Beranda / Romansa / Deportation / 26. Pondok Mertua Indah

Share

26. Pondok Mertua Indah

Penulis: Syifa Aim Bine
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
Mobil melaju menembus kemacetan kota yang mulai terlihat. Arthur bak pembalap memacu mobil sport itu dengan kecepatan tinggi. Nina sampai harus berpegangan erat pada seatbeltnya sambil melafazkan doa yang ia tahu. Rasanya terlalu nahas jika ia harus mati di negeri orang seperti sekarang.

Tak sampai lima belas menit, mobil mereka sampai di parkiran. Arthur dan Nick gegas berlari menuju tempat ayah mereka. Nina mengekor dari belakang.

"Nin, awak call Jason, please," ujar Nick disela kepanikannya.

"Sorry, hape gue tinggal," jawabnya menyesal.

"Nah, pakai my phone." Nick menyerahkan ponsel pintarnya.

"Wait! Kodenya?"

"two seven double zero," ujar Nick sebelum melesat meninggalkan Nina."

"Dua tujuh, nol nol," ulang Nina.

Hm, angka dua tujuh lagi. Tanggal lahir gue, batin Nina.

Kemudian ia segera mencari nomor Jason dan menekan tanda menghubungi.

"Halo, Jason? Ni gue Nina. Jas ...."

"Gue udah di bawah Nin. Gue langsung ke sini tadi dari bandara. Lantai berapa ruangannya?"

Nina ke
Syifa Aim Bine

Terserang writers block. Semoga cerita ini banyak peminatnya 🙏😇

| Sukai
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Deportation    27. Gagal Move-on

    "Encik Dua tujuh?" tanya Nina bingung sekaligus penasaran.Sang EO melirik pada mommy Nick sekilas sebelum memperbaiki kekeliruan yang telah dibuatnya."Eh, tak delah. Ehm, mirip pelanggan saye, jer. Tapi taklah, mate saye ni dah mulai tue agaknye. Encik jauh lebih lawe lah. Eh, ape orang Indon cakap? Ayu, cantik banget," ujarnya menirukan logat negaranya.Nina enggan berdebat, cukup ia merekam apa yang ia dengar saat ini. Namun, ia tidak dapat mengelak dari pikirannya yang kini melayang jauh.Apa Nick punya pacar? Dua tujuh? Jadi angka itu....Dadanya tiba-tiba saja terasa nyeri. Selama ini ia pikir kalau angka itu adalah tentang dirinya. Ternyata bukan, ada orang lain yang memang bergelar angka itu, entah apa maksudnya. Yang pasti Nina akan mencari tahu.Alih-alih bertanya pada mommy Nick, Nina lebih memilih mengorek informasi dari orang yang ia percaya–Kak Siti. Sore itu asisten rumah tangga keluarga Nick itu tengah sibuk menyiram bunga di halaman. Pelan-pelan Nina mendekatinya."Ka

  • Deportation    28. Pelik

    Undangan telah disebar melalui para sahabat maupun media sosial. Keluarga Nick memang cukup tersohor, apalagi di kalangan pembesar di negara yang berbasis kerajaan itu. Tamu-tamu besar akan hadir. Meski sejak awal Nick ingin konsepnya sederhana dan kekeluargaan, tetapi ia tidak bisa menolak basa-basi dari para relasi yang membantu bisnis keluarganya selama ini. Sehingga, mau tak mau perhelatan ini cukup terasa mewah meski diadakan di rumah. Dua hari menjelang hari-H, keluarga Nina telah sampai di KL. Nina senang bukan kepalang saat bertemu Bia dan mamanya. Beberapa kali ia memeluk dua orang wanita paling berarti di hidupnya itu. "Iih, Lele, lepasin gue! Pa-paan sih, lu. Kayak gak pernah ketemu seabad aja. Belom juga sebulan, norak deh. Tuh, baru nyadar kan lu betapa ngangeninnya gue?" ujar Bia jumawa. Namun, kali ini Nina tidak membantah. Jauh dari rumah seperti sekarang membuatnya sangat rindu pada ocehan ka

  • Deportation    29. Panggung Sandiwara

    Nina mencoba menjauhi Luka. Ia kini tahu bahwa Luka mendengar obrolannya tadi. Setidaknya itulah dugaannya. Namun, perhatian Luka menurutnya sudah melanggar batas. Dan saat ini ia masih terluka, Nina hanya ingin sendiri. "Stop, Luka. Kamu udah melewati batas. Apapun yang terjadi dalam pernikahan aku, bukan ranah kamu untuk mencoba ikut campur." Mata Nina memanas, sesaat saja semua tertumpah. Saat ini ia sulit menahan semuanya lagi. Ia enggan membahas hal itu lagi. Luka tidak tinggal diam, ia lekas merengkuh tubuh Nina ke dalam pelukannya. Dan Nina bisa merasakan, pria itu ikut terisak. Hati Nina luruh, tapi ia segera sadar sedang berada dimana. Segera Nina melepaskan pelukan Luka dan berlari ke kamarnya. Luka hanya bisa terdiam saat itu terjadi. Ia juga sadar lokasi saat ini tidak tepat. Saat ini ia hanya ingin Nina tahu, kalau ada orang yang tetap ingin memperjuangkan senyuman di wajahnya.

  • Deportation    30. Mengsedih

    Arthur tiba-tiba datang dan menarik Nina. Sekarang Nina bak ratu diantara para pria bridesmaids. Di situ juga ada Jason dan Luka yang menatapnya. "Ha, bagus awak kat sini je ngan kite orang, ye kan?" ujar Arthur. "Halah, sok malay pulak, biasa lo gue, njir!" ejek Jason. "Sst, Abang ni. Cukup kita aja yang tahu, ya gak Nin?" Arthur menyenggol bahu Nina. "Nin? Eh gue bini Abang lu ye." Nina kaget mendengar Arthur tidak memanggilnya dengan sebutan Kakak. "Halah, mulai deh sok tue. Tar tua beneran loh, ah, Nick gak denger ini," bisiknya. "Sialan ni anak emang. Jangan dengerin Nin, dia emang rada-rada emang. Gue aja malu sebagai abangnya," gelak Jason. Nina ikut tergelak. Akhirnya ia bisa tersenyum di sini. Ia kini tidak peduli lagi pada Nick dan semua tamu pentingnya. Arthur, Jason dan Luka sukses membuat mood Nina kembali. Ia k

  • Deportation    31. Pisah

    "Nick, turunin gue!" ucap Nina spontan.Namun, Nick bergeming. Ia sukses membawa Nina masuk ke dalam kamar. Setelah menutup pintu, barulah ia menurunkan Nina. Nina kesal bukan main, ia hampir saja mengeluarkan jurus sabuk hitamnya."Alamak, nak besilat," gurau Nick."Nick!" teriak Nina kesal."Sst, sorry, tak de maksud nak buat awak marah. Cume tadi saye dengar ade suare kat situ. Kalau setakat Mommy or Arthur, okelah. Tapi kalau dah macam orang EO tadi or sesiapepun kan tak elok kalau die orang dengar," jelas Nick."Ah, terselah lu dah. Pokoknya gue mau pulang, titik!" Teriak Nina kesal."Nin! Astagfirullah, sebenanye ade ape? Just talk!" Nick sepertinya mulai kesal dengan sikap Nina.Nina kembali terisak, Nick benar-benar membuatnya kesal. Ingin rasanya ia memukul pria itu sekuatnya, agar rasa kesal ini segera terlampiaskan. Namun, yang

  • Deportation    32. Long Distance Relationship

    Nina menatap gumpalan awan di luar pesawat. Wanita itu menghela napasnya yang terasa berat. Wajah Nick terbayang sekali lagi. Nina kesal pada dirinya sendiri, ia punya banyak alasan membenci Nick saat ini. Namun, entah kenapa sulit rasanya menghilangkan jejak wajah Nick di sudut penglihatannya. Apalagi ekspresi Nick saat mereka berpisah tadi. Tak terasa bulir bening turun perlahan dari sudut matanya. Nina mencoba menghela napas, melegakan kegelisahannya. Ia yakin keputusannya saat ini yang paling tepat. Setidaknya mereka berdua butuh waktu untuk saling menilai, seberapa penting kehadiran pasangan bagi keduanya saat ini.Begitupun Nick, ia kehilangan fokusnya saat rapat pagi ini. Beberapa kali moderator harus menyadarkannya. Nick sendiri cukup heran dengan dirinya, tidak pernah ia kehilangan fokus seperti ini. Rasa bersalah pada Nina seakan bayangan yang terus menghantuinya. Rasa perih ia rasakan setiap mengingat wajah Nina yang sedih."Sorry ...," gumamnya.

  • Deportation    33. Berpaling

    Nina tertawa menatap layar ponselnya. Siang ini pria itu janji membocorkan rahasia suksesnya."Bener kamu gak ikut, Nin?" tanya mamanya lagi.Orang tua Nina tengah berkemas untuk berangkat ke rumah sepupu Nina di Bandung. Bia dan keluarga tidak ikut karena mertua Bia sedang kurang sehat. Sehingga kaka Nina itu harus menyusul ke Malang."Bener, mending Nina ikut les. Besok ada ujian toefl juga," jawabnya acuh.Mama Nina menghela napas, ia jadi menyesal telah memanjakan Nina. Anaknya itu benar-benar tidak dewasa. Di satu sisi ia juga menyesal memaksakan pernikahan pada Nina. Mama Nina jadi menilai Nina memang belum siap untuk menikah, apalagi dengan pria yang belum dicintainya."Sudahlah, Ma. Biarkan saja dia. Nina itu sudah dewasa, gak bisa kamu paksakan kemauan kamu. Yang ada dia malah kabur nanti, kayak gak hapal Nina aja," bujuk papa Nina berusaha menenangkan istrinya saat mere

  • Deportation    34. Benang Kusut

    Setelah selesai mengikuti ujian toefl, Nina memutuskan untuk kembali ke rumah. Entah kenapa ia tidak enak badan hari ini. Kepalanya terasa pusing, mungkin efek begadang beberapa malam ini. Ia pun memutuskan untuk tidur. Suasana rumah yang sepi juga membuat Nina merasa enggan berlama-lama berada di ruang keluarga. Ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan tidur.Entah berapa lama ia tertidur, bunyi dering ponsel membuatnya terbangun. Tertera nama Luka di layar ponsel pintarnya. Nina pun menggeser layar untuk menerima panggilan."Kamu sakit, ya, Nin?" tanya Luka setelah mendengar suara Nina yang serak."Gak apa-apa, kok, cuma masuk angin sedikit," jawab Nina."Udah makan?" tanya Luka lagi."Belum, bentar lagi kayaknya.""Loh, katanya masuk angin. Kok jam segini belum makan?" sambungnya.Nina kemudian melirik jam di dinding kamarnya. Terny

Bab terbaru

  • Deportation    46. Warming Heart

    Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi para penghuni rumah masih enggan beranjak dari ruang keluarga. Seolah masing-masing enggan melepas kehangatan yang ada. Suara tawa, dan lelucon silih berganti. Beberapa juga masih tengah sibuk dengan koper yang akan mereka bawa. Esok orang tua Nick dan Nina akan kembali ke negara asal mereka. Mama Nina tengah mengemas oleh-oleh untuk cucunya–Hana, ketika memandang Nina yang terlihat lebih pendiam. Nina adalah anak yang paling heboh di keluarga nya. Setiap acara kumpul keluarga, tidak lengkap tanpa kehadiran si tukang banyol–Nina. Namun, belakangan Nina memang jadi lebih pendiam, apalagi sejak berada di tempat ini. Wajar saja mamanya sedikit cemas ketika meninggalkannya hanya berdua saja bersama Nick. "Bener kamu gak apa-apa kami tinggal, Nin? Kalau memang berat mama .... ""Gak apa-apa, Ma. Nina baik-baik aja kok. Alhamdulillah Nick kan juga sudah jauh lebih baik."Nina berusaha meyakinkan ibuny

  • Deportation    45. Harapan

    "Oke, Let's go .... "Nina lekas menarik tangan Nick. Ia tak ingin prianya itu mengira kalau dirinya sudah tidak mampu lagi melakukan apapun, termasuk menyetir mobil ke rumah sakit. Nina hanya tak ingin membuat Nick lelah. Namun, kadang niat baik sering disalah artikan, dan ia tak ingin Nick mengira begitu. Nina merapatkan syal yang menutupi leher Nick. Ia menggelayut manja di lengan suaminya itu. Matahari di awal musim semi telah tampak, dan rasanya cukup hangat. Nina sangat bersyukur musim berganti, ia sejujurnya tidak terlalu suka musim dingin. "Nin, ade hal yang nak saye cakap," ujar Nick tiba-tiba. Nina mengangkat kepalanya dan menatap Nick. Pria itu masih sama mempesonanya. "Hm, i know, you wanna protect me, but... Don't feel guilty about anything. I'm good. And i feel better when you coming here, stay around me. So... Just be you, Nin."Mata Nina mulai berkaca-kaca. Kata-kata Nick menancap lurus ke jantungnya, dan tera

  • Deportation    44. Insecure

    "OMG, gue udah kayak pasangan mesum digerebek satpol PP," gumam Nina saat menuruni tangga, menyusul Nick yang lebih dulu turun menuju pintu. Nick segera membukakan pintu ketika tidak dapat melihat tamu dari layar kamera pengawas. mungkin tertutup salju, pikirnya.Nick hampir terjatuh ketika pria tinggi itu menyerbu masuk dan langsung memeluknya erat."Oh, Bro, sorry gue baru datang. gue baru tau keadaan lu beberapa hari yang lalu, langsung deh gue ke mari."Pria berwajah bule itu langsung menghujani Nick dengan berbagai pertanyaan tanpa sempat bagi Nick untuk menjawab."Justin?" sapa Nina meyakinkan saat ia melihat tamunya."Wow, Nina. Wah tega lu Nin gak kasih kabar ke gue," protes Justin sambil memasang tampang sebal.Sebelum Nina sempat protes, kakak iparnya itu sudah menyerbu memeluknya. "Be tough, ya, Nin. Gue yakin lu pasti kuat," bisik Justin sambil menepuk bahu Nina. Mendadak hatinya merasa h

  • Deportation    43. Candu

    Minggu ini orang tua Nina akan datang mengunjungi Nick. Beberapa hari ini Nina terlihat bersemangat, apalagi ketika mendengar Bia dan keluarganya akan ikut bersama. Nina sudah kangen berat dengan keponakannya–Hana–yang menggemaskan. Nina membantu salah seorang asisten rumah tangga yang disewa untuk membantu menyiapkan kamar untuk para tamu. "Tak penat ke?" tanya Nick yang salut melihat istrinya yang terlihat masih semangat mondar-mandir. Beberapa kamar di rumah ini memang banyak yang sudah terlalu lama kosong. Sementara keluarga Nick harus berkunjung ke kampung halaman daddynya untuk ikut memperingati hari kematian neneknya Nick. Arthur tentu saja terpaksa ikut, pemuda itu kini terlihat lebih patuh, apalagi jika yang menyuruhnya adalah Nick. Entah ia memang ingin berubah, atau hanya tak ingin berdebat dengan kakaknya yang sedang sakit itu. He afraid that i might be dead in argue, pikir Nick. Namun, tentu saja Nick tidak pernah mengatakannya langsung, adiknya itu kadang punya te

  • Deportation    42. Salju Di Kaca Jendela

    Nina cukup kaget dengan perubahan emosional Nick. Pria itu tidak seperti yang ia kenal. Nick benar-benar seperti bangunan yang sudah rapuh, tak tersisa semangat dan optimis di dalam dirinya. Nina cukup terpukul, apalagi dengan pemikiran yang menurut Nina konyol tentang dirinya."Nick, stop it. Kalau aku mikir begitu, ngapain aku ke sini? Ngapain setahun ini aku nungguin kamu yang menghilang begitu aja. Aku tahu, saat ini kamu dalam kondisi terburuk, I know it. So, sekarang mending kita sama-sama berusaha, aku di sini buat kamu Nick. Aku akan nemani kamu untuk keluar dari kondisi ini. Please, don't give up!"Kali ini mau tak mau Nina kembali ikut terisak. Dadanya sesak melihat Nick. Pria itu terdiam, ia merasa makin bersalah setelah membuat Nina ikut menangis.Nick kemudian bangkit dan duduk di tepi temoat tidur, menatap Nina dalam, lalu menarik wanita itu dan memeluknya erat. Menghirup aroma rambut Nina yang ia rindukan.

  • Deportation    41. Batas Terbawah

    Nina mengerjapkan mata berulang kali ketika bau menyengat menyeruak masuk ke hidungnya. Kepalanya seolah dihantam palu raksasa yang dipukulkan berulang kali hingga kepalanya seakan kulit kacang yang keras hingga membuat sebentar lagi akan meledak dan pecah."Nina .... Wake up, please!"Suara Nick terngiang-ngiang di telinganya. Bayangan pria itu kemudian hadir lalu berlalu, Nina berteriak mencegahnya pergi."Nick, tunggu!" panggilnya.Namun, pria itu bergeming, Nina meraung sekerasnya. Sekali lagi bau menyengat membuatnya pusing dan resah, ia kemudian merasakan pipinya disentuh. Nina terkejut, kemudian berusaha membuka mata. Ia terbaring di salah satu ranjang rumah sakit, ia merasa bingung."Nin, wake up!"Nina benar-benar mendengar suara Nick yang kini berada di sampingnya. Ia tidak sedang bermimpi, pria itu menatapnya lem

  • Deportation    40. Wajah Lain Nick

    Nina berusaha menutupi jetlag parah yang dirasakannya setelah menempuh perjalanan lebih dari empat belas jam itu. Mereka mendarat di London tepat saat jam makan siang.Nina kemudian menuju toilet saat orang tua Nick dan Arthur nemilih meja di salah satu restauran. Saat di toilet Nina membasuh wajahnya untuk mengurangi rasa pusing yang dirasakannya, tapi tentu saja itu tidak terlalu membantu. Bahkan segelas kopi yang diberikan oleh Arthur pun masih membuatnya mual. Entah karena jetlag, atau stres karena tidak sabar bertemu dengan Nick, yang jelas Nina memilih diam dan enggan nenyentuh makan siangnya. Setelah dibujuk sedemikian rupa Nina akhirnya berhasil menelan sepotong puding susu yang kemudian dipesannya.Birmingham tidak terlalu dekat, butuh sekitar dua jam lebih jika ditempuh melalui jalan darat. Keluarga Nick sudah memesan sebuah jet pribadi langganannya untuk menuju kota bagian negeri Britania Raya itu. Tentu saja hal itu m

  • Deportation    39. I'll Be Waiting for you

    Tamu-tamu sudah pulang, menuju malam Nina pun telah menuju kamar. Perasaannya terasa lapang. Kabar Nick membuatnnya memang terguncang, tapi di sisi lain ia tenang. Ternyata Nick tidaklah berniat meninggalkannya, atau berlarut marah pada peristiwa terakhir yang menerpa. Ia yakin Nick saat ini pun memikirkannya, merindukannya.Nina memandangi wajahnya di cermin. Lingkaran hitam di matanya harus segera hilang. Ia tak ingin Nick melihatnya dalam kondisi begini. Bagaimana pun, ia harus tampir prima ketika bertemu Nick yang direncanakan dalam beberapa hari lagi."Nick ...."Tangis Nina kembali pecah saat menatap foto pernikahan mereka di atas meja. Mungkin untuk pertama kali, ia merasa benar-benar sangat takut kehilangan Nick. Tanpa ia sadari, cinta itu telah tumbuh di hatinya. Entah sejak kapan, tapi akarnya sangat kuat menghujam di dasar paling terdalam hatinya."Nick, Please, bertahanl

  • Deportation    38. Sakit Yang Sesungguhnya

    Di belahan bumi sebelah barat sedang berada pada puncak musim dingin. Nick merapatkan kembali selimut tebal miliknya meski semua itu seolah tidak berarti. Tubuhnya terasa memburuk saja.Hari ini adalah pertama bagi Nick menjalani kemoterapi setelah berusaha berulang kali menolak. Bibinya yang merawat Nick selama di Inggris telah berulang kali membujuk, tapi Nick sulit sekali memutuskan. Ia masih menolak mengakui keberadaan penyakit itu di tubuhnya.Nick meraih ponselnya di samping tempat tidurnya. Ia harus berusaha mengalihkan pikiran untuk mengatasi mual yang teramat sangat. Mungkin isi perutnya sudah lebih dari dua puluh kali menyesak ingin keluar. Beberapa kali sudah ia bolak-balik wastafel.Jarinya lagi-lagi menekan galeri foto. Wajah wanita itu masih memenuhi isi galeri fotonya. Nina yang sedang tersenyum, cemberut, tertawa, bahkan sedang tertidur pulas di pelukannya, itu lagi yang ia lihat berulang-ulang.Sejenakp semua

DMCA.com Protection Status