Saat Nina pertama kali bergabung di perusahaan yang dipimpin Om Sandy, Nick sudah ada di sana. Om Sandy tak pernah lelah bercerita kalau si Nick ini adalah seorang brilian yang berbaik hati mau tetap stay di perusahaan ini.
"Tau gak, Nin, padahal kantor pusat Asia udah minta dia balik. Tapi dia masih mau loh bantuin kita di sini. Ck ... ck, luar biasa memang itu orang." Telinga Nina mulai panas mendengar lagi pujian tentang Nick.
"Ya teranglah betah, orang gajinya jadi dobel, kan?" sindir Nina.
Sejak awal dia memang telah mencium ketimpangan rezeki di kantor ini. Mentang-mentang Nick berstatus pekerja impor, gap penghasilan dia cukup jauh jika dibandingkan dengan karyawan lainnya.
"Ya beda lah, Nin. Dia banyak pasang badan tiap rapat besar, ngurusin masalah dengan provider, custumer. Nah, yang lain tiap gua suruh maju, pada ngibrit."
"Ya ... Ya ... Ya, jangan-jangan bentar lagi posisi Om dia yang gantiin."
"Hahaha, dasar dodol. Yang ada emang posisinya dia lebih tinggi lah. Masak di tuker ama gue yang cuma manajer cabang istilahnya. Ya, mana mau lah."
"Ha? Jadi lebih tinggi dia? Kok Om bilang dia team leader kita?"
"Ya dianya juga gak keberatan. Emang dia sering juga bantu-bantu tim. Pekerja keras banget lah dia. Mungkin itu juga yang bikin dia belum nikah sampai sekarang."
"Sibuk apa emang gak doyan peyempuan, Om?" celetuk Nina asal.
"Hush! Jangan fitnah."
"Lah kan emang lagi tren, Om."
"Gak lah kalo Nick. Om taulah dia. Dia cuma gak punya kemampuan menjalin relationship aja kali, kaku. Hahaha," gelak Om Sandy.
"Nah, yang itu bener, kayak kanebo kering, hahaha."
Begitulah percakapan Nina dengan Om Sandy beberapa bulan lalu. Tak terbersit sedikitpun kini pembicaraan mereka menjadi serius jika membahas tentang Nick.
**
Mama sudah menginap semalam di ruang perawatan. Hari ini Bianca–kakak Nina ikut datang merawat.
"Maaf baru datang, ya, Ma. Si Hana lagi tumbuh gigi, rewel banget semalam," ujarnya sambil menghampiri sang Mama.
"Iya gak apa-apa. Kok gak di bawa ke sini cucu Mama?" tanya Mama memelas.
"Besok aja, ya. Kasian capek banget karena kurang tidur dia."
"Lo kok gak bawa pesenan gua, Bia?" Potong Nina yang sejak tadi sibuk dengan kantong belanja pesanannya dari Bia.
"Ah, males. Ngantri parah. Lagian napa elu yang banyak minta, yang sakit kan Mama. Trus Mama juga sakitnya gara-gara elu kan, Lele?" Bia menatap kesal adik satu-satunya itu.
"Enak aja lu, Mujaer. Mama juga sih, pake sok ngejodohin gue. Emang zaman Siti Nurbaya apa pake jodoh-jodohan," balas Nina sengit.
"Hush! Sejak kapan Mama miara anak ikan? Lele, mujaer. Kalian itu cuma berdua tapi mama kok kayak gedein anak sekelurahan aja hebohnya. Udah gede gak juga berkurang ributnya, gak malu apa ama suami kalian nanti."
"Eh, aku belom ya, Ma," sambar Nina.
"Halah, yang mau ama lu juga pasti matanya siwer. Ngaca noh, kulit bersisik, dekil, gaya gak jelas cewek apa cowok, untung aja udah pake jilbab. Kalo gak kliatan dah tu rambut cepak kayak halaman rumput abis dipangkas."
"Ih, peristiwa lama pake diungkit segala. Rambut gua udah panjang kale. Emang lu pikir ini punuk gue yang menonjol, rambut kuncir nih," balas Nina tak kalah sengit.
"Ya Allah, panggil dokter lagi aja deh. Vertigo Mama kambuh lagi, nih. Komplikasi kayaknya ama jantung kalo kayak gini," potong Mama.
"Ih, Mama apaan, sih. Udah kali Ma dramanya. Toh kata dokter Mama sebenarnya gak perlu dirawat juga, Mama aja yang ngotot minta kamar," jelas Nina.
"Gak apa-apa, biar kamu sadar kalo kamu bikin Mama kesel. Mestinya Mama diemin aja kamu selamanya," rajuk Mama kesal.
"Yah, jangan gitu dong, Ma. Maafin Nina. Mau berapa kali lagi sih Nina minta maaf supaya Mama gak ngambek lagi?"
Nina kini mengabaikan kantong belanjaan, dan mulai mendekati sang Mama. Dengan jurus rayuan maut ditambah dengan pijatan yang memiliki tekanan yang pas di kaki Mama, hati wanita itu pun mulai meleleh.
"Boleh, tapi Nick yang ganteng tetap jadi mantu Mama, ya?" Mama menahan senyum sambil memberi kedipan kode dengan Bia.
"Iya, kenapa sih lu gak mau ama Nick. Kalo gua masih single juga udah gua duluan yang maju," kekeh Bia dan Mama.
"Wah ... Wah ... Kenapa gak gua rekam itu tadi, ya? Wah, kalo gua kasi denger ke Mas Raka bakal seru nih." Nina mencari-cari ponsel pintar miliknya.
"Ih, perez. Gua becanda aja kali buat manasin elu. Kebanyakan liat angka sih, lu, jadi lupa cara becanda," kilah Bia.
"Ih, becanda apaan. Lu kate gua kagak liat tadi pas lu ngelirik dokter muda yang periksa Mama? Emang dari dulu jelalatan sih," balas Nina lagi.
"Mulai lagi deh. Dah, Mama mau istirahat dulu, kalian mending ke luar aja sono kalo mo ribut." Mama siap-siap mengambil posisi kembali berbaring, mengabaikan Nina dan Bia yang masih saling lempar ekspresi kesal satu sama lain.
***
"Nin, maybe tomorrow, Mom and Daddy saye nak jumpe ngan keluarga you."Hari itu, selepas jam kerja, tiba-tiba saja Nick datang menghampiri meja Nina. Nina yang sedang bersiap-siap akan pulang dibuat kaget. Mereka memang jarang berinteraksi, apalagi kabar yang Nick sampaikan barusan, cukup membuat jantung Nina hampir melompat ke luar. Bagaimana bisa Nick dengan santai mengabarkan perihal lamaran itu. Mereka saja tak pernah kencan atau paling tidak ngobrol secara privat baik lisan maupun teks.
Tanpa menunggu jawaban Nina, dengan santai Nick melenggang meninggalkan tempat itu. Dengan cepat Nina menyusulnya hingga ke dalam lift.
"Nick, tunggu! Gua mo bicara."
"Oke, go on," jawab Nick santai sambil memencet tombol lift menuju lobby.
"How ... Oke, gimana gua bilangnya ya? Nick, gue gak bisa nikah ama lu. Lagian kenapa musti gua sih? Kita gak pernah dekat, gak pernah nge-date, bahkan ngobrol pun selain urusan pekerjaan gak pernah. Tapi kenapa lo mendadak mau nikahin gue?" cecar Nina.
"Be ..." Belum sempat Nick menjawab, Nina sudah kembali nyerocos.
"Oke, gue tau, ini tentang izin stay lu kan? Toh lu bisa cari cewek yang bisa dikontrak beberapa bulan atau setahun dua tahun lah buat nyelamatin lu dari panggilan imigrasi. Setelahnya kalo lu betah banget di sini lu tinggal ngurus kewarganegaraan, gak ribet lah ya gua rasa?"
Nick terdiam, Nina mencoba kembali mengingat kata-kata yang telah termuntahkan dari mulutnya tanpa sempat ia cerna terlebih dahulu. Ia akhirnya menutup mulutnya sendiri, ketika menyadari ia cukup keterlaluan.
Denting lift tanda sampai di lobby mengusir hening di antara mereka. Namun, tak ada seorang pun yang sepertinya hendak keluar dari kotak itu.
"Ok, so, the big problem is: we never do date, right? Oke, kalau macam tu we dating now!" cetus Nick dingin, lalu menarik tangan Nina ke luar.
"Apa?"
Parkiran sudah tampak sepi di jam ini. Langit mendung menggiring awan kelabu membuat beberapa orang bergegas mencari perlindungan, agar serbuan hujan tak membasahi badan. Tetesan pertama mulai turun sebagai peringatan akan rombongan air yang akan menyerbu belakangan. Angin pun turut mendramatisir keadaan.Nina tak sempat menolak ketika tangan dingin Nick menarik jemarinya meninggalkan bangunan berlantai dua puluh tujuh itu. Setetes air dari langit sempat hinggap di tangan Nick yang tetap tegas menggenggam tangannya, membawa Nina menuju tempat parkir di mana Nick memarkir mobil HRV hitam miliknya. Nina bahkan tak mampu menghindar ketika Nick membukakan pintu di samping kemudi untuknya. Tanpa perlawanan berarti, ia masuk dan duduk. Kepalanya terlalu sibuk menafsirkan semua kejadian yang tak terbayangkan sebelumnya itu."So, kemane biasenye orang kat sini pegi dating?" tanya Nick yang sudah duduk di belakang kemudi."Ha?" Nin
Setelahnya, Nina tidur dan terbangun beberapa kali. Nina termasuk jarang sakit, apalagi sampai dirawat seperti ini. Wajar saja ia jadi risih saat pertama tidur di rumah sakit. Nick bilang ia menderita geger otak ringan. Namun, untuk memastikan tidak ada kerusakan serius untuk sementara ia harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Karena Nick yang menjaga malam ini, Nina memilih tetap memejamkan mata meski tidak sedang tertidur. Ia terlalu sungkan jika harus berbicara atau minta tolong pada pria itu.Om Sandy benar, pria itu benar-benar gila kerja. Tiap Nina terbangun, pasti Nick sedang berada di depan laptopnya. Ia berhenti hanya ketika akan salat, lalu kembali menghadap layar."Perasaan kerjaan kantor gue gak sebanyak itu deh. Eh, apa bagian gue aja yg kurang banyak, ya? Auah. Kebayang kan kalo lo jadi istrinya, istri pertamanya kerjaan, Nin. Gak ada harapan bahagia lo emang," gumam Nina saat Nick ke toilet.Saat Nick k
"Nicholas Adams Stewart, kek gak asing nama belakangnya. Di mana gue pernah baca, ya?" gumam Bia saat membaca formulir pengajuan nikah Nina. Semua berkas itu sudah selesai, hanya tinggal sidang mereka di kedutaan Malaysia esok hari.Nina memang terima bersih dalam urusan ini. Semua diurus oleh Nick dan keluarganya. Nina seakan tanpa beban, setelah keluar dari rumah sakit ia beraktivitas seperti biasanya."Auah," balas Nina cuek. Ia sedang mencari sesuatu di dalam lemari."Titus," cetus si kecil Hana. Keponakan kecilnya itu menyela sang Bunda saat sedang bermain puzzle di kamar Nina."Ho, iye, si tikus, pinter anak Bunda, nama tikus di film itu ya, Hana, hahaha," ejek Bia."Stuart itu woy!" sela Nina tanpa menoleh."Eh, salah. Oh, iya, kan yang main Twilight itu, ya, Nin. Wah, Tante Nina bakal semarga ama artis Hollywood loh Han."Hana yang tidak paham masi
Apa yang Nina lihat tadi malam membuatnya tak fokus seharian. Beberapa kali ia mengawasi Nick secara diam-diam, meyakinkan kalau yang dilihatnya kemarin tidaklah benar."Hey! Ngapain sih lo, Nin. Celingak-celinguk, hayo, ngintipin Nick, ya? Lo naksir, ya?" tanya Sisca–teman sekantornya.Orang di kantor memang belum tahu mengenai rencana pernikahan Nick dan Nina. Mereka sepakat akan memberi pengumuman setelah undangan selesai dicetak."Eh, Sis. Menurut lo, si Nick itu normal, gak?" tanya Nina saat mereka minum kopi di cafetaria samping kantor. Nick saat itu baru saja lewat."Nggak!" jawab Sisca asal."Nah ... Nah, bener kan kecurigaan gue. Lo pernah liat dia jalan ama cowok juga, ya?" tanya Sisca."Ya pernah lah, sama Pak Sandy, sama Dio, Bagas, semua temen kantor kita kan emang dominan cowok." Sisca menjawab cuek sambil memaikan ponselnya."Ih, bukan
"Bohong! Masa sih sodara? Beda gitu tampang kalian," balas Nina tak mau kalah telak."Seriously, sebenanye Daddy saye sebelum berkahwin ngan Mom, pernah menikah di Bali. Lepas tu die orang divorce. Justin, abang saye tu stay ngan Mak die di Bali. Kenape die blond, sebab Mak die from USA. Kite orang jumpe pun mase tu je, sebelumnye tak pernah." Nick dengan tenang menjelaskan. Ia justru merasa lucu karena tuduhan yang Nina beberkan berdasarkan foto itu."Oooh." Seluruh yang hadir mendengar penjelasan Nick dengan khidmad."Kalau tak pecaye, ni saye vcall jap." Nick kemudian membuat panggilan video dengan Justin–abangnya.Di sisi lain, Nina ingin siap-siap mau kabur, tapi dengan sigap Om Sandy menangkapnya. Nina pun terpaksa duduk di ujung sofa sambil berharap tubuhnya benar-benar tenggelam."Hay, bro. Are you busy?" tanya Nick ketika panggilannya dija
Sejak hari itu, jarak Nina dan Nick makin terasa jauh. Setiap berpapasan dengan Nick, Nina memilih menghindar. Hal tersebut cukup kontras terlihat. Gosip mengenai Nick perlahan memang mulai padam, seiring sebuah undangan pernikahan mendarat di meja masing-masing karyawan.Nina sama sekali tidak diberi tahu perihal ini sebelumnya. Untunglah ia menemukannya satu di meja security sebelum masuk kantor. Kebiasaannya nongkrong bersama bapak-bapak keamanan ternyata cukup berguna hari ini."Ha? Udah disebar hari ini? Mampus gue. Bakal diserbu gue hari ini, mending gua kagak masuk aja dah." Nina beringsut meninggalkan area perkantoran."Eh, Nin, lo mau ke mana?" tanya Sisca yang berpapasan dengannya di gerbang depan."Eh, itu, anu ... Hp gue ketinggalan. Mau balik dulu, ye. Oke, bye!" Nina buru-buru kabur sebelum Sisca menyadari kebohongannya.Dugaan Nina benar, belum sampai separuh jalan menuju ru
Pagi-pagi Bia sudah sibuk menarik paksa Nina untuk melakukan persiapan pranikah yang hanya tinggal menghitung hari. Nina beruntung, Om Sandy memberikan kelonggaran pekerjaan padanya. Jadi Nina bisa fokus mempersiapkan dirinya menjelang pernikahan. "Ogah! Duh, kenapa sih pake perawatan segala. Orang nikah formalitas juga, demi hubungan bilateral dua negara," tolak Nina saat Bia memaksanya ikut. Ia lebih memilih berhela-hela di kasur sambil bermain game di ponsel pintarnya. "Set dah, lo kira lo putri mahkota yang nikah karena menyelamatkan negara? Udahlah cepet! Jangan bikin malu lo, ya, Lele. Masak penganten muka gosong kayak pantat panci, kuku kayak manusia purba abis garukin tanah, parah lu emang. Itu lagi rambut, kapan terakhir lo keramas? Huwek, sumpah, ye, lo bener-bener bau ikan lele di empang tau gak?" komentar Bia kejam. "Tau, yang mulutnya mangap tiap lo boker, ya kan?" balas Nina cuek.
Pria di hadapan Nina memang tak seperti saat pertama berjumpa, enam tahun yang lalu. Nina masih ingat ketika itu, mereka bertemu saat selebrasi mapala ke Gunung Gede. Nina menyukai penampilan Luka yang santai, berambut gondrong, dan suka berpetualang. Memori pertemuan mereka pertama kali pun masih terekam jelas di pikirannya, ia memang sulit melupakan semua itu. Pria itu pernah menyelamatkan hidupnya. "Eh, lo rombongan mana?" tanya seorang pria pada seorang gadis yang tersasar di gunung ini karena asik mengambil foto. Udara dingin di puncak gunung membuat tubuhnya mulai membeku. Beberapa kali ia sudah mencoba menyusuri jalan yang ia yakini sebagai jalan yang sama ketika rombongannya mendaki tadi. Namun, entah kenapa ia selalu kembali ke tempat yang sama. Tenaganya mulai habis, kelelahan dan ketakutan membuat energinya mulai menipis. Langit senja tiba, keindahan matahari menjelang terbenam tak lagi mampu ia nikmati. Jarak pandang sa
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi para penghuni rumah masih enggan beranjak dari ruang keluarga. Seolah masing-masing enggan melepas kehangatan yang ada. Suara tawa, dan lelucon silih berganti. Beberapa juga masih tengah sibuk dengan koper yang akan mereka bawa. Esok orang tua Nick dan Nina akan kembali ke negara asal mereka. Mama Nina tengah mengemas oleh-oleh untuk cucunya–Hana, ketika memandang Nina yang terlihat lebih pendiam. Nina adalah anak yang paling heboh di keluarga nya. Setiap acara kumpul keluarga, tidak lengkap tanpa kehadiran si tukang banyol–Nina. Namun, belakangan Nina memang jadi lebih pendiam, apalagi sejak berada di tempat ini. Wajar saja mamanya sedikit cemas ketika meninggalkannya hanya berdua saja bersama Nick. "Bener kamu gak apa-apa kami tinggal, Nin? Kalau memang berat mama .... ""Gak apa-apa, Ma. Nina baik-baik aja kok. Alhamdulillah Nick kan juga sudah jauh lebih baik."Nina berusaha meyakinkan ibuny
"Oke, Let's go .... "Nina lekas menarik tangan Nick. Ia tak ingin prianya itu mengira kalau dirinya sudah tidak mampu lagi melakukan apapun, termasuk menyetir mobil ke rumah sakit. Nina hanya tak ingin membuat Nick lelah. Namun, kadang niat baik sering disalah artikan, dan ia tak ingin Nick mengira begitu. Nina merapatkan syal yang menutupi leher Nick. Ia menggelayut manja di lengan suaminya itu. Matahari di awal musim semi telah tampak, dan rasanya cukup hangat. Nina sangat bersyukur musim berganti, ia sejujurnya tidak terlalu suka musim dingin. "Nin, ade hal yang nak saye cakap," ujar Nick tiba-tiba. Nina mengangkat kepalanya dan menatap Nick. Pria itu masih sama mempesonanya. "Hm, i know, you wanna protect me, but... Don't feel guilty about anything. I'm good. And i feel better when you coming here, stay around me. So... Just be you, Nin."Mata Nina mulai berkaca-kaca. Kata-kata Nick menancap lurus ke jantungnya, dan tera
"OMG, gue udah kayak pasangan mesum digerebek satpol PP," gumam Nina saat menuruni tangga, menyusul Nick yang lebih dulu turun menuju pintu. Nick segera membukakan pintu ketika tidak dapat melihat tamu dari layar kamera pengawas. mungkin tertutup salju, pikirnya.Nick hampir terjatuh ketika pria tinggi itu menyerbu masuk dan langsung memeluknya erat."Oh, Bro, sorry gue baru datang. gue baru tau keadaan lu beberapa hari yang lalu, langsung deh gue ke mari."Pria berwajah bule itu langsung menghujani Nick dengan berbagai pertanyaan tanpa sempat bagi Nick untuk menjawab."Justin?" sapa Nina meyakinkan saat ia melihat tamunya."Wow, Nina. Wah tega lu Nin gak kasih kabar ke gue," protes Justin sambil memasang tampang sebal.Sebelum Nina sempat protes, kakak iparnya itu sudah menyerbu memeluknya. "Be tough, ya, Nin. Gue yakin lu pasti kuat," bisik Justin sambil menepuk bahu Nina. Mendadak hatinya merasa h
Minggu ini orang tua Nina akan datang mengunjungi Nick. Beberapa hari ini Nina terlihat bersemangat, apalagi ketika mendengar Bia dan keluarganya akan ikut bersama. Nina sudah kangen berat dengan keponakannya–Hana–yang menggemaskan. Nina membantu salah seorang asisten rumah tangga yang disewa untuk membantu menyiapkan kamar untuk para tamu. "Tak penat ke?" tanya Nick yang salut melihat istrinya yang terlihat masih semangat mondar-mandir. Beberapa kamar di rumah ini memang banyak yang sudah terlalu lama kosong. Sementara keluarga Nick harus berkunjung ke kampung halaman daddynya untuk ikut memperingati hari kematian neneknya Nick. Arthur tentu saja terpaksa ikut, pemuda itu kini terlihat lebih patuh, apalagi jika yang menyuruhnya adalah Nick. Entah ia memang ingin berubah, atau hanya tak ingin berdebat dengan kakaknya yang sedang sakit itu. He afraid that i might be dead in argue, pikir Nick. Namun, tentu saja Nick tidak pernah mengatakannya langsung, adiknya itu kadang punya te
Nina cukup kaget dengan perubahan emosional Nick. Pria itu tidak seperti yang ia kenal. Nick benar-benar seperti bangunan yang sudah rapuh, tak tersisa semangat dan optimis di dalam dirinya. Nina cukup terpukul, apalagi dengan pemikiran yang menurut Nina konyol tentang dirinya."Nick, stop it. Kalau aku mikir begitu, ngapain aku ke sini? Ngapain setahun ini aku nungguin kamu yang menghilang begitu aja. Aku tahu, saat ini kamu dalam kondisi terburuk, I know it. So, sekarang mending kita sama-sama berusaha, aku di sini buat kamu Nick. Aku akan nemani kamu untuk keluar dari kondisi ini. Please, don't give up!"Kali ini mau tak mau Nina kembali ikut terisak. Dadanya sesak melihat Nick. Pria itu terdiam, ia merasa makin bersalah setelah membuat Nina ikut menangis.Nick kemudian bangkit dan duduk di tepi temoat tidur, menatap Nina dalam, lalu menarik wanita itu dan memeluknya erat. Menghirup aroma rambut Nina yang ia rindukan.
Nina mengerjapkan mata berulang kali ketika bau menyengat menyeruak masuk ke hidungnya. Kepalanya seolah dihantam palu raksasa yang dipukulkan berulang kali hingga kepalanya seakan kulit kacang yang keras hingga membuat sebentar lagi akan meledak dan pecah."Nina .... Wake up, please!"Suara Nick terngiang-ngiang di telinganya. Bayangan pria itu kemudian hadir lalu berlalu, Nina berteriak mencegahnya pergi."Nick, tunggu!" panggilnya.Namun, pria itu bergeming, Nina meraung sekerasnya. Sekali lagi bau menyengat membuatnya pusing dan resah, ia kemudian merasakan pipinya disentuh. Nina terkejut, kemudian berusaha membuka mata. Ia terbaring di salah satu ranjang rumah sakit, ia merasa bingung."Nin, wake up!"Nina benar-benar mendengar suara Nick yang kini berada di sampingnya. Ia tidak sedang bermimpi, pria itu menatapnya lem
Nina berusaha menutupi jetlag parah yang dirasakannya setelah menempuh perjalanan lebih dari empat belas jam itu. Mereka mendarat di London tepat saat jam makan siang.Nina kemudian menuju toilet saat orang tua Nick dan Arthur nemilih meja di salah satu restauran. Saat di toilet Nina membasuh wajahnya untuk mengurangi rasa pusing yang dirasakannya, tapi tentu saja itu tidak terlalu membantu. Bahkan segelas kopi yang diberikan oleh Arthur pun masih membuatnya mual. Entah karena jetlag, atau stres karena tidak sabar bertemu dengan Nick, yang jelas Nina memilih diam dan enggan nenyentuh makan siangnya. Setelah dibujuk sedemikian rupa Nina akhirnya berhasil menelan sepotong puding susu yang kemudian dipesannya.Birmingham tidak terlalu dekat, butuh sekitar dua jam lebih jika ditempuh melalui jalan darat. Keluarga Nick sudah memesan sebuah jet pribadi langganannya untuk menuju kota bagian negeri Britania Raya itu. Tentu saja hal itu m
Tamu-tamu sudah pulang, menuju malam Nina pun telah menuju kamar. Perasaannya terasa lapang. Kabar Nick membuatnnya memang terguncang, tapi di sisi lain ia tenang. Ternyata Nick tidaklah berniat meninggalkannya, atau berlarut marah pada peristiwa terakhir yang menerpa. Ia yakin Nick saat ini pun memikirkannya, merindukannya.Nina memandangi wajahnya di cermin. Lingkaran hitam di matanya harus segera hilang. Ia tak ingin Nick melihatnya dalam kondisi begini. Bagaimana pun, ia harus tampir prima ketika bertemu Nick yang direncanakan dalam beberapa hari lagi."Nick ...."Tangis Nina kembali pecah saat menatap foto pernikahan mereka di atas meja. Mungkin untuk pertama kali, ia merasa benar-benar sangat takut kehilangan Nick. Tanpa ia sadari, cinta itu telah tumbuh di hatinya. Entah sejak kapan, tapi akarnya sangat kuat menghujam di dasar paling terdalam hatinya."Nick, Please, bertahanl
Di belahan bumi sebelah barat sedang berada pada puncak musim dingin. Nick merapatkan kembali selimut tebal miliknya meski semua itu seolah tidak berarti. Tubuhnya terasa memburuk saja.Hari ini adalah pertama bagi Nick menjalani kemoterapi setelah berusaha berulang kali menolak. Bibinya yang merawat Nick selama di Inggris telah berulang kali membujuk, tapi Nick sulit sekali memutuskan. Ia masih menolak mengakui keberadaan penyakit itu di tubuhnya.Nick meraih ponselnya di samping tempat tidurnya. Ia harus berusaha mengalihkan pikiran untuk mengatasi mual yang teramat sangat. Mungkin isi perutnya sudah lebih dari dua puluh kali menyesak ingin keluar. Beberapa kali sudah ia bolak-balik wastafel.Jarinya lagi-lagi menekan galeri foto. Wajah wanita itu masih memenuhi isi galeri fotonya. Nina yang sedang tersenyum, cemberut, tertawa, bahkan sedang tertidur pulas di pelukannya, itu lagi yang ia lihat berulang-ulang.Sejenakp semua