa, bahkan sedang tertidur pulas di pelukannya, itu lagi yang ia lihat berulang-ulang.Sejenakp semua