Kedatangan Ridho membuat Marni ketakutan bukan main, rasa takut terus membuatnya tidak tenang. "Tidak, jangan mendekat pergi kamu...." Marni meringkuk ketakutan ketika melihat Dono datang bersama Ridho. Trauma yang di alami seolah membuatnya hidup dalam ketakutan. Keganasan Ridho pada waktu itu sungguh kejam, sungguh tidak manusiawi. Belum lagi beberapa pria bertato itu sangat membuatnya gemetaran."Jangan mendekat, pergi kamu!" Teriak Marni sembari menenggelamkan kepala pada sela kaki. Meringkuk bulat seperti orang ketakutan. Seluruh badan terlihat menggigil sembari terus memejamkan mata. Semua nampak kebingungan harus berbuat bagaimana atas sikap Marni. Pernah sekali melirik Ridho lalu kembali meringkuk. Semua orang mengira Marni hanya trauma saja, jadi setiap kali ada laki-laki dia akan ketakutan tanpa sebab. Dari belakang Ridho pun menjulurkan lidah seolah tengah menggoda Marni. Melihat Ridho semakin mendekat membuat tubuh Marni semakin gemetaran. Aksi brut4lnya meruntuhkan men
Beberapa hari kemudian, Marni sudah di perbolehkan pulang. Atas keputusan bersama akhirnya kami memutuskan untuk merawat beliau di rumah selama beliau sakit. Sebagai anak tiri tentu aku tidak kebaratan meski beliau harus tinggal di rumah, walau sampai waktu yang lama. Sebab, beliau sudah banyak berjasa bagiku. Awalnya pak Dono tidak setuju jika harus memberikan kuasa penuh kepada kami, namun kami terus memaksa dengan dalih pak Dono suka kerja berhari hari sampai jarang pulang, oleh sebab itu kami meminta beliau merelakan ibu tinggal bersama kami untuk sementara waktu. Setelah beliau pulih barulah Ibu Marni bisa kembali pulang bersamanya. Siang itu kami berdiskusi banyak pada akhirnya pak Dono setuju. "Sekarang kami akan membawa ibu Marni pulang ke rumah, jika bapak ingin menjenguknya silahkan pintu rumah akan selalu terbuka lebar. Kami berjanji setelah ibu kembali sehat bapak bisa mengajaknya pulang." Sebenarnya malas juga harus debat dengan si sandot tua itu. Kalau bukan karena dia
Membuka pintu rumah nan begitu senyi. Dono langsung memabnting tubuh gemuknya ke atas kursi kayu. Hari begitu terik membuatnya kelelahan setelah beberapa hari bekerja di jalanan. Tidak hanya runah terasa sepi tapi hatinya pun juga sama. Sejak sang istri jauh darinya perasaan ada yang kurang. Sejenak Dono mendongak menatap langit-langit rumah."Sepi juga gak ada istri. Marni sedang apa ya sekarang, kok jadi kangen begini." Setelah banyak mikir akhirnya dia memutuskan mandi. "Pikiranku kacau kalau begini terus menetus, sepertinya lebih baik menjemput dia saja dari pada kesiksa rindu"Setelah beberapa jam kemudian, Dono memutuskan pergi ke menjemput sang istri. "Rika, Darwin, keluar kalian ada yang perlu aku bicarakan." Dari dalam terdengar suara teriakan seorang pria. Entah siapa pagi buta berteriak di depan rumah kami. Suara tak asing itu sepertinya kami mengenalnya, kalau tebakanku tidak meleset itu adalah pak Dono, suami baru ibu Marni. Jujur saja perilaku beliau sangat tudak sopan,
"Eh mbak Rika belanja sayuran juga?" Salah seorang wanita parubaya baru saja datang dan langsung menyapaku. Beliau tidak terlalu dekat denganku sebab aku jarang sekali keluar rumah, meski hanya beli sayur sekali pun. Tidak setiap hari aku belanja sayur keliling karena tidak punya waktu banyak untuk itu. Terkadang sepulang kerja mampir di mini market membeli bahan pokok dan sayur mayur, jadi aku jarang sekali beli sayur keliling. Bahkan mas Darwin juga tidak keberatan jika aku tidak masak. Dia tau bahwa setelah bekerja aku pasti lelah. Kerap kali mas Darwin membeli lauk dari luar sepulang kerja, setelah itu menanak nasi. Di rumah memang ada ibu Marni, tapi beliau kerap makan di luar. Katanya sih tidak mau repot masak, soalnya aku dan mas Darwin jarang makan siang di rumah. Maka dari itu hanya hari tertentu saja ketika hari libur tiba baru aku belanja sayur keliling. "Iya buk mumpung libur, tadi mas Darwin minta di buatkan sop ayam kampung jadi sekalian belanja buat masak sekarang sama
Pagi sekali terdengar langkah kaki menapaki rumah sederhana kami, suara lantang terdengar nyaring dari dalam kamar. Siapa lagi kalau bukan ibu Marni. Entah sejak kapan beliau terus menerus datang ke rumah sehingga membuat tidak nyaman. Belum lahi cara pandangnya juga penampilan serba pres body membuat pikiran kemana-mana. Begitu di tegur malah marah bukan main. Apa boleh buat dari pada ribur lebih baik diam saja. "Rika....Darwin....di mana kalian?" Marni lantas mencari hingga seluruh ruangan. "Sepagi ini ibu sudah datang ke rumah, memang tidak ada kerjaan lain. Mamang ibu tidak masak untuk pak Dono?" Tanyaku pada ibu Marni. Setelah peringatan dari ibu komplek membuatku sedikit takut, jika benar sindiran mereka tertuju pada ibu tiriku dan suamiku, maka pasti aku akan sangat terluka. Sejak menginjakkan kaki di rumah kulihat kedua matanya seperti mencari seseorang. "Ibu tidak masak nanti beli di warteg saja. Oh iya, di mana Darwin sedari tadi tidak nampak batang hidungnya?" tanya b
Tiga hari kemudian."Darwin, tolong bantu ibu bawakan belanjaan ke depan ya soalnya ibu masih belum begitu kuat" Titah Marni. Sejak pagi sibuk mengatur barang jualan dan mempersiapkan segala sesuatunya."Rika sudah bilang kalau ibu belum begitu pulih, kenapa masih nekat jualan juga. Kalau ibu tidak punya uang katakan saja Rika akan kasih sama ibu. Jangan sampai ibu sakit seperti kemarin lagi, belum lagi ibu baru mendapat perlakuan buruk dari Elis, bagaimana kalau dia melakukan hal lebih parah dari ini....." Entah apa yang ibu tiriku cari. Uang setiap bulan selalu ku sisihkan untuknya, dan lagi Pak Dono juga menafkahi, lalu kenapa beliau ngotot ingin berjualan. Sebenarnya ada maksud tersembunyi apa yang tidak aku ketahui.Ibu Marni terlihat kesal padaku "Memang kamu pikir duit segitu cukup buat ibu? Asal kamu tau uang yang kamu beri nggak cukup buat ke salon. Suami ibu juga paling cuma kasih berapa itu pun kalau pas lagi rame kalau sepi ya nggak ada duit. Lagian kamu kenapa sih ibu mau
"Mas.....duduk dulu sebentar aku mau bicara."Mas Darwin baru saja masuk langsung terduduk di sampingku seraya merangkulku, seolah dia tak punyai salah sama sekali. Terkadang hati tak percaya atas pemikiranku dalam sesaat, akan tetapi setalah mata ini melihat secara langsung hati pun mulai gelisah. Berdosa kah aku jika mencurigai suamiku sendir atas semua tingkah laku mencurigakan suamiku dan juga ibu tiriku? apakah salah jika aku menaruh curiga pada mereka? Dan apakah semua yang ku pikirkan adalah benar ataukah semua hanya kecemasaan semata? Entahlah, hatiku sangat kalut sekali. Pada dasarnya rasa percaya ini telah tiada. Berulang kali ingin ku tanyakan tapi mulut serasa terkunci rapat. Jika tidak bertanya akan tersesat oleh pemikiranku sendiri."Kamu mau bicara tentang apa, sayang? Katakan saja suamimu siap mendengarnya...." Sembari melebarkan senyum. Seperti biasa mas Darwin masih memperlihatkan sikap manisnya padaku. membuat lisan seolah tak sampai berucap.Tiba-tiba saja tercium
Darwin mulai gelisah mengingat tidak mudah baginya untuk kembali memupuk rasa percaya dalam diri sang istri. Sesungguhnya kepercayaan itu sangatlah tipis setipis lembaran tisu, kapan saja bisa robek setelah badai menerpa. Sebagian besar orang menyepelekan senyum dalam sakit meski arti dalam senyuman teramat pahit. Satu hal yang paling mengerikan adalah ketika senyum dalam kepahitan, itu akan menghapus semua kebaikkanmu dalam hatinya.Menjaga kepercayaan tidak semudah ketika menghancurkan. Di saat semua telah hancur tidak akan ada lagi yang tersisa. Percayalah, sesuatu yang telah hilang tidak akan mungkin pernah kembali lagi walau sampai menangis darah sekali pun. Kesempatan kedua tidak di peruntukkan kepada setiap manusia, hanya beberapa orang saja yang berkesempatan mendapatkannya.Jadilah manusia pemberi kesempatan tapi jangan pernah mengemis kesempatan dari lawan main kita. Daun jatuh tetaplah daun, tapi ranting yang yang tumbang akan rapuh. Menjaga diri adalah harga terbaik dalam
Bagaimana cara menjelaskan semua pada putraku, sungguh tidak bisa melihat harapannya hancur begitu saja. Mata yang tadi di penuhi kebahagiaan seketika sirna penuh air mata. Kaki mulai melemas menitikkan air mata sembari ku raih pusara mas Darwin "Bagaimana caraku menjelaskan semua pada Aska, mas? Andai bisa ku putar waktu aku tidak ingin kau pergi dengan cara seperti ini. Sekarang Aku harus bagaimana? Kenapa harus kamu? Kenapa bukan orang lain saja yang mendonorkan jantung untuk Aska, kenap harus kamu, kenapa? Setelah semua kejadian ini bagaimana caraku menghindari tatapan putraku sendiri, mungkin setelah ini dia akan sangat membenciku. Hati ku sakit melihatnya hancur. Aku takut, mas. Bagaimana jika dia membenci ku setelah ini? Sungguh aku tidak sanggup di benci olehnya," Wajah tertunduk lesu tidak tau harus berbuat apa. Semua memang salah ku, seharunya tidak pernah memberi jarak pada mereka supaya semua tidak seperti sekarang."Kebaikan mu akan selalu ku ingat dalam seumur hidup, tap
Dua hari kemudian.Sesuai janji ku pada Aska, tepatnya selasa pagi kami mengajaknya bertemu dengan Mas Darwin. Meski seluruh dunia mengetahui bahwa orang mati tidak bisa bangkit kembali ke dunia manusia. Aku menyadari bahwa harapan besar mereka bertemu sangatlah mustahil. Setiap saat hati terasa gelisah takut putraku kecewa atas kenyataan pahit ini, semua memang bukan mau ku, semua atas keputusan mas Darwin sendiri, sejauh kebencianku terhadapnya sedikit pun tidak pernah menganggapnya benar, sehingga pada saat dia memberikan jantungnya pada putra kandungnya sendiri, di situlah baru aku menyadari bahwa seburuk apa pun seorang mantan suami dia tetap ayah terbaik bagi anak-anak. Sejauh apa pun sakit hati membawa kita, hubungan yang sudah terjalin tidak akan pernah terhapus oleh banyaknya dosa. Masa lalu tetap meninggalkan kenangan walau tidak untuk di perjuangkan. Wahai mantan jadilah masa lalu terbaik jangan kotori masa lalu seseorang dengan penuh kebencian. Merasa jatuh cinta dan menci
Satu minggu kemudian kondisi Aska perlahan mulai membaik. Hari ini Dokter memberi kabar gembira bahwa putra kami sudah di perbolehkan pulang. Dengan kondisi Aska sekarang tentunya ia banyak di batasi oleh dokter, sebelum benar-benar sembuh ia tidak boleh keluar rumah bahkan sekedar sekolah pun belum di ijinkan. Sebagai seorang ibu jelas hati sangat bahagia sekaligus cemas, bagaimana jika Aska bosan ingin bertemu teman-temannya? tidak mungkin dia terus di rumah sepanjang hari di tambah lagi kami juga banyak kerjaan pasti dia sangat kesepian."Jangan lupa di minum obatnya, kamu tidak boleh terlalu beraktifitas dulu. Sementara waktu kamu duduk di kursi roda dulu, baru setelah selesai kamu bisa kembali bersekolah." Jelas Dokter.Mengulurkan tangan "Kami sangat berterima kasih atas segalanya, Dok. Kalau begitu kami pamit pulang"Usai menebus obat kami pun pulang. Sepanjang jalan pukang entah kenap Aska terus diam tanpa kata. Mungkinkah dia memikirkan sesuatu? Coba ku tanyakan pelan padanya
"Sayang coba lihat itu....." Mas Candra menunjuk sebrang jalan di mana seorang wanita berlari tertatih tanpa busana. Rambut terurai lusuh membuatku sulit mengenalinya, namun setelah mengamati seksama ternyata wanita itu adalah ibu Marni. Tidak jauh dari tempat beliau terlihat dua pria mengejarnya. Pria itu nampak begitu sangar berpenampilan preman dan bertubuh tinggi besar."Mas, itu ibu Marni....." Tanpa ragu kami pun menepi berusaha mengejar beliau sebisa dan sekuat kami. Sempai pada akhirnya bu Marni terjatuh, kedua pria berpenampilan preman tadi berusaha memaksa Bu Marni.Melihat beliau meronta dengan kondisi seperti itu tentu kedua pria itu bukan orang baik "Tolong......maling....." Mencari cara untuk meminta bantuan warga dan orang sekitar dengan berteriak maling. Benar saja beberapa orang berbondong ke arah kami lalu mengejar kedua pria tersebut. Awalnya mereka hendak membawa Ibu Marni, namun karena langkah kaki beliau tertatih membuat mereka memutuskan meninggalkan begitu saja
"Tidak, jangan, pergi kalian...Tolong..." Marni berteriak kencang ketika ada beberapa preman mengejarnya. Ketika duduk di tepi jalan tiba-tiba tiga orang berpakaian preman menghampiri lalu menyeretnya ke dalam mobil. Sembari meronta Marni terus berharap ada salah satu orang baik bisa menolongnya, namun siapa sangka tidak ada satu pun orang perduli. Mungkin bisa di katakan hukum karma masih berlaku padanya. Salah seorang pria berkulit hitam mata besar langsung membungkam mulutnya sampai tak bersuara. Sesekali terdengar suara dering ponsel dari salah satu preman."Kita sudah berhasil, bos." ucapnya sembari tersenyum girang ke arah Marni.Sejak memutuskan pergi dari Darwin, kini kehidupan Marni semakin sulit. Setiap hari berjalan lontang-lantung tanpa tujuan, semua tempat telah ia datangi demi mencari kerja atau sekedar numpang berteduh, namun hampir semua orang menolak, siapa yang mau menerima orang dengan penampilan compang-camping dan rambut kusut seperti tidak pernah di sisir. Banyak
Operasi berlangsung cukup lama. Setiap detik do'a tak pernah terputus. Mas Candra selalu berada di sampingku berusaha membuatku tenang. Meski ku tau di dalam hati terdalam ia juga rapuh. Aska memang bukan darah dagingnya, tapi dia yang selama ini mencintai, merawat, dan berperan layaknya seorang ayah. Wajar jika hatinya rapuh sama peperti itu pula hati ini."Jangan cemas putraku sangat hebat, dia pasti bisa melewati semua ini." Lirih mas Candra meyakinkan ku. Kalau boleh jujur suamiku tidak sekuat itu, tanpa sadar sejak tadi ku perhatikan ia menyeka air mata. Memaksa kuat sebisa mungkin supaya tidak membuatku semakin lemah.Sembari bersandar pada bahu mas Candra "Semua salahku, mas." Tiap kali mengingat bagaimana kami bertengkar sebelum akhirnya Aska berlari dariku. Andai bisa aku bersedia bertukar posisi, asal putraku baik-baik saja.Genggaman tangan semakin erat kurasakan "Jangan salahkan diri sendiri, kalau tau akan terjadi hal seburuk ini, maka aku pun tidak akan pernah mengajak k
Brug....."Aska...." Menjerit sekencang mungkin. Dunia seakan berhenti berputar. Gelap terasa menutup hati. Tidak sekali pun terpikir akan terjadi musibah besar pada putraku."Tidak....." Air mata terurai lepas. Jerit tangis mulai mengalihkan banyak pasang mata.Betapa hancur hati ini melihat pemandangan mengerikan baru menimpa putraku. Ketika ia hendak menyebrang dari arah berlawanan ada truk kontainer melintas kencang, sampai akhirnya menghantam putraku. Tubuhnya terpental beberapa meter dari tempat kejadian. Mata ini menyaksikan darah bercucuran sampai tubuh serasa lemas tak bertenaga. Kaki sulit di gerakkan. Tatapanku terus tertuju pada Aska yang sudah tidak sadarkan diri."Ya Tuhan....Aska." Di susul teriakan mas Candra.Air mataku pecah ketika kerumunan orang menutupi pandangan. Mas Candra lantas menghampiriku. Memelukku lalu membawaku ke sebrang jalan."Mas anak kita, mas. Dia...." Mulut bergetar hebat sampai tak sanggup lagi berkata-kata.Tatapan mas Candra tidak seperti biasa
Beberapa hari kemudian.Bertepatan hari libur kami sekeluarga menyempatkan waktu jogging, demi kesehatan bersama. Mentari mulai menyapu wajah. Sesekali menyeka keringat "Rasanya matahari pagi begitu terik seperti membakar kulit..." Ucapku sembari terus berlari kecil.Cuaca pagi begitu cerah. Langit membiru di sertai gumpalan awan putih. Suara bising kendaraan sedikit menggangu pendengaran, wajar saja hari libur banyak orang keluar rumah sekedar cari makan, jalan-jalan, dan lain sebagainya.Mas Candra menolehku "Baru berapa putran sudah mengeluh. Kasihan matahari jadi takut sama keluhanmu...." Celetuknya semakin mempercepat laju kaki."Ih kok malah ngejek sih, awas kamu mas...." Kami bermain kejar kucing tikus seperti masa kanak-kanak.Tanpa sengaja aku melihat Aska tengah duduk dengan seseorang. Topi bulat warna coklat kusam menghalangi wajah pria di samping putraku itu. Kebetulan hari minggu kami sekeluarga selalu meluangkan waktu berolahraga. Tadinya Aska ikut jogging tapi entah ken
Tengah hari terlihat Darwin berdiri sembari melihat sebrang jalan. Jam sekolah segera berakhir, ia terus menunggu meski terik membakar kulit. Berulang kali menyeka keringat dengan pandangan terfokus pada sekolah tersebut. Ia tidak berniat berdagang di area sekolah hanya sekedar menunggu seseorang. Melihat jalanan semakin ramai kendaraan berlalu-lalang ia memilih duduk sejenak. Matahari siang sangat panas sekali, keringat bercucuran membasahi wajah. Berulang kaki mengibas topi bututnya untuk mendapat angin.Dari jauh salah seorang pedangan melihatnya. "Itu bukannya tukang jagung serut itu bro...." Bertanya pada salah seorang pedangan juga."Iya. Mau apa dia kemari, kepala sekolah tidak mengijinkan dia berjualan di sini masih mau nekat juga tuh orang...." Sambung salah seorang.Kebetukan pak satpam sedang jajan cilok lalu melihat ke tepi jalan "Sebenarnya dia sudah bisa berjualan di sini bersama kalian, tapi dia menolak. Dua minggu lalu dia menolong salah satu murid di sini, mungkin kal